🌶🍭SCR-26🍭🌶
Belva sedikit malas untuk berpindah posisi. Setelah lelah berenang bolak-balik, hanya dengan celana renang yang masih basah, rambut belum kering bahkan titik air masih terlihat di badannya yang seputih salju, Belva berbaring terlentang di kursi santai pinggir kolam.
Matanya sudah menempel, walau dia tidak benar-benar tertidur. Sepenuhnya masih dalam kondisi sadar. Dia pun tahu sinar matahari mulai menjalar ke tempatnya berbaring. Daripada menggeser kursi ke tempat yang teduh, Belva membiarkan badannya terkena sinar ultraviolet.
Baru jam delapan pagi, jadi sinarnya belum begitu menyengat. Masih baik untuk kesehatan. Lagipula berjemur barang sejam dua jam belum tentu membuat kulitnya terbakar.
Semalam dia terpaksa pulang ke rumah orang tuanya. Belva pikir nongkrong dengan teman-teman semasa kuliah dulu, tidak sampai larut malam. Paling jam 10-11 dia bisa pulang. Kenyataannya dia disandera sampai pukul dua pagi.
Kalau bukan karena paksaan Gery, Belva jelas memilih tidur di apartemen ketimbang nongkrong tidak jelas. Apalagi ternyata sesampainya di kafe, seluruh pembayaran dibebankan pada Belva. Dengan alasan syukuran atas kepulangan Belva dari Australia. Padahal di sana, Belva hanya duduk diam, sesekali menimpali ucapan temannya. Menyebalkan sekali.
Dini hari mengendarai mobil selama lebih dari empat puluh lima menit untuk pulang ke apartemen, setelah seharian bekerja, rasanya ia tak sanggup. Alhasil, ia terpaksa membelokkan mobil ke rumah orang tuanya. Keputusan yang dia ambil hampir seperti gambling. Kalau Anthony ada, maka dia akan putar balik. Lebih baik menginap di GWS daripada serumah dengan lelaki itu.
Untung saja Anthony tak ada di rumah. Kata satpam penjaga rumah, orang tuanya sudah seminggu lebih tak ada di rumah. Belva tahu ke mana perginya sang mama. Bella dan Cristal cerita kalau ibu-ibu mereka ke Italia. Menghadiri salah satu peragaan busana kelas dunia yang hanya diadakan setahun sekali.
Sedangkan Anthony, Belva sama sekali tidak peduli. Paling lelaki itu sedang berada di rumah istri keduanya. Belva tak lagi memikirkan tentang bagaimana timpangnya perhatian Anthony. Malah kalau perlu, Belva tidak ingin melihat wajah orang itu.
Cukup melihatnya saat rapat pemegang saham Grand Wijaya saja mereka bertemu. Selebihnya Belva menganggap seperti orang asing. Toh selama empat tahun Belva di luar negeri, tak pernah sekali pun Anthony menghubunginya apalagi mendatangi Belva ke Australia. Belva pulang pun tidak ada yang mencari. Seolah kalau Belva mati juga tidak akan ada yang merasa kehilangan.
"Den, sarapannya sudah siap." Panggilan Parmi membuat Belva membuka sedikit kelopak mata. "Apa ndak panas tho, Den? Mbok yo geser sedikit."
Belva mengangkat tangan tinggi-tinggi, meregangkan otot punggung. Sudah lama tidak berenang ternyata membuat ototnya terasa pegal. Sepertinya Belva harus mulai mengatur jadwal agar bisa ikut kelas fitnes atau olah raga lain. Terlalu lama dimanjakan, tubuh Belva jadi melar. Perutnya walau tidak buncit, tapi mulai tampak timbunan lemak di sana. Lengan dan pahanya pun sudah mulai menggelembung. Terlebih bagian pipi yang semakin terlihat cubby.
"Masak apa, Bi?" Sudah lama Belva tidak mencicipi masakan Parmi. Kangen juga dengan nasi goreng telur ceplok buatannya.
"Ada rawon, Den. Apa Den Belva mau dimasakin nasi goreng?"
Belva menggeret tubuh ke posisi duduk. Kulit wajahnya mulai terasa panas. Ia yakin wajahnya sekarang pasti merah seperti udang rebus. Belva tidak takut hitam, hanya khawatir kalau kulitnya terbakar matahari. Pasti rasanya kurang nyaman dan tentu saja akan mengurangi kadar ketampanannya.
"Nggak perlu, Bi." Belva memakai bathrobe lalu mengikat kencang. Rambutnya sudah kering, sehingga ia tak perlu repot-repot mengeringkan dengan handuk.
"Bik Parmi seneng banget waktu tahu Den Belva semalem pulang. Bibik kangen sama Den Belva." Parmi menatap juragannya dengan mata berkaca-kaca. Padahal tadi pagi begitu melihat Belva turun dari kamar, wanita paruh baya itu sudah memeluk Belva dengan berlinang air mata.
Belva tersenyum tulus. Parmi adalah salah satu dari segelintir orang yang berarti bagi Belva. Parmi yang selalu ada saat Belva sakit. Parmi juga yang menggantikan sosok ibu, memberikan kasih sayang yang selama ini tak pernah diberikan Indira. Dia juga lah salah satu alasan semalam Belva memutuskan untuk pulang.
"Bi, ikut gue ke apartemen saja." Belva merangkul bahu Parmi sambil mengajaknya masuk ke ruang makan. Dia baru melepaskan wanita itu setelah duduk di kursi makan.
Sudah jadi kebiasaan, Parmi selalu mengambilkan nasi serta lauk untuk Belva. "Den Belva mbok balik rumah saja tho. Bibik ndak tega ninggal juragan Nyonya."
Belva menaikkan kedua alis sambil tersenyum miring. "Bukannya Bibi yang sering ditinggal Mama?"
Parmi menuang air mineral ke gelas lalu meletakkan di samping piring Belva. "Kasihan Nyonya, Den. Nanti saja kalau Den Belva sudah nikah, Bibik diajak. Biar Bibik yang momong anaknya Den Belva."
Parmi sudah pernah berjanji untuk terus ikut keluarga Wijaya sampai kapan pun. Karena baginya Wijaya adalah satu-satunya keluarga. Dulu dia pernah menikah, tapi hanya bertahan enam tahun. Parmi diceraikan suaminya karena tidak bisa memberi keturunan. Sejak saat itu Parmi tidak menikah lagi. Orang tuanya juga sudah lama meninggal. Jadi dia tak punya tanggungan.
"Memange ndak ada pegawai di apartemen, Den?"
Belva menarik kursi di sebelahnya dan menyuruh Parmi untuk duduk. "Ada asisten paruh waktu untuk bersih-bersih. Datang setiap pagi, pulang siang."
"Lha terus yang masak siapa?"
"Makanya Bibi ikut gue."
Parmi menerawang ke arah kamar Indira. Dia tahu betapa kesepian nyonyanya itu. Di rumah ini cuma Parmi yang berani mengajaknya ngobrol. Kalau dia ikut Belva, bagaimana nasib Indira. Walau keinginan untuk selalu dekat dengan anak asuhnya begitu besar.
"Bibik ndak tega sama Nyonya, Den," ulang Parmi. "Apalagi kalau pas Tuan pulang. Ndak ada yang—" Ucapan Parmi terpotong saat pintu depan terbuka. Lalu terdengar suara langkah kaki memasuki rumah.
Belva dan Parmi sontak menoleh ke arah depan. Tidak semua orang bisa masuk ke rumah ini, karena setiap tamu pasti ditanya keperluannya. Jadi kemungkinan cuma dua, Indira atau Anthony.
"Lho, Nyonya kok sudah pulang?" Parmi berbondong-bondong menghampiri Indira. "Katane di sana agak lama."
Belva kembali menyantap rawon di piring. Enak. Masakan Parmi selalu pas di lidah Belva. Mungkin karena sejak balita lidah Belva sudah terbiasa dengan rasa masakan Parmi.
"Kamu di rumah."
Belva tidak merasa harus menjawab. Karena perkataan Indira lebih terasa seperti pernyataan ketimbang pertanyaan. Lagipula Indira bisa melihat sendiri kalau Belva sedang di sini.
"Bi, barang di luar bawa masuk kamar!" perintah Indira sambil menarik kursi di ujung meja makan.
"Tolong," gumam Belva dengan nada sinis.
Indira melirik putranya sekilas. Walau tak paham dengan ucapan Belva, Indira tidak bersusah-susah untuk bertanya. Dia lanjut melepas segala perhiasan di tangan dan jari.
"Bi, buatkan jus jeruk!" perintah Indira begitu Parmi selesai mengerjakan tugas.
Sebenarnya pegawai di rumah ini bukan cuma Parmi. Ada empat asisten rumah tangga, satu tukang kebun, dan dua satpam. Hanya saja sudah jadi kebiasaan bahwa Parmi yang sering dipanggil. Walau nanti untuk pengerjaannya biasa dibantu ketiga orang lain.
"Tolong," sinis Belva lagi.
"Belva," Indira menatap tajam putranya, "kamu baru pulang sudah mau bikin Mama marah?"
Belva meletakkan sendok dengan kasar. "Baru juga pulang sudah mau marah-marah."
Percuma berharap mamanya sedikit menampakkan rindu. Setelah 4 tahun lebih tidak bersua, 1.460 hari tanpa saling bertukar kabar, hal pertama yang ditanyakan Indira bukan kabar Belva. Dia sibuk dengan dirinya sendiri. Seolah 35.040 jam yang terlewati hanya sedetik dalam hidup Indira.
"Mama pikir, empat tahun di Australia bisa membuatmu jadi anak yang lebih sopan."
Gue pikir, empat tahun nggak ketemu bisa bikin Mama berubah. Balas Belva dalam hati.
"Percuma saja kamu sekolah tinggi-tinggi ke Australia kalau masih saja tidak membuat Mama bangga. Asal kamu tahu, papamu akhirnya memasukkan anak haramnya ke Wijaya Kusuma."
Apa urusan gue? Mau dibawa ke mana juga terserah. Belva meneguk air mineral di gelas dalam sekali napas.
Melihat tak ada respon dari Belva, Indira melanjutkan ucapannya, "Maumu itu bagaimana? Semua keinginanmu sudah Mama turuti. Segala fasilitas dan keperluanmu selama ini juga tercukupi. Apa susahnya kalau Mama minta kamu nurut? Mama cuma minta kamu jadi penerus Wijaya. Lakukan segala cara untuk menghalangi dua anak haram itu menguasai Wijaya. Apa susah?"
Nafsu makan Belva sudah benar-benar menguap. Dijauhkannya piring yang masih berisi separuh nasi dan lauk. Lagi-lagi tuntutan yang Indira tekankan. Harus begini harus begitu karena dia sudah begini begitu.
Omong kosong lagu Kasih Ibu yang selalu dinyanyikan Belva saat TK. Tidak ada yang namanya kasih tak terhingga sepanjang masa. Apalagi hanya memberi tak harap kembali. Lirik yang menyesatkan. Seharusnya lagu itu dinyanyikan oleh para ibu agar sadar bahwa tugasnya bukan cuma untuk melahirkan. Namun, juga menyayangi dan mengasihi anaknya.
Seolah tidak melihat perubahan raut muka Belva, Indira masih saja memberondong putranya dengan serentetan tuntutan. Yang paling tidak masuk akal bagi Belva adalah perintah untuk pindah lagi ke rumah.
Indira takut kekosongan Belva di kediaman ini, memberi peluang bagi Puspa dan anak-anaknya untuk semakin menguasai Wijaya. Pikiran bahwa mereka bisa saja memaksa Anthony untuk membiarkan pindah ke rumah ini, tentu membuat Indira khawatir.
Bukan karena cemburu. Tidak sama sekali. Bagi Indira, Anthony hanya duri dalam daging. Penyebab sakit yang selama ini ia rasakan. Namun, untuk mencabut duri itu pun tak mampu Indira lakukan. Bayangan luka yang akan tercipta tidak kalah mengerikan bagi Indira. Hingga yang bisa ia lakukan hanya menerima dan bertahan dalam kesakitan.
"Mama menyuruhmu pulang bukan untuk senang-senang di luar sana, tapi sudah waktunya kamu melawan papamu. Kamu harus tunjukkan ke mereka kalau kamu tidak bisa mereka jatuhkan. Apalagi anak haram itu sudah lulus kuliah. Pasti papamu berencana untuk membawanya masuk ke Wijaya.
"Tugasmu memastikan jangan sampai satu lembar saham pun jatuh ke tangan mereka. Kamu harus telusuri siapa saja pemilik saham di Wijaya. Begitu ada nama asing, kamu harus segera merebutnya. Kalau perlu, kamu kumpulkan seluruh pemegang saham. Hasut mereka untuk melawan papamu."
Belva tertawa sinis. Ketakutan Indira sudah mulai berlebihan. Memangnya sebodoh apa Anthony? Memangnya Indira pikir Anthony tidak akan tahu akan pergerakan Belva? Laki-laki itu tidak akan diam saja begitu tahu Belva akan merebut kekuasaannya.
"Sepenting itu saham Wijaya, Ma?"
Indira menaikkan dagu dengan angkuh. "Memiliki seluruh saham Wijaya juga belum cukup untuk membalas kelakuan papamu ke Mama."
"Lakukan sendiri, Ma. Aku bukan alat untuk balas dendam." Dengan kasar Belva memundurkan kursi hingga terdengar derit gesekan marmer dengan alas kursi.
"Apa maksudmu?" Indira mencengkeram lengan Belva yang beranjak dari duduk. Ujung-ujung kukunya menancap di kulit Belva. Untung bathrobe yang ia pakai cukup tebal, sehingga tidak menimbulkan luka.
"Jadi maksudnya kamu akan membiarkan mereka merebut milik kita?" lanjut Indira.
Belva menggenggam cengkeraman Indira, melepaskan cekalannya perlahan. "Milik kita yang mana? Uang? Kekuasaan? Atau harga diri Mama?"
Belva bergegas meninggalkan Indira. Keputusan untuk kembali ke rumah adalah suatu kesalahan. Bukan ketenangan yang ia dapat, justru emosinya kembali labil. Indira dan Anthony tidak pernah gagal menghancurkan hari Belva.
"Mama belum selesai bicara!" Indira menarik paksa lengan Belva hingga berhadapan dengannya.
Belva menatap Indira dengan malas, seolah berkata, "Apa lagi?"
"Kamu masih ingat janjimu dulu untuk menuruti semua permintaan Mama kan?"
Belva mengetatkan rahang. Lagi-lagi Indira mengungkit janji itu. Selalu saja ancaman yang dilempar Indira untuk membuat Belva takluk. Seolah Indira menilai nyawa manusia tidak lebih berharga dibanding balas dendam.
"Apa Mama nggak capek, selalu mengancam mau bunuh diri untuk menyetirku?"
Kali ini kuku Indira mulai terasa menusuk kulit lengan Belva. "Mama tidak peduli asal kamu melakukan perintah Mama. Kalau bukan kamu, siapa lagi yang bisa membalas papamu? Kalau bukan kamu, siapa yang bisa menghalangi orang-orang tamak itu menguasai milikmu? Mama seperti ini demi masa depanmu."
Sayangnya bukan itu yang Belva inginkan. Harta, jabatan, kekuasaan, semua bisa didapat Belva tanpa harus berada di bawah nama Wijaya. Dia yakin bisa berdiri di atas kaki sendiri. Kemampuan, kecerdasan, serta ketrampilan yang ia miliki cukup mumpuni untuk memulai bisnis baru.
Seandainya Indira sedikit saja memberi perhatian pada Belva, dengan percaya diri Belva yakin bisa membahagiakan mamanya. Banyak perusahaan besar yang tentu menerima dengan tangan terbuka kehadiran Belva. Bahkan salah satu hotel besar di Australia sudah melamar Belva agar bekerja sama dengan mereka.
Seandainya Indira tidak mengirim pesan ancaman agar Belva sesegera mungkin pulang ke Indonesia, tentu saat ini Belva sudah memboyong mamanya untuk tinggal di Negeri Kanguru. Berpisah dengan Anthony dan memulai kehidupan baru adalah angan Belva sejak dulu.
Untuk apa mempertahankan borok jika bisa membuat si penderita mati? Bukankah lebih baik untuk mengamputasi bagian yang bermasalah?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top