🌶️🍭SCR-42🍭🌶️

Kemarin siapa yang udah menghujat Belva? Hayo ngaku.
Yang tensinya udah naik siapa?

Nah, setelah baca bab ini, kira-kira masih mau ngata-ngatain cowok itu nggak ya? Atau tambah menjadi?
😁😁

Jangan minta mereka cepet-cepet baikan yagesya. Sabar dulu aja.
Aku nggak bisa kasih bocoran apakah mereka akan jadian atau enggak. Satu hal yang pasti, di tanggal 30 Oktober cerita ini bakal tamat.

"Selidiki yang benar! Saya yakin Carol tidak melakukan kesalahan seperti itu." Belva mendorong laptop yang berisi tentang video rekaman CCTV semalam. Tidak perlu menonton sampai selesai pun ia yakin yang dituduhkan kepada Carol salah.

Belva menghela napas sambil menyandarkan punggung. Kepalanya kembali berdenyut. Betapa kesalnya Belva pagi ini. Baru membuka mata, dia sudah menerima pesan dari Firman. Ada hal mendesak di hotel yang memaksa Belva berangkat lebih pagi. Bahkan ia harus melewatkan jadwal kopi di pagi hari. Padahal asupan kafein sangat penting bagi kewarasannya dalam menjaga mata agar tidak terpejam.

Belva pikir ada komplain dari tamu. Hal terburuk yang dia bayangkan adalah kerewelan para pemegang saham. Mereka memang terkadang mengajukan rapat dadakan terkait fluktuasi harga saham di pasaran. Hanya saja, setahu Belva, saham GWS seminggu terakhir ini relatif stabil. Jadi rasanya aneh jika mereka mendadak rewel.

Begitu sampai di lobi GWS, Belva sengaja tidak langsung ke parkir lantai 4. Firman meminta untuk bertemu di ruangannya. Belva menyerahkan kunci mobil kepada valet parking. Lalu bergegas menuju tempat pertemuan.

"Tapi di video itu jelas terlihat kalau mereka sedang serah terima barang, Pak." Marsya berjalan mendekat, kemudian berdiri di samping kursi Belva. Ditariknya kembali laptop ke arah Belva sambil menunjuk layar yang memutar kembali adegan Carol memberikan kotak kepada seorang lelaki.

"Kenapa kamu begitu yakin kalau kotak itu berisi kunci kamar?" Belva memutar kursi hingga menghadap Marsya yang berdiri menunduk di kanannya.

Marsya menegakkan tubuh, membetulkan kemeja yang sedikit tertekuk di bagian depan. "Lalu, apalagi isi kotak itu kalau bukan kunci, Pak?"

Belva tersenyum miring. "Kamu seyakin itu tanpa menanyai Carol."

Marsya berjalan memutari meja, lalu mengambil tempat di kursi depan Belva. Ia menyilangkan kaki dengan anggun. "Kenapa Bapak terus membela Carol? Apakah karena Bapak berteman dengannya? Atau karena Bapak merasa sungkan pada Pak Anthony?"

Belva yang semula membuka ponsel, dia ingin menanyakan posisi Carol saat ini. Sedari tadi ia belum sempat menanyakan kabar gadis itu. Belva yakin, saat ini Carol sedang bingung dan pasti ketakutan. Tuduhan yang diarahkan padanya bukan hal sepele. Jika tidak ada bukti yang meringankannya, bukan tidak mungkin Carol akan dipecat dengan tidak hormat. Mendengar ucapan Marsya, Belva meletakkan ponsel ke atas meja. "Apa maksudmu?"

Marsya melotot terkejut. "Bukannya Bapak yang merekomendasikan Carol ke Pak Anthony. Saya mendengar sendiri dari personalia kalau ada perintah langsung dari beliau untuk menerima Carol. Saya pikir, Pak Belva tahu."

Informasi yang Belva dengar kali ini bagai petir di siang bolong. Kenyataan papanya ada andil pada proses masuk Carol di Grand Wijaya merupakan tamparan keras bagi Belva. Pikiran negatif yang berusaha ia kubur pun kembali terkuak dalam satu waktu.

Kenangan akan hubungan Anthony dan Carol di masa lalu berputar seperti kaset usang di kepala Belva. Membuat pening yang dia rasakan kembali hadir. Bahkan berkali-kali lipat lebih berat. Hingga tanpa sadar Belva memijat pelipisnya.

Pertentangan batin kembali terjadi dalam diri Belva. Di satu sisi ingin menyangkal dan tidak memercayai ucapan Marsya. Namun, sisi lain menyalahkan atas kebodohannya yang mau ditipu oleh sikap kupura-puraan yang Carol tampilkan.

"Saya pikir Pak Belva yang meminta Pak Anthony untuk memasukkan Carol ke sini. Ternyata bukan, ya? Jadi mereka memang sudah kenal dari lama?" Dari ekspresi keterkejutan Belva, Marsya mengambil kesimpulan bahwa lelaki itu tidak ada sangkut pautnya dengan penerimaan Carol sebagai karyawan di sini.

Rahang Belva mengatup erat. Kepalan kedua tangannya di atas meja begitu kencang, hingga otot-otot tangannya menonjol. "Sialan." desis Belva sarat emosi.

Bisa-bisanya Carol menipunya separah ini. Bukan. Belva meralat pikirannya. Bagaimana bisa ia menjadi bodoh hingga mengabaikan fakta yang sudah ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Fakta bahwa Carol adalah wanita penghangat malam pria-pria hidung belang, seperti Anthony.

Amarah telah menutup logika Belva. Hingga sepanjang sidang di ruang Firman tadi siang, Belva tidak memikirkan hal lain. Tujuannya hanya satu: memecat Carol. Menendang gadis itu jauh-jauh dari kehidupannya.

Sehingga saat Carol menyusulnya, dengan sadis Belva mengucapkan kata-kata yang selama ini dia tahan. Belva sudah tidak peduli. Biarkan saja Carol sakit hati, karena kenyataannya memang seperti itu. Bahkan dia berpikir kalau Carol sering menjual kamar di bawah tangan kepada laki-laki pelanggannya.

Belva melempar jas dengan kasar ke atas meja kerja. Tak peduli hal itu membuat beberapa berkas jatuh berantakan. Kalau perlu ia ingin melempar vas bunga penghias meja kerja ke sembarang arah. Demi melampiaskan emosi yang sudah memuncak.

Belva sempat mempercayai Carol. Meyakini bahwa apa yang ia lihat belasan tahun lalu bukan seperti apa yang ia kira. Bahkan Belva kembali membiarkan gadis itu masuk ke hatinya. Mengisi kekosongan yang selama ini Belva biarkan begitu saja.

Setitik harap akan kebahagiaan sempat terbayang. Tak ia pungkiri, keinginan untuk diperhatikan, diberi limpahan kasih sayang, serta kehidupan berkeluarga seperti yang dimiliki kedua sahabatnya, mulai terbentuk sejak Belva membuka hati. Dan nama Carol terselip dalam harap tersebut.

Selama ini, tak ada satu wanita pun yang mampu menciptakan bayangan sedemikian rupa dalam angan seorang Belva. Suatu hubungan hangat penuh canda. Saling terbuka satu sama lain. Saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing pihak.

Selalu ada yang kurang dari semua wanita yang pernah dekat dengan Belva. Entah itu karena mereka tidak bisa menerima sifat buruk Belva atau sebaliknya. Sedangkan bersama Carol, semua terasa tepat.

Gadis itu selalu bisa mengimbangi Belva. Saat mulut pedas Belva kumat, Carol tidak pernah benar-benar marah. Sedikit jengkel, tapi bisa dengan cepat menetralkan emosinya. Lalu saat Belva sibuk dengan urusan pekerjaan, hingga lupa menanyakan kabar, Carol pun tidak merajuk. Carol selalu bisa menjadi pendengar yang baik, saat Belva punya masalah. Pun saat Belva membutuhkan saran, Carol dapat memberi masukan. Selain itu, Carol tidak mempermasalahkan kedekatan Belva dengan Cristal maupun Bella.

Belva paling tidak suka dengan gadis pencemburu. Ia butuh seseorang yang mampu memahaminya. Dia juga butuh sosok wanita yang keibuan. Sudah cukup banyak trauma yang Belva miliki berkaitan dengan sosok ibu. Wanita yang digadang-gadang menjadi pelindung saat dirinya lemah, nyatanya justru dialah yang mendorong Belva ke jurang.

Belva tidak ingin anak-anaknya kelak merasakan hal yang ia rasa. Ia tidak ingin anak-anaknya memiliki orang tua seperti yang ia punya. Oleh karena itu, Carol merupakan sosok yang tepat. Namun, kenyataan tentang Carol membuyarkan semua asa yang Belva miliki. Mengembalikan angan itu ke pahitnya hidup.

* * *

"Diminum dulu, Mbak." Samuel memberikan segelas teh hangat kepada Carol. Saat ini mereka sedang berada di warung makan belakang hotel.

"Rasanya gue pengin nyumpelin kaos kaki busuk ke mulut si Perawan Tua." Nia menggebrak meja hingga sang pemilik warung meliriknya tak suka. "Gue yakin, ini tuh akal-akalannya dia. Walau gue nggak suka sama lo," Nia menunjuk muka Carol, "tapi cara Perawan Tua kali ini nggak bermartabat banget."

Nia sama sekali tidak menggubris senggolan kaki Samuel di bawah meja. Lelaki itu mengirim sinyal agar Nia berhenti memaki Marsya. Dia tidak ingin Carol kembali bersedih.

Sedangkan Carol seolah tak mendengar rentetan kekesalan Nia. Dia menghidu aroma teh panas di depannya. Harum teh bercampur melati menyeruak ke pori-pori indera penciuman. Digenggamnya permukaan gelas. Panas yang menyengat membuat Carol kembali sadar bahwa ini bukan mimpi.

"Lo nggak berniat untuk nuntut Rudi?" Nia menggeser tubuh menghadap Carol secara langsung.

Mendengar nama Rudi disebut, membuat Carol kembali sesak. Kesal. Marah. Kecewa. Sedih. Jengkel. Dan berbagai emosi negatif lain berkumpul menjadi satu. Carol bingung harus bersikap bagaimana. Dia tidak paham bagaimana cara menetralkan emosi yang carut marut. Hingga membuat napasnya tersengal.

"Mbak, diminum dulu tehnya." Samuel tampak khawatir melihat reaksi Carol. Dia menjejak tulang kering Nia sambil memelototinya. "Mbak Carol, tenangin diri dulu saja. Kalau mau nangis nggak apa-apa. Jangan ditahan, Mbak."

Carol menyesap teh hangat di tangannya. Perlahan rasa manis menggantikan pahit di mulut. Ia baru sadar, teh ini asupan pertama yang ia terima sepanjang hari. Pantas saja bibirnya terasa kering dan pahit.

"Gue udah ngerasa ada yang nggak beres sama Rudi. Semalam dia sering banget pergi lho. Gue yakin, dia yang udah jual kamar-kamar itu." Nia menyayangkan tidak ada saksi atau bukti. "Lo juga sih, Sam, ngapain setuju waktu diajak si Brengsek itu ke minimarket."

Samuel mengembuskan napas panjang. Percuma melempar kode-kode ke Nia. Gadis itu sama sekali tidak peka. "Aku nggak tahu bakal ada kejadian seperti ini, Mbak."

"Aku ... aku harus gimana?" Ucapan pertama Carol setelah sekian lama, menarik atensi dua orang di depannya. Carol menatap bergantian Nia dan Samuel. Manik yang biasa memancarkan cahaya kini meredup. Sayu dan tampak lelah.

"Lo harus kuat. Buktiin kalau lo nggak salah." Sejahat-jahatnya Nia, tidak pernah sekalipun ia memiliki niat untuk mendepak Carol dari GWS. Apalagi dengan cara curang seperti ini.

Carol mengambil oksigen dengan susah payah. Rasanya ada beban berton-ton yang menimpa dadanya. Membuatnya kesulitan untuk bernapas.

"Tapi, nggak ada bukti. Lagian ... lagian tadi Pak Belva ...." Carol tak lagi dapat membendung lelehan air mata saat menyebut nama Belva. Ia hapus dengan cepat cairan yang mengalir di kedua pipi. "Aku udah dipecat."

Nia menggeleng. "Lo cuma dirumahkan. Masih ada kesempatan buat cari bukti."

"Nggak ada bukti, Ni. Nggak ada saksi juga." Suara Carol terdengar bergetar. "Nggak bakal ada yang percaya sama aku. Apalagi Rudi juga nggak mau ngaku. Padahal jelas-jelas dia yang ngasih kotak itu ke aku. Aku nggak bisa apa-apa, Ni. Bahkan ... bahkan Pak Belva juga udah nggak percaya sama aku."

Air mata kembali mengalir, membasahi kedua pipi Carol. Pertahanannya jebol. Isak tangis tak lagi dapat ia bendung. Mungkin lebih baik seperti ini. Supaya dadanya lebih lega. Samuel dan Nia membiarkan Carol menangis untuk sementara. Nia menyerahkan tisu ke depan Carol.

"Pak Belva nggak percaya sama lo?" ulang Nia heran. "Pasti akal-akalannya Perawan Tua. Kemarin aja Pak Belva masih bersikap biasa sama lo kan. Gue yakin 100% itu Nenek Grandong yang jadi dalang. Dia sengaja cari cara biar Pak Belva benci sama lo."

Carol membersit cairan hidung dengan tisu. Rasanya sedikit lebih ringan setelah menangis. "Kalau benar begitu aku bisa apa, Ni? Nggak ada bukti. Terus aku harus cari bukti ke mana? Kamu juga lihat aku udah coba bela diri, tapi nggak ada yang percaya. Jangan-jangan kalian juga nuduh aku yang jual kamar itu."

Nia mendengkus keras. "Lo pikir gue sejahat itu? Asal lo tahu, ya, gue selama ini kesel sama lo gara-gara sifat lo yang terlalu lurus. Gue yakin Rudi yang salah. Dengan dia nggak ngaku kalau kotak itu dari dia aja udah bisa jadi indikasi lho."

Samuel menepuk-nepuk punggung tangan Carol di atas meja. "Aku percaya sama Mbak Carol. Nanti aku bantu cari buktinya, Mbak. Pasti ada CCTV yang menangkap wajah lelaki itu. Aku bisa minta tolong Pak Kirman untuk mengirim seluruh rekaman kemarin."

Nia tertawa mengejek. Jangankan pegawai rendahan seperti Kirman yang hanya menjaga kamera pengawas. Nia yakin Marsya tentu sudah menyogok orang yang terkait dengan peristiwa semalam. "Lo pikir Pak Kirman bakal ngasih? Videonya pasti udah dihapus sama Perawan Tua duluan."

Samuel menggeleng. "Aku kenal dekat sama Pak Kirman. Kami sering ngopi bareng. Kalaupun dihapus, pasti masih ada back up-nya."

Ada setitik asa tertiup ke dalam diri Carol. "Terus kalau ada, aku harus gimana, Sam?"

"Kita cari bareng-bareng orang itu," jawab Samuel yakin.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top