🌶️🍭SCR-44🍭🌶️

Jika ditanya hal apa yang Belva benci selain diganggu saat tidur, maka jawabannya adalah rumah sakit. Aroma, hawa, pemandangan, hingga suasananya sangat tidak menyenangkan bagi Belva. Terlebih segala sesuatu yang berhubungan dengan tempat ini selalu menimbulkan luka di dirinya.

Kecelakaan motor yang Belva alami saat duduk di sekolah menengah pertama. Percobaan bunuh diri Indira. Belum lagi kejadian yang menimpa Cristal hingga membuat sahabatnya itu harus kehilangan kaki kiri. Dan malam ini, di satu hari yang sama, Belva harus mendatangi tempat ini sebanyak 2 kali. Semuanya tidak berkesan baik.

Anthony yang masih terbaring di ICU seolah belum cukup menambah rasa benci Belva terhadap gedung serba putih ini. Kini, dia harus merasakan ketegangan yang sama seperti belasan tahun lalu, saat Indira mencoba mengakhiri hidup. Dan hal itu kini kembali terulang.

Masih mengenakan hoodie berlumur darah, Belva hilir mudik di depan pintu operasi. Rupanya sayatan di pergelangan tangan Indira telah mengenai pembuluh darah vena. Seandainya Belva terlambat sedikit saja, bisa jadi saat ini dia telah kehilangan Indira.

Seandainya bisa diputar kembali dalam kondisi yang jauh berbeda, Belva tidak mungkin mampu mengendarai mobil secara ugal-ugalan seperti tadi. Seolah kerasukan setan, Belva menerjang seluruh lampu lalu lintas. Bahkan dia berani melawan arus kendaraan. Untung saja tengah malam seperti ini jalanan ibukota sudah mulai lengang.

Di jok belakang, Parmi tak henti-henti menangis sambil memanggil nama Indira. Handuk yang Belva ikat kencang di pergelangan tangan ibunya sudah penuh dengan cairan merah pekat. Tak peduli jika dirinya harus kena tilang, yang Belva pikirkan hanya bagaimana caranya tiba di rumah sakit secepat mungkin.

Tubuh Indira begitu dingin. Bukan hanya karena baju yang basah kuyup karena air. Namun, berkurangnya secara drastis darah di tubuh membuat wanita itu sepucat tembok dan sedingin es.

"Den, diminum dulu." Supri menyerahkan kopi botolan ke Belva. Begitu mendapat kabar tentang kondisi Indira dari Parmi, Supri bergegas turun guna menemani Belva. Menggantikan Parmi yang sedang membersihkan diri.

"Papa gimana, Pak?" Belva membuka tutup botol, lalu meneguknya hingga habis. Ia butuh asupan kafein untuk membuat otaknya tetap waras.

"Sampai sekarang belum ada perawat yang manggil, Den."

Belva mengembuskan napas panjang. Hampir pukul tiga dini hari, mungkin ayahnya sedang tidur. Tubuhnya sendiri pun rasanya tak karuan. Lelah teramat sangat. Baik fisik maupun mental.

"Den Belva, sebaiknya bersih-bersih dulu. Apa saya ambilkan baju ke rumah?" Supri tidak tega melihat kondisi pemuda di depannya itu. Selain wajah yang kuyu dan pakaian penuh noda darah, Belva tampak kebingungan. Mungkin dengan membasuh tubuh bisa membuat Belva lebih segar.

Belva menggeleng. Dia tidak mungkin tenang meninggalkan Indira di ruang operasi. Ada rasa khawatir perihal kondisi ibunya tersebut.

"Minimal cuci muka biar segar, Den."

Lagi-lagi Belva menolak. "Nanti saja kalau Mama sudah keluar, Pak."

Tak berapa lama, lampu di atas pintu ruang operasi mati. Menandakan proses penanganan Indira sudah selesai. Sontak Belva dan Supri bangkit dan mendekat begitu pintu terbuka. Dua orang perawat mendorong brankar menuju ruang rawat.

"Bagaimana kondisi mama saya, Sus?" tanya Belva sambil membantu mendorong brankar.

"Dokter berhasil menghentikan pendarahan, Pak. Hanya saja karena kehilangan banyak darah, HB Bu Indira rendah sekali. Kami akan melakukan transfusi sampai HB-nya normal."

Belva mengangguk, menyetujui apapun penanganan yang dokter lakukan. Yang penting ibunya selamat. Bahkan Belva tidak keberatan jika sewaktu-waktu diminta mendonorkan darah. Sekadar jaga-jaga kalau persediaan darah PMI menipis.

"Untuk saat ini kami memberi Bu Indira obat penenang supaya bisa istirahat. Dikhawatirkan kalau beliau terbangun, sedangkan kondisi fisik dan mentalnya belum stabil, akan berpengaruh ke proses penyembuhan." Kepala perawat mengajak Belva ke ruang tunggu agar pembicaraan mereka tidak mengganggu Indira. Kamar VVIP yang ditempati Indira memiliki beberapa ruang. Pertama sebagai kamar pasien, ada kamar penunggu, dan ruang tamu.

"Dokter bedah menyarankan agar Bu Indira berkonsultasi ke psikiater, Pak," ujar perawat tersebut.

Belva sadar betul ada yang tidak sehat dalam kejiwaan Indira. Keputusan untuk mengakhiri hidup bukan hal yang bisa dipilih begitu saja oleh orang sehat secara mental. Oleh karena itu, Belva tidak merasa tersinggung dengan saran dokter. Justru hal tersebut yang dibutuhkan oleh Indira. Penyembuhan secara fisik saja tidak akan memberi efek jika mental Indira masih belum stabil. Bisa jadi peristiwa serupa akan kembali terulang.

Setelah menyuntikkan antibiotik, perawat tersebut meninggalkan Belva berdua dengan Indira di ruang rawat. Belva sempat bertanya kepada perawat apakah ibunya tidak perlu masuk ICU. Namun, menurut dokter kondisi Indira relatif stabil. Yang perlu dipantau adalah kejiwaannya. Belva sempat meminta kepada perawat untuk menjauhkan ibunya dari benda-benda yang berbahaya. Seperti vas bunga, piring, gelas, ataupun barang pecah belah lain. Bahaya jika sewaktu-waktu Indira berada di kamar seorang diri.

* * *

Belva baru sadar kenapa keluarga Bella dan Cristal memintanya untuk menjaga kesehatan. Ternyata dua hari menunggui Indira di rumah sakit bukan hal yang mudah. Pola tidur serta pola makannya berantakan. Terlebih Indira seringkali terbangun di malam hari sembari menangis histeris. Membuat tubuh dan emosi Belva berada di ambang batas normal.

Terlebih hingga saat ini Belva masih belum mengetahui permasalahan antara Indira dan Anthony malam itu. Tidak ada sepatah kata yang dapat Belva tangkap dari ibunya. Sedangkan Anthony masih belum diizinkan untuk banyak bicara.

Oleh karena itu, demi menjaga kewarasan, malam ini Belva memutuskan untuk mencari udara segar. Berkutat antara kantor dan rumah sakit membuat pikirannya buntu. Namun, bukannya mendapat penyegaran, Belva justru semakin kesal saat menyadari di mana dia berada saat ini.

Lapangan ini pernah menjadi tempat favoritnya untuk melupakan permasalahan di rumah. Tempat ini pernah mengukir ratusan kenangan yang ingin Belva lupakan. Ayunan ini pernah menjadi saksi bisu akan kedekatannya dengan Carol.

Sekeras apapun usaha Belva untuk menghindar, tapi alam bawah sadarnya berkata lain. Tanpa disadari saat ini ia sudah duduk di ayunan yang sama waktu pertama kali Carol menyapa. Satu sisi dalam diri Belva memerintahkan untuk segera angkat kaki. Namun, sisi lain memintanya untuk tetap tinggal.

Dan Belva memutuskan untuk menyerah.

Tempat ini masih nyaman. Walau sekarang besi-besi yang menopang ayunan mulai keropos. Namun, bukan itu yang membuat Belva tenang. Suasana malam ini begitu hening. Langit gelap bertabur bintang memayungi Belva. Angin malam perlahan membelai kulit Belva dengan lembut. Ditambah gemerisik dedaunan yang seolah mengalunkan musik pengantar tidur. Hingga tanpa terasa Belva tertidur dengan menyandarkan kepala pada tiang ayunan.

"Pak Belva."

Butuh waktu bagi Belva untuk kembali ke alam sadar. Itupun dia tidak gegas membuka mata. Ia masih berada di antara mimpi atau kenyataan. Namun, suara itu terdengar nyata. Bukan sekadar khayalan.

Satu tarikan napas panjang mengiringi terbukanya kelopak mata Belva. Kedua netra itu langsung tertambat pada ujung sepatu kets putih yang berada di depannya. Tidak butuh IQ jenius untuk mengetahui sosok yang tengah berdiri di hadapan Belva. Hanya melihat siluetnya pun Belva mengenali gadis ini.

"Bapak, baik-baik aja?" Seandainya Bella tidak memberitahu akan kondisi keluarga Belva, tidak mungkin Carol Sudi mendekat. Dia akan bersikap seolah tidak melihat Belva duduk terpekur di ayunan. Menganggap lelaki ini tak kasat mata adalah keputusan yang lebih tepat, ketimbang mendekatinya seperti saat ini.

Berkali-kali Carol merutuki dirinya sendiri. Betapa bodohnya mengikuti insting sok perhatian yang ia miliki. Alhasil saat ini dia terjebak pada situasi canggung luar biasa. Belva seolah tidak menganggapnya ada. Lelaki itu masih asyik menunduk. Padahal Carol yakin Belva menyadari kehadirannya.

Untuk berlalu dari tempat ini juga rasanya ganjil. Carol terlanjur menyapa Belva. Sedangkan untuk memulai pembicaraan, Carol bingung harus mengangkat topik apa.

"Bapak, udah makan?" Carol menggigit bibir bawah sembari mengatupkan kedua kelopak mata erat-erat. Bisa-bisanya ia menanyakan hal seperti itu ke Belva. Dengan setengah meringis, Carol mengambil satu langkah mundur. Berada di sini lebih lama lagi bakal membuatnya jadi seperti badut.

"Anu ... saya pulang dulu." Kalau ilmu menghilang benar-benar ada, Carol mau membayar berapapun demi bisa pergi dari sini secepat mungkin. Gegas ia berbalik, lalu melangkah menuju motornya terparkir.

"Lo tidak ke rumah sakit?"

Pertanyaan Belva otomatis menghentikan langkah Carol. Perlahan ia berbalik. Dilihatnya Belva sudah mengangkat wajah. Hingga kini kedua netra mereka beradu di udara.

Manik coklat itu tampak sayu dan kelelahan. Wajah tampan itu tak lagi menyorotkan ketegasan yang biasa Carol lihat. Bibir itu pun tak lagi menyunggingkan senyum meremehkan. Hampir saja Carol mengira salah orang. Lelaki ini bukan sosok Belva yang ia kenal.

"Jangan cuma terima uangnya saja, tapi begitu sakit kamu tinggal pergi."

"Hah?"


Ada yang mau ngata-ngatain Belva?
Waktu dan tempat dipersilakan.
😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top