🌶🍭SCR-3🍭🌶️
Balik lagi sama Belva si mulut sepedas carolina reaper.
Jangan lupa follow akunku dulu, masykin SCR ke perpus, vote ⭐ di tiap bab, dan komen yang banyaaak ....
Borahae
💜💜💜💜💜💜💜
* * *
Lagu Kiss Me-soundtrack drama Korea Playfull Kiss-terdengar nyaring dari arah dapur. Siapa pun yang mendengar pasti tahu pelaku keributan di pagi buta ini.
"Astaga ... Dek, nyebut! Pantesan ayam-ayamnya Ayah pada nggak bertelur. Ternyata stres, pagi-pagi dengerin konser dadakan di dapur." Hani yang tengah bersiap untuk joging, terpaksa harus mampir ke dapur. Suara Carol pagi ini di atas batas kewajaran.
Carolina yang tengah mengocok memilih mengabaikan protes Hani. Dia hanya menoleh sejenak sambil menjulurkan lidah. Bukannya berhenti bernyanyi, Carol justru semakin memperbesar volume suara. Dia tahu, kakak sepupunya itu hanya bermaksud bercanda.
"Ini masih jam lima kurang, Dek. Bisa digerebek Pak RT kalau kamu bikin ribut begini," goda Hani lagi sambil mengambil botol minum di lemari makan lalu mengisi penuh dengan air mineral.
"Pak RT nggak bakal dengar, Mbak. Kan rumahnya di ujung gang. Lagian siapa yang bakal keganggu sih, Mbak? Orang kita nggak punya tetangga." Carol memberi sedikit kecap dan garam pada telur kocok, lalu mengaduknya lagi.
"Nggak ada tetangga gimana? Itu di belakang apa? Kalau mereka terganggu gimana?" pekik Hani sembari melirik pintu belakang. Dia selalu mewanti ibu, bapak, atau siapa pun di rumah, untuk jangan membuka pintu belakang sebelum matahari terbit. Deretan batu nisan di sana selalu membuat Hani bergidik ketakutan.
Carol berdecak sambil menyalakan kompor gas. "Biarin aja mereka keganggu. Biar nanti malam pada gantian gangguin Mbak Hani," balas Carol.
Sontak Hani mengucap istighfar berkali-kali lalu diakhiri ayat kursi. "Dek, kalau ngomong yang bener dong!"
Carol terbahak melihat gadis berbadan berisi itu bergidik ngeri. Satu-satunya saudara perempuan yang dimiliki Carol itu memang terkenal penakut. Apalagi rumah mereka yang baru sebulan lalu ditempati ini berdekatan dengan area pemakaman.
"Kenapa sih Ayah beli rumah ini?" gerutu Hani dengan kesal.
"Niat Pakde tuh bagus, Mbak. Biar Mbak Hani lebih berani. Mosok sama kuburan saja takut," goda Carol sambil terkikik geli.
Setelah pensiun dari dinas militer tiga bulan lalu dengan pangkat Kolonel, Suprapto memutuskan untuk kembali ke kota kelahirannya di Tangerang. Meskipun lahir di Banten, tapi sudah lebih dari empat puluh tahun dia tidak pernah menginjakkan kaki di Tanah Jawara. Sejak orang tua Suprapto meninggal, Suprapto dan mendiang ibunda Carol diboyong sang nenek ke Semarang. Hingga akhirnya Suprapto disekolahkan ke militer dan menikah dengan Yanti-gadis asli Semarang-membuatnya semakin tidak berkesempatan untuk kembali ke Banten.
"Ada apa lagi tho ini? Subuh-subuh wes rame." Aksen medok khas Jawa menyapa kedua gadis yang masih bersitegang.
Yanti memasuki dapur sambil membawa tas berisi sayuran. Salah satu pertimbangan Yanti mengambil rumah ini adalah adanya warung sayur yang sudah buka sejak dini hari. Jadi Yanti tidak perlu jauh-jauh ke pasar.
"Adek tuh, Bund," lapor Hani sambil mengerucutkan bibir.
Yanti geleng-geleng melihat kelakuan putri bungsunya. "Sudah mau nikah, masih wae seneng berantem sama adine."
"Mbak Hani aja yang penakut, Bude. Masak sama kuburan takut. Lagian pagi-pagi begini mana ada setan yang bangun. Nggak tahu, ya, kalau nanti malem." Carol kembali terbahak setelah menggoda Hani.
"Awas kamu, Rol! Biar nanti malam kamu yang didatengi genderuwo!" ancam Hani sebelum meninggalkan dapur sambil menggumamkan berbagai ayat suci Al Quran.
"Carol, Mbak, namaku Carol!" teriak Carol, "Awas lho di luar masih gelap, nanti di jalan ditunggu Mas Pocong!" lanjutnya sambil terkikik.
Gadis setinggi seratus enam puluh senti pas itu paling tidak suka jika namanya dipenggal. Panggilan 'Car' rasanya tidak akrab di telinga. Panggilan 'Rol' juga kurang enak didengar. Dulu, Carol pernah dipanggil Lina. Lebih lazim di lidah orang Jawa. Namun, Carol meminta diganti. Waktu kelas 1 SMP ada tiga orang teman sekelas yang bernama Lina. Akhirnya, dia hanya mau dipanggil Carol. Kadang kalau baru mode iseng seperti tadi, Hani sengaja memenggal nama Carol tanpa embel-embel 'dek'.
"Dasar jahil." Yanti mencubit pelan pinggang Carol. "Padahal kamu sendiri juga penakut. Coba ... siapa yang minta tidur bareng Bude kemarin?"
Carol jelas menolak dikatai penakut. "Aku nggak takut, Bude, cuma kaget. Namanya juga baru malam pertama di sini. Eh, ada bunyi gedubrakan dari belakang." Carol mematikan kompor setelah memastikan seluruh telur dadar matang sempurna. "Lagian cuma semalam tok," tambah Carol cepat.
Yanti mengeluarkan belanjaan lalu menata di tampah. "Untung Bude belum cerita ke Mas Fajar sama Mbak Hani, kamu bisa gantian diejek."
Yanti memiliki dua anak, yang pertama Fajar. Dia sudah menikah dan menetap di Solo. Putri kedua Yanti adalah Hani. Baru minggu lalu Hani dilamar, setelah lima tahun LDR Jakarta-Semarang. Sedangkan Carol sendiri bukan anak kandung Suprapto ataupun Yanti. Sejak Maya, ibunda Carol meninggal saat Carol berusia tujuh tahun, Carol diasuh keluarga Suprapto. Mereka sudah menganggap Carol seperti anak sendiri. Tidak pernah sekalipun membeda-bedakan antara Fajar, Hani, atau Carol.
"Jangan bilang ke Mbak Hani, Bude. Please," pinta Carol dengan memasang wajah memohon.
Yanti mengambil baskom untuk tempat kangkung. "Kening sama hidungmu bagaimana?"
Carol memindahkan telur ke piring saji, lalu menaikkan poni. "Masih biru, Bude." Terlihat jelas lebam di tengah kening dan lecet merah di ujung hidungnya.
"Sudah kamu kasih salep yang kemarin tho?"
"Sudah, Bude, tapi masih nyeri kalau dipegang. Awas aja kalau ketemu cowok itu lagi. Bakal aku bejek-bejek jadi rujak." Carol masih tidak terima ditinggal begitu saja sama pelaku tabrak lari.
Yanti tersenyum melihat kelakuan keponakan semata wayangnya. "Sudah sana mandi dulu, katanya mau berangkat lebih pagi. Nanti Bude yang menyiapkan meja makan."
"Matur nuwun, Bude." Carol mengecup pipi wanita yang selama sepuluh tahun ini menggantikan posisi mamanya.
Kejadian tabrak lari di tangga kemarin menyisakan dendam di hati Carol. Bagaimana tidak, dia tidak ada salah sedikit pun. Turun tangga di lajur kiri, sama sekali tidak menghalangi jalan. Namun, mendadak dari arah belakang diseruduk cowok tidak tahu diri yang bahkan setelah melihat Carol tersungkur di lantai bukannya menolong, mengucapkan maaf pun tidak.
Carol sempat mengejar si pelaku, tapi ketinggalan jejak. Lelaki itu keburu masuk mobil dan melarikan diri dengan kecepatan maksimal.
Dia kemarin dari lantai empat juga 'kan? Berarti sama-sama kelas tiga kan. Gampanglah, aku pasti bisa nemuin itu cowok. Lagian aku udah hafal mobil merahnya. Awas aja kalau nanti ketemu, bakal aku balas.
* * *
Carol gegas memasuki gerbang. Untuk sementara waktu Carol diantar jemput oleh Hani. Dia belum hafal rute jalan dan angkuta umum dari rumah ke sekolah. Carol menghentikan langkah sejenak demi memandangi pelataran sekolah barunya. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan bisa menamatkan bangku SMA di tempat semegah ini. Gedung sekolahnya dulu di Semarang hanya tingkat dua, bangunannya pun sudah mulai usang.
Baju seragam yang sekarang juga jelas berbeda jauh dengan sekolahnya dulu. Mungkin karena SMA Wijaya Kusuma adalah sekolah swasta, jadi di sini tidak memakai seragam putih abu-abu seperti SMA Negeri pada umumnya.
Baru saja kaki Carol kembali melangkah, terdengar klakson tepat di belakangnya. Membuat gadis mungil itu berjingkat kaget. Sedetik kemudian Carol mengaduh saat mendapati sebuah benda keras menabrak betisnya. Spontan Carol menoleh.
Apa-apaan sih ini orang? rutuk Carol dalam hati.
Carol menajamkan penglihatan untuk melihat orang yang duduk di belakang kemudi. Mulutnya sontak menganga saat menyadari mobil yang hampir menabraknya adalah mobil yang sama dengan milik cowok di tangga kemarin. Dia hafal betul model, warna, dan plat nomor.
Sekali lagi klakson berbunyi. Bukannya minggir, Carol berjalan mendekati pintu pengemudi sambil berkacak pinggang. Giginya sudah bergemeretak menahan geram. Klakson kembali terdengar. Beberapa siswa yang lewat menjadikan mereka tontonan.
"Heh, turun kamu!" perintah Carol dengan wajah penuh amarah. Dia yakin sekali, pengemudi ini adalah orang yang sama dengan cowok kemarin. Bukannya menuruti Carol, pengemudi mobil merah itu kembali membunyikan klakson.
"Nyari perkara banget ini cowok," gumam Carol sambil menaikkan lengan blazer. "Hei, tukang tabrak, turun sekarang juga!"
Dari balik kaca, Carol bisa melihat wajah oriental dari si pengemudi. Rambut bergelombang dengan poni menutupi kening, mata sipit, hidung mancung, rahang tegas.
Ganteng juga. Carol buru-buru menggeleng untuk mengenyahkan pikiran yang melantur. "Nggak tahu aturan banget! Aku bilang turun dari mobil jelekmu ini! Oh, nggak berani, ya? Takut sama aku? Pantesan dari kemarin kamu lari terus. Denger, ya, jadi cowok itu harus berani ngaku salah, tahu nggak!"
Rupanya si pengemudi sama sekali tidak mendengarkan omelan Carol. Dia malah memajukan mobilnya hingga samping mobilnya kembali menyenggol kaki Carol. Jelas saja Carol semakin meradang. Carol mengetuk pintu mobil merah tersebut dengan perlahan. Bisa gawat kalau sampai penyok. Nanti aku ganti rugi malah repot.
Carol kembali mengetuk hingga tiga kali. Namun, cowok di dalam mobil tetap tak memberi respon. Wajahnya tetap datar. Flat seperti kanebo kering.
"Ini cowok sudah gila atau gimana sih?" Carol mengerutkan kening, bingung bagaimana lagi menghadapi lelaki di balik kemudi. "Turun nggak! Atau aku pecahin kaca mobilnya." Carol menunjuk tepat di wajah si pengemudi.
Carol kembali mengetuk pintu mobil. Kali ini dengan lebih kencang. "Kamu cowok bukan sih? Buka pintunya!"
Akhirnya cowok itu memberi respon dengan menurunkan kaca mobil. Jangan harap ada sapaan manis atau senyum lembut. Lelaki itu bahkan ogah untuk sekadar menoleh ke arah Carol. Hanya sebuah lirikan singkat disertai helaan napas panjang.
"Aku bilang pintu, bukan jendela! Jangan harap kamu bisa lari lagi. Kamu pikir kamu siapa bisa seenaknya sendiri, hah? Kemarin kamu sudah nabrak aku, sekarang diulang lagi, terus kamu pikir bisa lari gitu aja? Memangnya ini sekolah punya nenek moyangmu?" cerocos Carol sambil menunjuk-nunjuk wajah datar di depannya.
Cowok itu tersenyum sinis sambil mengganti persneling. Tatapannya lurus ke depan. "Sekolah ini bukan punya nenek moyang gue, tapi bokap gue," ucap cowok itu tepat sebelum melajukan mobil ke arah parkir. Meninggalkan Carol yang mematung dengan tampang syok.
Dua kali. Dua kali cowok brengsek itu melarikan diri di depan hidungnya. Carol bersiap menyusul ke tempat parkir tepat saat bel sekolah berbunyi.
Sial! Aku telat! Semua gara-gara cowok kurang ajar itu!
Alih-alih ke tempat parkir mobil, Carol berlari kencang menuju kelas di lantai empat. Jangan sampai dia dapat poin di hari kedua.
Istirahat nanti, aku bakal cari cowok itu sampai ketemu! Janji Carol pada dirinya sendiri.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top