🌶️🍭SCR-46🍭🌶️

"Lo udah nggak waras, ya?" Bella menggebrak meja teras belakang rumah Cristal. Tadi pagi buta saat menerima pesan dari sahabatnya untuk segera datang, Bella pikir akan mendapat oleh-oleh dari Temanggung. Bella sendiri semalam baru pulang dari Malaysia. Jadi rencananya sekalian mau mengajak Cristal untuk menjenguk mama papa Belva.

Pesan yang Cristal kirim begitu singkat. Hanya meminta Bella meluncur detik ini juga. Tidak ada kecurigaan apapun dalam benak Bella. Karena memang sejauh ini tidak ada masalah yang terjadi.

Namun, ketika tiba di teras belakang dan menemukan Belva sedang terpekur di ujung kursi, Bella menebak ada sesuatu yang salah. Wajah Belva tidak bisa disebut baik-baik saja. Rambut berantakan. Lingkaran hitam jelas tercetak di sekitar mata. Baju kusut masai. Ditambah aroma alkohol yang jelas terendus dari jarak jauh. Pantas saja Cristal memintanya cepat-cepat datang.

Awalnya Bella menebak Belva stres karena orang tuanya masuk rumah sakit. Semua pikiran Bella luntur begitu kalimat pertama meluncur dari bibir Belva. "Carol pernah tidur sama bokap gue."

Kalau bukan karena kode dari Cristal yang memintanya untuk mendengarkan Belva terlebih dahulu, tentu Bella sudah membantah ucapan laki-laki itu. Rentetan cerita dari Belva bukan membuat Bella memahami pikiran lelaki itu, justru semakin membuat Bella meradang. Hingga akhirnya gebrakan meja menjadi satu-satunya cara Bella untuk mengekspresikan kegeraman.

"Kalau goblok jangan banget-banget bisa kan, Va? Gimana ceritanya lo nuduh Carol kayak gitu." Bella tak habis pikir dengan jalan pikiran Belva. "Lo jelas lebih kenal Carol dibanding kami, tapi lo bisa nuduh Carol begitu."

Cristal mengangsurkan segelas es sirup ke depan Bella. "Gue sependapat sama Bella. Pasti ada alasan kenapa malam itu Carol bisa bareng sama bokap lo."

"Apa lagi alasannya? Laki-laki dan perempuan masuk ke kamar hotel berdua, kalian pikir mereka main ular tangga? Kalau memang dia tidak salah, bukankah seharusnya dia bisa membela diri. Bukan malah marah dan pergi begitu saja." Belva mengacak rambutnya dengan geram. Semalaman dia tidak bisa memejamkan mata gara-gara amukan Carol.

Berbagai cara dilakukan untuk mengurai ruwetnya isi pikiran, tetap saja Belva belum menemukan titik terang. Pertanyaan: kenapa Carol begitu marah, kenapa Carol sampai membencinya? Kenapa kemarahan Carol seperti bukan kamuflase, tapi benar-benar ungkapan ketidaksukaannya pada tuduhan Belva? Semua hanya berputar di kepala Belva. Hingga akhirnya Belva menyerah pada sebotol alkohol di bar hotel. Itupun masih belum jadi solusi.

Mabuk bukannya menghilangkan masalah, justru semakin membuat imajinasi Belva melalang buana. Beberapa kali Belva ingin mendatangi rumah Carol untuk mencari jawaban yang jelas. Dia butuh tahu apa alasan Carol masuk ke kamar hotel malam itu yang sebenarnya. Namun, sebagian dirinya masih bisa bertahan untuk tidak berbuat gaduh di rumah Suprapto. Alhasil menjelang pagi hari Belva terdampar di rumah Cristal.

"Masalahnya bukan terletak di alasan mereka ketemuan di hotel, Va, tapi karena lo nggak percaya sama Carol," ujar Cristal.

"Masalahnya gue tidak percaya karena memang tidak ada alasan masuk akal." Belva masih mencari pembenaran atas pikirannya.

"Denger, ya, Va." Bella meletakkan gelas sirup yang sudah kosong ke atas meja. "Lo memangnya tahu kalau di dalam kamar cuma ada mereka berdua? Bisa saja kan di sana ternyata banyak orang? Pikiran lo duluan yang menghalangi untuk cari kebenaran."

"Saran gue, mending lo minta maaf ke Carol. Baikan dulu lah sama dia. Saat ini Carol butuh support dari kita, bukannya malah lo tambahin masalah macam ini." Cristal menepuk lembut punggung Belva. "Lo nggak tahu kan gimana pontang-pantingnya dia untuk membuktikan ke lo bahwa bukan dia yang bikin ulah di hotel?"

Belva menoleh cepat ke Cristal. "Dia belum menyerah?"

"Kenapa harus nyerah? Carol jelas nggak salah. Lo aja yang kebangetan, Va, selalu nuduh dia yang enggak-enggak. Dosa lo udah setinggi Himalaya tau! Asal lo tahu, kemarin kapan itu Carol telepon gue. Dia tanya tentang Ulfa," ujar Cristal.

Belva berpikir keras tentang info dari Cristal baru saja. Kenapa nama perempuan itu kembali muncul setelah 10 tahun berlalu. "Apa hubungannya sama Ulfa?"

"Carol dapat rekaman CCTV di gerbang luar GWS. Di video kelihatan ada beberapa orang yang terkait dengan keributan di GWS malam itu. Termasuk Ulfa."

* * *

Kalau mobil yang Belva kendarai diibaratkan setrika, tentu saat ini jalan utama menuju rumah Carol sudah selicin kain satin. Ada lebih dari 5 kali Belva bolak-balik. Antara mau belok menuju gang rumah Carol atau balik ke apartemen.

Sepulang dari rumah Cristal, tentu setelah diberi ultimatum oleh 2 sahabatnya itu, Belva membelokkan kemudi menuju rumah Carol. Cristal mengancam tidak akan mau mengangkat atau membalas pesan Belva kalau dia belum minta maaf ke Carol. Sedangkan Bella tanpa basa-basi sudah langsung memblokir nomor telepon Belva. Baru akan ia buka setelah hubungan Belva dan Carol membaik.

Jika ditanya: apakah Belva berniat minta maaf gara-gara ancaman sahabatnya? Dengan tegas Belva akan menjawab tidak. Walau pada mulanya memang desakan Bella dan Cristal lah yang menumbuhkan rasa bimbang di hati Belva. Keyakinan bahwa Carol memang bersalah langsung memudar. Memang belum sepenuhnya hilang, tapi sudah tidak sebesar kemarin. Oleh karenanya, Belva harus mencari tahu cerita yang sebenarnya.

Dan hal pertama yang harus Belva lakukan adalah memperbaiki hubungan dengan Carol. Satu tugas yang berat. Belva harus menurunkan ego dan harga diri.

"Lo harus minta maaf ke Carol!" Perintah Cristal tadi kembali terngiang. Membuat Belva terpaksa membelokkan kemudi menuju gang rumah Carol.

Berada di ujung gang, keberanian Belva kembali surut. Kecepatan mobilnya jelas turun drastis. Jika dibanding dengan orang naik sepeda, lebih cepat sepeda. Terlebih saat dia semakin mendekat. Ragu kembali melanda.

Namun, nasi sudah jadi bubur. Belva sudah sampai sejauh ini, kalau mau putar balik pun sayang. Afirmasi positif berusaha Belva tanamkan di pikiran bahwa semua akan berjalan lancar. Langkah pertama pasti akan terasa berat, tapi setelah itu pasti akan mengalir seperti biasa.

Sial! Gue harus ngomong apaan? Belva menghentikan gerak tangan di atas gerendel pintu gerbang. Terlalu sibuk menumbuhkan keberanian untuk datang ke sini, sampai membuat Belva lupa membangun strategi. Tidak mungkin kalau begitu datang Belva langsung meminta maaf bukan?

"Cari siapa, Mas?"

Tidak mengira akan ada seseorang yang menyapa membuat Belva terlonjak kaget. Tawa tertahan jelas tampak dari raut wanita yang tengah berdiri di depan Belva saat melihat reaksi lelaki itu. Untuk mengurangi rasa malu dan gugup, reflek Belva menggaruk tengkuk.

"Lho, ini temen SMA-nya Carol kan?"

Belva mengerjap, sedikit terkejut ternyata wanita ini mengenalinya. Sembari mengangguk ragu, Belva mengingat wajah di depannya. Tampak tidak asing, tapi terlalu susah bagi Belva untuk mengingat.

"Aku Hani, mbaknya Carol. Kamu pasti lupa."

Begitu nama Hani disebut, ingatan Belva langsung kembali. "Maaf, Mbak, tadi saya sempat ragu."

"Wajar kalau kamu pangling. Badanku dulu tak segini, tapi kini tak seksi lagi," kelakar Hani. Sepulang dari warung untuk membeli tepung, Hani melihat mobil mewah terparkir di depan rumah. Dia pikir orang tersesat yang sedang mencari alamat. Sama sekali tak menyangka bahwa pria tampan ini adalah teman adik sepupunya.

"Kamu cari Carol kan? Ayo, masuk dulu. Itu anak beberapa hari ini nggak pernah di rumah. Eh, sekalinya di rumah, dari kemarin cuma di dalam kamar." Hani membuka lebar pintu gerbang. "Kok kamu sudah lama tidak main ke sini?"

Belva tersenyum sopan. "Kemarin saya sempat ke sini, tapi karena sudah malam saya tidak mampir, Mbak."

Rumah ini masih nyaman seperti sepuluh tahun lalu. Bukan karena kemewahannya, tapi atmosfir yang ada dari personil keluarga. Senyum serta penyambutan yang Belva terima sama sekali tidak tampak setitik keterpaksaan ataupun kepura-puraan. Semua tulus diberikan oleh keluarga Carol.

"Bentar, ya, Mbak panggilin Carol dulu." Setelah mempersilakan Belva duduk di teras, Hani bergegas masuk. Dia sempat meneliti sekali lagi penampilan Belva. Mobil mewah, kaos dan celana bermerk, jam tangan yang jelas harganya luar biasa, ditambah tutur bahasa yang sopan: jelas mencerminkan status sosial ekonomi ke atas.

Bukannya Hani matre. Nominal rekening bukan hal utama yang menjadi pertimbangan sebagai pasangan. Namun, tak ada salahnya bukan kalau menginginkan yang terbaik untuk Carol.

"Dek, di luar ada cowok ganteng tuh," lapor Hani begitu membuka pintu kamar Carol. Seketika matanya melotot melihat penampilan sepupunya itu. "Astaga! Gimana bisa cowok kayak gitu tertarik sama cewek model kamu."

Hani geleng-geleng melihat rambut Carol yang awut-awutan. Matanya sembab. Hidungnya memerah. Belum lagi baju tidur kumal yang sedari kemarin belum diganti. "Kalian berantem?"

Carol beringsut dari tidur ayam ke posisi duduk. "Siapa sih, Mbak?"

"Temen SMA-mu dulu itu lho. Yang sering ke sini."

Belva? Carol buru-buru menggeleng. Tidak mungkin lelaki brengsek itu ke sini. Mau apa coba? Apa pertengkaran mereka semalam masih belum cukup membuat laki-laki itu puas? Hingga harus melanjutkannya di rumah.

"Siapa, Mbak?"

Hani berdecak kesal. "Halah, pakai pura-pura lupa. Cowokmu itu lho yang ganteng kayak Suga BTS. Kalau memang kalian baru berantem, mending cepetan diselesaikan baik-baik, biar nggak berlarut-larut."

Gantian Carol yang berdecak. Ternyata benar tebakannya. Pasti tamu yang Hani maksud adalah Belva. Carol kembali berbaring. "Suruh pulang aja, Mbak."

"Weladalah, ini anak malah tidur lagi. Itu kasihan temenmu di luar. Dari tadi Mbak lihat dia di depan pagar seperti ragu untuk masuk. Kasihan. Dah sana mandi trus ditemuin dulu. Dia udah mau ke sini berarti niatnya udah baik, Dek."

"Males," jawab Carol singkat sambil berbalik memunggungi Hani.

"Itu yang di luar siapa?" Yanti yang baru selesai mandi bertanya saat melewati kamar Carol.

"Pacarnya Adek, Bund, tapi ini anak malah nggak mau nemuin. Baru berantem," sambar Hani cepat.

"Lho, kamu sudah punya pacar tho, Nduk?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top