🌶️🍭SCR-45🍭🌶️

"Apa maksudnya?" Carol benar-benar bingung dengan ucapan sinis Belva. "Uang apa?"

Tawa lirih sarat ejekan Belva lempar ke Carol. "Sudahlah, nggak usah pura-pura lagi. Gue sudah tahu siapa lo sebenarnya."

Carol mengembuskan napas kesal. "Kalau yang Bapak maksud tentang kejadian di hotel, saya tegaskan lagi, saya nggak tahu siapa laki-laki itu. Saya juga nggak pernah jual kamar ke orang lain."

Lagi-lagi Belva tertawa mengejek. "Lucu sekali, apa yang lo ucap jauh berbeda dengan kenyataan. Semakin lo berbohong, semakin terlihat kelicikan lo itu "

"Apa sih maksudnya? Kamu ngomongin masalah apa, Va?" Kesabaran Carol sudah habis. Peduli setan kalau akhirnya Belva memecatnya. Yang penting Carol harus bisa membela diri. "Aku udah berusaha sabar sama kamu. Dari dulu kamu selalu berpikir aku yang salah. Kamu nggak ngasih kesempatan buat aku membela diri. Aku juga udah berusaha cari bukti soal cowok kemarin itu. Oke kalau kamu masih belum percaya, aku berusaha maklum karena memang semua bukti mengarah ke aku. Tapi, aku nggak tahu apa yang kamu maksud sama rumah sakit, uang, licik. Apa hubungannya semua itu sama aku, Va?"

Belva mengatupkan rahang dengan erat demi menahan geram. Saat ini emosinya sangat labil. Sedikit saja pencetus bisa membuatnya meledak. Dan Belva masih berusaha untuk menahan diri. Dia takut akan mengucapkan hal yang akan dia sesali.

"Bukan sekali ini kamu salah paham sama aku, Va. Sampai sekarang, aku masih nggak tahu masalah kita dulu itu apa. Kamu diemin aku bertahun-tahun, aku terima. Kamu nganggap aku ini cewek nggak bener, aku terima. Sekarang kamu nggak percaya sama aku, juga aku masih berusaha terima. Aku pikir, kalau aku berusaha ngertiin pemikiran kamu, kita bisa temenan lagi kayak dulu. Tapi apa? Kamu semakin nggak karuan. Selalu memojokkan aku. Selalu mikir aku salah."

Tanpa bisa dicegah kedua manik mata Carol mulai berkaca-kaca. Luapan emosinya kali ini begitu besar. Ganjalan selama sepuluh tahun yang selama ini berusaha ia tekan akhirnya mendesak keluar.

"Aku nggak minta kamu buat balik jadi temenku. Aku sadar diri kok kalau aku ini cuma kacung aja. Aku sadar diri, Va. Tapi, paling nggak kasih tahu apa yang salah dari aku. Biar aku bisa instropeksi diri."

Belva berdiri dengan cepat. Dalam hitungan detik dia sudah berada tepat di depan Carol. Kedua tangannya mencengkeram erat lengan Carol. Membuat gadis itu meringis menahan sakit.

"Lo yakin bisa instropeksi? Setelah selama ini lo merasakan mudahnya dapat uang dari laki-laki di luar sana, termasuk bokap gue. Apa lo yakin bisa berubah?" bentak Belva sambil menghentakkan lengan Carol.

"Uang dari Pak Anthony?" ulang Carol lirih. Dia masih tidak mengerti maksud ucapan Belva.

"Jangan pura-pura bego! Gue tahu kelakuan bejat lo! Gue lihat dengan mata sendiri, lo tidur dengan Anthony!"

Carol terkesiap. Kalau saja bekas cengkeraman Belva di lengannya sudah tidak meninggalkan bekas rasa sakit, tentu Carol berpikir saat ini tengah bermimpi. "Aku apa? Tidur sama Pak Anthony? Kamu ngomong apa sih, Va?"

"Gue bilang cukup!" Tatapan tajam Belva langsung menghunus ke kedua manik mata Carol. "Gue lihat sendiri lo masuk ke kamar hotel dengan lelaki itu."

Kening Carol berkerut dalam, hingga membuat kedua alisnya beradu di tengah. Dia masih belum paham dengan tuduhan Belva. "Kamar hotel mana, Va? GWS? Terus lelaki siapa?"

Tawa sumbang Belva terdengar membahana di tengah sunyinya malam. Hampir pukul sepuluh, sudah tak ada lagi pengunjung di sini selain mereka berdua. "Fine! Oke, gue turuti permainan lo. Kalau lo mau gue beberin semuanya secara detail, gue layani!"

Carol mundur selangkah saat Belva mendekat. Baru kali ini dia melihat amarah luar biasa dari lelaki di depannya. Walau hubungan mereka memburuk, belum pernah sekalipun Belva memasang raut seperti saat ini. Kedua matanya menyorotkan kemarahan. Napasnya menderu. Kedua telapak tangannya terkepal erat.

"Sepuluh tahun lalu, apa yang lo lakuin di Golden Hotel?" Butuh kekuatan luar biasa bagi Belva untuk tidak mencengkeram Carol. Cukup sekali tadi saja dia melanggar batas. Biar bagaimanapun Belva tidak ingin menyakiti Carol.

"Golden Hotel?"

Belva mendengkus keras, disusul dengan tawa sumbang. "Masih pura-pura lupa. Biar gue ingatkan. Malam-malam, hujan deras, lo ke parkir mobil buat jemput Anthony. Kalian masuk ke hotel lewat tangga darurat. Masih belum ingat?"

Carol kembali terkesiap. Ingatan kala itu hadir kembali. "Kenapa kamu bisa tahu?" tanya Carol dengan suara serak.

"Jadi, lo sudah mulai ingat? Lo ingat juga pasti kan, saat lo masuk ke kamar hotel sama laki-laki itu. Laki-laki itu sampai sekarang masih berstatus suami orang. Laki-laki yang juga bokap gue!"

Carol menggeleng cepat. Dia mulai bisa meraba kesalahpahaman yang ada. "Bukan begitu, Va. Aku sama Pak Anthony waktu itu—"

"Apa? Lo mau bikin alasan apa hah? Orang tolol juga tahu tujuan kalian masuk kamar hotel." Belva maju selangkah. "Berapa duit yang lo terima dari bokap gue malam itu? Pastinya cukup buat beli kalung untuk bude lo kan?"

Entah mendapat kekuatan dari mana, dalam satu ayunan kuat, telapak kanan Carol mendarat di pipi kiri Belva. Menimbulkan bunyi tamparan cukup keras. Sedetik kemudian Carol baru menyadari perbuatannya. Bercak merah tercetak jelas di pipi putih itu. Namun, Carol tidak menyesal. Belva pantas mendapatkannya.

"Jadi ... jadi selama sepuluh tahun ini kamu mikir kalau aku ini cewek murahan, Va?" Emosi Carol campur aduk tak menentu. Di satu waktu dia merasa marah pada Belva. Di sisi lain dia sedih, karena Belva bukan seperti yang ia pikir. Tak urung Carol pun kecewa. "Aku pikir, kamu satu-satunya orang yang bisa ngerti tentang aku. Tapi ternyata aku salah. Kamu sama aja kayak Ariel atau Ulfa! Dengan entengnya kamu nuduh aku jadi pelacur, Va? Dan yang lebih gilanya, kamu nuduh aku tidur sama ayahmu?"

Tangis Carol sudah tak dapat terbendung. Sekuat apapun dia berusaha menahan laju air mata, pertahanannya tetap saja jebol. Kekecewaannya terhadap Belva sudah tak dapat diukur. Bahkan melebihi rasa marah akibat Belva menuduhnya menjual kamar hotel.

"Gue lihat lo masuk kamar sama Anthony!" bentak Belva frustasi.

Carol mendorong Belva menjauh. Derai air matanya tak kunjung surut, justru semakin membeludak. Dia melampiaskan kekesalan dengan memukul dada lelaki itu berkali-kali.

"Aku benci sama kamu!" bentak Carol di sela isak tangis.

Belva mencengkeram kedua pergelangan tangan Carol. "Lo pikir gue bisa terima semua ini? Gue berusaha yakinin diri kalau lo bukan cewek murahan, tapi kenyataan selalu nunjukin hal lain."

Dengan tatapan nyalang, Carol menghentak kedua lengan hingga terlepas. "Bukan karena kenyataan, Va. Tapi karena kamu memang udah mikir aku ini pelacur. Aku mau jelasin kayak gimana juga percuma. Buatmu aku udah salah."

Dengan kasar Carol mengusap sisa air mata menggunakan ujung lengan cardigan. Menangis bukan cara untuk memperlihatkan ke Belva bahwa Carol wanita kuat. "Sekarang aku tahu kenapa selama ini sikapmu selalu seenaknya sendiri. Aku juga jadi tahu gimana kamu sebenarnya. Menyesal banget, Va, selama ini aku berusaha memahamimu. Berusaha memaafkan semua kelakuanmu yang sangat luar biasa."

Carol tertawa sinis ketika mengingat sikap Belva sejak 10 tahun lalu hingga detik ini. "Ternyata selama ini aku bodoh banget masih berharap kamu bisa jadi Belva yang dulu. Atau jangan-jangan dulu, dari awal, kamu juga mikir negatif tentang aku. Cuma aku yang menganggap kita temen."

Setelah mengembuskan napas panjang, Carol kembali berkata, "Mulai sekarang, aku nggak peduli lagi sama pikiranmu tentang aku. Kamu nggak usah repot-repot mengusirku dari GWS. Besok aku sendiri yang akan keluar. Kamu juga nggak usah khawatir aku bakal gangguin hidupmu lagi. Karena mulai detik ini aku nggak bakal sudi lihat mukamu!"

Dalam satu gerakan tegas, Carol berbalik. Tidak ada lagi yang harus dia lakukan di sini. Semua harus ia akhiri saat ini juga. Bahkan usaha yang ia lakukan seharian ini dengan Samuel untuk mencari bukti tentang Rudi pun akan ia telan kembali. Carol tidak peduli lagi dengan GWS. Bahkan dengan senang hati Carol angkat kaki dari sana.

"Lo tidak ada hak untuk marah!" Lagi-lagi Belva menghalangi langkah Carol. Dalam dua langkah lebar, Belva mampu membalik keadaan. Kini dia kembali berhadapan dengan Carol.

"Wah! Anda lucu sekali. Lalu apa yang harus aku lakukan? Menerima semua tuduhan gila itu? Diam saja begitu?"

"Buktikan!" tuntut Belva tegas. Tolong yakinkan gue kalau lo tidak seperti yang gue pikir, tambah Belva dalam hati.

"Kenapa aku harus buktiin ke kamu? Apa untungnya buat aku? Nggak ada sama sekali. Aku udah nggak peduli sama kamu dan semua yang ada hubungannya sama kamu!"

Annyeong
Apakah ada komentar untuk bab ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top