🌶️🍭SCR-31🍭🌶️

"Om, aik ntu, Om, aik ntu!" rengek bocah yang belum genap berusia dua tahun itu.

Belva bergidik ngeri saat menyadari arah yang ditunjuk Alvin. Wahana permainan. Bagi Belva, tempat itu lebih menakutkan dibanding rumah hantu. Karena sampai setua ini, belum pernah sekali pun Belva menginjakkan kaki ke tempat bermain anak. Sehingga ia tidak tahu harus bagaimana di dalam sana. Lagipula tidak ada dalam rencananya malam ini untuk membawa Alvin ke tempat itu.

Bayangannya sewaktu meninggalkan lokasi Gala Dinner adalah makan malam di rumah makan Jepang, membeli buku, lalu menunggu acara selesai di lobi hotel. Dia pikir, Alvin tidak akan meminta macam-macam. Paling es krim atau cemilan. Bukannya malah masuk ke tempat warna-warni penuh balita seperti itu.

Namun, rupanya pemikiran Alvin jauh berbeda. Sejak mereka menginjak lantai mal, Alvin tak henti-hentinya menarik tangan Belva menuju lantai 5. Rupanya dia sudah hafal letak wahana permainan yang biasa dikunjungi saat bersama Cristal.

"Vin, jangan ke sana." Jelas sekali keengganan pada raut muka Belva. Seandainya tadi mood-nya tidak anjlog, tentu dia tidak mau merepotkan diri mengasuh bocah aktif ini.

"Ayo, Om." Tarikan Alvin semakin kuat.

Belva mengembuskan napas keras. "Kamu mau ngapain di sana, Vin? Itu bukan tempat untuk orang dewasa."

Alvin mengerutkan kening, menatap laki-laki di depannya dengan intens. "Apin acih ecil."

Belva kembali mendesah. Salahnya juga mendebat anak Cristal. Sudah jelas kan jiwa tak mau kalah dari sahabatnya itu menurun ke Alvin. Masalahnya bukan Belva tidak suka melihat Alvin merasa senang, tapi dia sudah terlalu tua untuk masuk ke tempat permainan seperti ini. Kalau ada yang melihatnya masuk ke wahana bermain anak, bisa-bisa turun wibawanya.

"Mama Papa juja masyuk. Ayo, Om, kata Mama boyeh." Bocah itu masih saja membujuk Belva dengan tampang menggemaskannya.

Belva menatap  ke dalam area permainan. Tali panjat yang bergelantungan, kayu warna-warni yang disusun menyerupai jembatan, drum dengan lukisan lucu, bola-bola dalam kolam, belum lagi mainan dari balon yang digelembungkan. Belva yakin, jika ia nekat masuk pasti banyak orang yang menatapnya aneh. Terlebih area itu tampak rame. Beberapa wanita berpakaian khas baby sitter sedang mengantre di depan loket. Belum lagi yang sudah ada di dalam arena bermain.

"Besok Alvin ke sininya sama Mama Papa, ya." Belva menyerah. Dia tetap tidak sanggup melangkahkan ke dalam wahana.

Namun, rupanya Belva salah langkah. Alvin yang sedari berangkat tadi sudah diiming-imingi Cristal untuk bermain di wahana ini bersama Belva pun mulai menampakkan kekecewaan. Air muka yang tadinya bersemangat, kini menjadi muram. Wajahnya ditekuk ke dalam. Genangan air pun mulai tampak di pelupuk mata.

"Apin mau main," rengek Alvin sebelum tangisnya meledak.

Belva sontak terkejut sekaligus panik. Seumur-umur, dia belum pernah menghadapi anak kecil yang rewel. Jangankan mengasuh, sekadar berinteraksi lebih dari 5 menit saja hampir tidak pernah. Jadi wajar kalau saat ini Belva kalang kabut, bingung bagaimana cara menenangkan Alvin.

"Anaknya diajak masuk saja, Pak. Tiketnya murah kok," celetuk salah satu baby sitter yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.

Sialan! Dia pikir gue nggak bisa bayar tiket apa gimana? Gue beli tempat ini juga mampu! rutuk Belva dalam hati.

"Alvin, ikut Om putar-putar naik mobil saja, ya," bujuk Belva lirih.

"Nggak mau! Apin mau main." Tangisan Alvin semakin keras. Membuat beberapa pengunjung menjadikan mereka objek tontonan.

"Jadi bapak kok nggak mau nurutin anak." Terdengar celotehan dari salah satu pengunjung.

"Iya, tuh. Cuma nungguin aja nggak mau. Pasti mau main HP tuh, Bu," timpal yang lain.

"Makanya, besok kalau kamu cari suami, yang sayang sama keluarga. Jangan kayak bapak satu itu."

Kalau tidak ingat saat ini berada di tempat umum, tentu Belva sudah membalas mulut-mulut usil ibu-ibu itu dengan nyinyirannya. Namun, melihat situasi semakin genting, di mana rengekan Alvin semakin keras, membuat Belva nekat mengambil tindakan drastis. Demi menyelamatkan harga diri, Belva berniat menggendong Alvin dan membawanya menjauh dari wahana permainan. Ke mana saja yang penting Alvin diam, kalau perlu mengitari Jakarta sampai pagi.

"Pak Belva?"

Suara yang tak asing menginterupsi niat Belva untuk segera melarikan diri dari tempat ini. Tanpa menoleh untuk mengetahui pemilik suara itu pun Belva sudah bisa menebak. Menangani Alvin saja sudah merepotkan, ditambah satu perempuan lagi tentu membuat Belva migrain.

"Kita jalan-jalan beli es krim saja, ya." Belva sengaja tidak memedulikan sapaan Carol. 

Tanpa menunggu persetujuan Alvin, Belva langsung membopong bocah berambut ikal itu. Aksi Belva semakin membuat Alvin memberontak. Kakinya tak henti-henti menendang udara. Tangannya dengan random memukul ke mana saja, termasuk rahang Belva, yang membuat pria berkulit putih itu mengaduh. 

"Jangan dipaksa dulu, Pak, nanti nangisnya tambah kenceng," usul Carol yang merasa Belva mulai keteteran menangani bocah yang ada di gendongannya.

"Halo, Ganteng." Carol menundukkan tubuh, menyamakan tinggi dengan wajah Alvin yang berada di dekat dada Belva. Sekarang ganti Carol yang tidak mengindahkan wajah kesal Belva akan ucapannya tadi. Belva masih belum berubah. Lelaki itu masih saja cuek dan bersikap dingin padanya.

Tangis Alvin terjeda sejenak demi menatap Carol. Sebenarnya Alvin bukan anak yang rewel dan susah diatur. Dia jarang sekali menangis. Hanya saja kalau sudah ada yang menjanjikan sesuatu, maka dia tidak akan membiarkan orang itu lolos.

"Ganteng, kenapa nangis?" Carol melirik area sekitar. Mencari kira-kira penyebab bocah lucu ini sedih. Tak perlu waktu lama bagi Carol untuk menebaknya. "Ganteng, mau ikut Tante main ke sana nggak?" tunjuk Carol ke wahana permainan.

Perkataan Carol jelas mengundang protes dari Belva. Dia sudah susah payah berhasil menggendong Alvin. Tinggal selangkah lagi bisa membawanya pergi dari sini. Bisa-bisanya Carol malah menawari Alvin untuk masuk ke wahana permainan. "Kamu jangan mencampuri urusan saya!"

Dengan bibir cemberut, Carol menegakkan kembali tubuh hingga sejajar dengan Belva. Kalau bukan karena mendengar tangis bocah lucu ini, Carol juga malas untuk menyapa Belva. Lebih baik dia pura-pura tidak lihat atau mencari jalan lain. Yang penting jangan bertatap muka.

Niatnya ke mal hanya untuk mencari sepatu. Sepulang kerja tadi, hak sepatunya patah. Terpaksa Carol harus membeli yang baru. Daripada besok ia kena tegur. Sekarang rencana awalnya menjadi sedikit bergeser. Seharusnya dia tidak usah menuruti keinginan untuk mencari parfum. Toh minyak wanginya masih ada. Sehingga Carol tidak harus bertemu dengan Belva.

Cukup lama Carol menimbang apakah harus membantu Belva menenangkan bocah ini atau membiarkannya. Namun, Carol tidak tega. Dia tahu bagaimana sifat Belva. Laki-laki sedingin freezer dan sekaku kanebo kering ini jelas tidak bisa mengasuh anak. Jadi, bagaimana bisa ia tidak turun tangan.

"Tapi anaknya nangis, Pak. Apa Bapak tidak kasihan lihat dia sampai ngamuk begitu. Memangnya minta apa sih, Pak, anaknya?"

"Anak siapa kamu bilang? Jangan membuat kesimpulan seenaknya sendiri." Nada suara Belva sudah mulai naik satu oktaf. Mana mau dia dituduh sudah punya anak.

Carol menghela napas perlahan demi meredam jengkel menghadapi bosnya yang kadang terlalu lebay ini. "Maksud saya, anak ini kan baru nangis, kalau dipaksa nanti tambah nangis. Lagian mana saya tahu kalau anak ini bukan anaknya Pak Belva."

"Apin mau main."

Ucapan lirih Alvin mengalihkan perhatian Carol dari Belva. "Apin?" Carol tampak mengingat di mana dia pernah melihat anak ini. Karena ia merasa tak asing. 

"Astaga! Anaknya Cristal, ya, Pak?" Carol cukup terkejut begitu menyadari identitas anak yang tengah digendong Belva. "Alvin kan ya, namanya?"

Belva merasa tak perlu menjawab pertanyaan Carol. Dia masih kesal karena tuduhan Carol tadi.

Melihat tak ada respon dari lelaki di depannya, Carol mengambil inisiatif untuk mengambil alih Alvin dari gendongan Belva. "Alvin, ikut Tante yuk. Tante Carol ini temannya Mama lho. Kita pernah ketemu di hotelnya Om Belva. Inget nggak?"

"Om Belva? Sejak kapan saya memberi ijin kamu untuk memanggil saya dengan sebutan om?" Belva menjauhkan Alvin dari tangan Carol yang sudah terulur.

Menghadapi Belva yang baru mode mengesalkan seperti ini memang butuh kesabaran tingkat dewa. Kalau dihadapi dengan emosi, yang ada bakal tambah menjadi. Lebih baik tidak usah diladeni, biar urusan cepat selesai. 

"Jadi ... Alvin mau main sama Tante Carol atau Pak Belva?"

"Saya bukan bapaknya," ketus Belva.

Ish, ini orang maunya apa sih? Baru PMS kali ya. Monolog Carol dalam hati.

Tentu saja tawaran Carol disambut gembira oleh bocah itu. Dengan penuh semangat, Alvin memelorotkan diri dari gendongan Belva. Langsung menggandeng Carol dan menariknya ke arah wahana.

"Eits, tunggu dulu dong." Carol menghentikan langkah Alvin. "Memangnya Alvin mau main dengan muka penuh ingus gitu? Dibersihin dulu yuk."

Belva memerhatikan interaksi antara Carol dengan Alvin. Tak dapat dipungkiri, ada rasa heran mengapa dua orang di depannya ini begitu mudah akrab. Padahal kalau dihitung jari, jelas Belva lebih sering bertemu Alvin. Namun, bocah ini terlihat jauh lebih nyaman saat bersama Carol.

"Bapak, ikut masuk?" tanya Carol setelah selesai membersihkan wajah Alvin dengan tisu basah yang selalu ia bawa.

"Kamu pikir kamu siapa? Bisa memutuskan apa yang harus saya lakukan?"

Carol menarik napas panjang. "Maksud saya, Bapak mau menunggu di sini atau ikut kami ke dalam?"

"Cuma menemani anak kecil main saja kamu tidak bisa?" ejek Belva.

Tarikan napas kedua. "Bukan begitu, Pak Belva. Daripada Bapak duduk sendirian nggak ngapa-ngapain di sini kan lebih enak ikut ke dalam."

"Kamu pikir saya pengangguran yang cuma duduk-duduk tanpa mengerjakan apapun? Pekerjaan saya banyak."

Tarikan napas ketiga. "Kalau begitu Bapak menunggu di sini biar bisa sambil kerja?"

"Kamu berani melarang saya ikut masuk?"

Tarik napas. Buang. Tarik lagi. Buang lagi. Carol sudah seperti ibu-ibu mau melahirkan yang sedang mengatur pernapasan. Seandainya yang di depannya ini bukan bos sekaligus pemilik hotel tempatnya bekerja, tentu Carol sudah menimpuk mulut cabe itu dengan alas kaki.

"Ya udah deh, terserah Bapak mau di sini atau ikut masuk." Carol menggandeng Alvin menuju ke loket masuk. Meladeni Belva adu mulut tidak mungkin cepat selesai.

Seingat Carol, dulu sikap Belva tidak separah ini. Kalaupun bermulut tajam, tapi bukan yang suka cari perkara. Dia hanya akan berulah kalau lawan bicaranya benar-benar tidak sesuai dengan prinsip yang Belva yakini. Namun, malam ini rasanya lain. Belva seperti anak-anak yang mencari perhatian.

Persis ABG labil yang sedang PMS. Senggol bacok mode on.

Seharusnya Carol sebal. Layaknya orang normal kalau diperlakukan seenaknya pasti akan melawan atau menjauh. Mungkin kali ini Carol sedang tidak waras. Bukannya cemberut atau kesal, dia justru tersenyum tipis. Ada rasa lega yang menyusup ke dalam hati.

Entah bagaimana model interaksi antara dirinya dengan Belva, bagi Carol keadaan barusan sudah ada kemajuan. Belva sudah mau melihat wajahnya tanpa tatapan menghakimi. Memang rasanya Carol ingin membungkam mulut cabe yang terus-terus bikin ulah.

Bagi Carol, dengan tanggapan yang diberi Belva sudah lebih dari cukup. Dia jadi merasa ada komunikasi dua arah. Bukan lagi bermonolog. Sedikit keyakinan muncul dalam diri Carol. Belva pasti bisa kembali seperti dulu. Menjadi teman yang bersedia mendukungnya di saat Carol merasa terpuruk.

"Alvin, hati-hati!" teriak Carol saat Alvin tiba-tiba memanjat ke jembatan gantung.

Melihat rapuhnya tali serta kayu yang menjadi pijakan, Carol tidak berani menyusul Alvin ke atas. Lagipula ada larangan yang menyatakan bahwa pengasuh tidak boleh ikut serta bermain di wahana. Untuk memegangi Alvin dari bawah pun tidak bisa ia lakukan. Berusaha berjinjit setinggi apapun, tangannya tetap tidak bisa menggapai Alvin.

"Makanya tumbuh itu ke atas bukan ke samping." Tahu-tahu Belva sudah berdiri di samping Carol. Memegangi samping kanan kiri betis Alvin, menjaga bocah itu supaya tidak jatuh.

Carol memajukan bibirnya, cemberut dengan komentar Belva. "Bapak, ada masalah apa sih? Dari tadi itu mulutnya manis banget, ya."

Mode diam Belva kembali aktif. Dia bergeser perlahan mengikuti langkah kaki Alvin. Rasa enggan dan malu untuk masuk ke wahana yang ia rasa memudar. Belva awalnya memilih duduk di luar wahana sambil bermain HP. Namun, tawa ceria Alvin dan Carol saat bermain lempar bola tadi, membuat lelaki itu tanpa sadar mendekat. Ingin ikut serta dalam keseruan mereka.

Hingga tanpa sadar Belva sudah berada satu langkah di belakang Carol. Menatap dan memperhatikan bagaimana gadis yang pernah mengisi hatinya itu tertawa. Menikmati pemandangan di depannya yang membuat seulas senyum terbit di ujung bibir. Membiarkan kehangatan masuk perlahan ke dadanya.

Tanpa sadar, Belva sudah membiarkan hatinya mencair.

Gimana?
Akhirnya keturutan kaaan Belva mulai deket sama Carol.
😁😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top