🌶️🍭SCR-36🍭🌶️
"Tumben jam segini sudah bangun? Atau malah belum tidur?" Hani berdiri di ambang pintu kamar Carol.
Selepas membuang isi kandung kemih, Hani melihat lampu kamar Carol menyala. Padahal jarum penunjuk waktu masih berada di angka dua dini hari. Yanti dan ayam-ayam di kandang saja masih terlelap. Membuat rasa penasaran Hani muncul.
"Aku nggak bisa tidur, Mbak." Carol menggeser duduk lalu melipat kaki agar Hani bisa duduk di ranjang.
"Kamu baru ada masalah?"
Carol menggeleng. Bukan kebiasaannya untuk menceritakan permasalahan yang dialami. Terlebih ke keluarganya. Dia hanya tidak ingin merepotkan mereka lagi.
Hani mengembuskan napas panjang. Dia tahu, Carol pasti sedang ada masalah. Hanya saja adik sepupunya itu jarang sekali terbuka dengannya.
"Ya udah cepetan tidur. Bukannya besok kamu masuk pagi. Bisa kesiangan kalau jam segini belum tidur." Hani menepuk lutut Carol. Bersiap untuk beranjak dan kembali ke kamarnya.
"Mbak," panggil Carol lirih saat Hani melangkah menuju pintu kamar.
Hani menghentikan langkah dan berbalik menghadap Carol. "Gimana?"
"Aku boleh tanya nggak?" Carol balik bertanya dengan ragu-ragu. Dipilin-pilinnya ujung kaos putih sambil menunduk.
Hani kembali mendudukkan diri di samping Carol. "Boleh banget lah. Apaan?"
Carol menjeda beberapa saat. Dia ragu untuk lanjut bertanya. Merasa sungkan sekaligus malu. Akhirnya diberanikan diri untuk mengungkap apa yang selama seminggu belakangan ini menjadi pikirannya.
"Seandainya ada seseorang yang pernah deket sama Mbak, maksudku temen gitu. Terus dia udah bikin Mbak sakit hati banget. Terus dia minta maaf. Kira-kira apa yang bakal Mbak lakuin?"
Hani mengerutkan kening sambil menatap langit-langit kamar Carol sejenak. Sepertinya besok dia harus mengingatkan Suprapto untuk membersihkan sarang laba-laba yang mulai menggantung di sudut langit.
"Tergantung."
"Tergantung apa, Mbak?"
"Banyak hal yang jadi pertimbangan. Pertama, sedekat apa dia sama Mbak. Terus seserius apa permasalahannya. Ketiga, dia minta maafnya tulus atau enggak. Yang paling penting, apa efeknya ke Mbak misal Mbak nggak memaafkan atau sebaliknya."
Carol menggeser duduk dan membetulkan posisi bersila agar lebih nyaman. "Maksudnya yang terakhir gimana?"
"Kan tadi kamu bilang 'pernah dekat', berarti itu lampau kan? Kalau saat ini bagaimana? Masih deket atau enggak? Tentunya keputusan untuk memaafkan atau enggak ini juga akan berpengaruh ke hubungan ke depannya. Worth it nggak dia untuk diberi maaf."
"Penting ya?"
"Jelas dong. Sekarang gini deh, buat apa kita memertahanin seseorang yang ternyata nggak berarti di hidup kita? Buang-buang waktu, tenaga, pikiran banget kan. Istilahnya kayak kamu nemu kotoran di pinggir jalan. Memangnya kamu mau nyimpen itu sampah di dalam kamarmu?"
Carol menggeleng.
"Nah, misal yang kamu temuin itu bunga mawar atau melati, kamu mau nyimpen nggak?"
Carol mengangguk paham.
"Mbak juga bakal memerhitungkan hal itu. Karena untuk memaafkan kan dibutuhkan usaha, kalau setelah diterawang ternyata tidak ada hal positif yang bisa Mbak ambil di kemudian hari, ya lebih baik Mbak lepas. Tak ada kata maaf bagimu."
"Kalau misal," Carol mengigit bibir bawahnya, meragu lagi untuk melanjutkan. Dia bimbang, apakah keputusannya kemarin untuk memaafkan Belva sudah tepat atau belum. Karena jujur, ia melakukannya atas dasar emosi sesaat. "Misal Mbak udah maafin, tapi kenyataannya masih susah untuk bener-bener lupa. Maksudku tuh gimana, ya. Jadi kayak ikhlas nggak ikhlas. Kadang berpikir ya udah deh nggak apa-apa, tapi kadang juga masih sebel. Gimana?"
"Wajar sih menurut Mbak." Hani menoleh sekilas ke Carol. Dia sengaja tidak menatap sepupunya dengan intens. Baru kali ini Carol mau bercerita tentang suatu hal yang ia alami. Jangan sampai sikapnya justru membuat Carol kembali menarik diri.
"Namanya sakit hati jelas susah untuk sembuhnya. Kamu nggak bisa ngasih antiseptik atau obat penghilang rasa nyeri. Yang bisa bikin hati kita sembuh, ya cuman waktu dan keinginan kita sendiri. Semakin besar effort yang kamu lakukan, tentu hasilnya lebih terlihat."
Lidah Hani sangat gatal untuk melempar pertanyaan, "Siapa sih?" Karena setahunya, Carol hampir tidak mempunyai teman dekat. Sepupunya itu bukan gadis penyendiri, tapi juga bukan tipikal orang yang bisa dengan gampang bersahabat dengan orang lain.
Bahkan sampai setua ini, hanya ada beberapa gelintir orang yang pernah main ke rumah. Itupun hanya sekadar mampir barang semenit dua menit. Seingatnya hanya ada satu orang cowok yang sering main ke sini. Dan itu sudah lama sekali. Masa-masa Carol masih duduk di bangku SMA.
"Jadi ... nggak apa-apa kalau belum benar-benar memaafkan?" ulang Carol.
Hani menepuk ringan lutut Carol sembari tersenyum. "Memangnya siapa yang berhak menyalahkanmu kalau kenyataannya hatimu masih marah? Semakin kamu berusaha memaafkan, berusaha melupakan kesalahan seseorang, maka kamu malah jadi semakin sebel. Emosi negatifmu malah semakin besar. Percayalah, nggak ada yang harus kamu bahagiakan selain dirimu sendiri. Kalau kamu sudah bahagia, tentu sekelilingmu akan merasakan efek positifnya juga."
Hani menguap lebar lalu beranjak dari duduk. "Dah sana kamu tidur. Nggak usah dipikirin kenceng-kenceng. Ikuti arus aja."
Carol mengangguk. Benar kata Hani, dia butuh istirahat karena besok masih harus bekerja.
* * *
"Kamu kenapa?"
"Hah?" Carol terlonjak kaget. Perasaan baru saja resepsionis sepi, sehingga dia bisa menelungkupkan wajah barang semenit. Namun, pria yang menjadi penyebab galaunya semalam tiba-tiba berdiri tegak di depan mejanya.
Semalam, setelah Hani kembali ke kamarnya, Carol masih juga belum bisa tidur. Menjelang subuh, matanya baru bisa terpejam. Alhasil saat ini kelopaknya seperti digantungi beban puluhan kilo.
"Kamu sakit?"
Carol buru-buru berdiri sambil menggeleng kencang. "Tidak, Pak Belva."
"Coba kamu keluar dulu, cari udara segar."
Kirana yang ikut berdiri di samping Carol, menendang tumit sepatu gadis itu. Memberi isyarat dengan matanya agar Carol menuruti perintah bos besar. Bukan tanpa sebab Kirana bersikap seperti itu. Semua demi Carol sendiri.
Gosip yang berhembus akibat keteledoran dua orang di depannya ini sudah sangat parah. Ada yang bilang Carol menggoda Belva. Ada yang bilang Carol sengaja bermain drama agar Belva bertekuk lutut lah. Ada yang bilang Carol main guna-guna. Pokoknya semua menyudutkan Carol.
Demi menghalau berita miring yang sama sekali jauh dari kebenaran, Kirana berusaha menjauhkan temannya itu dari sumber masalah. Tentu saja Belva. Sejak peristiwa di lorong seminggu yang lalu, Kirana sudah mewanti-wanti Carol untuk menjaga jarak dengan Belva. Terutama di area hotel.
"Kamu sudah makan?" Pertanyaan Belva selanjutnya jelas mengundang perhatian dari para karyawan di lobi.
Carol yang sudah membalikkan tubuh, berniat ke taman pun sampai tergelincir karena terkejut. Dia terpaksa mengembalikan pandangan ke Belva. Sangat tidak sopan kalau dia tidak mengacuhkan pimpinannya bukan?
"Apakah Bapak membutuhkan sesuatu?" Carol berusaha bersikap sopan.
Belva menaikkan lengan jas guna melihat penunjuk waktu di pergelangan kiri. "Sebentar lagi istirahat. Saya tunggu di resto."
Carol masih belum pulih dari kebingungan saat Belva sudah berlalu dari hadapannya. "Itu orang maksudnya gimana sih?" gumam Carol frustasi.
"Lo ke dukun mana sih? Tok cer banget. Sampai bisa ngegaet Pak Belva," sindir Nia. Minggu ini dia dapat jatah menangani kasir. Jarak sepuluh langkah tentu membuatnya mendengar jelas tiap ucapan Belva.
"Jangan iri, jangan dengki, puter-puter jari." Samuel dengan sengaja menyanyikan salah satu potongan lagu yang viral di aplikasi tik-tik.
"Siapa yang iri?" Nia nyolot sambil memelototi Samuel.
"Kalau nggak iri, buat apa ngurusin hidup orang lain?" balas Kirana kesal. Kalau bukan karena larangan abangnya, sudah jauh-jauh hari dia ingin menyumpal mulut Nia dengan kaos kaki kotor.
"Udah nggak usah dipeduliin," lerai Carol. Dia tidak ingin kedua orang ini kembali ribut gara-gara dirinya.
Kirana berdecak kesal sambil kembali duduk. "Tapi bos lo itu memang keterlaluan. Apa dia nggak sadar kalau banyak gosip buruk tentang hubungan kalian? Bisa-bisanya tiap hari sengaja mampir ke sini. Mana pakai ngajak makan bareng pula. Apa nggak tahu yang namanya teknologi? Bisa kan ngajaknya lewat pesan atau telepon. Memang cari perkara tuh orang."
"Justru menurutku sikap Pak Belva bertujuan untuk nunjukin ke penyebar gosip kalau mereka salah." Samuel tahu-tahu sudah ikut menimbrung obrolan Carol dan Kirana.
"Kok bisa?" tanya Kirana bingung.
Samuel mengetuk-ngetuk meja resepsionis dengan ujung telunjuk. "Seminggu ini yang selalu mencari cara untuk mendekatkan jarak siapa? Pak Belva kan. Yang selalu nyapa duluan siapa? Pak Belva kan. Memangnya Mbak Carol pernah naik ke atas buat nemuin Pak Belva? Enggak kan. Beliau yang selalu datang ke meja sini kan? Beliau juga yang selalu ngajak makan siang bareng. Walau selalu Mbak Carol tolak. Nah, harusnya kalau orang-orang masih punya OTAK, mereka bisa mikir. Di sini siapa yang ngejar-ngejar siapa." Samuel sengaja menekankan kata otak sambil melirik Nia.
Kirana terpaksa harus mengulum bibir agar tawanya tidak meledak. "Mungkin mereka memang NGGAK PUNYA OTAK!"
"Kalau masih ada yang berpikiran Mbak Carol pakai guna-guna, mending balik saja ke zaman purbakala sana. Ngakunya hidup di zaman modern, tapi masih percaya perdukunan. Sekalian saja jual ponselnya, ganti pakai burung hantu," lanjut Samuel. Terlihat sekali kepuasan setelah menyindir balik Nia. Sedangkan si target hanya melengos cuek.
"Tapi nggak gini juga kan, Sam. Nggak semua orang berpikir positif kayak lo." Kirana mengecilkan volume suara. Dia ingin membicarakan masalah ini dengan serius. "Lo nggak tahu gimana orang-orang memperlakukan Carol sih. Apalagi Bu Marsya. Kemarin kami semua kena semprot gara-gara Nia salah input data keuangan."
"Heh! Gue cuma salah masukin kolom!" protes Nia. Dia tak terima disalahkan.
Kirana menggulirkan bola mata. Heran. Bisa-bisanya Nia masih saja mendengar pembicaraan mereka.
"Gue nggak terima ya, kemarin Perawan Tua itu nunjuk-nunjuk muka gue di depan umum." Sekarang Nia sudah ikut bergabung di meja resepsionis. "Kayak gue udah korupsi puluhan juta aja."
"Tetep aja lo yang salah, tapi gue sama Carol ikut kena getahnya." Gantian Kirana yang protes. "Padahal masalah kasir jelas nggak ada sangkut pautnya sama resepsionis. Mana pakai bawa-bawa profesionalisme kerja segala. Nyindir kalau Carol KKN pula. Ngandalin kedekatan sama Pak Belva lah. Yang sok pinter lah. Nyebelin banget nggak sih."
"Lo juga yang cari perkara. Udah tahu si Perawan Tua ngejar-ngejar Pak Belva, bisa-bisanya lo tikung." Nia tampak menggebu saat membicarakan Marsya. Mungkin dulu dia sempat mengidolakan wanita itu. Namun, sekarang jangan tanya. Kebenciannya sudah mencapai level tak terhingga.
"Makanya kamu jangan ngompor-ngomporin Bu Marsya dong, Ni. Semakin kamu sering nyebar gosip, nanti sikap dia ke kita bisa semakin parah lho." Carol ikut bicara. "Lagian aku sama Pak Belva cuma teman lho."
Bukannya mengiyakan permintaan Carol, Nia justru semakin menjadi. "Gue sengaja bikin dia panas. Kalau perlu, lo secepatnya pacaran sama Pak Belva. Biar si Perawan Tua gigit jari."
Ucapan Nia jelas membuat tiga orang lainnya saling berpandangan. Lalu kompak menggeleng-geleng. Heran dengan kelakuan makhluk satu ini.
"Sekarang Mbak Nia mendukung Pak Belva sama Mbak Carol?" pancing Samuel sambil menahan geli.
Nia menatap tiga orang di depannya satu persatu dengan wajah serius. "Buat gue, musuh dari musuh adalah teman. Jadi, gue bakal bantuin lo buat ngalahin Perawan Tua."
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top