🌶🍭SCR-24🍭🌶
"Belva!" Carol berlari kecil di sepanjang lorong sekolah. Tas selempang yang belum dikancing rapat membuatnya kesusahan mengejar lelaki yang kini sudah keluar pintu sekolah.
"Va!" panggilnya sekali lagi sambil mempercepat langkah.
Padahal Carol sudah memanggil Belva dari lantai tiga tadi. Seharusnya teriakan Carol terdengar, secara ia memanggil laki-laki itu dengan keras. Bahkan orang yang berdiri di samping Belva tadi saja sempat menengok ke belakang.
"Belva kenapa sih?" gumam Carol di tengah usahanya mengejar lelaki itu.
Sudah tiga hari Belva susah ditemui. Senin kemarin Carol sampai terlambat sekolah karena menunggu Belva. Biasanya jam setengah tujuh cowok itu sudah sampai di depan rumahnya. Namun, hingga pukul tujuh lewat belum ada tanda kedatangannya. Terpaksa Carol meminta tolong Suprapto untuk mengantarnya sekaligus memberi alasan ke pihak sekolah.
Waktu istirahat pun Carol tidak bisa menemukan Belva di kantin. Carol pikir Belva sakit karena dari Minggu tak ada kabar. Terakhir mereka komunikasi saat Carol mengirim pesan ke Belva untuk tidak menjemputnya di lapak. Setelah itu tak ada komunikasi sama sekali. Padahal biasanya Belva mengantar jemputnya ke lapak burger. Minggu sore juga tidak ada kabar. Beberapa kali Carol mengirim pesan sekadar menanyakan keadaan Belva, juga tak ada jawaban. Hanya centang satu.
Pulang sekolah, Carol berusaha mencari tahu keadaan Belva dari Bella dan Cristal. Rupanya hari itu Belva memang tidak masuk. Kedua sahabatnya itu pun tak tahu alasan Belva izin. Pesan dan panggilan mereka juga tak ditanggapi oleh Belva. Rencananya sepulang sekolah Bella dan Cristal akan main ke rumah Belva. Mereka janji untuk mengabari Carol tentang kondisi Belva. Namun, hingga hari ini tak ada informasi apapun.
Pesannya tak ada satu pun yang terkirim. Teleponnya pun tak tersambung ke nomor Belva. Carol pikir Belva masih sakit. Hingga tadi saat bel pulang sekolah, sekilas Carol melihat sosok Belva di anak tangga lantai empat.
"Va!" Carol membelah kerumunan siswa di pintu sekolah. Ia mempercepat langkah hingga setengah berlari. Untung halaman depan ke arah parkir mobil tidak terlalu padat. Sehingga Carol bisa mengejar Belva.
Tepat saat Belva akan menutup pintu mobil, Carol berhasil memegang daun pintu. Menahannya agar tidak tertutup di sela napas yang tersengal. Ini akibatnya kalau selalu malas-malasan di jam olah raga, baru lari lima belas meter saja sudah ngos-ngosan.
"Astaga, Va, aku panggil dari tadi nggak denger, ya?" Carol melepas pegangan di pintu. Dia berkacak pinggang di samping mobil Belva.
Kening Carol berkerut dalam, melihat cowok di depannya tidak merespon kehadirannya. Jangankan menjawab pertanyaan Carol, sekadar melirik saja tidak. Seolah tidak ada Carol di sini.
"Va, kamu sakit, ya? Dari Minggu kok nggak ada kabar? Senin kemarin kamu juga nggak masuk sekolah. Seharian kemarin juga kata Bella kamu cuma di kelas terus. Udah ke dokter belum? Sakit apaan? Makanmu teratur kan? Obatnya udah diminum belum? Ini udah jam dua lho. Atau ada makanan yang mau kamu—"
Belva menyentak pintu mobil hingga tertutup. Membuat Carol terlempar ke kiri. Untung dia bisa segera menyeimbangkan tubuh, jadi tidak sampai membuatnya terjerembab. Carol mengerjap beberapa kali, masih terkejut dengan sikap Belva. Tidak berhenti di situ, tanpa mengatakan sepatah kata pun, Belva menginjak pedal gas meninggalkan halaman sekolah. Membuat mulut Carol ternganga tidak percaya.
"Dia kenapa sih? Salah minum obat atau baru nge-prank?" gumam Carol bingung.
Keanehan sikap Belva berlanjut di hari-hari berikutnya. Tiap kali berpapasan Belva seolah tidak melihat adanya Carol di sana. Entah dengan pura-pura melihat ke arah lain, berjalan lurus ke depan, atau masuk ke toilet laki-laki. Istirahat pun tidak pernah lagi ke kantin bareng Bella dan Cristal.
Kata Bella, Belva sekarang baru dekat sama anak-anak basket. Pasca Ariel Cs keluar dari Wijaya Kusuma, klub basket kekurangan personil. Oleh karena itu, Belva mengisi kekosongan di sana.
Carol sudah cerita tentang keanehan sikap Belva, tapi Cristal tidak merasa ada yang berubah. Mereka tetap seperti biasa. Mulut julid Belva pun tetap eksis. Jadi dia pun heran, kenapa Belva jadi dingin cuma ke Carol saja.
"Aku ada salah apaan, ya, Bel?" tanya Carol di kantin bawah saat pulang sekolah.
Cukup satu minggu Carol diam saja diperlakukan dingin oleh Belva. Seandainya memang ada masalah antara dirinya dengan Belva, Carol ingin semua segera selesai. Carol terlanjur nyaman berteman dengan Belva. Namun, sekarang malah mengalami kemunduran drastis.
Untung Sabtu ini sekolah pulang cepat karena ada rapat guru dengan dinas pendidikan. Jadi Carol bisa mengajak Bella dan Cristal untuk bicara di kantin. Kalau Belva belum mau bicara dengannya, mungkin dua cewek ini tahu alasan kenapa Belva marah. Supaya Carol bisa minta maaf dan instrospeksi diri.
"Belva nggak bilang apa-apa tuh." Bella menyendokkan sebutir bakso ke mulutnya, "Memangnya lo ngerasa ada salah apa sama dia?"
Carol menggeleng lemah. "Serius, Bel, aku nggak tahu udah ngapain ke Belva."
Cristal mendekatkan mangkok bakso ke arah Carol. "Lo makan dulu gih. Keburu dingin ntar."
Carol mengembuskan napas panjang. "Belva sama sekali nggak bilang apa gitu, Cris?"
Cristal menggeleng. "Itu yang bikin gue bingung. Belva sama kita tuh biasa aja, tapi begitu kita nyebut nama lo, Belva langsung menghindar."
"Lo nolak dia, ya?" Bella memajukan tubuh ke arah Carol.
Carol batal menyuapkan bihun. "Nolak? Nggak tuh. Aku nggak pernah nolak kalau dianter jemput Belva. Lagian kamu tahu sendiri gimana anak itu kan? Mana mau nerima kata 'tidak' sih."
Bella menggulirkan bola mata. "Maksud gue—"
Bella mengaduh kencang saat ujung kakinya diinjak oleh Cristal. "Apaan sih lo? Sakit tau, Cris."
Cristal memelototkan mata sambil mengode Bella untuk diam. "Mungkin Belva baru ada masalah sama keluarga atau baru bad mood aja. Lo tahu kan gimana mood swing-nya itu cowok."
"Tapi kenapa cuma ke aku aja, Cris? Sama temen sekelas kalian gimana? Cuek apa nggak?"
"Memangnya Belva pernah, ya, perhatian gitu? Perasaan dia selalu cuek deh," timpal Bella.
Carol terpaksa menyetujui ucapan Bella. "Tapi nggak secuek ke aku juga, Bel. Dia tuh kayak ... gimana ya, kamu pernah merasa nggak dianggep nggak sih?"
Bella dan Cristal kompak menggeleng.
"Aku ngerasa kayak makhluk halus tahu nggak. Rasanya nggak enak banget tahu nggak sih. Aku pengin Belva balik kayak dulu. Kalau memang aku salah, pasti aku minta maaf dan janji nggak bakal ngulang lagi," gumam Carol sambil mengaduk-aduk isi mangkok.
Cristal meremas pelan tangan kiri Carol. "Ntar gue bantu tanya ke Belva, ya. Gue kabari kalau Belva udah mau ngomong."
Namun, kabar itu tak kunjung hadir. Sikap dingin Belva bertahan bahkan sampai kelulusan. Dia sama sekali tak mau membicarakannya dengan Bella ataupun Cristal. Belva juga tidak memberi sedetik pun kesempatan Carol untuk meminta maaf. Seolah Belva menutup segala pintu maafnya. Menganggap pertemanan mereka selama ini hanya angin lalu. Membuat Carol hingga detik ini masih berada dalam tanda tanya besar.
Waktu sepuluh tahun yang berlalu masih saja membawa misteri bagi Carol. Teka teki yang sulit untuk ia pecahkan. Karena Belva sama sekali tidak memberi petunjuk. Dan kemungkinan permasalahan itu masih dibawa Belva hingga sekarang. Nyatanya kemarin sikap Belva masih sedingin kutub utara. Tidak ada manis-manisnya sama sekali.
Carol kembali mengaduk soto Kudus di depannya dengan bersungut. Rasanya malas untuk masuk kerja. Bagaimana kalau nanti dia bertemu Belva di hotel? Pasti rasanya canggung sekali. Tapi tidak mungkin juga untuk resign dari GWS. Gila apa.
"Nduk, motormu sudah lewat wayahe ganti oli lho. Barusan Pakde ngecek buku catetan service yang di jok motor. Harusnya bulan kemarin." Suprapto masuk ke ruang keluarga dengan tangan kotor. Dari tadi beliau sibuk membetulkan rantai sepeda di garasi.
Carol yang tengah melamun pun menoleh. "Waduh, Carol lupa, Pakde. Kalau besok pagi nggak apa-apa kan, ya?"
Waktu sudah menunjukkan pukul satu lebih, kalau harus ganti oli tentu Carol akan terlambat masuk kerja. Lagipula tadi malam motornya masih bisa jalan seperti biasa. Jadi mundur sehari lagi tentu tidak masalah.
Sudah berkali-kali Carol melewatkan waktu service. Bukan cuma ganti oli, ganti ban pun pernah ia abaikan. Bahkan pernah karena tidak memperhatikan motornya, Carol harus menuntun hingga pom bensin karena kehabisan bahan bakar.
Suprapto seringkali memperingatkan Carol untuk merawat motor matic-nya. Karena begitu satu bagian rusak, takutnya merembet ke mana-mana. Sudah susah-susah menyicil motor, kalau rusak kan sayang.
"Wes, hari ini kamu dianter mbakyumu saja, biar motornya Pakde service." Suprapto memanggil Hani untuk bersiap mengantar Carol ke GWS.
Carol menggeleng cepat. "Nggak usah, Pakde, biar besok pagi Carol yang bawa ke bengkel." Dia merasa tidak enak kalau harus merepotkan pakde dan kakak sepupunya.
"Keburu rusak motormu. Itu mbakyumu sudah setuju. Katane mau muter-muter sekalian." Suprapto melangkah menuju kamar mandi guna membasuh tangan.
Percuma membantah Suprapto. Apalagi yang berhubungan dengan kebaikan keluarganya, jangan harap bisa menang.
"Love you, Pakde." Carol tersenyum lebar sambil membentuk tanda hati dengan jempol dan telunjuk ke arah Suprapto.
"Love you love you tok, tapi ndak ada bukti," sambar Yanti dari arah dapur. Kedua tangannya membawa piring penuh pisang goreng dan singkong rebus yang baru matang.
"Ih, Bude, masak nggak percaya sama Carol. Buat Carol, Bude Pakde itu segalanya. Love sekebon deh."
"Kalau sayang, mana buktinya? Bude cuma pengin dikenalin sama pacarmu saja ndak pernah dikabulin." Yanti menggeser kursi makan di samping Carol.
Carol mendesah lesu. "Gimana bisa ngenalin ke Bude kalau Carol belum punya pacar."
Yanti memindahkan beberapa pisang goreng ke kotak bekal yang sudah ia siapkan. Kemarin pohon pisang kepok di kebun belakang ada yang matang, jadi ia sengaja menggoreng biar bisa Carol bawa ke kantor.
"Mosok anake Bude yang secantik ini belum punya pacar?"
"Carol terlalu pemilih, Bund," sahut Hani. Dasternya sudah berganti dengan celana jin dan atasan rapi.
"Apa tho yang kamu cari? Sing modelane piye? Bilang sama Bude, nanti Bude carikan."
Hani mengambil satu pisang goreng dari atas piring, lalu menggigitnya besar-besar. "Carol itu maunya Namjoon atau Suga, Bunda."
Yanti mengerutkan kening sambil memandang Hani dan Carol bergantian. "Siapa itu? Anak mana? Mbok ya sudah, pilih satu terus dipacari. Kamu sudah lama kenal sama mereka?" Yanti mengalihkan tatapan ke Carol.
Carol terkikik geli. "Maunya gitu, Bude, tapi mereka aja nggak tahu kalau aku ini hidup di bumi."
"Lho kok bisa gitu? Sing kamu suka itu siapa tho? Belum kenal kok sudah suka. Gimana ceritanya?"
Carol membereskan sisa makannya masih sambil tergelak. Bisa-bisanya Yanti tidak tahu dua orang yang disebutkan Hani, padahal hampir tiap hari Carol menyetel lagu-lagu mereka. "Makanya ini Carol kerja keras ngumpulin uang biar bisa ke Korea, nyusulin calon mantunya Bude itu."
"Oalah ... oalah ... mbok cari yang deket saja tho. Buat apa sampai ke Korea? Inget, Nduk, umurmu sudah dua enam. Sudah waktunya nikah."
"Sudah tho, Bund, Carol ndak usah dipaksa-paksa. Nanti kalau sudah waktunya juga pasti ada jodoh," bela Suprapto.
Carol melempar cium jauh ke arah lelaki kesayangannya itu. Walau terkenal tegas, tapi Suprapto tidak pernah memaksakan kehendak yang berhubungan dengan kehidupan pribadi Carol.
"Bener kata Pakde. Tak kan lari gunung dikejar, Bude," timpal Carol sembari beranjak ke dapur guna mencuci piring bekas makan.
"Yang namane jodoh memang di tangan Tuhan, tapi ndak ada salahnya tho kalau kita juga berusaha mendekat. Nek kamu mbegegrek, diam di tempat, yo jodohmu ndak bakal mendekat. Kemarin Bulik Slamet telepon Bude. Dia mau ngenalin kamu sama anake temennya. Piye, Nduk? Mau ya," bujuk Yanti sambil menatap Suprapto meminta dukungan dari suaminya.
Carol sengaja berlama-lama mencuci piring. Ia bingung harus menjawab apa. Menolak sungkan, menyanggupi pun malas.
"Cuma kenalan tok. Bude ndak bakal maksa. Kalau kamu cocok ya dilanjut, tapi kalau ndak suka ya ndak apa-apa. Anaknya ganteng, kemarin Bude dikirimi fotonya. Itu ada di HP Bude."
Carol menarik napas panjang. "Kalau ganteng kenapa harus dikenal-kenalin Bude? Cowok ganteng pasti udah punya pacar. Jangan-jangan dia ada kelainan, Bude, nggak suka cewek misalnya."
"Siapa bilang? Nyatanya kamu secantik ini, tapi juga ndak punya pacar tho. Atau kamu ndak suka cowok?"
Skak mat. Carol salah pasang strategi. Kalau sudah begini, bagaimana bisa dia mengelak lagi.
"Coba suruh anaknya ke sini dulu, Bund, biar kenalan sama Ayah." Suprapto ikut bersuara.
Yanti tersenyum penuh kemenangan. Suaminya sudah berpihak padanya, tentu bukan hal susah untuk meyakinkan Carol. Karena pada dasarnya Carol anak yang penurut.
"Coba nanti Bunda telepon Bulik Slamet, mereka bisa ke sini kapan. Pokoke kamu coba dulu, Nduk. Bude sudah pengin gendong cucu dari kamu."
"Cari suami kok coba-coba," gumam Carol sambil memonyongkan bibir. "Iya, deh, Carol nurut sama Bude. Tapi ... kalau nggak cocok jangan maksa lho ya."
Yanti mengangguk lega. Yang penting Carol mau dikenalkan dulu. Urusan cocok tidaknya bisa dipikir nanti. Dia sudah mulai risih dengan pertanyaan tetangga dan saudara-saudara tentang Carol. Terlebih omongan kerabat mereka yang mulai mengungkit masa lalu Maya. Mereka selalu mewanti-wanti Yanti dan Suprapto untuk segera menikahkan Carol, supaya kejadian Maya tidak terulang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top