🌶🍭SCR-28🍭🌶

Siapin cemilan dulu, Gaes, biar bacanya enak ....

Yang berharap hubungan Belva-Carol mulai membaik, harap bersabar, yaaa ....

Butuh proses bagi Belva untuk menerima masa lalu Carol. Bayangin deh, siapa yg mau sama cewek yg pernah masuk kamar hotel sama ayahnya?

Tenang, nanti waktu yg akan menjawab
💜💜💜💜💜💜💜

Carol tersenyum lebar mendapati 2 lembar voucher makan gratis di Itaewon. Rumah makan Korea yang baru buka tak jauh dari GWS. Sudah lama ia ingin sekali mencicipi makanan dari negeri oppa-oppa kecintaannya itu. Namun, baru melihat daftar harga yang tersebar di internet, sudah membuat niat Carol pupus.

Tidak mungkin kan dia membiarkan 10 hari uang makan siangnya lenyap untuk sepaket daging panggang dan sepiring kecil kimchi. Saat ini saja Carol sedang mengencangkan ikat pinggang. Mobil tua Suprapto beberapa kali mogok di tengah jalan. Wajar saja, kendaraan itu lebih tua dari umur Carol. Sudah waktunya untuk mengganti dengan yang baru.

Kemarin Carol sempat mencari informasi harga jual mobil Suprapto. Jika ditambah tabungannya, masih kurang banyak untuk membeli mobil baru. Paling cuma sanggup menukar dengan tahun yang lebih baru. Tidak apa-apalah, yang penting keluarganya tidak lagi kesusahan.

"Serius ini buat aku, Sam?" Carol masih tidak percaya Samuel memberi secara cuma-cuma.

"Lidahku nggak cocok sama masakan Korea, Mbak." Samuel menutup pintu loker, memasukkan kunci ke kantong celana panjang.

Kirana menyambar dua lembar voucher dari tangan Carol. "Ini asli kan?"

Samuel mengerucutkan bibir. "Ya kali aku bohong, Mbak. Kemarin aku menang kuis di radio Saranghae FM. Aku pikir bisa milih hadiah, ternyata dapatnya itu."

"Lo nggak minta ganti rugi dari gue kan? Atau ntar ada syarat dan ketentuan dari Itaewonnya?" Kirana perlu memastikan sekali lagi kalau gratisan yang ia dapat ini aman. Tidak lucu kan kalau sudah sampai sana ternyata mereka harus keluar duit juga.

"Percaya deh sama aku."

Carol, Kirana, dan Samuel berjalan beriringan menuju lobi. Minggu ini, mereka dapat jatah shift pagi. Setelah briefing pagi dengan Firman, Samuel sengaja mengajak kedua gadis di sampingnya kembali ke ruang loker untuk mengambil voucher.

"Berarti ini sah untuk kami, ya?" Carol mengulurkan tangan kanan.

"Sah!" Samuel membalas uluran tangan Carol, sebelum melenggang menuju meja GRO. Sedangkan kedua gadis itu menuju meja mereka.

Baru semenit menempati posisi di resepsionis, seorang pria mengetuk meja resepsionis. Kumis tebal, dengan kaca mata hitam besar, celana model cutbray hijau terang, dan kemeja lengan panjang motif bunga-bunga merah membuat tampilan laki-laki ini menarik perhatian pengunjung GWS. Satu embusan kuat Carol loloskan begitu menyadari siapa yang tengah berdiri di hadapannya. Kalau bukan tuntutan pekerjaan, Carol jelas malas berdiri menyambut orang ini, apalagi harus beramah tamah.

"Selamat pagi, Bapak. Ada yang bisa kami bantu?" tanya Carol sembari mengulas senyum karir.

"Pagi, Calon Istri. Mas Jack mau nginap di sini lagi nih. Kangen sama kamu. Sudah sebulan lebih nggak ketemu."

Kalau membunuh tidak masuk tindak pidana, mungkin sudah dari dulu Carol mencekik laki-laki ini. Carol mengangguk sopan dengan senyum yang dipaksakan. "Baik, Bapak. Di Grand Wijaya Serpong ada beberapa pilihan kamar yang bisa—"

"Mas pakai kamar biasanya saja, Sayang. Yang bisa lihat taman belakang." Dengan penuh gaya dilepasnya kaca mata hitam lalu menyelipkan di kantong kemeja.

Yang paling murah dan bisa lihat orang berenang, imbuh Carol dalam hati. Tamunya satu ini bisa dibilang makhluk langka. Hanya ada 1 dari total penduduk bumi. Seharusnya dia diawetkan dan dimasukkan ke museum purba, daripada mengganggu ketentraman orang lain.

"Baik, Bapak. Ada beberapa kamar di lantai enam dan tujuh yang sesuai dengan permintaan Bapak," ucap Carol setelah membuka sistem di komputer untuk melihat kamar yang masih kosong.

"Yang mana saja, Yang. Kan cuma untuk bobo saja." Lelaki itu mengedipkan sebelah mata ke arah Carol.

Hampir saja Carol muntah melihat tingkah tamunya ini. Ia harus menghela napas panjang berkali-kali, berusaha menyabarkan diri. Sedangkan di sebelahnya, Kirana mati-matian menahan tawa. Siapa sih pegawai GWS yang tidak kenal Joko Samudro, orang kaya baru pemilik rumah makan Masakan Jawa yang sedang booming di Ibukota.

Padahal rumahnya juga di Jakarta Pusat. Bukan di luar kota apalagi beda provinsi. Namun, kebiasaannya menginap di GWS sejak setahun lalu, belum juga hilang. Bukan karena ada bisnis. Bukan juga untuk bersantai dengan keluarga. Hanya untuk bertemu dengan Carol. Gila bukan.

Carol sudah hafal, setiap pertengahan bulan, lelaki ini pasti menginap di GWS. Oleh karena itu, bulan lalu Carol mengajukan cuti supaya tidak perlu bertemu dengan Joko. Namun, sialnya, Joko justru datang setelah jatah cuti Carol habis. Seolah Joko Samudro ini cenayang yang bisa menerawang masa depan.

"Yang, nanti siang makan bareng Mas Jack yuk." Kedipan kedua disertai senyum lima jari dihadiahi Joko ke Carol.

"Boleh saya pinjam kartu tanda pengenalnya, Bapak?" Carol mengabaikan ajakan pria empat puluh tahun di depannya.

Joko mengeluarkan dompet dari saku belakang celana. Melambai-lambaikan selembar kartu pengenal di depan muka Carol. "Mas Jack kasih, asal Ayang Carol mau makan siang sama Mas Jack."

Pulang sana! Pulang ke alam baka sekalian! Pekik batin Carol jengkel.

"Mohon maaf, Bapak, silakan bisa dipertimbangkan terlebih dahulu apakah jadi menginap atau tidak." Carol menunjuk deretan sofa di lobi.

"Ayang bebeb ini selalu jual mahal." Joko menyerahkan tanda pengenal. "Padahal Mas Jack yakin, Ayang hafal identitas Mas Jack."

Carol mengisi formulir dengan cepat. Seharusnya tamu sendiri yang mengisi formulir check in, tapi membiarkan Joko mengerjakan sendiri itu sama saja Carol bunuh diri. Bisa dipastikan dia akan berdiri di sini seharian.

"Silakan tanda tangan di sini, Bapak." Kali ini Carol sengaja tidak menanyakan Joko akan menginap berapa lama atau hal-hal lain yang berkaitan dengan kenyamanan pengunjung.

Biar saja, toh nanti Joko pasti akan mencari ribuan alasan untuk bisa menanyakan atau meminta hal tersebut kepada Carol.

"Yang, Mas Jack beli mobil baru. Pulang kerja jalan yuk." Joko memamerkan kunci dengan gantungan boneka Teletubbies sebesar kepalan tangan.

"Ini kunci kamarnya, Bapak." Carol menyerahkan kartu sesuai kamar yang akan Joko tempati. Lalu memanggil salah seorang bell boy untuk mengantar Joko ke atas.

"Yang, habis ini kita teleponan, ya. Love you, Bebeb." Joko melambai sambil sesekali meniupkan cium jauh ke arah Carol.

"Astaga! Itu orang kenapa masih hidup sih?" Carol menghentakkan kaki sambil menggerutu saat Joko sudah tak terlihat.

Kirana sudah tidak bisa menahan tawa lagi. Bahkan ia sampai terbungkuk-bungkuk geli melihat seberapa getol Joko mendekati Carol.

"Nasib lo apes bener," ucap Kirana di tengah gelak tawa.

"Tolong kamu handle telepon, ya, Ran. Please," mohon Carol sambil menangkupkan kedua telapak tangan. Ucapan Joko tentang 'teleponan' tadi maksudnya Joko akan menghubungi telepon resepsionis lewat saluran di kamarnya.

"Ternyata resepsionis kita punya fans club, ya."

Suara merdu disusul kekehan lembut membuat Carol menoleh ke kanan. "Selamat pagi, Bu Marsya, Pak Belva." Carol gegas berdiri, mengangguk untuk memberi salam ke dua orang tersebut.

"Lucu juga orang tadi," lanjut Marsya.

"Lucu karena bukan Ibu yang jadi bulan-bulanan," gerutu Carol dengan mulut cemberut. "Coba Ibu di posisi saya, rasanya pengin bunuh itu orang."

Marsya kembali tertawa renyah. "Sayangnya saya tidak setenar kamu. Tidak banyak yang mengejar-ngejar saya." Marsya melirik Belva sambil tersenyum.

"Dia terkenal?" Belva mencemooh Carol dengan tatapan sinis. "Dasarnya memang perayu laki-laki."

Carol ternganga mendengar ucapan Belva. Kalau tidak ingat banyak pasang mata di sekitar mereka, tentu Carol sudah membalas ucapan Belva.

Marsya menepuk lengan Belva lembut. "Bos kita ini memang kalau bercanda agak pedas, ya."

Carol membalas ucapan Marsya dengan senyum terpaksa. Bawaan lahir udah kayak gitu sih. Pedes banget mulutnya. Mungkin ibunya ngidam nyemil cabe rawit.

"Mereka cocok banget, ya," bisik Kirana begitu kedua bosnya beranjak dari meja resepsionis menuju lounge.

Carol bergidik ngeri membayangkan wanita seanggun Marsya harus bersanding dengan Belva. "Kasihan Bu Marsya."

"Eh, lo tahu nggak?" Kirana menggeser kursi hingga menghadap Carol. "Gue denger dari anak atas, mereka pernah pacaran waktu kuliah. Bisa jadi sekarang CLBK kan? Pak Belva juga kelihatan biasa aja tuh dielus-elus sama Bu Marsya ...."

Carol mengabaikan gosip Kirana yang masih berlanjut. Pantes aja, baru sebulan kerja di sini, tapi Bu Marsya udah kelihatan akrab banget sama Belva.

* * *

"Hei, are you oke?"

Sentuhan Marsya di lengan kiri, menyadarkan Belva dari lamunan. "Hm."

Belva melempar pandang ke luar jendela mobil. Dia tidak merasa ada masalah. Pertemuan dengan kontraktor yang akan menangani renovasi area terbuka GLW termasuk kolam renang, berjalan mulus. Negosiasi harga sudah menemui titik temu. Garis besar rancangan yang ia inginkan juga sudah disampaikan. Tinggal menunggu desain pasti yang mereka ajukan.

"Aku perhatiin dari tadi kamu kurang fokus. Kamu nggak sakit kan?" Marsya menempelkan punggung tangan ke kening Belva.

Belva menepis tangan Marsya, merasa risih dengan perhatian yang gadis ini beri. "Sudah malam, kamu balik hotel atau bagaimana?"

"Dinner dulu yuk. Aku laper nih." Tanpa menunggu jawaban Belva, Marsya langsung memberi instruksi ke sopir menuju rumah makan yang ia sebutkan.

Tadi sore, mereka sengaja berangkat bersama menggunakan mobil dan sopir kantor. Menurut Marsya lebih efisien dan tidak buang waktu.

Keputusan Belva untuk menjadikan Marsya menjabat sebagai manager keuangan adalah pilihan tepat. Walau belum tampak hasil secara signifikan, tapi masukan serta gagasannya untuk memangkas beberapa anggaran yang kurang perlu dan mengalokasikan ke promosi, Belva rasa cukup menjanjikan.

Meski harus Belva akui, terkadang sikap Marsya padanya terlalu berlebihan. Seolah ingin semua orang tahu bahwa ada 'sesuatu' di antara mereka. Bahkan Belva mulai dengar gosip tentang hubungan masa lalu mereka dulu.

"Va, ntar anterin aku pulang aja, ya. Males banget harus ambil mobil ke hotel, masih harus nyetir sampai rumah. Capek banget badanku. Kamu masih inget rumahku kan?"

Belva bisa melihat Sartono, sopir kantornya, melirik mereka lewat spion. Belva berdehem cukup keras, membuat Sartono kembali fokus ke depan.

"Kamu bisa pulang sama Pak Tono, setelah mengantar saya ke hotel."

Marsya menatap Belva penuh permohonan. "Mami pengin ketemu sama kamu lho. Katanya mau ngucapin makasih karena udah ngizinin aku pindah kerja ke GLW."

"Tidak perlu. Kamu diterima karena usahamu sendiri. Bukan karena saya."

Marsya mengembuskan napas panjang. Merobohkan dinding baja di hati Belva ternyata tidak semudah yang diharapkan. Padahal dulu, dia dengan mudah bisa meraih perhatian Belva. Walau tidak bertahan lama. Seharusnya kali ini pun ia tidak akan gagal bukan.

"Va, kamu nggak alergi makanan Korea kan? Dari minggu lalu aku udah pengin banget ke sini, tapi nggak ada temen." Marsya merapikan riasan saat mobil memasuki halaman parkir rumah makan yang ia maksud.

"Pak Tono, kamu ikut masuk," perintah Belva begitu mobil terparkir sempurna.

Namun, lirikan tajam Marsya dari spion membuat Sartono menggeleng. "Saya di mobil saja, Pak. Maklum, lidah Jawa kurang cocok dengan makanan asing."

Belva mengeluarkan selembar uang berwarna merah, menyerahkan ke Sartono, menyuruhnya untuk mencari makan di luar. Belva akan menghubungi Sartono jika mereka sudah selesai makan malam. Sehingga Sartono bisa menjemput di sini.

Rumah makan yang mereka datangi sangat terasa nuansa Korea. Pelayan dengan menggunakan hanbok, pakaian adat Korea, menyambut mereka di depan pintu.

"Untung kita masih dapet meja, Va. Rame banget gini," bisik Marsya saat pelayan mengantar mereka ke meja kosong di sisi kiri rumah makan.

Belva bukan penggemar Korea. Lidahnya jelas lebih cocok dengan masakan rumahan. Menurutnya lebih enak acar timun dibanding kimchi. Lebih enak mie instan selera kita semua dibanding samyang atau jjangmyeong. Rendang jauh lebih menggiurkan daripada galbi atau bulgogi. Ah, satu lagi, nasi goreng Parmi seribu kali lebih sedap ketimbang bibimbap.

"Eh itu anak FO kita kan?" Marsya menggandeng lengan kiri Belva sambil menunjuk dua meja di depan mereka.

Decak kesal tak dapat Belva tahan, saat melihat Carol di depan sana. Ngapain anak itu di sini? Sudah jam segini masih kelayapan.

Bukannya berjalan ke arah meja yang ditunjukkan pelayan, Marsya menggeret Belva menemui Carol. "Malam," sapa Marsya ramah.

Carol dan Kirana sontak mengangkat wajah. Keduanya tidak bisa menahan ekspresi terkejut melihat Belva dan Marsya juga berada di sini. Terlebih dengan jari-jari lentik Marsya yang memeluk lengan Belva.

Kirana yang pertama tersadar langsung menyapa balik. Mempersilakan keduanya untuk duduk bersama mereka. "Bapak sama Ibu juga suka makanan Korea, ya?"

"Saya yang suka, Pak Belva cuma ngikut apa kata saya saja." Marsya mengajak Belva untuk bergabung dengan Carol dan Kirana sejenak.

Carol mengulum bibir menahan komentar yang hampir terlontar. Yaelah, segitu bucinnya sampai apa-apa ikut. Kirain kutub utara nggak bisa romantis. Ternyata bisa mencair juga.

"Kalian berdua saja?" Marsya menengok kanan kiri, mencari mungkin ada orang lain yang bersama kedua anak buahnya.

"Iya, Bu, ini juga nggak mungkin kesampaian ke Itaewon kalau bukan karena Samuel," jelas Carol.

"Samuel?" gumam Belva. Rasanya Belva pernah dengar nama itu, tapi lupa di mana.

"Anak FO juga, Pak, yang sering di meja GRO." Carol menjelaskan. "Dia dapat voucher makan gratis di sini. Karena nggak doyan, ya udah deh buat saya dan Kirana. Rejeki nomplok kan."

"Tukang rayu yang sukanya gratisan," gumam Belva yang ternyata masih bisa didengar Carol

"Maksud Pak Belva?" Carol meletakkan sumpit ke atas piring. Kali ini dia sudah tidak bisa menahan diri. Toh kali ini sudah di luar jam kerja. Hubungan mereka bukan lagi atasan dan bawahan.

"Dari tadi pagi, Bapak mengatai saya yang tidak-tidak terus, maksudnya apa? Saya ada salah apa sih ke Bapak?"

Melihat tidak ada respon dari Belva, Carol kembali melanjutkan, "Bapak masih dendam sama saya gara-gara masalah yang dulu itu?"

"Ya," jawab Belva tegas.

Jika Carol mengarah pada insiden dengan istri Adit, maka Belva mundur lebih jauh. Ke sepuluh tahun lalu, saat ia melihat dengan mata kepala sendiri Carol masuk ke kamar hotel dengan Anthony.

"Sudah saya jelaskan berkali-kali ke Bapak, kalau insiden itu bukan salah saya. Bapak bisa menanyakan ke karyawan lain. Saya sama sekali tidak pernah bergenit-genit, merayu, apalagi berusaha merebut suami orang."

Belva memandang sinis ke gadis di depannya. "Pikirkan dulu sebelum bicara."

Kirana sibuk menginjak ujung jari kaki Carol. Memberi kode supaya tutup mulut. Bisa gawat kalau mereka bikin keributan di sini. Bukan cuma bakal diusir, tapi bisa jadi diusir juga dari GWS.

"Saya tidak tahu Bapak ada masalah apa sama saya. Yang jelas, saya tidak pernah melakukan satu kesalahan pun kepada Bapak. Baik dulu atau sekarang." Carol memberi penekanan pada kalimat terakhir. "Perkara Bapak yang ada dendam ke saya, silakan selesaikan dengan diri Bapak sendiri. Saya sudah mencoba menanyakan kesalahan apa yang sudah saya lakukan sampai Bapak sebenci ini ke saya, tapi tidak pernah sekali pun Bapak menjawab dengan jelas.

"Seharusnya Bapak sadar, ini sudah tahun 2021, Bapak bukan lagi anak SMA yang egois. Seharusnya Bapak bisa bersikap lebih dewasa. Jangan bersikap seenaknya sendiri mengatai saya wanita perayu, wanita penggoda, atau apapun pikiran negatif Bapak ke saya. Karena semua tuduhan Bapak itu tidak benar!"

Carol beranjak dari duduk, menyambar tas, lalu meninggalkan meja dengan menghentak. Masa bodoh dengan daging yang masih tersisa setengah piring. Masa bodoh dengan kemarahan Belva. Masa bodoh kalau besok dia dipanggil ke kantor Belva atau bahkan dipecat.

Sikap Belva sudah sangat keterlaluan. Selalu mengatai Carol sebagai wanita tidak benar. Bagi Carol, ucapan Belva sangat melukainya. Puluhan tahun Carol selalu mendengar orang mengatai ibunya wanita nakal. Butuh usaha berat agar Carol bisa berdiri tegap menatap masa depan tanpa embel-embel anak haram. Dan kini sikap Belva seolah membuka luka lama yang masih berdarah.

Nah lhooo, sekalinya ketemu berantem lagiii  ....

Kapan sih mereka akur?
😣😣😑😑

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top