🌶️🍭SCR-33🍭🌶️
"Lo kenapa sih? Dari tadi pagi muka lo burem banget. Baru ada masalah atau gimana?" tanya Kirana setelah menggeser es jeruk yang baru saja diantarkan pramusaji ke hadapan Carol. Hari ini mereka memilih makan siang di kantin hotel. Mumpung ada Samuel yang bisa membantu mereka menjaga meja resepsionis.
Dari pagi, Kirana memperhatikan temannya itu tidak seperti biasa. Terlalu sering melamun, kurang fokus, dan yang jelas senyumnya terlalu dipaksa. Sebagai teman dekat yang sudah bertahun-tahun mengenal Carol, Kirana bisa mencium ada yang salah.
Carol tidak langsung menjawab. Ia memilih untuk membasahi kerongkongannya terlebih dahulu. Biar nanti waktu cerita tidak kering. Kurang dari semenit, isi gelasnya sudah tandas. Selain karena cuaca memang gerah, sisa emosi semalam masih saja membuat Carol mendidih.
"Na, misal aku ngajuin resign gimana, ya?"
"Heh, ngawur aja kalau ngomong. Ada apa sih? Apa Nia bikin masalah lagi?"
Carol menggeleng sambil mengambil napas panjang, sebelum menyendok sepotong brokoli. Menu hari ini adalah cah brokoli jamur dan ayam goreng mentega.
"Aku nggak tahan lagi sama Pak Belva," ucap Carol lirih, khawatir ada kuping tambahan yang mendengar pembicaraan mereka.
Kirana memajukan tubuh lebih dekat ke arah Carol. "Tunggu dulu. Apa hubungannya sama Pak Belva? Lo kena tegur lagi? Kapan? Kenapa? Kok gue nggak tahu."
Carol mengaduk makanan di depannya. Kalau mengingat ucapan Belva semalam, nafsu makannya mendadak hilang. Dia masih hafal tiap kata yang keluar dari mulut Belva.
Memang, IQ Carol tidak setinggi Belva. Namun, khusus semalam, Carol mendadak jadi jenius. Tanpa dijelaskan lebih lanjut pun ia paham maksud sindiran Belva. Secara tidak langsung lelaki itu kembali mengungkit latar belakang Carol sebagai anak haram. Bahkan menuduh Carol mempunyai anak di luar nikah.
Selama ini Carol tidak pernah memasukkan ke hati setiap ucapan atau perilaku Belva kepadanya. Karena Carol masih yakin, Belva bukan orang jahat. Namun, kini ia sadar, pendapatnya tentang Belva jelas salah besar.
"Ada masalah apa sih?" Melihat Carol hanya termenung dan tidak ada hilal akan menjawab, Kirana kembali bertanya.
Carol menggeleng lemah. Dia tidak mungkin bercerita tentang ucapan Belva semalam. Karena di GWS belum ada seorang pun yang tahu tentang asal usulnya. Bahkan Kirana sekalipun.
"Aku cuma udah nggak betah aja, Na."
Kirana menggeser piring makan. Ia yakin ada yang sedang Carol sembunyikan. "Cerita ke gue kenapa sih? Daripada lo pendam sendiri juga nggak ada solusi, malah bikin lo tambah sumpek."
"Aku ngerasa nggak nyaman aja kerja di sini."
"Terus kalau lo resign, lo mau kerja di mana? Lo tahu sendiri, jaman sekarang susah banget keterima kerja di hotel. Saingan kita yang fresh graduate tuh banyak banget. Lagian kalau lo resign, angsuran motor lo apa kabar?"
Dari semalam pun Carol masih menimbang baik buruknya jika ia keluar kerja. Sempat ada gagasan untuk mengajukan permintaan pindah ke cabang GWS di kota lain. Namun, jika dihitung-hitung antara pemasukan dan pengeluaran, tentu besar pasak daripada tiang.
"Masalah lo itu sebenarnya apa? Cerita gitu biar gue bisa bantu cari solusi. Atau kalau memang hari ini lo baru nggak konsen, mendingan lo izin dulu. Lo balik, istirahat, biar pikiran lo jernih."
Carol menggeleng sembari menyesap sisa-sisa es jeruknya. "Nggak usah. Nanti calon kakak iparmu bikin masalah sama aku."
Mendengar Carol mengungkit soal Nia, membuat Kirana meradang. "Gue nggak bakal sudi punya ipar kayak dia. Lo nggak tahu gimana nyebelinnya Nia waktu main ke rumah gue minggu lalu sih. Kalau nggak—"
Cerita Kirana terjeda oleh dering ponsel Carol yang berteriak kencang. Tumben. Biasanya telepon genggam milik Carol ini lebih sepi dibanding kuburan. Hampir tidak ada orang yang menghubunginya. Sampai Kirana pernah menyarankan Carol untuk memasukkan ponselnya ke reparasi HP. Khawatir kalau ternyata ada kerusakan pada gawai tersebut.
"Siapa tuh?" Rasa ingin tahu membuat Kirana mengambil ponsel Carol yang tergeletak di atas meja. "Cristal. Temennya Pak Belva bukan sih?"
Carol mengambil alih ponsel dari tangan Kirana. "Ada apaan ya?"
"Halo," sapa Carol setelah menggeser tombol hijau di layar ponsel.
"Carol, lo baru di mana? Gue cari di hotel kok nggak ada?"
"Kamu di GWS?" Carol terkejut. Tidak menyangka Cristal benar-benar datang ke GWS. Padahal tadi pagi dia sudah membuat alasan kalau tidak bisa ikut makan siang dengan Cristal dan Bella.
"Gue juga." Terdengar sahutan Bella. "Lo cepetan ke sini, kita jalan yuk."
Carol mengambil dompet dan kartu identitas dari atas meja. Memberi isyarat kepada Kirana untuk melanjutkan makan. Sedangkan dia menggegas langkah meninggalkan kantin.
"Kan semalem gue janji mau ngembaliin motor lo. Lagian Alvin dari tadi minta ketemu sama nte Cayol-nya terus ini lho. Gue sampe bingung ngasih alesan apaan," jelas Cristal.
Carol terkekeh membayangkan bocah lucu itu. "Kamu di mana, Cris? Ini aku baru selesai makan siang di kantin."
"Gue tunggu di lobi aja deh ya."
Carol mempercepat jalan setelah sambungan telepon dengan Cristal terputus. Jangan sampai temannya itu menunggu terlalu lama. Sudah untung Cristal mau menolongnya untuk mengambilkan sepeda motor yang semalam ia tinggal di parkiran mal. Jadi Carol tidak perlu susah payah kembali ke sana.
Walau sebenarnya untuk bertemu Cristal juga ingin ia hindari. Bagaimanapun hubungan Cristal dan Belva sangat dekat. Mustahil kalau saat sahabatnya datang, tapi Belva tidak tahu. Carol takut Belva tahu dan malah membuat masalah semakin melebar. Terlebih semalam Belva sudah melarangnya menemui Cristal.
Namun, ketakutannya luntur saat melihat Cristal hanya bersama Alvin di lobi hotel. Perempuan bergaun coklat sepanjang mata kaki itu duduk manis sambil mengawasi Alvin yang sibuk memainkan robot-robotan. Di samping Cristal, Bella sedang memainkan gawai.
"Hei." Carol menepuk ringan bahu kanan Cristal. "Maaf, nunggu lama ya. Kok nggak kasih kabar dulu kalau mau ke sini? Kupikir kalian nggak jadi ke sini."
Cristal menoleh ke asal suara dengan senyum lebar. Ketika ia hendak berdiri menyambut Carol dalam pelukan, Carol terlebih dahulu menunduk, tidak mengizinkan Cristal untuk terlalu banyak bergerak. Dia masih belum terbiasa dengan kondisi fisik Cristal saat ini. Rasanya masih tidak menyangka, wanita sesempurna Cristal harus merasakan pahit yang teramat sangat.
"Kan lo doang yang batalin rencana kita untuk keluar. Gue sama Bella memang udah rencana ke sini."
Carol beralih memeluk ke Bella yang sudah meletakkan ponsel ke meja. Kemudian mendudukkan diri di sofa seberang mereka berdua. "Maaf, aku masih kerja sampai sore nih. Jadi nggak bisa ikut."
Cristal menyerahkan kunci motor dan STNK ke Carol. "Sekali lagi thank you, ya. Semalem kalau lo nggak nolongin Belva, gue nggak tahu deh si Alvin diapain sama itu orang."
"Lo sendiri yang nggak waras, nitipin Alvin ke Belva," olok Bella. "Udah untung Alvin nggak trauma."
"Gue nggak tega lihat muka tertekannya si Belva kali, Bel. Lo juga semalem nggak ngelarang gue."
Bella memanyunkan bibir. "Lo pikir gue tega."
Memangnya semalam Belva kenapa? Carol ingin menanyakan hal itu. Namun, rasanya aneh. Seperti terlalu ingin tahu. Padahal dia juga bukan apa-apanya Belva. Justru kalau Carol sampai kepo, malah mengundang pertanyaan bukan?
"Nte Cayol, ayo main cama Apin agi." Rupanya Alvin sudah merasa dekat dengan Carol. Tanpa sungkan, bocah itu sudah naik ke pangkuan Carol.
"Halo, Ganteng. Aduh, Tante Carol masih kerja. Gimana kalau besok Minggu? Nanti Tante juga ajak Mas Nendra," usul Carol yang ditanggapi dengan anggukan semangat dari Alvin.
"Hati-hati, Carol, kalau udah janji sama Alvin berarti harus ditepati. Kalau enggak, bisa rewel 7 hari 7 malam."
Carol terkekeh pelan. "Nendra juga gitu kok. Kebetulan minggu depan jatah liburku. Eh, tapi kamu ada acara nggak?"
"Acara gue tuh cuma momong Alvin di rumah. Apalagi Bella sekarang sibuknya minta ampun. Belum lagi Belva yang jarang banget bisa gue ajak jalan." Carol menunjuk Bella dengan dagunya.
"Sorry, Bestie, akhir-akhir ini job gue baru penuh. By the way, Belva mana sih? Katanya mau turun, udah sepuluh menit lebih nggak nongol-nongol." Bella melihat ke arah lift sambil mengetuk-ngetukkan tumit sepatu ke lantai.
"Kalian ada janji sama Pak Belva, ya?"
Kompak Cristal dan Bella menoleh ke Carol. "Lo masih manggil Belva dengan bapak?" Pertanyaan Bella mewakili isi hati Cristal.
"Beliau kan pimpinan di sini, Bel. Aku harus menghormati beliau dong."
Bella menyemburkan tawa. "Geli banget denger lo manggil Belva dengan beliau. Dih sok bossy banget tuh orang."
"Tapi kan Pak Belva beneran bos di sini. Kalau aku nggak sopan, bisa-bisa—"
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
Suara sedingin kutub utara itu menyapa indera pendengaran Carol. Membuat gadis itu menggigil ngeri. Rasanya tulang leher Carol mendadak patah, sehingga susah untuk ditegakkan.
"Lo nggak baca pesan gue, Va? Kan kita mau ngajak lo sama Carol jalan." Bella balik bertanya.
"Maksud gue bukan lo, tapi orang ini. Sejak kapan saya memberi izin dia untuk duduk di sini?" Belva melirik tajam ke arah Carol.
Tanpa mengangkat wajah pun Carol tahu saat ini Belva tengah menatapnya tajam. Sadar diri, Carol menurunkan Alvin dari pangkuan. Beranjak dari duduk sambil membenahi seragamnya, lalu berpamitan dengan Cristal dan Bella. Butuh perjuangan ekstra bagi Carol untuk menghadirkan senyum yang ia alamatkan kepada dua wanita di depannya.
"Lo kenapa lagi sih, Va? PMS?" protes Bella yang kurang suka dengan sikap Belva kepada Carol.
"Aku pamit balik ke meja kerja dulu, ya, Cris, Bel. Besok Minggu kalau kita jadi—"
"Kamu tidak paham ucapan saya semalam? Saya harus pakai bahasa apalagi untuk menjelaskan kalau saya tidak suka kamu sok dekat dengan kami," ujar Belva tajam.
Carol meremas kunci motor yang ada di genggaman. Membiarkan rasa sakit dari tusukan ujung kunci mendominasi. Otaknya butuh pengalihan agar tidak terkonsentrasi pada Belva dan mulut tajamnya.
"Mungkin kita batalin dulu aja ya untuk besok Minggu. Alvin, Tante pamit dulu, ya." Carol membelai puncak kepala Alvin. "Sekali lagi makasih ya, Cris, udah nganterin motorku." Carol menjaga senyumnya tidak pudar.
Tepat saat Carol akan melangkah, Cristal berdiri lalu menarik pergelangan tangannya. "Lo di sini dulu aja. Dan lo," Cristal menunjuk dada Belva, "lo nggak ada hak untuk ngelarang gue deket sama Carol. Memangnya lo siapa? Bisa sewenang-wenang begitu? Lagian gue janjian sama Carol nggak di jam kerja," protes Cristal dengan tegas.
"Ini masih jam kerjanya," jawab Belva singkat.
"C'mon, Va. Lo jangan childish gini deh." Bella pun menyesuaikan tinggi dengan ketiga orang lain. "Semua juga tahu kalau sekarang jam istirahatnya Carol. Gue juga nggak ngajak dia keluar sekarang. Udah gue jelasin di chat kan, kita lunch dulu bertiga, karena Carol nggak bisa ninggalin kerjaan lama-lama. See, dia sangat profesional. Gue sama Cristal mau ngajak Carol jalan sepulang dia kerja. Sepulang kerja. It's mean, di luar jam kerjanya. So, lo nggak berhak ngelarang dia dong," cerocos Bella tanpa henti.
"Oke, kalau lo ngerasa gue udah ganggu kerjanya Carol hari ini. Fine, gue minta maaf. Tapi, untuk acara besok Minggu, lo nggak bisa ngelarang dong, Va," imbuh Cristal.
Belva melirik tajam ke arah Carol. Tidak perlu punya kemampuan membaca pikiran, siapa pun yang melihat tentu tahu saat ini Belva tengah mengutuk Carol dalam hati. Belva jelas tidak terima, kedua sahabatnya lebih membela Carol dibanding dirinya. Padahal mereka tidak tahu bagaimana sifat asli Carol.
"Gue nggak suka kalian bergaul sama orang macam dia," desis Belva masih dengan tatapan benci ke arah Carol.
"Orang macam dia? Maksud lo apaan, Va? Lo lupa, Carol yang nolongin lo semalem," bela Cristal.
Carol mencoba melepaskan cekalan Cristal di pergelangan tangan. Dia tidak mau menjadi penyebab pertengkaran ketiga sahabat ini. "Bel, Cris, udahan yuk. Nggak baik kalau ribut di sini. Aku balik ke meja aja," ucap Carol dengan suara bergetar.
Tanpa menunggu persetujuan Bella dan Cristal, Carol gegas meninggalkan mereka. Dia tidak yakin mampu menahan laju air mata jika terlalu lama berada di sini. Semakin lama, sikap Belva semakin menjadi. Sedangkan Carol tidak tahu di mana letak kesalahannya.
"Lo puas sekarang?" Cristal mendekap kedua lengan di depan dada. Dia tak habis pikir dengan tingkah laku Belva. Segila-gilanya, sedingin-dinginnya, sekejam-kejamnya Belva, tidak pernah ia melihat lelaki ini menyakiti hati perempuan dengan begitu terang-terangan. Kecuali ke Carol.
"Gue kecewa sama lo. Perkara gue mau ngajak Carol sama keponakannya jalan aja lo jadiin masalah kayak begini," tambah Cristal.
Tanpa melihat ke arah Belva, Cristal mengajak Alvin untuk segera pulang. Untuk kali ini dia tidak bisa begitu saja memaafkan sikap Belva yang sudah keterlaluan. Sekali-sekali lelaki bermulut tajam itu memang perlu dipaksa berpikir. Biar dia instropeksi diri, kalau omongannya bisa membuat orang lain sakit hati.
"Keponakan?" beo Belva.
"Apalagi sekarang? Lo mau ikut campur urusan bayi? Lo mau ngelarang Alvin temenan sama Nendra? Balik aja lo ke TK!" Bella memelototi Belva sebelum menyusul Cristal. Meninggalkan Belva yang tengah terpekur seorang diri.
Nah kan ... nah kan ....
Makanya, Va, jangan gampang salah paham. Rasain tuh ... pada ngambek kan ....
Aku kasih spoiler bab 34:
Bakal ada pelukan.
😁😁😁
Btw, jangan lupa ampun kesupen:
1. Klik tanda bintang di tiap bab
2. Masukin Sweet Carolina Reaper ke perpustakaan
3. Follow akunku, biar tahu kalau aku publish cerita baru. Kali aja kalian mau baca
4. Komentar yagesyaaa, biar tambah semangat ngetiknya
Gumawo
Matur nuwun
Terima kasih
💜💜💜💜💜💜💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top