🌶️🍭SCR-41🍭🌶️
Warning!
Sebelum baca, tolong siapkan obat penurun tekanan darah tinggi. Dan tolong jauhkan benda tajam, alat berat, besi, ataupun benda lain yang berbahaya. Takutnya bestie-ku emosi, tensi naik, trus main lempar barang. Wah, kalau ntar aku yang dimintai pertanggungjawaban kan repot.
Kalau bisa, bacanya di kamar sambil minum es. Biar adem.
Dunia Carol terasa runtuh. Kerja keras yang selama ini ia bangun, hancur seketika. Bertahun-tahun ia menjaga kepercayaan orang di sekitar, seperti tak ada gunanya. Mereka kini memandangnya sebelah mata.
Carol tak akan merasa terzalimi jika ia yang melakukan kesalahan. Tentu dia akan dengan ikhlas menerima semua keputusan yang dijatuhkan kepadanya. Namun, kali ini beda kasus. Jelas ada kesalahpahaman di sini.
Dalam satu tarikan napas panjang, Carol memberanikan diri untuk bersuara. Sangat tidak adil jika ia tak diberi kesempatan untuk membela diri. Terlebih dari tadi ucapan Marsya sangat memojokkannya. Carol harus meluruskan cerita yang ada sesuai dengan kenyataan.
"Saya bisa menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya, Pak. Laki-laki yang di video itu temannya Rudi. Saya cuma dimintai tolong Rudi untuk menyerahkan kotak itu ke temannya. Kebetulan saat—"
"Jadi sekarang kamu melempar kesalahan ke orang lain?" Marsya memotong ucapan Carol sambil tertawa sinis. Bibir merahnya melengkung membentuk senyuman miring. "Benar-benar memalukan."
"Bukan begitu, Bu." Refleks Carol meninggikan suara. Wajah putih itu memerah menahan emosi. "Kotak itu benar-benar milik Rudi. Saat itu Rudi ke minimarket dengan Nia dan Samuel. Sebelumnya, Rudi sudah berpesan kepada saya untuk menyerahkan barang kepada temannya. Kata Rudi, temannya nanti juga akan menitipkan surat lamaran kerja. Saya sama sekali tidak kenal dengan laki-laki di dalam video itu. Saya juga tidak tahu apa isi kotak itu."
Carol menatap Belva. Berharap lelaki itu akan mempercayainya. Dia tidak peduli dengan anggapan orang, yang penting Belva tidak menyalahkan Carol.
"Saya sama sekali tidak tahu tentang kotak itu, Pak." Rudi angkat suara dengan lantang.
Carol menoleh ke arah Rudi dengan cepat. Tidak menyangka Rudi akan menyangkal semua. "Kok kamu ngomong begitu, Rud?"
Rudi mendongakkan wajah dengan angkuh. Senyum miring samar-samar tercetak di wajahnya. "Saya memang tidak tahu soal barang itu."
"Tapi semalam kamu yang memberikan kotak itu ke aku. Kamu juga udah terima amplop coklat itu!" bentak Carol. Kekesalannya memuncak.
"Jangan teriak!" Marsya balas membentak Carol.
Carol mengalihkan pandangan ke arah Belva. Dia benar-benar berharap Belva bisa mempercayai dan membantunya menghadapi situasi ini. Namun, lelaki itu tetap bergeming. Begitu dingin dan cuek.
"Saya tidak pernah menjual kamar itu kepada siapa-siapa, Bu, Pak," bela Carol lagi. Namun, kali ini suaranya melemah. Semua bukti mengarah padanya. Bahkan Rudi pun lepas tangan. Menyerahkan semua masalah kepada Carol.
Marsya tertawa mengejek. "Lalu kamu pikir kami percaya begitu saja dengan ucapanmu? Jelas-jelas buktinya ada. Lebih baik kamu mengaku salah lalu minta maaf. Itu lebih bermartabat dibanding kamu mengelak."
Air mata sudah menggenang di pelupuk mata Carol. Dia menoleh ke arah Samuel dan Nia. Meminta bantuan dari mereka. Semalam Carol memang lebih banyak menghabiskan waktu di mejanya. Mengobrol dengan Nia atau Samuel pun hanya sekadarnya. Carol berharap dua temannya itu melihat atau mendengar obrolannya dengan Rudi.
"Maaf, Bu, saya yakin bukan Mbak Carol yang jual kamar itu." Samuel menegakkan tubuh. Mencoba memberi pembelaan pada Carol.
"Kamu tahu siapa yang melakukannya?" tanya Marsya. Tanpa repot memiringkan tubuh, Marsya hanya melirik sekilas ke arah Samuel. Disilangkan kakinya dengan anggun sembari ia bersedekap.
Samuel menggeleng. Punggungnya sudah tak setegap tadi.
"Kamu melihat Rudi menyerahkan kotak itu ke Carol?" Marsya kembali bertanya.
Samuel kembali menggeleng. Bahunya merosot.
"Kamu melihat Carol menyerahkan amplop berisi uang itu kepada Rudi? Kamu mendengar Rudi minta Carol untuk menyerahkan kotak kunci itu?" cecar Marsya.
"Amplop itu belum tentu berisi uang, Bu, dan kotak itu juga belum tentu berisi kunci kamar." Carol membalik ucapan Marsya. "Apa Ibu melihat isi kotak dan amplopnya? Apa Ibu dengar isi pembicaraan saya dengan laki-laki di video? Tidak bukan?"
Carol pernah menonton drama Korea tentang hukum dan pengadilan. Kebetulan dalam cerita itu banyak intrik dan konflik yang berhubungan dengan tindak kriminal. Carol jadi tahu, ternyata hukum pun bisa dipermainkan oleh kekuasaan. Yang selalu jadi korban adalah kaum lemah.
Pelajaran yang masih Carol ingat dari drama itu adalah: saat kamu tidak punya bukti, maka buatlah bukti itu. Pun sebaliknya. Jika alibimu kurang kuat, maka buatlah bukti itu menjadi lemah. Memang rasanya agak culas jika dipandang dari satu sisi. Namun, saat ini hanya cara itu yang dapat Carol pikirkan.
Melihat Marsya mengatupkan bibir erat, membuat keberanian Carol muncul. Dari tadi dia hanya dipojokkan. Bukankah dulu, Belva pernah berkata, "Semakin lo terlihat lemah, maka musuhmu akan semakin menginjak-injak diri lo."
"Ibu menuduh saya yang menjual kamar itu, tapi Ibu tidak bisa membuktikan bahwa isi kotak itu adalah kunci kamar. Ibu juga tidak bisa membuktikan isi amplop itu adalah uang. Yang Bu Marsya lakukan hanya menekan saya. Memojokkan saya tanpa adanya bukti yang kuat.
"Bukankah selain saya ada Mas Anjar yang lebih mungkin melakukannya? Bisa saja kan Mas Anjar melakukan transaksi di luar hotel? Bukankah semalam Mas Anjar sendirian? Peluangnya lebih besar ketimbang saya.
"Lagipula, saya sudah hafal letak CCTV di area lobi. Aneh kalau saya tidak takut ketahuan? Jelas-jelas seluruh tingkah laku saya akan terekam dalam CCTV ," ujar Carol panjang lebar.
"Kalau perlu, silakan Ibu periksa semua rekening saya. Jika ada aliran dana yang mencurigakan, silakan tuduh saya sudah melakukan tindak kejahatan. Namun, sampai bukti-bukti itu belum terkumpul, Ibu tidak bisa begitu saja menuduh saya." Dengan berani Carol menantang Marsya.
Carol sudah tidak peduli dengan pekerjaannya di GWS. Kalau toh dia akan dipecat, tidak masalah, selama nama baiknya tetap terjaga. Oleh karena itu, dia harus bisa membuktikan bahwa ada orang lain yang melakukan keculasan. Bukan dirinya.
"Video itu sudah sangat jelas." Marsya masih keukeuh mempertahankan pendapat.
"Buktinya kurang valid." Carol balas memandang tajam ke arah Marsya. Mereka sama-sama manusia yang makan nasi, jadi buat apa takut.
Firman berdeham. Bila dibiarkan tentunya tidak akan ada titik terang. Hanya akan saling menyalahkan. "Jadi, kami harus bagaimana, Pak?" Firman mengambil inisiatif untuk meminta kejelasan dari Belva.
"Sudah jelas, orang seperti ini harus kita pecat." Marsya dengan seenak hati memutuskan. Dengan angkuh, percaya diri, dan penuh keyakinan bahwa Belva akan sependapat dengannya.
"Jadi sekarang Anda general manajer di sini?" Akhirnya setelah sekian lama, Belva buka mulut. Dia menegakkan punggung, menautkan kesepuluh jari di atas meja, sambil memandang tajam ke arah Marsya.
Belva membenci Carol, tapi bukan berarti dia jadi menyukai Marsya. Justru saat ini kebenciannya terhadap Marsya semakin meningkat. Di satu sisi, Marsya membantunya membuka kedok Carol. Di sisi lain, Belva menjadi tahu alasan Carol bekerja di GWS. Pun dengan tingkah Carol yang culas.
"Saya hanya bermaksud membantu, Pak." Marsya mengangguk khidmad pada Belva. Berusaha menahan nafsu untuk segera mendepak Carol dari GWS.
Merasa situasi cenderung kurang nyaman, Firman kembali berdeham. "Jadi bagaimana, Pak Belva."
Perlahan Belva mengisi penuh paru-parunya dengan oksigen. Sedari tadi dadanya terasa sesak. Tak pernah ia bayangkan akan menghadapi permasalahan seperti ini yang berkaitan dengan Carol. Bukan hanya karena terkejut akan kenyataan bahwa Carol telah berbuat curang. Namun, satu tamparan pahit lah yang membuat hatinya kembali membatu.
"Kumpulkan semua bukti, lalu proses pemecatannya," ucap Belva dingin tanpa sekali pun memandang Carol.
Bagi Carol, ucapan Belva bagai petir di siang bolong. Bagaimana bisa Belva tidak memercayainya? Bagaimana bisa dengan mudahnya Belva memutuskan untuk memecat Carol? Padahal seharusnya Belva yang paling tahu bahwa Carol tidak mungkin berbuat hal yang dituduhkan.
"Baik, Pak." Ucapan Firman menjadi palu penutup dari sidang siang ini.
Tanpa diberi aba-aba, seluruh orang yang hadir dalam ruang turut berdiri saat Belva beranjak dari duduk. Keputusan telah ia buat. Tak ada alasan untuknya berlama-lama di sini.
Tatapan Carol mengikuti langkah Belva. Ia masih tidak percaya lelaki itu tega memecatnya sedemikian rupa, tanpa memberi Carol kesempatan untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Carol menggeleng pelan. Dia tidak bisa berdiam diri.
Tepat saat Belva melangkah keluar ruang, Carol berbalik lalu menyusul lelaki itu. Mungkin dengan bicara empat mata, Belva mau mendengarkan penjelasan Carol. Dan mau mencari kebenaran.
"Pak Belva, tunggu." Carol menginterupsi langkah Belva. Tidak memedulikan tatapan sadis Marsya yang berada di samping Belva.
"Kamu mau apa lagi? Jangan pikir karena kamu pernah berteman dengan Pak Belva, kamu punya keistimewaan di sini. Tidak peduli siapa yang membawamu masuk GWS, kalau kamu salah, tetap harus mendapat konsekuensi." Marsya menghalangi Carol mendekati Belva. Ia memasang tubuh di antara punggung Belva dan Carol.
Langkah Carol terhenti. "Apa maksud Bu Marsya?"
Marsya mengembuskan napas panjang. "Sudahlah, kamu jangan sok polos. Kami semua tahu, kamu masuk GWS atas rekomendasi Pak Anthony. Selama ini beliau sudah cukup banyak mendukungmu bukan? Apa kamu juga mau minta beliau membantumu untuk menyelesaikan masalah ini?" Marsya kembali bersuara.
Carol menggeleng tak paham. "Apa maksud Bu Marsya? Kapan Pak Anthony membantu saya? Saya tidak pernah berhubungan dengan—"
"Cukup!" bentak Belva. Suaranya sarat emosi. Sudah cukup selama ini ia dibodohi Carol dengan sikap polosnya itu. Sudah cukup selama ini ia membodohi dirinya sendiri dengan terus berpikir bahwa apa yang ia duga selama ini salah. Sudah cukup.
Belva berbalik. Tatapan penuh luka dan kebencian itu terpancar jelas di manik mata Belva. "Saya minta Anda pergi dari Grand Wijaya dengan baik-baik." Belva berjalan pelan memutus jarak antara dirinya dengan Carol. Ia menunduk, mendekatkan bibir ka telinga Carol, lalu berbisik, "Saya tidak peduli dengan hubungan Anda dengan Pak Anthony. Saya juga tidak peduli apa yang Anda lakukan dengan lelaki-lelaki itu di kamar semalam. Saya hanya tidak ingin nama baik Grand Wijaya tercoreng karena ulah Anda."
Belva kembali menegakkan tubuh. Kedua netranya menatap tajam manik mata Carol. "Silakan angkat kaki dari Grand Wijaya saat ini juga."
* * *
Apakah ngana pikir eike bakal segampang itu bikin hubungan Belva-Carol berjalan mulus?
Terus buat apa dong eike bikin tokoh Marsya.
Ho ho ho
Selamat menikmati, yagesya
💜💜💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top