🌶🍭SCR-30🍭🌶

Hallo hallooo ....
Belva is in the house ....

Siapa yang kangen sama pasangan pedas dan manis ini? Udah kayak jagung bakar aja ye kan.

Semoga part ini feel-nya berasa yaaa ....

Jangan lupa:
1. Follow akun emak
2. Masukin Sweet Carolina Reaper ke perpus, biar kalian dapat notifikasi kalau emak update bab baru
3. Vote ⭐ di tiap bab
4. Koment juga yaaa

Happy reading
💜💜💜💜💜💜💜

"Anak? Keluarga Wijaya? Apa maksudnya?"

Pertanyaan Belva membuat dua wanita di depannya menoleh. Raut terkejut tidak dapat mereka sembunyikan. Terutama Indira. Dia tidak mengira, Belva akan memergokinya dengan Puspa. Istri kedua Anthony.

"Siapa Anda?" Belva mendekati Puspa dengan langkah pelan, tapi pasti. Tatapannya tak lepas dari kedua netra Puspa yang tampak bingung. Geraknya seperti seekor singa yang mengincar mangsa. Menetapkan target pada satu tujuan, mendekati perlahan, dan tiba-tiba mencengkeram erat hewan buruannya.

"Belva, kita naik sekarang!" perintah Indira. Dia tidak ingin Belva mengenal wanita ini. Cukup Anthony yang terpikat pada Puspa. Jangan sampai Belva pun tertipu dengan akal bulus Puspa.

"Apa maksud Anda dengan kalian tidak ada maksud untuk masuk ke keluarga kami?" Belva berdiri tegak tepat di hadapan Puspa. Tidak menghiraukan interupsi Indira. Aura intimidasi menguar dari dalam dirinya. Sudah dipastikan Puspa tidak dapat berkutik di bawah kakinya. Belva tidak akan melepaskan wanita ini sebelum mendapat jawaban yang diinginkan.

Sebenarnya ... Belva bisa meraba jawaban dari pertanyaan tadi. Melihat ketidaksukaan Indira dan isi pembicaraan mereka, kemungkinan besar wanita ini adalah istri simpanan papanya. Hanya saja, Belva ingin mendengar langsung dari orang yang bersangkutan.

"Belva," desis Indira sambil menengok kanan kiri. Jika dua wanita saling mengobrol, tentu merupakan hal biasa. Lain cerita kalau Belva masuk ke dalam percakapan. Akan terasa aneh. Ditambah kini mereka berada di lobi hotel tempat seluruh teman sosialitanya berkumpul. Indira tidak ingin timbul kecurigaan mereka.

"Apa Anda wanita itu?" tembak Belva langsung yang membuat Indira menarik lengannya.

"Jangan berbuat onar di sini, Belva!" larang Indira tajam yang tetap diabaikan oleh Belva.

"Bisa kita bicara sebentar?" Nadanya memang bertanya, tapi gestur dan raut Belva jelas memerintah. Karena dia tidak memberi kesempatan Puspa untuk menjawab. Belva mempersilakan Puspa untuk berjalan terlebih dahulu ke arah restoran. Mengabaikan pelototan dan cekalan Indira di pergelangan tangan.

"Belva, Mama peringatkan sekali lagi, jangan buat keributan di sini. Jangan bikin Mama malu!" Indira terpaksa mengikuti langkah Belva. Dia tidak akan membiarkan Puspa bermain peran di depan putranya.

Meja di pojok restoran yang terletak jauh dari pintu masuk menjadi pilihan mereka. Sekat berupa ukiran kayu jati asli Jepara dan penerangan yang temaram semakin menyamarkan keberadaan mereka di sini.

"Jadi, kapan kalian akan masuk ke Wijaya Kusuma?" tanya Belva tanpa basa-basi begitu pelayan selesai mengantar pesanan mereka.

Bohong jika Belva merasa biasa saja. Berada satu meja dan duduk berhadapan satu sama lain tak pernah ada dalam bayangan mereka. Bukan hanya Indira dan Puspa, bahkan Belva pun tak pernah menyangka. Seandainya tadi Belva tidak memergoki ibunya dengan Puspa, rasa penasarannya tentu tidak akan muncul. Toh selama ini Belva selalu bersikap masa bodoh dengan istri simpanan Anthony.

Mungkin seharusnya Belva tidak perlu ingin tahu. Mungkin lebih baik kalau Belva tetap menutup mata, seolah tidak melihat perdebatan Indira dengan Puspa. Namun, ternyata berhadapan langsung dengan sumber penyebab luka yang selama ini ia rasa, tak semudah membalik telapak tangan.

Belva harus berjuang menahan geram. Emosi marah, kecewa, serta benci yang selama ini ia pendam pada orang yang merebut perhatian Anthony akhirnya menemukan subjek pelampiasan. Bukan lagi sekadar nama dan bayangan. Akan tetapi, bukan berarti Belva bisa begitu saja mengamuk.

Belva dapat melihat wanita yang duduk tepat di depannya tampak menghela napas panjang. Rasa tidak nyaman terlihat jelas dari sorot mata dan gestur tubuhnya. Menimbulkan senyum miring yang sangat samar di bibir Belva.

"Tante sama sekali tidak ada pikiran untuk menyetujui usul papamu, Belva," jawab Puspa.

"Pandai sekali kamu bermain peran!" sambar Indira dengan tatapan sinis.

Puspa menggeleng cepat. "Tidak, Mbak. Kami tidak—"

"Tidak usah munafik! Jangan sok suci dengan bilang tidak mau merebut apapun. Selama ini kalian sudah mencuri apa yang bukan milik kalian," potong Indira cepat.

Napasnya mulai tersengal menahan emosi. Perasaan marah yang selama ini ia simpan, hampir saja meledak. Menjadikan netra Indira berkabut. Seandainya ia tidak bisa menahan diri, bisa dipastikan tetesan air mata sudah terjun bebas dari pelupuk mata

Belva meremas lembut telapak tangan Indira. Sedingin apapun Indira padanya, wanita ini tetaplah orang yang melahirkannya. Orang yang perlu Belva jaga.

Niat Belva berbicara dengan Puspa bukan untuk menghakimi atau memojokkannya. Bukan pula membuatnya malu dan menyesali kelakuannya selama ini. Ia cuma butuh tahu seperti apa wanita yang selama ini dibela Anthony mati-matian.

"Mana ada maling teriak maling," tambah Indira sambil memalingkan muka. Menyembunyikan kabut yang mulai menggenang di pelupuk mata.

"Kami benar-benar tidak ada niat untuk masuk ke keluarga Mas Anthony, Mbak."

Belva mengangkat sebelah tangan guna menghentikan ucapan Puspa. Rasanya menggelikan, mendengar pembelaan yang dilontarkan Puspa. Tidak ada niat, tapi mau dijadikan selingkuhan. Tidak mau merebut, tapi juga tidak melepaskan. Sangat bertolak belakang.

"Saya tidak peduli dengan niat Anda." Belva menyipitkan mata. Kedua siku ia tumpangkan ke atas meja. Lalu ia majukan tubuh, memangkas jarak dengan Puspa. "Silakan masuk ke Wijaya Kusuma dan tunjukkan diri kalian. Kalau perlu umumkan kalau kalian pun berhak atas Wijaya Kusuma."

"Belva!" Jelas Indira tidak setuju dengan ucapan Belva. Selama ini ia berusaha keras mempertahankan Wijaya Kusuma agar tidak jatuh ke tangan Puspa. Namun, dengan seenaknya Belva malah mempersilakan musuh mereka untuk maju.

Bentakan Indira tidak menyurutkan niat Belva membuka jalan untuk Puspa dan anak-anaknya. Dengan perlahan ia memundurkan tubuh, lalu menyandarkan punggung sambil melipat kedua lengan di depan dada. Baginya lebih mudah menghadapi musuh secara nyata dibanding bayangan yang tak berwujud. Dengan cara ini ia bisa memasang langkah yang tepat untuk melawan Puspa.

Bukan harta dan kekuasaan yang ingin Belva pertahankan. Sejak dulu Belva tidak tertarik dengan warisan Anthony. Namun, ego dan harga dirinya lah yang harus ia perjuangkan. Ia harus bisa membuktikan bahwa dirinya jauh berada di atas anak Anthony lainnya.

Selama ini ia selalu dibandingkan dengan anak-anak Puspa. Segala yang ia lakukan seolah kalah dari mereka. Dan kali ini kesempatan Belva untuk bisa bersaing secara langsung.

Puspa menggeleng. "Tante merasa sangat menyesal atas semua yang sudah Tante lakukan. Tante sadar, terlalu banyak yang kami ambil dari kamu. Tante tahu, apapun penjelasan yang Tante beri tidak bisa mengubah pemikiranmu pada kami. Sebanyak apapun Tante dan adik-adikmu meminta maaf, tidak bisa mengurangi sakit hatimu pada kami. Tapi percayalah, kami sama sekali tidak ingin masuk ke lingkungan Wijaya Kusuma. Kami tidak peduli dengan kedudukan, harta, atau apapun yang berhubungan dengan bisnis Mas Anthony."

Belva kembali tertawa sinis. Dalam hati, Belva memaki selingkuhan papanya itu. Secara tidak langsung wanita ini menyindir bahwa Belva dan Indira hanya mengincar harta Anthony. Namun, ia membiarkan Puspa melanjutkan ucapannya.

"Andrew ataupun Eliza tidak pernah tertarik untuk terjun di bisnis. Mbak Indira tentu sudah tahu, Andrew lebih suka berkutat dengan mesin dibanding managemen. Sedangkan Eliza jelas tertarik ke musik. Kami benar-benar tidak ada keinginan untuk masuk ke Wijaya Kusuma."

Sebelah alis Belva terangkat tinggi. Ia masih meraba seberapa tulus ucapan Puspa. Sulit dipercaya, mana ada wanita kedua yang sedemikian tidak memiliki ambisi untuk berkuasa. Entah karena memang Puspa bersikap apa adanya atau karena kelihaiannya menyembunyikan wajah asli.

"Dasar ular! Jangan harap aku percaya omonganmu! Tidak peduli dengan uang katamu? Lalu untuk apa kamu di sini? Jangan harap aku percaya kalau kamu sekadar tidak sengaja dapat undangan Gala Dinner. Niatmu memang sudah busuk dari awal, pakai bilang tidak ada keinginan," sembur Indira kesal. Sekuat tenaga ia berusaha menahan diri untuk tidak menjambak atau menampar wanita di depannya. Kesabarannya nyaris berada di ujung tanduk. Seandainya saat ini mereka tidak berada di ruang publik, sudah barang tentu Indira akan merangsek maju. Melampiaskan emosi yang selama ini ia pendam.

Belva menarik napas panjang. Percuma berlama-lama di sini. Ia yakin, Puspa akan tetap teguh pada ucapannya. Yang ada malah Indira tidak dapat menahan emosi. Setidaksukanya pada Indira, Belva tetap tidak akan membiarkan mamanya menanggung malu.

"Silakan Anda berdalih sesuka hati." Belva memundurkan kursi lalu beranjak dari duduk. Sebelum meninggalkan Puspa, Belva kembali menatap tajam wanita itu. "Dan saya tidak pernah menghalangi niat kalian."

Dalam langkah lebar, Belva keluar restoran. Samar-samar Belva masih mendengar ancaman Indira agar Puspa mengurungkan niat untuk datang ke Gala Dinner. Belva sudah tidak peduli, dia yakin mamanya bisa menjaga diri. Bukankah selama ini Indira sanggup bertahan hanya demi menjaga nama baiknya.

"Mama tidak paham sama sikapmu tadi. Bagaimana bisa kamu mempersilakan pencuri itu berbuat seenaknya sendiri. Kamu sama sekali tidak menghargai Mama, Belva!" cecar Indira begitu berhasil menyamai langkah putranya.

Belva menghentikan langkah dengan tiba-tiba. Ia menatap Indira tajam. "Kenapa? Mama takut aku kalah dari mereka? Atau Mama sudah merasa kalah dibanding mereka?"

Indira mengangkat dagu tinggi-tinggi, mencoba menekan rasa inferioritasnya. "Mama tidak pernah merasa kalah dan asal kamu ingat, Mama tidak membesarkanmu untuk kalah."

"Kalau begitu apa yang harus ditakutkan?" Belva kembali melanjutkan langkah.

"Kamu pikir papamu akan diam saja kalau kamu memberi mereka panggung? Papamu jelas memakai peluang ini untuk menendangmu."

Belva kembali menghentikan langkah, berbalik menatap Indira sembari tertawa sinis. "Sejak kapan aku peduli dengan semua ini? Mereka bisa merebutnya dari kita," Belva mengangkat dagu tinggi sambil memicingkan mata, sebelum melanjutkan ucapannya, "kalau mereka mampu."

Indira menelan saliva. Baru kali ini ia benar-benar melihat wajah dingin putranya. Selama ini dia pikir Belva tidak pernah serius membantunya melawan Anthony dan Puspa, tapi ternyata tatapan penuh keyakinan yang ia lihat dari Belva sungguh berbeda.

"Mama harap kamu terus memegang teguh keyakinanmu itu. Jangan sampai hal-hal tidak penting menghalangimu untuk melawan mereka. Ini semua juga demi masa depanmu."

Belva kembali mendengkus keras. Rasanya ia ingin sekali mengatakan bahwa yang ia lakukan selama ini hanya untuk Indira. Kalau menuruti kata hatinya, sudah tentu Belva memilih pergi. Memulai bisnisnya sendiri tanpa embel-embel Wijaya Kusuma.

"Minggu depan Mama akan menghubungi Pak Haris, kita harus mulai mengamankan semua aset—"

"Sudahlah, Ma," potong Belva cepat. Dia tahu, kalau sudah berhubungan dengan pengacara opanya satu itu, segalanya akan bertambah rumit. "Aku pikir—"

"Va!"

Perdebatan Indira dan Belva terhenti karena panggilan dari Cristal. Ibu satu anak itu berjalan tertatih menghampiri Belva. "Kita lanjutin di rumah," ujar Belva.

"Gue cariin lo dari tadi ternyata masih di sini," protes Cristal sebelum beralih menyapa dan menyalami Indira. "Apa kabar, Tante? Udah lama banget kita nggak ketemu, ya."

Indira gegas memasang wajah ramah, jangan sampai ada yang tahu tentang perdebatannya dengan Belva barusan. "Mamamu mana, Cris?" tanya Indira balik sambil membalas ciuman pipi yang Cristal layangkan.

"Udah di dalam dari tadi, Tan. Ini Cristal keluar juga nyariin Tante sama Belva. Acaranya udah dimulai, biasanya Belva paling males kalau terlambat." Cristal melirik pria di depannya.

Sebenarnya tadi Cristal sempat melihat perdebatan ibu dan anak ini. Jika bukan karena ada Gina, teman maminya yang penyebar gosip, tentu Cristal tidak akan menginterupsi Belva. Dia hanya tidak suka kalau orang lain menyebar berita tidak enak tentang sahabatnya itu.

"Gue nunggu di luar saja," ucap Belva.

Indira menatap tajam putranya. "Masuk dulu, Belva," perintahnya.

Cristal menggandeng lengan Belva. "Bener kata Tante Indira, Va. Lo udah jauh-jauh sampai sini, ngapain kalau cuma duduk di luar?" Cristal mempersilakan Indira untuk memimpin langkah menuju ruang gala dinner.

"Masuk bentar, Va, habis itu lo bisa cabut sama Alvin. Yang penting lo udah setor muka dulu," bisik Cristal memberi solusi.

Seperti makan simalakama, kedua pilihan yang dimiliki Belva tidak ada yang menguntungkan. Antara berada di kumpulan ibu-ibu hedon atau mengasuh balita. Keduanya ribet, membuat pusingnya semakin menjadi.

Akhirnya Puspa muncul kaaan ....
Bagaimana pun Puspa ini sumber permasalahan di keluarga Belva. Menurut kalian, ucapan Puspa beneran nggak?

Btw, akhirnya yang ditunggu-tunggu muncul lhooo ....
Emak spoiler dikit deh ....
Pada pengin lihat Belva dan Carol bermanis-manis ria kan? Kalau gitu tunggu chapter depan yaaa ....

Borahae
💜💜💜💜💜💜💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top