🌶🍭SCR-5🍭🌶
Annyeong
Hai, Gaes, Belva & Carol up lagi nih. Btw, ada yang punya IG nggak? Kalau ada, boleh dong follow akun instagram-ku TIKAPUTRI1512. Sekaligus minta dukungan dengan cara like (❤️) dan komen di postingan yang kayak ini 👇
Makasih banyak buat dukungan kalian buat SCR.
Love sekebon
💜💜💜💜💜💜💜
"Fa, kamu tahu yang namanya Belva?" tanya Carol kepada Ulfa, teman sebangkunya.
Setelah beberapa minggu bersekolah di Wijaya Kusuma, Carol baru sadar ada yang berbeda dari lelaki dingin itu. Dibanding siswa lain, Belva tampak tak tersentuh. Bukan sekali dua kali Carol tanpa sengaja bertemu dengan Belva. Entah itu di kantin, lorong kelas, maupun saat upacara bendera, Carol hampir tidak pernah melihat Belva berinteraksi dengan orang lain kecuali Bella dan Cristal.
"Lo kenal sama Belva?" Ulfa yang semula sibuk memainkan ponsel sontak memusatkan perhatian ke Carol.
Carol menggeleng sambil memasukkan keripik kentang ke mulut. Siang ini Carol sedang malas untuk makan di kantin. Untung tadi pagi dia sempat membeli beberapa bungkus snack sebelum bel masuk berbunyi. "Kebetulan dia pernah bikin masalah sama aku."
Ulfa meletakkan ponsel begitu saja di meja. Gadis yang biasanya tidak pernah peduli pada Carol mendadak menjadikan gadis itu sebagai pusat dunia.
"Masalah apa? Kok bisa? Kapan? Lo belum lama sekolah di sini udah bikin masalah sama Belva? Kamu ngapain? Gimana ceritanya?" tanya Ulfa secara beruntun.
Carol menggeleng cepat. "Bukan aku yang bikin masalah, tapi dia." Rentetan cerita meluncur begitu saja dari bibir mungil Carol. "Sepertinya dia ditakuti sama guru, ya? Aku sering lihat penampilannya kayak berandalan, semacam ketua gangster gitu, tapi anehnya nggak ditegur guru. Makanya aku heran, siapa sih Belva itu?"
"Dengerin gue," Ulfa menggeser kursi hingga berhadapan dengan Carol, "mending lo nggak usah cari perkara sama Belva. Kalau bisa jauh-jauh sama cowok satu itu. Lupain aja masalah kalian. Bukan kenapa-kenapa, lo 'kan anak baru di sini, pasti lo belum ngerti kondisi WK."
Carol mengerutkan kening. "Memangnya kenapa?"
"Asal lo tahu, Belva itu anak pemilik sekolah ini."
Carol terkejut sampai mulutnya ternganga. "Jadi bapaknya Belva beneran yang punya WK? Aku pikir waktu itu dia cuma asal ngomong. Pantes aja sikapnya seenak udel sendiri."
Ulfa mengangguk tegas. "Makanya mending lo jangan cari perkara sama Belva."
"Aku udah nggak pernah ngobrol sama dia kok. Kalau ketemu paling yang nyapa aku cuma Bella atau Cristal. Muka Belva kan nggak beda kayak patung. Datar banget."
"Sikap lo udah benar. Gue bukannya nakut-nakutin, asal lo tahu kalau Belva punya pendukung yang bakal ngelakuin apa aja ke orang yang cari masalah sama Belva."
"Maksudnya gimana?" Carol masih belum paham tentang cerita Ulfa tadi.
"Intinya lo mending jauh-jauh dari dia. Nggak usah sok kecentilan pengin deketin Belva. Kalian jelas beda jauh. Lo bakal dipandang nggak tahu diri kalau nekat tebar pesona ke Belva."
"Siapa juga yang mau deket-deket sama cowok kayak dia? Menang ganteng doang, tapi kelakukan minus," gumam Carol. "Kayak nggak ada kerjaan aja. Orangnya angkuh, sombong, jutek, sok cool. Amit-amit jabang bayi kalau harus ketemu dia lagi."
* * *
Istilah 'ada harga ada rupa' tampaknya memang bukan hanya isapan jempol. Setelah hampir tiga bulan bersekolah di Wijaya Kusuma, Carol sangat merasakan perbedaan antara sekolah-sekolah lamanya dengan Wijaya Kusuma. Kualitas guru dan penyampaian materi pun berbeda jauh. Jika dulu Carol terbiasa dengan pembelajaran 1 arah, di mana satu-satunya orang yang berbicara di dalam kelas adalah guru itu sendiri. Maka lain cerita dengan Wijaya Kusuma.
Praktek lapangan serta presentasi tugas adalah hal yang biasa. Penelitian dan percobaan pun bukan lagi menjadi hal aneh. Guru memberi tugas berupa rangkuman buku atau penjelasan singkat tentang isi buku yang sudah dibaca adalah hal biasa. Seperti yang terjadi hari ini, guru sastra klasik Libra memberi tugas berupa review buku klasik.
"Kamu beneran nggak ikut aku ke perpus, Fa?" Carol masih berdiri di samping meja, menunggu kalau Ulfa berubah pikiran.
Ulfa melirik Carol sekilas. "Nggak."
"Kamu udah punya buku yang diminta Bu Sita, ya?" Guru Sastra Klasiknya tadi memberi tugas untuk mengupas sebuah buku fiksi asing sebagai tugas pokok di semester ganjil.
"Nanti gue bisa beli. Udah, sana lo ke perpus," usir Ulfa sambil membuat gerakan seperti menghalau ayam.
Bagi mayoritas siswa Wijaya Kusuma, sebuah buku sastra klasik berbahasa asing tentu bukan barang mahal. Lain halnya dengan Carol. Meski bisa membelinya pun, Carol lebih memilih untuk meminjam di perpustakaan sekolah. Setengah tahun lagi ulang tahun Yanti, Carol berniat memberi kado berupa liontin kecil. Jadi dia berusaha untuk menabung dengan menyisihkan sebagian uang saku. Bahkan kalau bisa, dia tidak keberatan untuk kerja part time.
Oleh karena itu, istirahat siang ini Carol berencana meminjam buku ke perpustakaan. Di Wijaya Kusuma, siapa saja boleh meminjam buku sekolah dengan gratis. Banyak koleksi sastra klasik baik yang berbahasa Indonesia maupun asing di sana.
Carol memutuskan untuk mengupas isi cerita Pride and Prejudice karya Jane Austen. Dia pernah menonton filmnya, tapi belum pernah membaca langsung novel aslinya. Menurut Carol, kisah Elizabeth dan Mr.Darcy sangat menarik. Karakter para tokoh dalam cerita pun terasa nyata, sesuai dengan latar belakang kisah di abad 19-an.
Carol mencari letak buku dari tanda yang tertempel di ujung rak. Pustakawan mengurutkan rak berdasar huruf awal judul. "M ... n ... o ... p!" Carol belok kanan. Namun, langkahnya terhenti saat tepat di depan rak yang dimaksud, tergeletak tubuh kaku pucat. Tubuhnya melintang di sepanjang rak dengan kedua tangan dijadikan alas kepala. Kalau saja dada orang itu tidak bergerak naik turun dengan teratur, Carol pasti mengira bahwa dia adalah seonggok mayat.
Tidak sulit bagi Carol untuk mengenali siapa orang ini. Kulit putihnya sudah cukup menjelaskan bahwa lelaki yang tengah tertidur di lantai adalah Belva.
"Gimana ceritanya cowok bisa seputih ini? Jangan-jangan dia nggak pernah main di luar," gumam Carol. Dia merasa tidak adil, "atau dia suntik putih, ya?"
Carol menggeleng berkali-kali. Buat apa mikirin cowok jutek ini sih? Buang-buang waktu saja.
Carol kembali memusatkan atensi ke deretan buku di dalam rak tanpa bersuara. Sebisa mungkin dia tidak ingin bersinggungan dengan Belva lagi. Mengingat cerita Ulfa, Carol memilih tidak cari perkara. Namun, buku yang ia butuhkan tepat berada di rak samping tubuh Belva. Dari dekat kaki Belva, Carol berjinjit miring dengan susah payah, mencoba menggapai buku dengan ujung jari. Namun, usahanya gagal.
Pilihan antara batal meminjam buku atau membangunkan Belva membuat Carol bimbang. Carol berjongkok di samping Belva. Tangannya terulur bersiap membangunkan Belva. Daripada gagal mendapatkan buku yang Carol inginkan, lebih baik mengganggu cowok menyebalkan di depannya. Hitung-hitung balas dendam.
"Ngapain lo ngeliatin gue? Bener 'kan tebakan gue kalau lo naksir sama gue," ucap Belva masih dengan mata terpejam.
Saking terkejutnya, Carol sampai terjengkang di lantai. "Kamu ... kamu nggak tidur?"
"Kenapa? Lo malu ketahuan ngeliatin gue?" Belva membuka mata perlahan, bangkit dari posisi tidur. Lalu duduk bersandar di rak sambil meregangkan tubuh.
Carol memasang wajah seperti orang mau muntah. "Hueeek, najis! Jangan mimpi! Lagian kalau kamu nggak tidur, harusnya bisa lihat 'kan dari tadi aku sibuk mau ngambil buku di situ. Harusnya kamu bangun, biar aku bisa ngambil bukunya. Lagian ngapain tiduran di sini? Ganggu orang lain tahu."
"Setahu gue, nggak ada aturan yang melarang tidur di perpus."
Carol berdiri lalu menepuk-nepuk rok belakangnya. "Aku nggak mau debat lagi sama kamu. Jadi, sekarang kamu minggir deh. Aku mau ngambil buku."
"Salah siapa punya badan pendek," gumam Belva, tapi tak urung tetap menggeser tubuh agar Carol bisa menjangkau rak.
"Salahin Tuhan yang udah ngasih aku tinggi segini," balas Carol dengan wajah sinis sambil menjangkau buku yang dicari. Ia langsung berbalik dan meninggalkan Belva yang masih duduk terdiam di lantai.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top