🌶️🍭SCR-32🍭🌶️
Hai, Gaes
SCR sengaja update pagi karena aku bakal rempong today.
Sebagai emak-emak anak 3 yg semuanya homeschooling tuh kadang sehari 24 jam kurang banget.
Semoga kalian suka sama isi bab ini.
Berkali-kali Belva menghela napas panjang. Bayangkan, dalam semalam dia harus memasuki dua tempat yang di luar nalar. Pertama, wahana permainan. Di mana akhirnya Belva harus ikut serta mengawasi dan menjaga Alvin karena keterbatasan tinggi yang dimiliki Carol.
Sekarang, lelaki sipit penggemar jeruk itu terpaksa menuruti kemauan Alvin untuk makan di rumah makan cepat saji. Memang dari dulu Belva tidak begitu suka mengonsumsi makanan tinggi kalori dengan sedikit nutrisi. Apalagi dengan proses pengawetan yang tidak sebentar. Namun, bukan itu yang menjadi alasan utama mukanya ditekuk ke dalam.
Alvin, bocah menggemaskan itu ternyata
tertarik dengan area bermain yang memang disediakan oleh restoran. Alhasil kini mereka bertiga duduk di meja paling ujung resto yang posisinya dekat dengan area bermain. Heran. Setelah dua jam tidak berhenti bergerak di wahana permainan, Alvin masih saja bersemangat main perosotan.
"Kamu pakai baterai apa, Vin?" Belva tidak bisa menahan rasa ingin tahu. Memangnya seberapa besar baterai yang ada dalam tubuh semungil itu? Kenapa tidak ada habisnya.
Bodoh sekali kalau mengharap Alvin menjawab pertanyaan random yang Belva lontarkan. Bocah itu asyik memainkan hot wheels yang baru saja dibelikan Belva. Hadiah karena Alvin mau dipaksa menyudahi permainannya di wahana.
"Namanya juga anak-anak, Pak. Kalau suka sama satu hal pasti nggak bakal berasa capek." Carol menyuapkan sesendok nasi beserta ayam ke mulut Alvin. Untung Alvin bukan anak pemilih makanan atau mungkin karena terlalu lapar pasca bermain, jadi makannya lahap. "Habis ini juga dia pasti ketiduran, Pak. Udah capek main, kenyang, biasanya minta susu terus bobo. Nendra juga gitu soalnya."
Suapan Belva ke mulutnya terhenti di udara. Nendra? Siapa itu? benak Belva penuh tanya. Namun, sedetik kemudian Belva menelan kembali rasa penasaran. Untuk apa mengetahui siapa orang yang disebut Carol tadi.
"Besok Tante ajak main sama Nendra mau nggak, Vin? Nendra juga seumuran kamu lho. Kalau di rumah, kamu biasa main apa sama Mama?"
"Lego Apin banak, Nte. Apin punna mobing banyak juja. Apin syuka main cama Mama. Tapi Apin nggak punna temen. Di yumah Oma juja nggak ada temen."
"Kalau bicara yang jelas, Vin," celetuk Belva yang tidak paham dengan isi pembicaraan Alvin.
Komentar Belva jelas mengundang reaksi kesal dari Carol. "Alvin kan masih kecil, Pak. Wajar kalau ngomongnya belum jelas. Bapak aja yang nggak paham. Nyatanya saya tahu tuh."
"Karena kamu sefrekuensi sama dia."
"Maksudnya? Saya kayak batita gitu?"
Belva merespon dengan senyum miring. Kemudian tatapannya mengamati tubuh Carol dari atas ke bawah. "Sudah jelas seperti anak-anak."
Tarik napas. Hembuskan. Lakukan sebanyak 3 kali. Dijamin emosi perlahan luntur. Carol mencoba menenangkan diri.
"Kalau gitu, Alvin mau main sama Tante nggak?" Carol menyuapkan sesendok nasi terakhir. Daripada meladeni Belva, lebih baik mengobrol dengan Alvin. "Kalau Alvin ke rumah Tante, Alvin bisa main petak umpet sama Nendra. Bisa cari buah di kebun juga."
Siapa sebenarnya Nendra ini? Dari tadi disebut terus. Atau jangan-jangan anaknya? Tapi seinget gue, tidak ada keterangan menikah di data karyawan. Lalu anaknya sama siapa? Tidak mungkin hasil perselingkuhannya dengan Papa kan?
Belva melirik kesal ke gadis di depannya. Lebih tepatnya kecewa. Setelah sempat mencoba berpikir positif tentang Carol, informasi mengenai Nendra tadi merusak segalanya.
"Buah apa, Nte?" tanya Alvin antusias.
"Tante punya pohon pisang, ada pohon jambu, ada juga pohon jeruk. Kalau di dekat rumah Tante, ada pohon talok. Pasti Alvin belum pernah makan kan? Dulu, Om Belva sering—"
Belva menginterupsi cerita Carol dengan deheman. Membuat gadis berambut panjang itu menggigit bibir. Menyesal telah keceplosan bercerita tentang masa lalu mereka.
Tak dapat dihindari, suasana menjadi canggung setelahnya. Belva menunduk, pura-pura sibuk dengan ponsel. Sedangkan Carol garuk-garuk kepala sambil mengedarkan pandang ke seantero rumah makan.
Berkali-kali Carol merutuk diri sendiri. Padahal sudah bertekad untuk tidak mengungkit masa lalu, tapi memang mulutnya tidak bisa direm. Begitu terbuka, segala yang ada di kepala keluar begitu saja. Akhirnya begini kan. Suasana yang sudah mulai mencair, kembali jadi sedingin kutub.
"Nte." Goncangan tangan mungil di lengan, menyadarkan Carol bahwa masih ada Alvin di antara mereka.
"Pak, acaranya selesai jam berapa sih? Sepertinya Alvin sudah mulai ngantuk. Mal juga mau tutup kan?" tanya Carol saat melihat Alvin mulai menguap. Seperti perkiraannya, setelah kenyang pasti bocah ini mengantuk. Apalagi dari tadi dia tidak berhenti bergerak, tentu saat ini tubuhnya sangat lelah.
Belva melihat jam di pergelangan tangan. Pukul sembilan lebih. Ternyata sudah cukup larut. Pantas saja dari tadi pegawai restoran sudah mulai merapikan kursi. Padahal masih lama sampai Gala Dinner selesai. Kalau mereka menunggu sampai selesai, tentu bakal diusir satpam mal.
Carol mengangkat tubuh mungil Alvin ke pangkuan. Diambilnya tisu basah, lalu dibersihkan mulut, wajah, dan tangan Alvin dari sisa remah makanan. Sekali lagi bocah itu menguap.
"Alvin benar-benar anak penurut, ya, Pak. Padahal biasanya Nendra kalau kecapekan ditambah ngantuk, pasti rewel. Mana mau dia dipangku sambil duduk gini. Pasti mintanya digendong." Carol menepuk-nepuk pelan punggung Alvin hingga terdengar dengkur halus dari bocah itu.
"Bawa sini." Belva memutuskan untuk mengambil alih Alvin dari pangkuan Carol. Dia tidak ingin melibatkan Carol terlalu jauh. Lebih baik membawa Alvin kembali ke venue lalu menyerahkan ke Cristal.
"Bapak yakin bisa?" Carol memindahkan Alvin ke tangan Belva. Dia juga harus pulang. Sebentar lagi mal tutup. Bisa gawat kalau dia tidak segera mengambil motor dari parkiran.
Baru sedetik Alvin digendong Belva, bocah itu bergerak tak nyaman. Rengekan khas anak yang terganggu tidur mulai terdengar. Belva berusaha membetulkan cara menggendongnya. Mungkin kalau dibopong di pundak bocah ini bisa tidur lagi.
"Jangan gitu, Pak, ntar bangun lho."
Belva berdecak sambil melirik kesal ke arah Carol. "Jangan sok tahu!"
Bukannya kembali terlelap, Alvin justru terbangun. "Ndong ama Nte," rengek Alvin.
"Kan."
Reaksi Carol jelas menambah kekesalan Belva. "Kalau kamu diam, tidak mungkin Alvin bangun."
Jelas Carol melongo tak terima dengan tuduhan Belva. "Saya nggak ngapa-ngapain lho, Pak. Habisnya gendong anak baru tidur kok disampirin di bahu. Ya jelas bangun lagi. Udah sini biar saya gendong."
Rupanya Belva kewalahan mengurus Alvin. Nyatanya dia lebih merelakan harga diri terluka dengan menerima bantuan Carol. Dalam hati, Belva berjanji akan membuat Cristal membayar semua yang sudah ia lakukan untuk Alvin. Tunai.
Carol mengayun Alvin perlahan sembari bersenandung lirih. Tidak pernah ada yang bilang kalau suara Carol merdu. Pakde Prapto saja mengatainya cempreng. Yang penting tidak buta nada sudah cukup.
"Permisi, Kak. Maaf, kami sudah mau tutup," sela salah seorang karyawan resto.
Seketika Belva sadar, mereka memang harus keluar dari tempat ini. Namun, kalau memaksa Alvin untuk dia gendong, pasti yang ada anak itu bakal rewel. Sayangnya Belva tidak pernah berurusan dengan anak tantrum.
"Maaf, ya, Kak." Carol menunduk ke arah pegawai rumah makan, lalu menjawil lengan Belva. "Pak Belva, Alvin mau dibawa ke mana ini?" Ucapan Carol memecah lamunan Belva.
Dilihatnya Carol berusaha mengambil kantong plastik berisi kotak sepatu dan tas cangklong. Terlihat sangat kesusahan. Bagaimana pun Alvin bukan lagi bayi. Beratnya saja sudah lebih dari dua belas kilo. Tentu butuh perjuangan untuk menggendongnya sambil menenteng barang.
"Kamu naik apa?" Tanpa permisi Belva mengambil alih barang belanjaan Carol beserta tas selempangnya. Kalau bukan karena Carol sudah membantunya, tentu Belva tidak sudi memperlihatkan kepedulian pada gadis ini.
"Saya bawa motor." Carol mengikuti langkah Belva yang berada dua kaki di depannya. Dilihat dari belakang begini, tampilan Belva sudah persis bapak-bapak yang membawakan barang milik istrinya.
Carol bergidik cepat. Bisa-bisanya dia punya pikiran aneh bin ajaib seperti itu. Segila-gilanya Carol, tidak akan mau bersuamikan Belva. Bisa mati muda karena darah tinggi.
"Saya antar Alvin ke mobil Bapak dulu saja, habis itu saya ambil motor di basement," putus Carol.
Namun, bagi Belva solusi itu bukan yang terbaik. Mobilnya berada di parkiran hotel. Butuh waktu lama untuk pulang pergi dari mal ke hotel lalu kembali lagi ke mal. Dia tidak yakin bahwa pusat perbelanjaan ini masih buka.
"Kamu ikut saya ke hotel. Nanti saya antar kamu pulang."
* * *
Jalanan Ibukota tampak mulai lengang. Motor-motor yang biasa berseliweran saat siang hari pun kini tinggal beberapa yang lewat. Asap kendaraan tergantikan oleh kepulan asap dari bakaran sate. Deretan angkutan umum yang biasa mangkal di tepi jalan, beralih pemandangan menjadi deretan pedagang kaki lima.
Jika situasi di luar mobil mulai senyap, maka kondisi di dalam lebih parah. Seandainya ada pengambilan gambar untuk film horor, setting mobil Belva saat ini sudah sangat cocok. Saking mencekamnya, Carol bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Bahkan, Carol takut mengembuskan napas keras-keras. Khawatir Belva akan terganggu dan akhirnya mengamuk
Bodoh! Bodoh! Seharusnya tadi aku nekat pulang naik taksi aja. Daripada kayak jurit malam di kuburan gini, sesal Carol dalam hati.
Tadi, Carol sempat adu mulut dengan Cristal. Sama-sama mempertahankan pendapat. Carol ingin naik taksi, sedangkan Cristal memaksa Belva mengantar Carol pulang. Alasannya karena sudah malam dan Jakarta tidak aman kalau Carol nekat naik angkutan umum.
Sumpah, Carol malas berada semobil dengan Belva. Pasalnya lelaki itu masih mood swing. Ya kalau di jalan mood-nya bagus, kalau mendadak anjlog kan gawat. Bisa-bisa Carol dimutilasi lalu dibuang ke sungai Ciliwung.
Selain itu, kalau malam ini dia diantar pulang Belva, bagaimana dia harus menjawab rentetan pertanyaan bude dan pakdenya. Belum lagi besok pagi ke kantor dia harus naik apa. Walau urusan motor, Cristal berjanji akan mengurusnya.
"Lhoh." Carol melongo sambil menoleh ke belakang. Barusan Belva melewatkan belokan ke arah rumah Suprapto. "Rumah saya kelewatan, Pak. Harusnya yang tadi belok kiri."
Keadaan Belva pun tak jauh beda dengan Carol. Memang, Belva paling suka ketenangan. Namun, bukan dalam suasana canggung begini. Untuk menyalakan musik saja tidak bisa. Khawatir pilihan musik yang diputar malah semakin mengacaukan suasana. Saking bingung harus bersikap bagaimana, Belva sampai tidak sadar sudah salah jalan.
"Rumah kamu mana?" Belva menutupi kesalahan dengan pura-pura lupa.
"Bapak, nggak inget?" Carol agak terkejut mendengar jawaban Belva. Apakah waktu sepuluh tahun benar-benar membuat segala kenangan yang mereka miliki menguap begitu saja?
Belva menelan saliva untuk menghilangkan serak di tenggorokan. "Apa pentingnya buat saya mengingat rumahmu?"
Lagi-lagi suasana kembali sepi setelah Carol menyebutkan alamat rumah. Di Jakarta, kelewatan satu belokan berarti harus mencari jalan putar balik yang cukup jauh.
Bagi Belva, menelusuri jalan menuju rumah Carol, sama saja dengan membuka cerita lama yang sudah ia tutup rapat. Ingatan tentang kedekatan mereka dulu, rutinitas mengantar jemput Carol saat berjualan burger, sampai dengan bagaimana Belva menyerahkan hatinya pada Carol. Semua terputar kembali.
"Saya harap kamu bisa menganggap hari ini tidak pernah ada. Saya tidak suka kalau kamu sok dekat dengan saya, apalagi di hotel. Dan satu lagi, jangan turuti ajakan Cristal untuk makan siang. Saya tidak ingin ada gosip di tempat kerja."
Satu-satunya kalimat terpanjang yang Belva ucapkan malam ini. Sekaligus ucapan yang kembali menorehkan luka di hati Carol. Dia sadar, perbedaan di antara mereka terlampau jauh. Belva sang putra mahkota tentu tidak bisa disandingkan dengan anak haram sepertinya.
Carol sadar diri. Dia juga tidak mungkin bersikap kurang ajar atau melampaui batas saat di tempat kerja. Namun, mendengar dari mulut Belva sendiri ternyata rasanya lain. Ucapan Belva seolah menamparnya dengan keras.
"Satu hal lagi, jangan sampai orang kantor tahu tentang anakmu sebelum kamu mengubah status perkawinan di data kantor."
"Anak?" beo Carol tepat saat mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan rumah Suprapto.
Belva berusaha keras untuk tidak menatap lama-lama ke arah rumah Carol. Terlalu banyak kenangan di sana. Tentang bagaimana rasa kopi buatan Carol. Tentang bagaimana mereka bercanda di teras. Tentang pisang goreng yang disuguhkan oleh Yanti.
"Apa maksud Bapak soal anak? Anak siapa, Pak?" Carol menggeser duduk hingga menghadap Belva. Ia butuh kejelasan.
Belva masih mempertahankan posisi dengan tetap menghadap lurus ke depan. "Kalau kamu tidak mau mengakui atau memang sengaja menyembunyikan anakmu, apapun alasannya, itu bukan urusan saya. Selama hal itu tidak mencoreng nama GWS."
"Saya benar-benar nggak paham sama omongan Bapak. Anak siapa sih? Saya belum nikah, Pak."
Kali ini Belva tak tahan untuk tidak melirik Carol. "Bukannya kamu yang paling tahu kalau tidak butuh ikatan pernikahan untuk mempunyai anak?"
Ucapan Belva kali ini bukan hanya menampar Carol. Namun, menenggelamkannya ke dasar palung terdalam. Membuat Carol sesak, tak dapat bernapas.
Belva, kamu jahat!!!
Yang mau menghujat cowok satu itu, dipersilakan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top