🌶🍭SCR-7🍭🌶
Anyeong, Yeorobun ....
Belva & Carol hadir lagi nih. Kira-kira keseruan apa lagi ya di bab ini?
Jangan lupa vote dan komentarnya. Dukungan kalian sangat berarti buatku.
Makasih
Borahae
💜💜💜💜💜💜💜
"Lo beneran nggak ikut?" Bella kembali bertanya ke Cristal. Siang ini dia ingin sekali makan burger di kantin bawah. Walau itu artinya Bella harus naik turun 4 lantai.
Cristal menggeleng. "Cepetan turun. Bentar lagi bel masuk bunyi."
Bella gegas mengambil dompet dari dalam tas, lalu berjalan cepat ke kantin lantai satu. Beberapa kali dia menyapa anak-anak di sepanjang koridor. Tanpa Bella sadari, empat orang lelaki mengikuti diam-diam. Tidak terlalu dekat, tapi masih bisa mengawasi segala tingkah Bella. Mereka membiarkan Bella asyik tebar pesona ke adik kelas di lantai dua dan satu, sembari menunggu waktu dan tempat yang tepat.
Kantin utama terletak di ujung sayap kanan lantai satu. Karena letaknya yang kurang strategis, membuat anak-anak malas makan di sini. Mereka biasa beli di pagi hari untuk dibawa naik ke kelas. Sedangkan di jam istirahat kedua seperti saat ini lantai satu jauh lebih sepi.
Bella menghentikan langkah saat tiba di belokan dekat musala. Dia merasa ada langkah kaki yang mengikuti. Dalam hitungan ketiga, Bella berbalik dan menemukan Ariel sedang berjalan menuju arahnya.
"Lo ngikutin gue?" tembak Bella langsung sambil berkacak pinggang.
Ariel mengode ketiga cowok di sampingnya untuk menggiring Bella ke arah halaman belakang sekolah. Bella mengenal mereka semua. Samuel, Hendrik, dan Virgo adalah kaki tangan Ariel. Semua orang juga tahu apa saja kelakuan buruk mereka.
"Mau apa lagi sih kalian?" Bella jengkel setengah mati, saat Hendrik mencengkeram lengan kirinya. Lelaki itu menarik Bella dengan kasar. Membuat Bella sedikit mengaduh.
"Lepasin gue!" Bella menghempaskan cengkeraman Hendrik. "Apa-apaan ini? Lo mau ngancem gue? Lo pikir gue takut?"
Ariel menepuk bahu Hendrik supaya memberinya akses untuk mendekati Bella. Seringai jahat tampak menghiasi wajah Ariel. Membuat nyali Bella menciut.
"Kenapa diem? Lo takut? Mana semangat sama teriakan lo kemarin?" ejek Ariel sambil mendorong bahu Bella, hingga gadis itu mundur selangkah.
"Dasar pengecut! Beraninya sama cewek. Keroyokan pula." Entah bodoh atau terlalu berani, yang jelas Bella terlalu gegabah memprovokasi Ariel.
Merasa diremehkan, Ariel kembali mendorong Bella dengan cukup keras. Tubuh gadis itu terpelanting ke belakang hingga akhirnya jatuh terduduk. Mendapati gadis di depannya sudah tak berkutik, Ariel tertawa mengejek. Dia berjongkok di depan Bella.
"Lo mau apa? Awas aja kalau berani macam-macam, gue bakal—" Ucapan Bella terpotong saat sebelah tangan Ariel membekap mulutnya dengan kuat.
Hendrik dan Samuel membantu Ariel mencengkeram kedua bahu Bella agar tidak bisa memberontak. Sedangkan Virgo mengawasi sekeliling, memastikan tidak ada orang yang melihat aksi mereka.
"Bilang ke temen lo. Gue nggak pernah terima kata kalah."
Bella berusaha berteriak minta tolong. Namun, suaranya teredam oleh bekapan Ariel. Cengkeraman di bahunya pun begitu kuat. Berbagai bayangan buruk berkelebat di benak Bella. Dengan sekuat tenaga Bella berusaha meloloskan diri. Namun, kedua lelaki itu jauh lebih kuat.
Sekelebat Bella melihat sosok gadis berkucir dua dari dalam gudang perkakas olah raga. Dengan sengaja Bella menggigit kuat-kuat tangan Ariel yang membekapnya. Hingga membuat lelaki itu melayangkan tamparan ke pipi Bella.
Tolongin gue, please! Bella berharap aksinya tadi bisa memberi kesempatan kepada gadis itu untuk pergi dari persembunyian.
"Sialan!" Ariel kembali membekap Bella dengan tangan kanan. "Jangan harap gue bakal lepasin lo begitu saja."
Setitik air mata muncul di pelupuk Bella. Panas dan sakit di pipi tak seberapa dibanding ketakutan yang dia rasa. Dengan ekor mata, Bella mencari gadis itu. Walau pandangannya terlihat kabur, Bella yakin gadis itu berhasil keluar dari gudang.
Dengan kecepatan penuh, seorang gadis berlari menjauh dari halaman belakang. Peristiwa yang baru saja ia lihat begitu menakutkan. Hal pertama yang harus dia lakukan adalah melapor ke guru. Dia khawatir Ariel semakin hilang kendali.
Baru saja Carol berbelok menuju ruang guru, tanpa sengaja gadis itu menabrak Belva, membuat tubuh Carol limbung. Hingga akhirnya dia jatuh tersungkur di lantai.
"Secinta itu lo sama lantai sekolah?" ucap Belva dengan nada sinis. Namun, tak urung tangan kanannya terulur untuk membantu Carol berdiri.
"Bella!" Carol menunjuk arah gudang di halaman belakang.
Kening Belva berkerut, bingung dengan maksud ucapan Carol. "Bella kenapa?"
Belva sengaja turun memang untuk mencari Bella. Bel masuk sudah berbunyi, tapi gadis itu masih belum kembali ke kelas. Padahal kata Cristal, Bella hanya turun untuk ke kantin.
"Tolongin Bella! Cepetan!" teriak Carol panik luar biasa. Didorongnya bahu Belva ke arah halaman belakang. "Dia dibawa Ariel ke halaman belakang, dekat gudang. Kamu tolongin dia, aku lapor ke guru, ya."
Belva gegas berlari ke arah yang ditunjukkan Carol. Umpatan kekesalan berkali-kali terucap dari bibir tipisnya. Belva tidak menyangka, ancaman Ariel kemarin benar-benar diwujudkan. Namun, Belva tidak pernah menyangka kalau Bella yang akan menjadi korban.
Netra Belva membola sempurna saat tiba di lokasi. Bella terduduk di tanah dengan tangan dicengkeram di balik punggung oleh Hendrik. Ariel tengah menjambak rambut Bella hingga gadis itu menengadah dengan wajah pucat.
"B*j*ng*n!" Belva menarik krah kemeja Ariel dengan kuat.
Satu pukulan dialamatkan tepat di wajah Ariel. Darah segar menetes dari hidung Ariel.
"Kurang ajar! Masalah lo itu sama gue, bukan Bella!" Belva kembali melayangkan tinju ke wajah Ariel.
Virgo yang berdiri paling dekat dengan Ariel mencoba melepaskan cengkeraman Belva. Samuel dan Hendrik pun melepaskan Bella guna membantu Ariel. Bella memekik kencang saat Hendrik menarik lengan kanan Belva, disusul pukulan Samuel di rahang kiri Belva.
"Lari, Bel!" teriak Belva tepat sebelum Ariel meninju perutnya.
Belva tersungkur sembari memegangi perut. Hanya tiga detik Belva bisa bernapas, sebelum sebuah pukulan kembali mendarat di punggungnya. Kesabaran Belva sudah benar-benar habis. Amarahnya yang membumbung tinggi.
Sebagai pemegang sabuk hitam, melawan empat orang yang hanya mengandalkan kekuatan tanpa teknik tentu bukan hal sulit. Tendangan kiri ia daratkan di perut Samuel. Merasa ada celah, Belva bergegas bangkit. Lalu tanpa memberi jeda, ia melayangkan tinju ke wajah Hendrik. Hingga lelaki itu terhuyung ke belakang. Belva beralih memukul wajah Ariel. Berkali-kali hingga Ariel tergeletak tak berdaya.
"Va, cukup, Va!" teriak Bella saat Belva kembali menonjok muka Ariel. Wajah Ariel sudah penuh luka, Samuel meringkuk di tanah memegangi perut, dan Hendrik menyusul Virgo untuk bersembunyi. Kalau diteruskan, Bella khawatir akan terjadi masalah yang lebih serius.
"Ada apa ini?" Teguran Widodo—guru Antropologi—menghentikan amukan Belva.
Robert yang baru datang, langsung menarik Belva menjauhi Ariel. Carol menahan pekikan dengan telapak tangan saat melihat kondisi mereka. Padahal selisih waktu mereka tidak lama. Hanya sekitar lima menit, tapi Belva bisa membabak-belurkan dua orang yang masih terkapar di tanah.
Seragam kelima laki-laki itu sudah tak berbentuk. Apalagi wajah Ariel. Tampak jelas ada fraktur di bagian hidung. Tetesan darah segar terus mengalir, hingga membuat guru yang berkumpul pun gegas membawanya ke ruang kesehatan.
"Kalian semua ikut ke kesiswaan!" perintah Robert tegas sambil melirik tajam ke Belva.
Belva sadar apa yang akan dia hadapi nantinya. Tidak mungkin Anthony tidak mengetahui perbuatannya kali ini. Namun, Belva sama sekali tidak menyesal. Kalau pun bisa memutar waktu, dia tetap akan melakukan hal yang sama.
"Lo nggak apa-apa?" Belva masih sempat mencemaskan keadaan Bella.
Meskipun pipi dan kulit kepalanya masih terasa nyeri, Bella tetap menggeleng. Saat ini yang ada di pikirannya adalah hukuman yang akan Belva hadapi. Bukan hanya dari pihak sekolah, tapi juga dari Anthony. "Va, gimana ini?" Bella memegang erat lengan Belva. Mereka tengah berjalan beriringan menuju kesiswaan.
Belva menepuk punggung tangan Bella yang gemetaran. Kejadian tadi tentu membuat Bella ketakutan. "Tenang aja. Bisa gue atasi."
Belva duduk di sofa samping Bella. Hendrik, Samuel, dan Virgo duduk di seberang mereka. Sedangkan Ariel tidak tampak batang hidung. Luka di hidungnya cukup parah. Sehingga dia segera dilarikan ke rumah sakit.
Belva menyandarkan kepala di punggung sofa. Dia butuh memejamkan mata barang semenit dua menit. Amarahnya belum sepenuhnya hilang. Semisal di sini masih ada Ariel, Belva tidak yakin bisa menahan diri. Bayangan Ariel yang tengah menarik rambut Bella masih tergambar jelas di pulupuk mata Belva.
"Va, pakai ini dulu."
Belva membuka kelopak mata perlahan. Di depannya, Carol tengah berdiri sambil menyerahkan buntalan kain berisi es batu. "Nggak perlu." Belva kembali memejamkan mata.
"Nggak usah ngeyel deh." Carol menempelkan kain dingin itu di pipi kiri Belva, hingga membuat sang pemilik tubuh menjengkit kaget. "Ini tuh biar lebammu cepet hilang. Dulu aku pernah jatuh dari tangga. Lututku biru, kening sama hidungku juga lecet. Terus sama Bude dikasih es batu begini biar nggak memar."
Belva tersenyum samar mendengar ocehan Carol. Dia ingat betul siapa penyebab lebam Carol kali itu. Belva membiarkan Carol terus mengusap wajahnya dengan kain dingin. Ternyata benar, es batu bisa meredakan panas di wajah dan hatinya.
* * *
Ehem ... ehem ....
Modus memang si Belva. Bilang aja minta dielus-elus sama Carol.
🤣🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top