🌶️🍭SCR-35🍭🌶️
"Kamu jahat, Va. Kamu—" Carol memukul dada Belva berkali-kali.
"Maaf."
Padahal hanya satu kata yang terucap dari bibir Belva, tapi sanggup membuat pertahanan diri Carol runtuh. Tangisnya kembali meledak. Hingga tanpa sadar ia melingkarkan lengan ke punggung Belva. Lalu membenamkan wajah ke dada bidang itu. Membiarkan Belva membelai dan mengecup puncak kepalanya dengan lembut.
Sedetik kemudian, Carol tersadar. Didorongnya tubuh Belva menjauh. "Lepasin!"
"Maaf," ulang Belva.
Carol kembali memukuli Belva. Lalu mencengkeram erat jas bagian depan dengan muka terbenam di dada lelaki itu. Dia mengulang hal sama berulang kali.
Tiap Carol mulai menjauh, Belva kembali mengucapkan maaf, membuat Carol lagi-lagi memeluknya. Licik. Namun, cuma itu cara yang bisa Belva pikirkan. Saat ini dia tidak ingin Carol lari. Karena nyatanya dengan memeluk Carol, hati Belva pun menjadi tenang.
Entah berapa lama mereka berada di posisi saling peluk. Hingga deheman Kirana menyadarkan Belva. Dengan canggung mereka saling menjauh.
Carol sibuk mencari tisu di tas untuk menghapus air mata. Sedangkan Belva mengambil notebook yang terjatuh.
Menyadari beberapa pasang mata menjadikannya pusat perhatian, Belva segera memasang tampang datar. Menatap satu persatu karyawan yang ada di lorong.
"Apa ada yang menarik di sini?" Nada dingin dalam ucapan Belva bekerja layaknya gas air mata yang membubarkan para pendemo. Hanya dalam hitungan detik seluruh penonton kembali ke aktivitas masing-masing.
Perkara besok gosip akan menyebar bagai virus covid-19, akan Belva pikirkan belakangan. Ia mengembalikan atensi pada gadis yang masih sibuk mengubek-ubek isi tas.
"Ini." Dengan canggung Belva mengangsurkan secarik kain bermotif kotak-kotak kepada Carol.
Kalau menuruti gengsi, Carol jelas tidak sudi menerima saputangan itu. Namun, akan lebih memalukan jika ingus dan air matanya berleleran di wajah.
"Saya antar pulang," gumam Belva seraya berjalan menyusuri lorong menuju tempat parkir.
Merasa tak ada yang mengikuti, Belva menghentikan langkah. Kembali menoleh ke arah Carol yang masih menunduk. Sibuk membersihkan sisa air mata. Hingga tak mendengar ucapan Belva.
Kirana yang menyadari bosnya menunggu Carol, gegas menyodok pinggang gadis itu dengan siku. "Pak Belva nungguin lo," bisiknya.
Carol menengadah bingung. "Hah? Gimana?"
Embusan napas panjang Belva loloskan. "Kamu jalan sendiri atau perlu saya gendong?"
"Tapi, motorku—" Carol harus menelan lagi protes yang akan ia semburkan, saat Belva menarik pergelangan tangan kanannya. Memaksa Carol mengikuti langkah lebar Belva.
Daripada menjadi tontonan untuk kedua kali, Carol memutuskan untuk membiarkan Belva menggandeng tangannya. Fisik dan mentalnya sudah terlalu penat. Ia merasa tak lagi sanggup jika harus berkonfrontasi dengan pria di depannya ini.
Carol merasa deja vu saat Belva mulai menyalakan mesin mobil. Kenangan saat Belva mengucapkan kalimat menyakitkan itu kembali terkuak. Membuat rasa marah dan benci kembali muncul.
"Saya turun di sini." Carol tidak sanggup lagi berada dalam satu ruang dengan Belva. Lebih baik dia mengeluarkan uang untuk naik taksi.
Selain kesal, dia merasa kurang nyaman. Terlebih setelah otaknya kembali bekerja, drama peluk-dorong-pukul di lorong tadi mendadak memenuhi isi kepalanya. Rasanya sangat memalukan.
Apa yang harus ia katakan besok di depan teman-temannya? Lagipula, bagaimana bisa tadi otaknya konslet? Sampai tidak sadar akan respon emosional yang ia tampakkan.
"Kita harus bicara." Tatapan Belva tertuju lurus ke depan. Ia tidak mau mengambil resiko. Saat ini jalanan sedang ramai. Bisa gawat jika ia sampai lengah.
Carol mengembuskan napas lelah. "Tidak ada lagi yang harus dibicarakan, Pak."
"Saya ada."
Mendengar ucapan Belva, membuat Carol memutar bola mata. "Kalau begitu silakan bicara sendiri. Saya mau turun."
Tidak seperti biasa. Tidak ada tanggapan apa pun dari lelaki itu. Tatapannya masih lurus ke depan. Dan tidak ada tanda untuk mengurangi kecepatan atau menepi.
Merasa permintaannya tidak diindahkan, kejengkelan Carol kembali naik. "Tolong berhenti, Pak. Saya tidak mau membuat mobil Bapak kotor karena memberi tumpangan ke anak haram seperti saya."
Ucapan Carol jelas menonjok ulu hati Belva. Lelaki itu mencengkeram kuat-kuat kemudi. Rahangnya pun terkatup erat. Ia berusaha keras menahan amarah.
Bukan marah kepada Carol. Namun, kepada dirinya sendiri.
Belva membelokkan kemudi ke arah taman. Tempat yang sering ia kunjungi sepuluh tahun lalu. Di mana ia kerap kali menghabiskan malam hanya untuk menunggui Carol bekerja.
"Kamu belum memaafkan kebodohan saya." Belva membuka percakapan dengan satu kalimat pernyataan. Meski sudah memarkirkan mobil di pinggir taman, Belva tetap membiarkan mesin menyala. Sekadar jaga-jaga agar Carol tidak melarikan diri.
Carol tertawa sumbang. Dia bingung harus merespon seperti apa. Kebodohan yang dilakukan Belva sudah terlalu banyak. Lalu Carol harus memaafkan yang mana? Lagipula, cara meminta maaf yang tadi Belva lakukan justru menambah daftar kesalahannya.
"Saya sadar sudah mengatakan sesuatu yang menyakitimu."
Carol mengangkat sebelah alis. Melirik Belva dengan ekor mata. Heran. Ternyata orang dengan gengsi setinggi langit pun bisa mengakui kesalahan. Tentu ini suatu pencapaian besar.
"Telat."
Belva menoleh ke arah Carol. "Bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali."
Mendengar ucapan Belva, membuat Carol gatal untuk membalas. Ia menggeser tubuh menghadap kursi kemudi. Rasanya lebih puas jika berdebat sambil melihat langsung wajah lawan.
Namun, rupanya keputusan Carol kurang tepat. Mata mereka terkunci satu sama lain. Seandainya tidak ada sepeda motor yang melaju kencang tepat di samping mobil, tentu Carol masih belum tersadar.
Berkali-kali Belva merutuki diri sendiri. Entah setan model apa yang merasukinya sore ini. Sedari tadi tindakannya betul-betul di luar dugaan. Mulai dari terang-terangan memperhatikan Carol saat meeting. Mencegatnya di lorong. Memeluknya di depan umum. Hingga menyeretnya pulang. Dan kali ini lagi-lagi dirinya yang menciptakan situasi serba canggung ini.
Setelah berdehem beberapa kali, Belva kembali melanjutkan pembicaraan mereka. "Sekali lagi saya minta maaf karena sudah berpikiran salah tentangmu. Saya benar-benar menyesal."
Dari sorot matanya, Carol dapat melihat kesungguhan yang tulus. Mau tidak mau dan tanpa sadar emosi Carol mendingin. Rasa jengkel dan marah yang tadi dirasa, mendadak hilang.
"Serius?"
"Saya akan melakukan apapun untuk membuktikan kesungguhan ucapan saya."
"Apapun?" Carol memastikan sekali lagi.
Belva mengangguk mantap.
Senyum lebar terbit di wajah mungil Carol. "Kalau gitu, kita bisa baikan?"
Carol mengulurkan tangan kanan. Banyak hal yang masih mengganjal di hatinya. Namun, saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengorek semuanya dari Belva.
Jadi Carol menggunakan kesempatan ini untuk memperbaiki hubungan pertemanan mereka yang sempat terputus. Mungkin kali ini dia bisa mencari tahu penyebab dari perubahan sikap Belva sejak SMA. Pun alasan sikap Belva kemarin.
* * *
"Terus sekarang kalian udah akur lagi?" Bella menggeser duduk mendekat ke Carol.
Setelah puas menemani Alvin dan Nendra di playground, mereka memutuskan untuk mendinginkan tubuh di salah satu gerai es. Seperti yang sudah direncanakan jauh hari, mereka berkumpul di Plaza Indonesia.
"Gampang banget sih lo maafin Kampret itu," rutuk Bella setelah mendengar penjelasan Carol.
Sebenarnya Carol pun merasakan hal yang sama. Terlalu banyak Belva membuatnya sakit hati. Bukan hanya saat ini, tapi dari sepuluh tahun lalu.
"Kalau nurutin ego, mungkin selamanya kami jadi musuh, Bel. Aku tuh penginnya kita semua balik kayak dulu lagi. Kalaupun nggak seakrab dulu, minimal Belva nggak ngelihat aku kayak musuh gitu. Dan menurutku ini jalan yang tepat. Yang penting Belva nggak lagi membangun benteng untukku. Jadi aku bisa memahami dirinya. Aku yakin kok Belva itu baik. Pasti ada alasan kuat kenapa dia bersikap kayak gitu."
"Menurut gue juga gitu," timpal Cristal. "Kita kenal dia bukan setahun dua tahun. Sebenarnya kalau boleh jujur, dari kita berempat, yang paling butuh support itu ya Belva. Yah, you know lah bagaimana keluarga dia saat ini. Gue pikir mood swing dia juga karena masalah itu."
Carol mengerutkan kening. "Belva masih sering berantem sama papanya, ya?"
Bella menggeleng. "Mending berantem. Ini mereka sama sekali nggak ada komunikasi. Udah kayak orang asing gitu. Ditambah lagi tuntutan mamanya yang luar biasa."
"Karena itu, gue harap lo bisa sabar ngadepin Belva, ya." Cristal menepuk punggung tangan Carol. "Saat ini yang paling sering ketemu dia kan cuma lo aja. Gue sama Bella udah nggak bisa sebebas dulu lagi. Walau komunikasi kami masih intens, tapi lebih enak kalau bisa memastikan secara langsung."
Senyum tersungging di bibir Carol. "Kalian tenang aja. Aku udah terbiasa sama sikap semena-menanya dia kok. Sebisa mungkin aku bakal jadi temennya yang selalu bisa ngasih dukungan."
Bella dan Cristal saling melempar pandang.
"Temen doang?" tanya Bella hati-hati.
Carol memandang dua perempuan di depannya bergantian. "Memangnya kalau nggak temen apa lagi?"
Cristal menggaruk tengkuknya walau tidak gatal. "Lo nggak ada perasaan lain gitu ke Belva?"
Carol tampak berpikir sejenak. "Sempet sih aku ngerasa benci banget ke Belva. Apalagi waktu dia nyinggung latar belakangku kemarin itu. Tapi, sekarang rasa benci itu udah mulai luntur sih."
"Bukan itu!" Bella berdecak kesal. "Maksud gue sama Cristal tuh lo nggak ada rasa gitu, ya, ke Belva?"
"Rasa?" beo Carol.
"Ish, gue nggak nyangka lo lebih lemot ketimbang Bella," ucap Cristal geram.
Bella tertawa bangga. "Berarti ada yang lebih parah kan, Cris."
"Jadi buat lo, Belva cuma temen aja?"
Carol mengangguki pertanyaan Cristal.
"Nggak pernah berharap lebih gitu? Misal suka sebagai lawan jenis."
Bohong kalau Carol bilang tidak pernah. Dulu semasa putih abu-abu, dia mengakui pernah menyukai Belva. Namun, semua berubah seiring perubahan sikap Belva. Alih-alih mengaku, Carol memilih untuk menggeleng. Percuma juga mengatakan perasaannya di masa lalu. Bukankah itu hanya kenangan.
Bagi Carol, menyukai Belva merupakan satu hal yang harus dihindari. Dia sadar, perbedaan mereka saat ini terlampau jauh. Dia bukan lagi gadis naif. Yang hanya mengandalkan perasaan tanpa menggunakan logika.
Pengalaman hidup serta permasalahan yang Carol alami selama ini telah membuka mata. Hubungan antara pria dan wanita bukan melulu tentang cinta. Banyak faktor lain yang menyertai.
Kata orang Jawa, ada bibit bebet bobot yang menjadi patokan dalam menentukan jodoh. Dan bagi Carol, latar belakangnya sangat minus. Dia merasa rendah diri. Sangat tidak pantas baginya untuk menyukai lelaki. Terlebih sosok seperti Belva.
Annyeong, yeorobun
Makasih banyak buat yang masih setia menunggu lanjutan cerita Belva.
Akhirnya mereka baikan kan?
Love you, Gaes
😘😘😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top