🌶🍭SCR-21🍭🌶

Akhirnya bisa duduk juga, batin Carol sambil menyandarkan punggung ke kursi. Dilepasnya sepatu setinggi 11 centi yang dari empat jam lalu menopang bobot tubuh. Carol memutar-mutar mata kaki agar tidak lagi kaku sambil memijiti betis. Ujung jari kakinya mati rasa, betisnya kaku, pahanya pegal. Kepala bagian depan sedari pagi berdenyut karena kurang tidur. Matanya pun terasa berat. Ditambah cacing di perutnya sudah berteriak minta makan. Lengkap sudah penderitaan Carol hari ini.

Niatnya untuk memesan makanan ringan terpaksa batal karena padatnya tamu. Datang tepat tiga menit sebelum batas waktu, merupakan rekor baru baginya. Firman sempat menegur penampilannya yang acak-acakan saat briefing. Untung Firman memaklumi alasan yang diberi Carol. Sehingga Carol bisa berdandan sambil mendengarkan instruksi dari Firman.

Pagi ini rombongan dari Kalimantan, sebanyak tiga puluh orang akan mengikuti pelatihan di Dinas Pendidikan Pusat. Dari keterangan yang disampaikan Firman, mereka akan menginap di GWS selama sepekan. Daftar peserta dan pembagian kamar sudah dikerjakan tim Goniy shift malam. Kini giliran Tim Carol yang melakukan eksekusi.

"Istirahat masih berapa menit lagi, Ran?" tanya Carol sambil menguap.

Ponselnya tertinggal di loker, ia pun lupa memakai jam tangan. Untuk menoleh ke jam dinding di lobi rasanya terlalu malas. Lebih praktis tanya ke gadis di sebelahnya.

"Sejam lagi. Lo kusut banget sih. Mau gue pesenin snack nggak?" tawar Kirana.

Carol menggeleng lemah. Dia memilih meletakkan kepala di meja dengan berbantal lengan. Mumpung tidak ada tamu, dia ingin memejamkan mata barang semenit dua menit. "Bangunin aku kalau ada tamu, ya, Ran."

Rasanya belum ada semenit Carol memejamkan mata saat bel di depannya dibunyikan berkali-kali, membuatnya berjingkat kaget. Bagaimana sih rasanya kalau baru enak-enaknya tidur, terus terbangun karena terkejut? Jantung berasa jatuh ke ujung kaki, darah meluncur deras dari puncak kepala ke bawah. Belum juga nyawanya balik, dia harus menegakkan tubuh sambil mengulas senyum ramah.

Betapa dongkolnya Carol, ternyata pelaku keributan barusan adalah Nia. Anak front office yang baru dapat jatah di bagian Guess Relation Officer. Di Grand Wijaya Serpong, rolling karyawan dilakukan tiap seminggu sekali. Khusus untuk FO cewek tidak mendapat jatah shift malam, tapi bergantian dengan GRO.

Berdasar rapat tadi pagi, posisi kasir yang saat ini diisi Putra dan Susi akan terjadi perombakan. Terhitung minggu lalu, Susi sudah menyerahkan surat pengunduran diri. Calon suaminya yang bekerja di Jogja memintanya untuk ikut bersamanya. Jadi posisi kasir shift siang kosong.

Daripada membuka lowongan baru, pihak managemen memutuskan untuk mengambil dari FO yang ada. Itu artinya akan ada perubahan jadwal shift dan pembagian kerja.

"Kerja, Car! Nggak cuma makan gaji buta," tegur Nia sambil berkacak pinggang di depan meja resepsionis.

Embusan napas panjang lolos dari bibir Carol. Gadis itu kembali menelungkupkan wajah di atas meja. Sudah bukan rahasia umum jika Nia selalu mencari masalah dengan Carol. Tidak ada kesalahan yang Carol lakukan saja gadis itu selalu cari perkara, apalagi hari ini Carol tidak sesempurna biasanya. Jelas jadi makanan empuk buat Nia.

"Sikap lo nggak profesional banget. Lihat muka lo itu, nggak ada beda sama kain lap di dapur. Gimana hotel kita bisa maju kalau wajah GWS sebuluk lo."

Carol mengatur napas agar lebih tenang. Gara-gara terkejut, kantuknya hilang, tapi sakit kepalanya bertambah kuat. Sialan banget nih orang, aku pikir tamu atau Pak Firman atau malah Belva, rutuk Carol dalam hati

Merasa diabaikan oleh Carol, Nia kembali menekan bel berkali-kali. "Gue bakal lapor ke Pak Firman!"

Kirana memukul punggung tangan Nia dengan pantat pulpen. "Nggak usah resek deh. Lo juga ngapain di sini? Tuh meja lo di sana." Kirana menunjuk meja di ujung kanan dekat kasir.

Nia menyipitkan mata, memandang dua gadis di depannya dengan sinis. "Gue paling benci sama orang-orang yang cuma ngandelin koneksi seperti kalian."

Carol menegakkan tubuh. "Apa maksudnya koneksi?"

Nia mendengkus sinis. "Gue nggak ngira, lo yang selama ini sok lugu, sok paling bener sedunia, ternyata pakai cara kotor untuk bisa kerja di GWS."

Carol mengerutkan kening, dia sama sekali tidak paham dengan maksud ucapan Nia. "Kalau kamu mau cari ribut, mending besok aja, Ni. Hari ini aku capek banget, males ngeladenin kamu."

Nia melipat kedua tangan di depan dada. "Kemarin gue lihat dengan mata kepala sendiri, lo sok deket sama teman-temannya Pak Belva. Lo pasti manfaatin mereka untuk bisa kerja di sini. Iya kan."

Carol menggeram kesal. Berurusan dengan Nia tidak pernah sederhana. Gadis berkulit eksotis itu selalu menjadikan masalah sepele menjadi besar. Kalau cuma ingin tahu rumor di GWS, cukup datangi Nia. Dengan senang hati dia akan membeberkan segala aib karyawan satu per satu. Cocok sekali kan kalau kerja di lamb* tur*h.

"Denger ya, Car, cara yang lo pakai itu murahan."

Kesabaran Carol sudah habis. Kalau cuma diganggu waktu tidur, Carol masih bisa terima. Namun, disebut murahan jelas membuat Carol meradang. Gadis bercepol itu bangkit dari duduk untuk menyamakan tinggi dengan Nia.

"Ni, kenapa sih kamu selalu cari perkara sama aku? Kalau kamu nggak tahu duduk masalahnya, mending diam aja deh. Jaga mulutmu itu. Jangan asal ngatain orang."

Nia mencibir ucapan Carol. "Mana ada maling ngaku maling."

Carol mengambil oksigen dalam-dalam. "Tarik lagi ucapanmu tadi!" geram Carol. "Aku nggak ada kewajiban buat cerita tentang hubunganku sama teman-teman Pak Belva ke kamu. Aku juga nggak perlu cerita tentang gimana caranya aku bisa kerja di GWS. Tapi satu hal yang harus aku tegasin ke kamu, aku bukan cewek murahan. Aku—"

"Ada apa ini?"

Interupsi suara bass dari belakang membuat Carol tidak melanjutkan kalimatnya. Namun, bukan sosok Firman yang menyita perhatian Carol. Melainkan lelaki bersetelan jas biru tua di belakang Firman. Tatapan dingin tanpa ekspresi yang ia tampakkan cukup membuat Carol menunduk.

"Maaf, Bapak, tadi saya hanya menegur Carol karena tidur di jam kerja," jelas Nia sambil tersenyum ke arah Belva.

Carol menggigit bibir bawah. Double sial. Sudah ketahuan berantem eh sekarang dilaporin baru tidur. Bisa-bisa Belva berpikir negatif ke aku nih, batin Carol.

"Carol, dari briefing tadi pagi, saya lihat kamu tidak fokus," tegur Firman.

"Maaf, Pak Firman," cicit Carol masih sambil menunduk. Ia merasa ada tatapan setajam sinar laser yang sedang memperhatikannya.

"Saya rasa kamu sudah paham peraturan di divisi kita. Jadi, saya harap kamu bisa memperbaiki diri."

Carol mengangguk tanpa suara. Kali ini kantuknya benar-benar sirna. Bahkan bisa dipastikan nanti malam ia akan begadang lagi.

Malu banget. Udah lama nggak ketemu Belva, eh sekalinya ketemu di saat kayak gini. Dia udah jadi orang keren dan aku menyedihkan banget, keluh Carol yang hanya bisa terucap di dalam pikiran.

Carol baru berani mengangkat wajah saat langkah kedua lelaki itu menjauh. Bahkan ia baru sadar kalau sedari tadi menahan napas. Gila! Ini bener-bener gila! Bisa-bisanya Belva berpengaruh kayak gini ke aku. Kayak bukan aku yang biasanya.

"Gue tambah yakin kalau selama ini lo yang caper ke Pak Belva. Nyatanya dia nggak nyapa lo sama sekali tuh," ucap Nia sambil berlalu dari hadapan Carol.

Carol bisa melihat tampang meremehkan dari Nia. "Bodo amat!" Carol melempar tubuh ke kursinya.

"Tapi beneran lho, Pak Belva kok nggak ngomong apa gitu kek ke lo. Secara kalian dulu temenan, ya minimal ngasih senyum atau apa. Dari dulu dia memang gitu, ya?" Kirana berbisik tepat di sebelah Carol.

"Kan kemarin aku udah bilang, aku nggak temenan sama Pak Belva," gumam Carol. Malah mungkin menurut dia, aku ini musuh yang harus dibasmi, tambahnya dalam hati.

* * *

"... Aku bukan cewek murahan."

Belva tersenyum sinis bila mengingat ucapan Carol siang tadi. "Dasar nggak tahu malu."

Belva melempar sendok dengan sembarangan ke atas meja. Membuat sebagian nasi gorengnya tumpah mengotori taplak putih. Nafsu makannya menguap tak berbekas. Padahal sedari siang ia belum sempat makan. Makanya pulang kerja tadi Belva mampir ke warung nasi goreng Pak Man, langganannya sedari kuliah.

Namun, begitu ingatannya kembali ke sosok gadis mungil itu, kenikmatan nasi goreng babat pun terasa hambar. Ia pikir bertemu kembali dengan Carol tidak akan berdampak pada dirinya. Okelah, di hari pertama wajar jika Belva merasa terkejut. Setelah sepuluh tahun lebih Belva berusaha mengusir bayang-bayang Carol, dengan kurang ajar gadis itu mendadak muncul di depan matanya. Ternyata jeda satu dekade masih terlalu singkat baginya melupakan Carol.

Belva memundurkan kursi makan dengan kasar. Ia membuka pintu balkon lebar-lebar. Angin malam langsung menyapa wajahnya.  Dikeluarkannya kotak rokok dari kantong celana, lalu mengambil satu batang. Belva bukan pecandu nikotin. Ia hanya menghisap lintingan tembakau itu di saat stres atau banyak pikiran. Seperti saat ini.

Ditutupnya pintu kaca agar asap rokok tidak masuk ke apartemen. Dia tidak suka bau asap rokok menempel di seluruh perabot. Lagipula kalau sampai Cristal tahu, pasti perempuan satu itu sudah menceramahinya. Lucu memang. Padahal suaminya pemilik perkebunan tembakau terbesar di Temanggung, keluarganya juga pemilik salah satu pabrik rokok besar di Indonesia. Namun, Cristal sama sekali tidak suka dengan benda satu ini.

Pernah suatu kali Belva menyuruhnya menutup pabrik rokok dan mengganti perkebunan suaminya dengan tanaman lain. Bukannya menolak, sahabatnya itu setuju 100%. Bahkan langsung mengatakan ide itu pada suami dan papinya.

Belva mengisap asap dalam-dalam, membiarkan berlama-lama di paru-paru, sebelum akhirnya diembuskan perlahan. Rencananya untuk mengaji ulang rancangan program GWS terpaksa ditunda. Otaknya tidak bisa diajak kerja sama. Daripada dipaksakan dan hasilnya berantakan, lebih baik ia menjernihkan dulu pikirannya.

Saat ini yang ia pikirkan adalah cara untuk menyingkirkan gadis itu. Keinginan untuk memecatnya sempat terlintas. Namun, segera ia tepis. Masih ada ragu dalam diri Belva. Padahal cara itu merupakan jalan termudah untuk membuat sosok Carol tidak lagi berseliweran di mukanya. Dengan posisinya saat ini, kalau cuma membuat 1001 alasan yang membuat Carol terdepak dari GWS jelas sangat mudah. Apalagi tadi siang, Belva melihat sendiri salah satu pegawainya bertengkar dengan Carol.

Belva tinggal menurunkan surat pemutusan hubungan kerja, beres perkara. Akan tetapi, Belva tidak sampai hati untuk melakukannya. Ini salah satu kelemahannya. Ia sudah terlalu banyak tahu kehidupan Carol. Bagaimana gadis itu berjuang untuk bertahan hidup. Bagaimana Carol bekerja keras mencari pundi uang, meskipun dengan cara salah. Belva terlalu paham akan masa lalunya.

Begitu pun sebaliknya. Carol tahu terlalu banyak tentang rahasia Belva. Dan itu kelemahannya yang kedua.

Belva menginjak puntung rokok dengan ujung sandal hingga padam. Sebatang nikotin nyatanya tetap gagal membuatnya kembali berpikir jernih.

Belva menyandarkan kedua siku di besi pembatas balkon. Ia mengalihkan pandangan dari gemerlap lampu ke langit malam. Miris. Perbedaannya sangat kentara. Di satu sisi begitu meriah, ceria, penuh warna. Walau pada kenyataanya kehidupan di sisi ini tidak semenarik yang terlihat. Terlalu banyak kepalsuan.

Sedangkan sisi lain begitu gelap. Hitam pekat tak berwarna. Tidak menarik sama sekali. Namun, begitu tenang, damai, dan nyaman. Semua yang diperlihatkan benar-benar hal yang nyata. Tak ada kepalsuan.

Lamunan Belva buyar akibat getar ponsel di saku celana. Tanpa melihat nama di layar, Belva bisa menebak siapa yang berani malam-malam begini meneleponnya. Kalau bukan Bella tentu saja Cristal.

"Hm," sapa Belva begitu menempelkan ponsel ke telinga. Tepat dugaannya, nama Cristal lah yang ia lihat di layar.

"Belum tidur, Va?"

Belva mendengkus, "Udah."

Terdengar kekeh renyah dari seberang. "Gue nggak gangguin lo kan?"

"Tergantung lo mau ngapain." Belva berbalik, menyandarkan punggung ke teralis besi pembatas.

"Lo di rumah atau apartemen, Va?"

"Apartemen."

"Sejak balik dari Aussie lo belum pulang? Tapi lo udah ketemu sama bokap nyokap lo kan?"

Buat apa ketemu sama mereka? Buang-buang waktu aja, batin Belva.

"Lo ada perlu apaan?" Belva mengalihkan pembicaraan.

"Memangnya gue nggak boleh nelepon lo kalau nggak ada perlu? Wih sombong amat lo sekarang, Bos," goda Cristal sambil tertawa.

"Laki lo nggak ada, Cris?"

"Kok lo tahu? Memangnya lo sempet komunikasi sama papinya Alvin?"

"Nggak," jawab Belva singkat.

"Va, gue boleh tanya nggak? Memangnya lo kalau ngomong, bikin jantung lo berhenti berdetak atau paru-paru lo menciut drastis? Gue perhatiin sekarang lo semakin ngirit ngomong."

Belva memindahkan ponsel ke tangan kiri. "Yang telepon lo, berarti yang butuh lo. Kenapa jadi gue yang harus banyak omong?"

"Akhirnya ada 2 kalimat yang lo ucap dalam satu waktu." Terdengar tepuk tangan dari seberang.

Belva berdecak kesal. "Ada apaan? Kalau nggak penting, gue tutup."

"Eh ... eh ... bentar! Jadi sebenarnya tuh gini. Lo inget Siska nggak?"

"Nggak," jawab Belva cepat. Malas sekali mengingat-ingat nama orang yang tidak penting.

"Itu lho sepupu gue yang jadi dokter kandungan di Rumah Sakit Ibu dan Anak. Lo pernah ketemu sama dia kok. Masa lupa sih?"

"Kenapa?" Belva masih malas membalik memori ke empat atau lima tahun lalu.

Cristal menghela napas panjang. Memang ngobrol dengan Belva butuh kesabaran. "Tadi pagi kan gue ketemu sama dia, ternyata dia masih jomlo. Lo kalau ketemu pasti inget, Va. Orangnya mungil, rame, asyik."

Cristal berharap ada tanggapan dari Belva. Namun, sekali lagi berbincang dengan Belva itu tidak ada bedanya dengan mengajak bicara tembok. Datar tak ada respon.

"Gue ada niat buat ngedeketin lo sama Siska. Dokter lho, Va. Cocok banget sama lo. Mau ya, Va," bujuk Cristal.

Belva mendengkus keras. "Yayasan lo berubah fungsi jadi biro jodoh, Cris?"

"Ck ... bisa serius nggak sih? Gue cuma pengin ngenalin lo sama Siska. Kalau lo nggak cocok, gue nggak bakal maksa. Mau ya, Va, please."

"Buat apa kenalan? Lo bilang tadi gue udah kenal sama ... siapa tadi?"

"Siska, Va, Siska. Ya kan maksud gue bukan kenalan kayak pertama ketemu gitu, Va. Kali aja dia jodoh lo, Va."

"Bukan!" sambar Belva tegas. "Lo nggak usah repot-repot ngenalin cewek ke gue. Gue belum ada niat ke sana. Kecuali lo ikhlas kalau sepupu lo gue bikin nangis."

"Cuma kenalan apa susahnya sih, Va? Gue terlanjur janji sama Siska untuk ngenalin lo ke dia."

"Yang janji kan lo, kenapa gue yang repot?"

"Nggak bakal repot. Ntar gue sama Siska ke hotel aja gimana?" usul Cristal.

"Jangan!" larang Belva cepat. "Mending lo kenalin ke orang lain. Gue baru males ngurus beginian, Cris. Prioritas gue sekarang ke GWS."

"Prioritas ke GWS atau karena lo ketemu lagi sama Carol?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top