🌶🍭SCR-49🍭🌶

"Kirim semua video salinan CCTV yang kamu punya ke saya." Belva memindah ponsel dari telinga kanan ke kiri. Pembicaraan dengan Samuel sudah cukup lama, membuat kupingnya sedikit memanas. "Untuk beberapa hari kamu bisa ambil cuti. Cari tahu siapa saja orang yang ada di video itu. Jangan sampai ada yang tahu kalau saya yang menyuruhmu."

"Termasuk Mbak Carol, Pak?" tanya Samuel ragu dari seberang telepon.

"Termasuk dia." Belva memutuskan sambungan setelah menegaskan sekali lagi kepada Samuel untuk secepatnya mencari tahu siapa dalang di balik fitnah yang dilayangkan pada Carol.

"Ada masalah di hotel, Va?" Indira angkat bicara setelah dari tadi melihat Belva sibuk dengan ponsel.

Jika ada yang memandang remeh seorang psikiater, maka Belva dengan berani membantah mereka. Baru tiga kali sesi konseling, perubahan besar sudah tampak pada diri Indira. Emosinya lebih stabil, walau terkadang masih melamun atau tiba-tiba menangis. Namun, bicaranya sudah lebih terarah. Memorinya pun tak lagi saling tumpang tindih. Sehingga kini Belva sudah mengetahui apa yang menjadi pokok pertengkaran antara Indira dan Anthony malam itu.

Anthony ingin mencatatkan pernikahan dengan Puspa secara sah dengan izin Indira. Anthony ingin agar Andrew dan Eliza memiliki status sama dengan Belva di mata hukum. Tentu saja ini adalah hal yang sangat Indira tentang. Anthony memberi penawaran jika Indira menerima hal tersebut, maka bisa dipastikan Belva akan menjadi satu-satunya pewaris Wijaya Kusuma Grup.

Namun, tidak demikian dengan pemikiran Indira. Dengan tegas dia menolak tawaran Anthony. Bahkan Indira mengancam jika Anthony tetap berusaha mengesahkan pernikahan dengan Puspa, Indira tidak segan akan menarik seluruh saham di Wijaya Kusuma. Indira dengan senang hati akan menghancurkan kerajaan bisnis yang sudah payah Anthony bangun.

Tumpukan emosi selama bertahun-tahun seolah meluap di satu waktu. Umpatan serta ucapan saling menyalahkan tersembur begitu saja. Padahal bukan sekali dua kali mereka saling melempar hujatan. Membenci dan mengambing-hitamkan satu sama lain seolah jadi santapan harian. Namun, malam itulah puncak dari segala ganjalan yang mereka miliki.

"Kamu pulang saja, Va, selesaikan urusan hotel dulu. Sebentar lagi Parmi juga datang," tambah Indira.

Belva masih belum terbiasa alami menghadapi ibunya dalam mode lembut. Rasanya janggal, sehingga Belva bingung harus merespon bagaimana. "Hotel sudah ada Pak Abdul sama Malik, Ma. Lagipula siang ini kita ada janji konsul ke dokter Adji."

Setelah sesi konseling pribadi antara Indira dan dokter Adji, hari ini dijadwalkan konseling keluarga. Sebenarnya dokter Adji ingin berbincang juga dengan Anthony. Namun, karena kondisi Anthony belum cukup kuat, jadi hanya Indira dan Belva yang menjalani konseling.

"Va." Indira menegakkan duduk di atas brankar.

Belva mengatur posisi brankar agar lebih tegak. Kemudian ia meletakkan tumpukan bantal di belakang punggung Indira. Meskipun secara umum kondisi fisik Indira sudah membaik, tapi pergelangan tangannya masih harus dijaga. Dia belum boleh melakukan pekerjaan berat atau mengangkat beban.

"Mama berniat pisah sama papamu." Ucapan Indira membuat Belva mematung.

Lelaki berkulit putih itu memandang ibunya dengan bingung. Seolah wanita yang kini tampak tenang ini bukan Indira. "Mama serius?"

Indira menghela napas panjang. Beberapa hari ini dia mulai memikirkan lagi tentang pertanyaan yang dilempar oleh dokter Adji. Psikiater itu menanyakan: apa arti bahagia bagi Indira. Hal itu membuat Indira merefleksikan diri. Apakah benar dengan membalas dendam kepada Anthony dirinya akan bahagia?

"Bagaimana menurutmu?" Setelah beberapa saat terdiam, Indira menoleh ke Belva.

Belva mengambil kursi, lalu duduk di dekat brankar. Dia cukup terkejut dengan pertanyaan tersebut. Indira mengatakan ingin pisah saja sudah membuat Belva tak percaya. Ditambah ibunya menanyakan pendapat Belva. Hal yang belum pernah Indira lakukan.

"Kenapa Mama mau pisah?" Belva perlu tahu alasan Indira terlebih dahulu. Karena bisa jadi keputusan ini hanya pilihan impulsif yang nanti akan Indira sesali.

Indira kembali melempar pandangan ke depan. "Rumah tangga Mama sudah hancur, Va. Bahkan sebelum dimulai pun sebenarnya Mama tahu akan seperti apa keluarga ini. Tapi Mama nekat menjalani demi mempertahankan ego dan harga diri."

"Kalau Mama pisah, artinya Mama biarkan Papa menikahi Tante Puspa?"

Lagi-lagi Indira mengembuskan napas panjang. "Mama tidak peduli. Setelah Mama pikir ulang tentang arti kebahagiaan, apa yang Mama jalani selama ini hanya kemarahan dan dendam. Mama tidak tahu bahagia itu yang seperti apa."

"Mama yakin kuat kalau sewaktu-waktu Papa menikah lagi? Mama tidak masalah kalau Andrew dan Eliza masuk ke Wijaya Kusuma Grup?" Belva bertanya bukan karena dia takut kedudukannya akan tergeser. Secara pribadi jelas Belva sangat tidak peduli akan keputusan Anthony.

"Terserah mereka mau bagaimana. Mama tidak peduli. Masalah pembagian saham dan properti, biar diurus Pak Sitompul. Tapi," Indira menoleh ke Belva, "kemungkinan perceraian ini akan berpengaruh ke posisimu. Belum tentu nantinya kamu yang akan meneruskan seluruh bisnis Papa."

Belva tertawa pelan. "Sejak kapan aku peduli hal seperti itu? Kalau memang aku tidak dibutuhkan, dengan senang hati aku cabut dari Wijaya Kusuma Grup."

Bukan sekadar omong kosong. Belva sudah membuat rencana untuk membuka bisnis baru dengan teman-temannya di Australia. Namun, belum matang. Masih banyak yang jadi pertimbangan Belva untuk meninggalkan Indonesia.

"Justru Mama yang perlu memikirkan ulang. Kalau boleh milih, aku ingin kalian pisah. Kita bisa hidup tanpa Papa. Mungkin memang penghasilanku tidak sebesar Papa. Pasti akan ada perbedaan ekonomi yang kita rasakan, tapi lebih baik daripada Mama terus-terusan tertekan."

Indira tersenyum tipis. Ternyata putranya jauh lebih dewasa dibanding dirinya. "Masalah uang, kamu tidak perlu khawatir. Keluarga Danuwiharja jauh lebih kaya dibanding papamu. Kamu bisa pilih bisnis apapun yang Opa punya."

Hampir saja Belva melupakan keluarga besar Indira. Jelas Danuwiharja tidak akan membiarkan Indira, anak perempuan semata wayangnya, hidup susah.

"Jadi, kamu setuju kalau kami pisah?"

* * *

"Tidak!" bentak Anthony tegas.

Siang ini Indira sudah diizinkan keluar dari rumah sakit. Kondisi fisiknya sudah 90% pulih. Untuk kestabilan mental tetap harus rutin konsultasi dengan psikiater. Rencananya, sepulang dari rumah sakit Indira tidak akan kembali ke kediaman Anthony. Mereka akan langsung menuju rumah Danuwiharja. Oleh karena itu, sebelum pulang Indira ingin menyampaikan keputusannya langsung pada Anthony.

"Aku tahu niat busukmu, Indira! Kamu pura-pura minta cerai, tapi dibaliknya kamu merencanakan untuk menghancurkan Wijaya Kusuma. Tidak akan aku biarkan." Dalam kondisi masih belum pulih pun Anthony tetap keras kepala.

Belva yang sedari awal berdiri di samping Indira, melihat Puspa berdiri menunduk di pojok ruang kamar inap Anthony. Setelah mendengar penjelasan Carol tentang Puspa, entah mengapa cara pandang Belva terhadap wanita itu sedikit berubah. Rasa bencinya tidak lagi sebesar dulu.

"Terserah kamu mau berpikir apa. Minggu depan Pak Sitompul akan memasukkan gugatan cerai. Kamu mau memperpanjang kasus atau dipercepat, itu terserah kamu. Satu hal yang pasti, Belva ikut aku," ucap Indira tegas.

Belva meremas bahu ibunya. Sejak Indira menyatakan ingin berpisah dengan Anthony, Belva sudah mengambil langkah untuk selalu berada di pihak Indira. Apapun yang terjadi. Karena tanpa dikatakan pun hanya Belva yang Indira miliki. Sedangkan Anthony masih punya Puspa dan kedua anak mereka.

"Tidak akan aku biarkan kamu ambil semua milikku." Anthony meremas selimut dengan kuat.

"Mas," Puspa yang melihat emosi Anthony mulai naik pun berinisiatif untuk mendekat. "tolong tenang dulu."

"Kalian memang sengaja ingin membunuhku biar semua hartaku jatuh ke tangan kalian!"

"Terserah kamu berpikir bagaimana. Aku cuma ambil yang jadi hak kami." Indira membalas remasan tangan Belva.

"Tolong Anda jangan berpikir negatif dulu. Asal Anda tahu, walau Mama mengajukan gugatan cerai, Mama tidak akan menarik satu persen saham pun dari Wijaya Kusuma. Untuk detail seperti apa biar Pak Sitompul yang menjelaskan. Jadi Anda tidak perlu khawatir Wijaya Kusuma akan rugi." Tak ada lagi sebutan 'papa' untuk Anthony. Bagi Belva, hubungan mereka berdua tak lebih dari seseorang yang terikat darah. Tak perlu lagi berpura-pura dekat. Karena kenyataannya tak ada keakraban di antara keduanya.

"Untuk masalah Andrew dan Eliza, silakan lakukan apapun pada mereka. Kami tidak peduli. Kalau perlu saya akan angkat kaki dari Wijaya Kusuma Grup," tambah Belva.

"Jangan sok jadi malaikat!" Anthony kembali bersuara. Dia masih tidak percaya dengan ucapan Belva. "Bukan hak kalian untuk memberi izin apakah Andrew boleh atau tidak masuk ke Wijaya Kusuma."

"Tapi nyatanya kamu ketakutan kalau kami hancurkan kerajaan bisnis keparatmu itu," balas Indira sinis.

Percuma Belva berharap orang tuanya bisa duduk bersama dan saling berkomunikasi dengan baik. Salah paham serta perbedaan persepsi selalu mewarnai interaksi mereka. Demi menghindari kericuhan, Belva mengode Indira untuk segera angkat kaki dari kamar ini.

"Sebagian barang kami masih ada di rumah. Secepatnya saya akan suruh orang untuk merapikan semua. Bi Parmi dan Pak Supri memutuskan untuk ikut kami, tapi karyawan lain masih ada di rumah." Belva mengangguk pada Puspa. "Semoga Anda segera pulih."

Belva menuntun Indira meninggalkan kamar Anthony. Memulai langkah awal menuju hidup baru ternyata tak semudah yang dibayangkan. Belva sempat melihat Indira menghapus tetesan air mata di ujung mata. Belva sadar, bukan sehari dua hari Indira hidup bersama Anthony. Meskipun seluruh kebersamaan mereka selalu diwarnai kebencian, tetap saja ada keterikatan satu sama lain. Dan melepas ikatan itu tentu menimbulkan rasa yang asing.

"Belva, tunggu sebentar."

Langkah Belva terhenti saat mendengar Puspa menyusul mereka. "Mama duluan saja." Belva meminta Indira jalan terlebih dahulu. Meskipun terlihat jauh lebih tenang, Belva tetap tidak mau ambil resiko dengan membiarkan Indira berbicara dengan Puspa.

"Belva, apa Tante bisa minta waktu sebentar?" pinta Puspa.

Untuk sementara masalah Belva-Carol di sela tentang masalah keluarga Belva dulu, ya.

Saranghae
💜💜💜💜💜💜💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top