🌶️🍭SCR-40🍭🌶️
"Bisa kamu jelaskan apa maksud ini semua?" tanya Firman dengan emosi tertahan.
Firman tak menyangka akan ada kejadian seperti ini. Tadi tepat pukul 6, saat matanya baru terbuka, anak hotel menghubungi. Memintanya segera datang ke hotel. Ia pikir ada rapat dadakan atau tamu penting. Seperti bulan lalu saat salah satu staf menteri pendidikan menginap di GWS.
Namun, kenyataan yang harus Firman hadapi kali ini berbeda 180 derajat. Saat Arya, executive housekeeper, menuntun ke lantai atas, bukan tamu VIP atau rapat dengan pimpinan yang Firman hadapi. Justru kamar yang berantakan seperti kapal pecah. Hal ini tentu membuat lelaki itu naik darah. Segera ia panggil seluruh karyawan yang bertugas tadi malam.
Carol yang baru tiba di lokasi kejadian pun ternganga menatap empat kamar di depannya. Dia ingat betul kamar 1105-1108 adalah milik Zara. Karena khusus untuk rombongan tersebut sengaja diberi 2 lantai penuh. Setelah rombongan Zara check out, Carol sudah mengonfirmasikan ke divisi housekeeper untuk membersihkan kamar. Bahkan kemarin sore Carol sendiri yang memastikan bahwa lantai 10 dan 11 sudah bersih. Namun, mengapa pagi ini empat kamar tersebut bisa berantakan?
Selimut berserakan begitu saja di depan pintu. Bantal guling tergeletak di lantai. Pecahan botol kaca ada di mana-mana. Seolah semalam baru terjadi perang di sini.
"Jelaskan ke kami sekarang juga!" perintah Firman tegas.
Carol memandang keempat orang di depannya dengan bingung. Selain Arya dan Firman, di sana ada Sigit selaku floor supervisor lantai 10-12, dan Sari, housekeeper tadi malam.
"Sa-saya tidak tahu, Pak," jawab Carol terbata. Dia benar-benar bingung. Bagaimana mungkin kamar yang seharusnya kosong, menjadi seperti ini. "Semalam saya sudah pastikan semua kamar di lantai 10 dan 11 bersih, Pak. Tapi kenapa—"
"Ini jelas ada yang menempati." Arya menimpali.
Carol mengangguk lemah. Semalam dia sudah menerima laporan dari Sari bahwa kamar selesai dibersihkan. Namun, kondisi saat ini jelas tidak dapat dibantah jika ada orang yang menempati kamar. Pertanyaannya adalah siapa yang berani masuk kamar? Dan yang jelas bagaimana caranya mereka mendapatkan kunci?
"Kamu yakin tidak menjual kamar?" Firman menatap Carol penuh curiga.
Mendapat tuduhan seperti itu jelas membuat Carol terkejut. Dia tahu dengan jelas arah ucapan Firman. Menjual kamar yang dimaksud atasannya itu bukan sekadar menyerahkan kunci kamar ke tamu seperti biasa.
Akan tetapi, memberikan kamar bekas pakai orang lain kepada tamu baru. Seperti contoh kasus saat ini. Seluruh kamar di lantai 10-11 seharusnya masih ditempati oleh rombongan Zara. Namun, karena mereka check out sebelum batas waktu yaitu siang hari ini, maka kamar itu kosong. Seharusnya seluruh kamar tersebut tidak diperbolehkan untuk dipakai orang lain.
Beberapa—hanya segelintir oknum nakal—resepsionis menjual kamar-kamar tersebut dengan harga miring. Tentu saja hal tersebut tidak akan masuk ke dalam sistem. Uang dari tamu akan masuk ke dalam saku pribadi si resepsionis. Biasanya dia akan membagi sebagian kepada bagian housekeeper yang bertugas.
Carol tahu benar konsekuensi yang harus ia hadapi jika nekat melakukan tindakan ilegal tersebut. Dia tidak seberani dan sebodoh itu. Bahkan kalaupun berani, Carol tidak akan sudi. Bagi Carol, sekecil apapun pendapatannya yang penting halal.
"Saya sama sekali tidak tahu tentang hal ini, Pak." Carol dengan tegas membela diri. "Kemarin sore setelah Bu Zara check out, saya hanya menerima 15 tamu. Beberapa di antaranya sudah memesan kamar jauh hari. Semua tamu tercatat di dalam sistem. Bahkan saat pergantian shift dengan Mas Anjar pun semua masih sama."
Carol bukan menuduh, tapi bukankah lebih mungkin Anjar yang melakukan kecurangan ketimbang dirinya? Semalam Anjar jaga seorang diri. Tentu lebih mudah memasukkan tamu diam-diam tanpa dicurigai oleh GRO atau satpam.
"Anjar sedang diinterogasi Lilik di bawah." Firman kembali menatap tajam ke arah Carol. "Kamu tahu bukan, saya selalu mempercayaimu. Jangan sampai kamu menyia-nyiakan kepercayaan saya."
Carol menelan saliva dengan susah payah. Dia tidak takut, karena merasa benar. Namun, tetap saja perasaannya kalut. Selama bertahun-tahun bekerja di GWS, baru sekali ini Carol bersinggungan dengan masalah besar. Jika sampai ada sedikit saja bukti yang mengarahkan Carol akan tindakan curang tersebut, bukan tidak mungkin ia akan dikeluarkan secara tidak hormat.
Oleh karena itu, sembari menunggu Anjar selesai diinvestigasi oleh asisten manajer front office, Carol kembali memutar ingatan akan serangkaian peristiwa semalam. Carol ingat betul, setelah rombongan Zara pergi, ada sepasang suami istri paruh baya yang check in. Mereka memilih lantai bawah yang dekat dengan kolam renang.
Lalu tamu VIP di presiden suit yang sudah memesan kamar. Kemudian beberapa tamu datang bergantian. Namun, tak ada satu pun yang ia beri kamar di lantai 11. Semua tercatat di sistem.
Carol kembali mengecek laporan yang ia tulis. Benar. Tidak ada kesalahan sistem seperti yang ia ingat. Bahkan detail wajah setiap tamu pun ia masih bisa menggambarkannya.
Semalam tak ada hal yang mencurigakan. Ya, kecuali Rudi yang terus-terusan izin dari meja resepsionis. Dan seorang teman Rudi yang menitipkan barang melalui Carol.
Carol tersentak saat menyadari sesuatu. Jantungnya tiba-tiba berdetak tak menentu, saat sekelebat peristiwa mungkin menjadi penyebab kekacauan pagi ini. Semalam, kurang lebih pukul 10, Rudi izin membeli panganan di minimarket sebelah. Ia menitipkan kotak hijau yang dibungkus rapat kepada Carol. Katanya barang milik temannya yang terbawa oleh Rudi.
Jadi, Rudi berpesan jika ada lelaki yang mencarinya, Carol hanya perlu memberikan kotak itu. Dan Rudi pun meminta Carol untuk menerima amplop yang katanya berisi berkas lamaran pekerjaan. Memang bagian purchasing sedang mencari karyawan baru. Carol pikir Rudi membantu temannya untuk memasukkan lamaran pekerjaan.
"Carol," Firman memanggil Carol untuk masuk ke ruangannya. Cukup lama Carol menunggu di luar. Ada lebih dari tiga jam. Satu per satu karyawan yang terlibat ditanyai. Nia, Samuel, dan Rudi pun ikut dipanggil menghadap.
Dengan hati kebat-kebit, Carol melangkah masuk. Seandainya sekelebat peristiwa tadi tidak hadir, mungkin tak ada yang perlu Carol khawatirkan. Namun, saat ini nyalinya sedikit menciut. Ada firasat buruk akan kejadian semalam.
Carol mengedarkan pandangan ke penjuru ruang. Tampak Samuel, Anjar, Sari, dan Nia duduk berjajar sembari menunduk di kursi pojok ruang. Rudi duduk santai di arm chair samping Firman. Marsya, Arya, dan Lilik duduk bersisian di sofa panjang. Sedangkan Belva menduduki kursi Firman.
Carol sempat melihat raut muka keruh dari Belva. Tatapan lelaki itu sama seperti saat pertama kali mereka bertemu di GWS. Begitu dingin dan memandang rendah Carol. Padahal Carol berharap Belva akan memberinya dukungan moral.
"Duduk." Marsya lah yang memberi perintah bukan Belva.
Satu-satunya bangku yang tersisa hanya arm chair yang terletak di tengah ruang. Sepertinya memang sengaja diletakkan di sana. Carol menggigiti bibir bawah sambil meremas kuat telapak tangan. Tatapan tajam dari para pimpinan di depannya seolah menelanjangi Carol. Membuatnya merasa terintimidasi.
"Kamu masih bersikukuh tidak bersalah?"
Bagi Carol, ucapan Marsya tadi bukanlah sebuah pertanyaan, tapi suatu penegasan. Terlebih pancaran sinis yang ditujukan padanya dan senyum menghina yang sangat kentara. Seandainya tidak ingat kalau saat ini Marsya adalah pimpinannya, tentu Carol sudah membalas tatapan itu dengan tajam.
"Saya memang tidak bersalah, Bu," jawab Carol yakin.
"Walau semua bukti mengarah kepadamu?"
Carol terperanjat. Kedua bola matanya membola. Bibirnya reflek terbuka. Tak percaya dengan perkataan Marsya. "Bukti? Bukti apa, Bu?"
Gimana bisa ada bukti? Aku nggak ngelakuin apa-apa kok ada bukti? batin Carol bergejolak.
"Dari rekaman CCTV, pada pukul 22.17 kamu menerima seorang tamu laki-laki. Kamu memberikan kantong hitam kepada orang tersebut. Dia juga menyerahkan amplop coklat kepadamu. Kami yakin, kalian tengah melakukan pertukaran kunci dan uang tunai," lanjut Marsya.
"Saya tidak pernah melakukan hal memalukan seperti itu, Bu," tegas Carol. Suaranya mulai meninggi menahan geram. Difitnah seperti ini membuat harga dirinya terluka. "Saya tahu aturan di GWS, saya tidak pernah melanggar aturan yang ada."
Marsya menggebrak meja di depannya. Membuat seluruh orang yang hadir di ruangan itu terperanjat. Tidak mengira dia seberani itu berbuat kekerasan di depan Belva.
"Sudah ada bukti konkret dan kamu masih mengelak? Memang tidak tahu malu." Marsya terus mengungkit bukti yang Carol tidak tahu.
"Boleh saya lihat buktinya?" tantang Carol.
Marsya mempersilakan Firman untuk menyalakan rekaman video dari laptop. Carol sempat melihat sekilas ke arah Belva. Namun, lelaki itu masih diam dengan angkuh. Bahkan saat Carol memberi kode untuk membantunya, Belva membuang muka. Seolah tak ingin melihat wajah Carol lagi.
Dengan penuh kebingungan Carol menggeser kursi mendekat ke meja. Dia perlu melihat sendiri video yang dituduhkan padanya. Beberapa saat Firman mengatur pemutaran rekaman. Setelah layar menampilkan situasi lobi semalam, Firman menyingkir, membiarkan Carol melihat dengan jelas.
Tidak ada hal aneh dalam satu menit pertama. Hanya ada Carol seorang diri di meja resepsionis. Carol mencari keberadaan Nia dan Samuel. Namun, nihil. Kedua orang itu tak terekam dalam video. Secara otomatis di lobi hanya ada Carol seorang diri.
Carol baru ingat, semalam Nia dan Samuel sempat keluar mengikuti Rudi untuk membeli kopi. Samuel mengeluh mengantuk, sedangkan Nia butuh waktu untuk menghubungi kekasihnya. Semalam Nia tidak bawa kendaraan, jadi dia ingin meminta pacarnya agar menjemput sepulang kerja.
Carol tercekat saat beberapa detik kemudian masuk seorang pria berjaket hitam dengan topi menutupi sebagian wajah. Carol ingat orang ini. Dia teman Rudi.
Tampak jelas di dalam video bagaimana Carol menyerahkan kotak dan menerima amplop coklat. Carol akui, gerak-geriknya tampak mencurigakan. Beberapa kali Carol menoleh ke sana kemari seperti sedang mengamati situasi. Namun, kejadian sesungguhnya adalah Carol berusaha mencari keberadaan Rudi.
"Bukti sudah ada. Apa kamu mau membantah lagi?" cecar Marsya begitu rekaman selesai diputar.
Carol terduduk lemas di kursi. Ia tak menyangka kecerobohannya semalam membuatnya terjebak dalam masalah pelik seperti ini. Siapa pun yang melihat rekaman video itu tentu mengira bahwa Carol lah pelakunya. Bahkan saat Carol menatap Belva, lelaki itu memandangnya dengan angkuh. Terlihat jelas ketidakpercayaan Belva terhadap dirinya.
Segini dulu yagesya ....
Gimana nih cerita di bab 40?
Seru, kurang seru, atau nggak seru sama sekali?
Kasih masukan dooong ....
Borahae
💜💜💜💜💜💜💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top