🌶🍭SCR-4🍭🌶
"Tadi pagi, gue denger lo ada masalah di parkiran, ya, Va?" tanya Cristal saat mereka sedang menuju kantin di ujung lorong lantai empat.
"Nah, dari tadi gue mau tanya, tapi Bu Fitri ngeliatin kita mulu. Ada apa sih, Va?" tambah Bella.
Belva menaikkan kedua bahu. "Gue ketiban sial, pagi-pagi ketemu Singa Betina."
"Siapa?" tanya Bella sambil mencari meja kosong. Sedangkan Cristal memesan makanan untuk mereka bertiga.
Lagi-lagi Belva menaikkan kedua bahu. "Harus banget gue kenal semua siswi di sekolah ini demi kekepoan lo?"
"Terus gimana ceritanya lo bisa ada masalah sama orang asing? Jangan-jangan lo bikin ulah tanpa sadar, Va. Mulut lo 'kan jahat banget tuh. Kali aja lo nyakitin orang atau apa gitu."
Meja di dekat pintu masuk menjadi satu-satunya pilihan mereka. Rupanya banyak yang malas turun ke kantin lantai dasar, sehingga kantin ini begitu padat.
Belva menyandarkan punggung sambil memasang earphone. "Kapan gue pernah bikin orang sakit hati?"
"Eh, lo nggak sadar atau pura-pura bego sih?" Bella mendudukkan diri tepat di depan Belva.
Belva memajukan tubuh lalu menoyor kening Bella. "Gue nggak suka dikatai bego sama orang bego."
"Tuh, mulut kayak gitu bisa-bisanya nggak jahat." Bella memelototi cowok yang kini memejamkan mata sambil bersandar.
"Nih makanan kalian." Cristal meletakkan nampan berisi tiga piring siomay dan tiga gelas es jeruk, lalu duduk di sebelah Bella. "Punya lo yang sedotannya gue tekuk, Bel."
"Kamsahamnida, Oenni." Bella menata piring dan gelas ke atas meja.
"Lo beneran nggak kenal, Va?"
Belva menanggapi pertanyaan Cristal dengan gelengan singkat. "Paling anak kurang kerjaan." Bukan sekali dua kali siswi-siswi Wijaya Kusuma berusaha menarik perhatian Belva.
"Akhirnya ketemu juga!"
Gebrakan di meja serta teriakan seorang gadis, membuat sendok Belva terhenti tepat di depan mulut. Dia paling benci ada yang mengganggu saat makan.
"Sekarang kamu nggak bisa lari lagi. Pokoknya aku minta kamu untuk tanggung jawab!"
Bella spontan menyemburkan makanan hingga mengenai tangan kiri Belva. "Lo ngehamilin anak orang, Va?" pekiknya ngeri.
Belva mendorong piring dengan kasar sambil memelototi Bella. Kapan hidupnya bisa tenang? Bahkan untuk makan saja diganggu cewek tidak jelas. Ditambah makanannya sudah terkontaminasi dengan semburan Bella. Nafsu makannya sudah menguap tak bersisa.
"Enggaklah!" Carol melotot ke arah Bella, lalu kembali beralih ke Belva. "Kamu jangan diam aja! Dari kemarin kamu udah bikin aku celaka, tapi nggak ada satu pun pertanggungjawaban dari kamu."
Belva menautkan kesepuluh jari di atas meja seraya mengamati secara langsung Singa Betina yang mengganggunya dari tadi pagi. Wajah mungil dengan hidung mancung dan bibir kecil menyapa netra Belva. Tadi pagi Belva tidak begitu memperhatikan wajah gadis yang menggebrak mobilnya. Belva mengamati dari atas ke bawah. Mungkin karena terbiasa bergaul dengan Bella dan Cristal—yang mempunyai tinggi di atas rata-rata—membuat Belva sedikit terkejut.
"Lo anak Wijaya Kusuma? Bukan dari TK sebelah?"
Netra coklat itu memelototi Belva tanpa berkedip. "Jangan ngalihin pembicaraan! Kamu mau harus tanggung jawab." Carol mengangkat poni demi memperlihatkan lebam di keningnya. "Ini!" Carol menunjuk ujung hidungnya yang dihiasi luka lecet.
"Terus ini!" Telunjuknya berpindah ke betis belakang yang tertutup kaus kaki. Tampak jelas bercak hitam bekas benturan dengan bemper mobil Belva tadi pagi. "Dan aku bukan anak TK!"
Belva mengerutkan kening. Sekelebat ingatan tentang tragedi di tangga sepulang sekolah kemarin membuatnya memijat pelipis.
Oke, ternyata Bella benar. Gue bikin ulah tanpa sadar, batin Belva. "Gue—"
"Kemarin kamu main kabur begitu aja. Padahal aku nggak ada salah sama kamu lho! Aku panggil malah lari. Aku kejar, kamunya ngebut. Kamu pikir nggak sakit apa jatuh dari tangga? Lihat nih, lutut sama hidungku masih lecet. Ini juga birunya nggak ilang-ilang. Udah gitu tadi pagi kamu mau nabrak aku. Betisku sakit tahu! Jangan mentang-mentang orang kaya, terus bisa seenaknya sendiri dong. Kalau salah itu ya tanggung jawab."
Belva meluruskan kedua kaki di bawah meja. Berkali-kali Bella dan Cristal menendang telapak kakinya sambil melempar tatapan penuh pertanyaan.
"Sudah marah-marahnya?" Belva menaikkan sebelah alisnya.
"Aku juga nggak bakal marah kalau dari kemarin kamu nggak lari. Lagian apa sih susahnya nolongin aku sebentar? Aku juga nggak minta duit kok. Tapi paling enggak, tunjukin kalau kamu cowok!"
"Memangnya lo nggak bisa bedain mana cowok dan mana cewek? Apa butuh pelajaran biologi level dasar lagi?" gerutu Belva lirih.
Cristal menendang tulang kering Belva. Dengan senyum tulus, dia menggantikan Belva untuk meminta maaf, "Maafin cowok satu ini, ya. Mulutnya memang nyebelin. Kalau boleh tahu, ceritanya gimana sih?"
Cristal mengode Bella untuk pindah ke sebelah Belva agar Carol bisa duduk di sebelahnya. Dengan penuh semangat Carol menceritakan detail kejadian kemarin dan pagi ini. Tanpa titik dan koma.
"Astaga, Va! Gue malu temenan sama lo. Pantesan Carol nguber-nguber lo sampe segitunya. Kalau ceritanya kayak begini sih, gue pasti ngelakuin hal yang sama. Kalau perlu, gue lapor ke polisi." Dengan kesal Bella memukul lengan Belva.
Seorang gadis dengan mulut tanpa rem saja sudah membuat telinga Belva berdenging. Sekarang ditambah dahsyatnya amukan Bella. Dijamin hidup Belva tidak akan tenang. Harapan satu-satunya ada di tangan Cristal.
"Gue nggak berusaha ngebelain Belva. Dia salah. Salah banget. Tapi ... gue temenan sama cowok satu ini udah dua tahun lebih. Gue yakin, kemarin pasti ada alasan yang jelas kenapa Belva nggak nolongin lo." Cristal menjelaskan dengan tenang.
Diam-diam Belva tersenyum samar. Dari dulu memang Cristal yang selalu bisa dia andalkan. Bukan berarti Belva berdiri di balik punggung perempuan, tapi dia baru malas untuk membela diri. Dan Cristal sudah paham betul tabiat Belva.
"Aku 'kan nggak kenal sama dia." Carol menunjuk hidung Belva masih dengan wajah kesal. "Kemarin harusnya sebelum pergi, kamu bilang sesuatu dulu ke aku. Terus tadi pagi juga harusnya jangan seenaknya main klakson sama nabrak orang dong. 'Kan nggak semua orang paham tabiat nyebelin kamu."
"Makanya kalau ngalamun jangan di tengah jalan," gumam Belva tak terima disalahkan.
"Eh, kamu bilang apa? Jadi maksudnya aku yang salah gitu? Wah ... wah ... nggak beres ini cowok. Kamu sehat nggak sih? Jelas-jelas tadi pagi aku udah jalan di lajur kiri. Lagian sebelah kanan itu masih luas. Kamu mau jungkir jempalik, rol depan rol belakang, bahkan sambil main bola di sana juga masih bisa. Kalau mau jalan bebas hambatan, bikin jalan sendiri sana. Pakai acara ngomong kalau sekolah ini punya bapakmu pula." Carol mendengkus kesal.
"Lo anak baru, ya?" tanya Bella.
Carol mengangguk bersemangat. "Iya, aku baru masuk dua hari ini."
"Oh pantes," gumam Bella.
"Kenapa memangnya? Ini cowok memang suka bikin masalah, ya?"
Cristal menggeleng cepat. Dia harus meluruskan kesalahpahaman ini. Jangan sampai Carol berpikiran negatif tentang Belva dan akhirnya tersebar rumor yang bisa didengar Anthony.
"Sebenarnya, Belva ini—"
"Udahlah, nggak perlu jelasin ke dia. Nggak penting juga." Belva beranjak dari duduk dengan santai.
"Nggak penting? Jadi menurutmu bikin aku kayak gini itu nggak penting?" Carol ikut berdiri. Dia masih tidak ikhlas melepaskan Belva begitu saja.
"Lo maunya gimana? Itu jidat udah lo kasih obat 'kan?" Belva berdiri tepat di depan Carol. Dia baru sadar tinggi gadis di depannya ini tak lebih dari batas bahu. Membuat Belva harus menunduk.
Carol mengangguk. Yanti sudah memberinya salep supaya tidak semakin memar.
"Hidung lo juga nggak patah 'kan?"
"Enggak sih, tapi---"
"Kaki lo masih berfungsi 'kan?"
"Ya, masih. Tapi 'kan—"
"Masalahnya di mana? Gue lihat lo baik-baik aja. Atau jangan-jangan lo sengaja cari perkara biar gue merhatiin lo? Sorry, tapi cara lo salah," ucap Belva sambil melenggang meninggalkan kantin.
Carol memandangi punggung Belva yang semakin menjauh dengan tampang bengong. Setelah sosok Belva tak lagi terlihat, nyawa Carol baru sepenuhnya kembali.
Dia langsung menatap kedua gadis di depannya bergantian. "Maksudnya tadi gimana?"
Bella terkikik melihat tampang Carol yang kebingungan. "Gue mewakili Si Kulkas Dua Pintu itu minta maaf ke lo. Tolong omongan ngaconya tadi jangan lo masukin hati. Dia memang kayak gitu."
Cristal menambahi dengan lebih serius, "Nanti biar gue yang ngasih pelajaran ke Belva. Gue juga minta maaf, ya. Anak itu memang kadang nyebelin."
Sebenarnya Carol masih belum bisa memaafkan Belva. Bukan cuma karena belum meminta maaf secara langsung, tapi cowok itu sama sekali tidak menyadari kesalahan yang sudah diperbuat. Carol tidak berharap diperlakukan spesial. Tidak perlu dibawa ke dokter atau Belva harus mengumumkan permintaan maaf di depan seluruh siswa. Cukup pengakuan salah dan permintaan maaf yang tulus. Itu saja. Rupanya harapan Carol hanya tinggal harapan. Belva terlalu angkuh untuk mengucapkan sepenggal kata maaf.
* * *
Jangan lupa vote tanda bintangnya, ya .... Komen juga dooong, biar aku tambah semangat ngetik
Borahae
💜💜💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top