🌶️🍭SCR-38🍭🌶️

Udara siang ini begitu gerah. Pukul 11.00 lebih dan matahari bersinar terang tepat di atas kepala. Saking menyengatnya, Carol yakin telur pun bisa matang jika diletakkan di halaman parkir GWS. Ditambah angin yang berembus pun begitu panas. Membuat Carol harus mengoleskan pelembab ekstra. Dia tidak ingin kulit kaki dan tangan bersisik seperti ular.

Berdasar berita cuaca yang Carol baca di salah satu harian online, BMKG menjelaskan bahwa fenomena cuaca ekstrim ini akan berlangsung sekitar 1 sampai 2 minggu ke depan. Pihak BMKG menyampaikan, kondisi ini menandakan Indonesia tengah memasuki musim pancaroba. Padahal seingat Carol saat pelajaran IPA dulu, peralihan dari musim kemarau ke penghujan terjadi antara September hingga November. Mungkin karena perubahan iklim dan kerusakan di bumi, sudah memasuki Desember cuaca masih tak menentu.

Hujan hanya sesekali turun. Itu pun gerimis kecil. Hanya sekadar membasahi pucuk daun, tak sampai membuat Jakarta banjir seperti tahun lalu.

Untung saja Carol bekerja di ruangan ber-AC. Berdiri berjam-jam pun rasanya tidak begitu berat jika dibanding harus merasakan panasnya hawa di luar. Membayangkan bekerja di bawah terik matahari lebih dari 1 jam membuat Carol bergidik ngeri.

"Kamu sudah datang?" tanya Firman yang kebetulan melewati ruang karyawan. Ia menghentikan langkah saat melihat Carol memasukkan tube pelembab kulit ke dalam tas.

Seingat Firman, hari ini jadwal Carol masuk shift siang. Biasanya gadis itu datang paling cepat 30 menit sebelum pergantian shift. Sedangkan kali ini masih ada jeda waktu lebih dari 3 jam sampai pukul 15.00 nanti.

"Saya ada janji dengan teman, Pak, jadi sekalian berangkat saja." Carol menutup loker setelah memastikan seluruh barang tersimpan. Dia masih membawa ponsel di saku. Nanti saat mulai pergantian shift baru akan ia masukkan ke loker.

Terkadang anak-anak front office tidak menyimpan telepon genggam ke loker. Tidak masalah sebenarnya asal bisa mematikan nada dering. Yang terpenting jangan sampai main ponsel untuk hal tidak penting di jam kerja. Apalagi kalau sampai ketahuan Firman. Dijamin surat peringatan akan mendarat di kening.

Firman mengangguk paham. Cukup lama ia berdiri di ambang pintu. Bimbang ingin mengatakan isi pikirannya atau kembali ke ruang kerja. Akhirnya keputusan ia ambil. "Saya bukan kepo atau ikut campur, tapi ...." Ada jeda beberapa detik sebelum manager front office itu melanjutkan ucapan, "temanmu itu bukan Pak Belva kan?"

Carol yang tadinya ingin pamit menuju restoran, mengurungkan niat. Tidak biasanya Firman menanyakan hal pribadi. "Bukan, Pak."

Firman berdeham kikuk. "Saya tidak ada maksud ikut campur masalah pribadimu, tapi gosip tentang kamu dan Pak Belva sudah menyebar. Saya hanya tidak ingin orang-orang membicarakan hal buruk tentangmu."

Carol tersenyum kaku. Akhirnya apa yang ia khawatirkan terjadi. Isu miring tentangnya sampai juga di telinga Firman. Walau Carol yakin, hal ini sudah lama Firman ketahui. Hanya saja lelaki berkumis tipis itu masih menjaga privasi Carol.

"Tolong kamu jangan salah paham dengan maksud saya," tambah Firman cepat.

Carol menggeleng. Ia tahu pimpinannya itu hanya melakukan tugas. Bagaimana pun Carol berada di bawah divisi Firman. Jika ada permasalahan yang berhubungan dengan anak buahnya, tentu Firman tidak akan tinggal diam.

"Saya memang berteman dengan Pak Belva, Pak, tapi tidak lebih. Kebetulan saya sering bertemu dengan sahabat-sahabat Pak Belva, jadi kesannya kami dekat. Padahal biasa saja."

Firman mengulas senyum lega. "Kamu tentu sadar bahwa sebelum gosipmu dengan Pak Belva, sudah ada isu tentang hubungan beliau dengan seseorang. Saya tidak ingin kamu mendapat masalah dengan sesama karyawan GWS."

Carol tahu siapa orang yang dimaksud oleh Firman. Beberapa kali Kirana sudah memperingatkannya tentang perubahan sikap Marsya. Yang awalnya ramah, selalu menyapa sembari menebar senyum saat lewat di meja resepsionis, sekarang jauh berbeda. Jangankan menyapa, untuk melirik mereka pun seperti enggan. Kalaupun Marsya mampir ke resepsionis, pasti untuk marah-marah.

Beberapa kali front office kena tegur karena masalah kecil. Seperti Nia yang salah menginput data tamu dalam laporan keuangan hingga muncul selisih yang tak lebih dari seratus ribu rupiah. Kirana yang lupa memasukkan kolom PPN ke laporan kasir. Hingga masalah sepele yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan bagian keuangan. Bahkan Firman saja tak mempermasalahkan berlebihan.

Nia sering menyindir Carol mengenai sikap Marsya. Karena menurut Nia, permasalahan utama Marsya ada pada Carol. Namun, sampai detik ini tidak ada satu pun kesalahan yang dilakukan oleh Carol. Sehingga Marsya mencari-cari masalah dengan lingkungan terdekat Carol. Kalau kata Nia, Carol itu perebut laki orang, sedangkan Marsya adalah Nenek Lampir atau Perawan Tua.

Padahal menurut Carol tidak ada yang perlu dicemburui antara dirinya dan Belva. Kedekatan mereka masih dalam batas wajar. Bahkan kalau ada yang pernah melihat interaksi Belva dengan Bella atau Cristal, jelas lebih parah. Bella tak segan untuk makan dari piring yang sama dengan Belva. Belva sering merangkul pinggang Cristal. Lelaki itu juga terbiasa tidur di kamar kedua sahabatnya.

"Lo mikirin apa?" Tepukan Cristal di pundak Carol menyadarkannya dari lamunan.

"Mana Bella?" Carol balik bertanya. Ia beranjak dari duduk lalu berpelukan sejenak dengan Cristal. "Lho Alvin nggak ikut, Cris?"

Cristal menggeser kursi yang berada di depan Carol agar memudahkannya untuk duduk. "Mumpung papinya di rumah, gue tinggal tuh anak. Sekali-sekali gue pengin ngerasain jadi perawan lagi dong. Paling Bella sebentar lagi sampe."

"Yah, padahal aku kangen sama Alvin. Eh, kamu udah bilang ke Bella kalau kita pindah tempat belum?"

Rencana awal, mereka makan siang di resto dalam. Karena tidak memperkirakan siang ini resto akan membeludak, mereka kehabisan meja. Alhasil Carol hanya bisa mendapatkan meja di dekat kolam renang. Untungnya lokasi ini dekat dengan pohon palem dan tertutup tirai bambu, sehingga sinar matahari tidak langsung menyapa kulit.

"Tadi gue udah nelpon Bella di jalan. Lo udah pesen makan belum?" Cristal membolak-balik buku menu. Tadi Carol sengaja meminta pramusaji untuk meninggalkan menu supaya Bella dan Cristal bisa langsung memilih makanan.

"Aku nunggu kalian lah. Nggak enak banget kalau makananku udah nyampe, tapi kalian belum dateng."

"Belva kok belum dateng? Memangnya dia ada rapat atau gimana?"

Carol mengerutkan kening. Dia tidak tahu kalau ternyata Belva pun ikut makan siang dengan mereka. "Aku nggak ngerti jadwalnya. Memangnya kamu nggak hubungi dia?"

Cristal menggeleng sambil lalu. "Yang ngajak Belva kan si Bella. Jadinya gue nggak tahu itu anak bisa gabung atau nggak."

Semoga nggak bisa, batin Carol. Baru saja ia kena tegur Firman. Bisa tambah kacau kalau sampai mereka terlihat bersama, meskipun di sini ada Bella dan Cristal.

"Nah itu Bella dateng."

Carol menoleh. Diam-diam mengembuskan napas lega karena tidak mendapati Belva.

"Dasar tukang molor. Bisa nggak sih lo tepat waktu," keluh Cristal begitu Bella duduk di sampingnya.

"Sorry, jalanan macet."

"Jalan terus yang lo salahin." Cristal masih mengomel. "Belva ikut nggak? Gue udah laper nih."

Bella mengeluarkan ponsel dari sling bag pink. "Nggak ada balasan."

"Kita pesan dulu yuk. Resto baru rame banget, nanti bisa tambah lama nunggunya." Carol mencari jalan aman dengan menyodorkan menu ke Bella. Dia dan Cristal tadi sudah menulis pesanan.

"Gue sama kayak Cristal aja." Bella mendorong menu menjauh, lalu kembali menekuri telepon genggam. "Coba lo yang hubungi Belva," ucap Bella kepada Carol. Dia sudah menyerah untuk menghubungi laki-laki itu.

Carol menggeleng. "Belva nggak usah diajak aja, Bel," ujar Carol pelan.

Penolakan Carol jelas mengundang tanya dari Cristal dan Bella. Setelah pramusaji mengambil buku menu dan daftar pesanan mereka, Cristal buka suara, "Kalian berantem lagi?"

"Nggak gitu, Cris, tapi anak-anak pada ngomongin aku sama Belva. Apalagi sekarang kan Belva baru dekat sama Bu Marsya, aku nggak enak kalau sering-sering kelihatan bareng sama Belva."

"Apa lo bilang?" Suara Bella melengking terkejut. "Marsya? Si Kuntilanak Merah?"

Hampir saja Carol menyemburkan tawa. Bella masih belum berubah, suka sekali memberi julukan orang. "Bu Marsya itu manajer keuangan GWS yang baru, Bel."

Bella menoleh menghadap Cristal. "Ini Marsya yang dulu apa beda, Cris? Memangnya si Kunti kerja di sini? Terus Belva balikan gitu sama Kuntilanak Merah?"

"Kuntilanak merah siapa sih?" Carol balik bertanya.

Dengkusan keras lolos dari bibir Bella. "Itu mantannya Belva waktu zaman penjajahan. Memang ya tuh Kunti nggak tahu malu banget. Ngapain ngejar-ngejar Belva lagi? Mau morotin Belva lagi atau gimana? Lagian Belva juga ngapain ngeladenin Kunti lagi sih? Kalau akhirnya cuma mau balikan sama tu Kunti, mending Belva tetep di Ausie aja. Lo udah tahu masalah ini, Cris?"

Cristal menyandarkan punggung. "Gue tahu kalau Marsya kerja di sini, tapi Belva nggak pernah cerita kalau mereka dekat lagi."

Bella menggeser kursi menghadap ke arah Carol. "Memangnya ceritanya gimana, kok bisa ada gosip Belva sama si Kunti?"

Jadi benar rupanya, Belva pernah dekat sama Bu Marsya. Kupikir cuma teman kuliah, pikir Carol.

"Menurut gue, Belva nggak mungkin balikan sama Marsya. Dia udah ilfil banget sama tuh cewek," timpal Cristal.

"Memangnya kenapa?" Tak urung Carol pun penasaran dengan kisah masa lalu Belva.

"Orangnya playing victim banget. Belum lagi suka adu domba. Zaman mereka masih pacaran, Kunti berusaha ngejauhin Belva dari kita berdua. Berasa Belva miliknya seorang. Dari pertama ketemu, gue udah nggak respect sama tuh cewek. Apalagi gincu merah membaranya. Wih, berasa vampir yang baru aja ngisap darah." Bella bercerita dengan menggebu-gebu.

"Oh gitu, pantes," gumam Carol.

"Pantes gimana?" tanya Cristal setelah pramusaji selesai meletakkan pesanan mereka di atas meja.

"Akhir-akhir ini Bu Marsya sering banget cari masalah sama divisiku. Selalu cari-cari kesalahan gitu. Kirana sama Nia yang sering kena semprot."

"Nah kan, gue kata juga apa. Dia tuh nggak suka kalau Belva dekat sama siapa pun. Apalagi cewek. Pokoknya gue nggak redo kalau Belva balikan sama Kuntilanak Merah."

"Gue balikan sama siapa?" Belva menarik kursi di samping kiri Carol. Dengan santai Belva menyeruput es jeruk milik Carol.

"Enak banget ya, datang-datang langsung minum," sindir Carol. Dia saja belum sempat mencicipi minumannya, tapi setengah gelas sudah berpindah ke perut Belva.

"Kenapa lo nggak cerita kalau Kuntilanak Merah kerja di sini?" tuntut Bella.

"Gue cerita ke Cristal," jawab Belva singkat. Dia menggeser piring Carol yang berisi spageti carbonara ke depannya. Lagi-lagi tanpa rasa bersalah Belva mencicipi makanan milik Carol.

"Pesen sendiri dong, Va." Carol terpaksa merelakan makan siangnya untuk Belva. Karena sepertinya tidak ada tanda bahwa Belva akan mengembalikan piringnya.

"Kelamaan. Keburu Marsya turun." Belva menjawab dengan mulut penuh.

"Lo ada janji sama Kunti?"

Belva menjawab pertanyaan Bella dengan gelengan. "Sudah gue tolak."

"Tapi dia tetep maksa," sambung Bella disusul dengan dengkusan. "Lo nggak ada niat buat balik sama dia kan, Va?"

Belva melirik Carol. Dia belum pernah menyinggung hubungan masa lalunya dengan Marsya. Jadi Belva ingin tahu bagaimana reaksi Carol. Namun, ia tak bisa melihat jelas raut muka Carol. Gadis itu tidak memandang ke arahnya.

"Kenapa?" Belva memanggil pramusaji lalu memesankan Carol dengan menu yang sama. Tentu dengan pesan 'tidak pakai lama'.

"Gue nggak mau hidup lo ribet gara-gara—" Ucapan Bella terputus saat melihat sosok yang tak asing di matanya. "Tuh makhluknya dateng."

Benar saja. Tak butuh waktu lama bagi Marsya untuk sampai di meja mereka. Belva tidak mau repot-repot untuk menoleh. Sedangkan Bella sengaja pura-pura sibuk dengan isi piring. Terpaksa Cristal yang harus pura-pura memasang senyum saat Marsya menyapa mereka.

"Hai, Bel, Cris, apa kabar? Lama banget ya kita nggak ketemu." Marsya berdiri di samping Carol.

Cristal menyadari lirikan tajam Marsya. "Wajar kalau kita nggak pernah ketemu. Bukannya hubungan kita nggak baik, ya?" tembak Cristal langsung. Keuntungan bersahabat dengan Belva salah satunya adalah belajar julid dengan fasih.

Marsya menyunggingkan senyum miring. "Kamu masih saja nggak suka sama aku, ya, Cris."

Carol merasa kikuk berada di situasi menegangkan ini. Terlebih posisi duduknya yang paling dekat dengan Marsya. Jika ia tetap duduk dan tidak mempersilakan Marsya untuk menempati kursinya, terasa kurang sopan.

"Ibu, mau bergabung dengan kami?" Carol beranjak untuk mengambilkan kursi.

"Tidak usah." Marsya mengalihkan tatapan ke Belva. "Va, kita jadi lunch di luar kan?"

Belva melirik Marsya sekilas. "Saya sudah makan."

"Tapi kan kita udah janjian untuk makan bareng di luar." Marsya memberi penekanan pada tiap kata. Nada manja dan merajuk jelas kental terasa.

Belva meletakkan garpu ke atas piring. Diusapnya ujung bibir dengan kain. Setelah meneguk es jeruk, Belva baru mengalihkan pandangan ke arah Marsya. "Janji? Seingat saya, tidak ada jadwal meeting dengan klien siang ini."

Bella masih menunduk sambil tersenyum lebar. Dibiarkannya helai rambut menutupi seringai puas yang tercetak di wajah. Dia yakin, saat ini muka Marsya sudah semerah kepiting rebus.

"Memang nggak ada meeting, Va, tapi kamu kan sudah janji duluan ke aku untuk makan siang bareng. Dari tadi aku udah nungguin kamu lho."

"Anda yang memutuskan sebelah pihak. Saya tidak pernah membuat janji dengan Anda. Dan seperti yang Anda lihat, saat ini saya sedang bersama dengan teman-teman saya. Kalau tidak ada permasalahan yang urgent, silakan nikmati waktu istirahat Anda."


Annyeong,
Ini kan yang kalian mau? Kuntilanak Merah alias Perawan Tua atau mungkin kalian ada julukan lain?
Dasaaaarrrrr

Jangan lupa vote dan komentarnyaaa
Gumawoooo
Sarangbeooo
💜💜💜💜💜💜💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top