🌶️🍭SCR-47🍭🌶️

"Ngapain ke sini?" Kalau bukan atas paksaan Suprapto, Carol jelas malas untuk menemui Belva. Bahkan saat ini dia tidak repot-repot berganti baju apalagi mandi. Tampangnya masih awut-awutan. Carol sengaja melakukannya agar Belva sadar sudah mengganggu istirahatnya.

Belva menarik napas panjang saat melihat Carol hanya berdiri di ambang pintu. Tatapan gadis itu sama sekali tidak mengarah kepadanya. Sekali lihat pun Belva tahu kalau Carol tidak berkenan atas kedatangannya kali ini.

"Bisa kita bicara sebentar?" Dengan merendahkan intonasi suara Belva berharap Carol mau melunak.

"Nggak! Jadi sebaiknya kamu pulang." Carol sudah berbalik, bahkan sebelah kakinya sudah melangkah masuk, saat Yanti keluar membawa nampan berisi air es sirup dan sepiring pisang goreng.

"Lho, kamu mau ke mana, Nduk? Ini ditaruh di meja dulu. Sudah lama Nak Belva ndak mampir ke sini. Kebetulan mbakyumu tadi bikin pisang goreng."

"Dia sudah mau pulang, Bude." Biar saja kali ini Carol durhaka karena tidak mengindahkan perintah Yanti. Carol tetap melenggang masuk. Bahkan dia tak sungkan menutup pintu kamar dengan cukup keras.

"Bocah kui kenopo tho?" Yanti geleng-geleng sambil meletakkan nampan di meja teras. Yanti turut bergabung dengan Belva di kursi teras sembari menunggu Suprapto selesai berganti pakaian. "Ayo diminum dulu. Kalau ndak salah Nak Belva suka pisang goreng kan? Ayo dicicipi. Pisangnya panen sendiri dari kebon samping."

Demi kesopanan Belva menyuruput air es yang telah disiapkan. Diambilnya sepotong pisang goreng yang masih hangat. Rasa legit langsung menyapa indra pengecapnya. Kalau tidak ingat malu, Belva pasti mengambil sepotong lagi.

"Maafkan sikap Carol, ya, Nak. Ndak biasanya dia seperti itu," ujar Yanti setelah Belva menandaskan sepotong pisang goreng.

Belva menggeleng. "Yang salah memang saya, Bude. Wajar kalau Carol marah."

"Namanya orang berteman wajar kalau ada seling surup. Beda pendapat, salah paham, marah-marahan itu hal biasa. Dulu Bude sama Pakde juga sering berantem. Pakde itu orangnya ndak romantis blas. Kadang bikin jengkel. Namanya perempuan pasti penginnya disayang, diperhatikan, dimanja."

Yanti tertawa kecil ketika mengingat masa muda dulu. "Kalau bukan Bude yang kirim surat, mana mungkin Pakde kirim kabar duluan. Zaman dulu belum canggih seperti sekarang. Tanya kabar tinggal kirim pesan lewat HP, sedetik sudah sampai. Kalau dulu, suratnya harus dititipin ke teman atau tetangga biar ndak ketahuan keluarga."

Sayangnya nomor gue diblokir sama Carol. Jadi gimana bisa gue kirim chat, keluh Belva dalam hati.

"Dari dulu Bude lebih emosian ketimbang Pakde. Untungnya Pakde itu sabar sama sifat Bude yang kadang sak karepe dhewe. Namanya sebuah hubungan pasti ada kurangnya. Salah satu harus mau mengalah. Harus ada omongannya biar ndak saling salah paham."

Belva setuju dengan nasehat Yanti. Selama ini dia terlalu keras kepala dan tidak mau mendengarkan Carol. Jangankan mendengarkan gadis itu, Belva bahkan tidak mengatakan apa yang menjadi pokok permasalahan mereka.

"Nanti biar Bude bantu bujuk Carol pelan-pelan. Mungkin sekarang masih marah. Anak itu dari dulu kalau marah ndak pernah lama. Paling-paling besok sudah baikan."

Rupanya kali ini Carol memang teguh pada pendirian. Prediksi Yanti kalau kemarahan Carol cepat mereda ternyata tidak terbukti. Sudah lima hari berturut-turut Belva mendatangi rumah Carol selalu berujung kecewa. Gadis itu sama sekali tidak mau menemui Belva.

Bujukan Yanti bahkan Suprapto sekalipun tidak bisa mengubah keputusan Carol. Setiap Belva datang, Carol selalu mengunci diri di kamar. Belva jelas kehabisan ide. Pintu komunikasi tertutup rapat. Belva ingin minta maaf pun tidak bisa. Nomor ponselnya masih diblokir oleh Carol. Surat yang Belva titipkan melalui Hani juga berakhir tragis di tong sampah tanpa sempat Carol baca.

Dalam keputus-asaan Belva akhirnya memohon bantuan Cristal. Karena membujuk Cristal lebih mudah dibanding Bella. Belva baru sadar, orang yang terlihat santai dan sabar begitu marah ternyata lebih mengerikan.

"Lo serius nggak bakal bikin ulah kan, Va?" tanya Cristal dari seberang telepon. "Kalau kali ini lagi-lagi lo bikin ulah, gue beneran nggak mau temenan sama lo. Banyak yang gue pertaruhin kali ini, Va. Carol bakal marah. Belum lagi kalau Bella tahu gue bantuin lo. Dia jelas ngamuk."

"Jam berapa kalian ketemuan?" Belva mengecek tetesan infus milik Indira. Sudah dua hari ini Belva menginap di rumah sakit. Setelah ingatannya pulih, emosi Indira menjadi tak menentu. Tekadang diam hanya menatap kosong ke langit-langit. Terkadang menangis tanpa sebab. Tak jarang mendadak berteriak memanggil Anthony lalu memaki-maki lelaki itu.

"Ini gue mau berangkat jemput Carol. Lo bisa ke lokasi jam berapa?" Cristal memasukkan botol minum dan camilan ke tas ransel Alvin. Demi membantu Belva, Cristal harus berbohong dengan meminjam nama Alvin. Pura-pura mengajak Nendra untuk menemani Alvin ke Kandank Jurank Doank.

"Gue langsung cabut ke sana begitu lo sampai rumah Carol." Belva melirik jam dinding. Sebentar lagi Parmi akan menggantikannya untuk menjaga Indira. Sehingga Belva bisa langsung menuju lokasi yang telah disepakati.

"Nanti gue sama Mbak Hani pura-pura nganter anak-anak ke kamar mandi, baru lo nongol." Cristal sempat menghubungi Hani untuk membuat rencana. Tanpa bantuan Hani, belum tentu Carol akan percaya pada Cristal.

Kalau ada yang protes dengan cara licik yang Belva lakukan dengan berkata: memulai sesuatu harus dengan cara yang jujur. Maka dengan tegas Belva berani menyanggah. Bagaimana dia bisa memulai jika tidak ada pintu masuknya.

Bisa jadi kali ini satu-satunya jalan yang tersisa bagi Belva untuk memperbaiki hubungan dengan Carol. Jika kali ini gagal, seperti kata Cristal tadi, sangat mungkin Carol tambah membencinya. Bahkan Cristal akan terkena imbasnya. Oleh karena itu, Belva berupaya keras untuk menjaga emosi. Jangan sampai kebodohannya membuat semua berantakan.

Jarum penunjuk waktu di pergelangan tangan Belva mengarah ke angka 9. Cristal baru saja mengabari kalau sudah sampai di rumah Carol. Parmi pun sudah siap menggantikan Belva. Jadi tidak perlu menunda-nunda lagi Belva gegas menginjak pedal gas menuju lokasi.

Rekreasi bertema alam milik salah satu artis ibukota ini memang tepat dijadikan tempat wisata anak. Desain bangunan yang berwarna, fasilitas lengkap, serta pemandangan yang alami, membuat anak-anak betah berlama-lama di sini. Bukan hanya untuk bermain, tapi anak-anak pun bisa belajar langsung melalui alam.

Hampir sepuluh menit Belva menunggu di tempat parkir ketika mobil Cristal memasuki pelataran. Dari kejauhan Belva bisa melihat Cristal menggandeng Alvin. Disusul Hani dan Nendra. Terakhir, berada di balik punggung Hani, tampak gadis yang seminggu ini begitu kurang ajar membuat dunia Belva jungkir balik.

Padahal belum ada sebulan Belva tidak melihat senyum itu, tapi rasanya sudah bertahun-tahun. Sesuatu yang terasa hangat memasuki relung hati Belva. Ada satu rasa rindu yang terobati hanya dengan melihat wajah Carol.

Belva memaki diri sendiri sembari tersenyum miring. Padahal dulu, sepuluh tahun lalu dia sudah pernah merasakan betapa tersiksanya harus membohongi diri dengan berkata bahwa membenci Carol. Dan kali ini dia masih saja ingin mengulang rasa itu. Sungguh perbuatan yang super bodoh.

Queen Cristal
Lo ke sini sekarang.

10.35

Setelah merapikan kaos dan celana panjang yang sedikit kusut, Belva segera menuju area kantin. Dari jarak 20 meter, Belva melihat Carol sedang menikmati pemandangan. Ia berdiri bersandar di pinggir balkon kayu. Bagian bawah balkon terdapat danau buatan serta pepohonan nan rindang. Sehingga walau sinar matahari sudah bersinar terang, lokasi itu tetap sejuk.

Belva bersembunyi di balik pohon besar saat Carol berbalik lalu duduk di kursi balkon. Belum saatnya Carol menyadari kehadiran Belva. Bisa dipastikan gadis itu akan lari. Tak berselang lama Belva melihat Cristal berjalan mendekat.

"Awas kalau lo macem-macem!" ancam Cristal saat mereka berpapasan.

Seperti rencana awal, Cristal akan mengajak Hani serta anak-anak untuk menyingkir dari lokasi. Mereka tidak berniat pulang, jaga-jaga kalau Carol marah dan nekat pulang sendirian.

Setelah mengatur napas dan mempersiapkan mental, Belva melangkah mendekat. Bersyukur Carol sibuk dengan ponsel sehingga tidak sadar saat Belva memasuki balkon. Ketika Belva berada tiga langkah di dekatnya, Carol baru sadar ada orang lain di sini.

"Maaf, Kak, di sini—" Senyum serta ucapan Carol terhenti setelah sadar siapa yang kini berada di depannya. Satu embusan napas panjang lolos. Tanpa kata Carol beranjak dari duduk, bersiap meninggalkan tempat ini.

"Gue mohon kasih gue kesempatan buat minta maaf ke lo." Belva memegang pergelangan Carol tanpa tekanan.

Carol menarik lengannya tanpa sepatah katapun terucap. Dia masih tidak sudi melihat ke arah lelaki di depannya.

"Gue mohon," pinta Belva tulus.

Sebelah kaki Carol sudah melangkah menjauh ketika ucapan Suprapto beberapa hari ini kembali terngiang. "Anak itu sebenarnya baik, Nduk. Pakde bisa lihat kesungguhan dan ketulusannya. Mungkin dia memang pernah berbuat salah ke kamu. Pakde tidak tahu duduk permasalahan kalian seperti apa. Tapi coba kamu kasih kesempatan sekali lagi. Bisa jadi dia bersikap seperti itu, dia berbuat salah ke kamu, karena tidak tahu harus bagaimana. Tidak tahu sikap yang benar seperti apa. Pakde lihat, anak itu baru ada masalah besar."

Carol mengatur napas beberapa saat. "Apalagi yang mau diomongin?" Lagi-lagi Carol menyerah.

Tak masalah Carol belum mau menatapnya. Tak masalah jika nada suara Carol masih judes. Tak masalah jika Carol tidak mau memaafkannya. Yang terpenting saat ini ada lampu kuning bagi Belva. Entah nantinya akan berubah merah yang artinya Belva harus menyerah. Atau dengan keajaiban akan menjadi hijau.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top