🌶🍭SCR-2🍭🌶

Anyeong, Yeorobun ....
Belva hadir lagi nih. BeTeWe, gimana tanggapan kalian tentang SCR?
Komen pliiis ....
Jangan lupa vote ⭐
I purple you
💜💜💜

"Tadi lo dipanggil Pak Robert, ya?" bisik Cristal saat Belva masuk barisan upacara. "Ada apa lagi?"

Cristal bergeser ke baris belakang demi bisa mengobrol dengan Belva. Setiap sahabatnya dipanggil Robert, Cristal selalu cemas. Karena pasti ada masalah dan sudah tentu hal itu akan sampai ke telinga Anthony. Cristal tahu bagaimana watak dari ayah Belva. Anthony sama sekali tidak menolelir kesalahan walau setitik noda pun.

Belva menatap lurus ke depan. "Gue lupa lepas anting."

Cristal mengumpat pelan. "Kok bisa? Semalem gue udah ingetin 'kan. Lagian tuh orang bisa banget sih ngelihat anting lo. Gue yakin dia bakal lapor ke bokap lo. Dasar penjilat memang guru satu itu. Cari muka banget di depan Om Anthony."

"Nggak usah emosi. Mending lo lihat depan, daripada kena poin," gumam Belva.

Tidak banyak yang tahu sekeras apa Anthony mendidik Belva. Mereka mengenal Anthony sebagai sosok ayah luar biasa. Kepala keluarga yang dapat membagi waktu antara kesibukan pekerjaan dan keluarga. Lelaki bijaksana yang sangat beruntung memiliki keluarga harmonis.

Namun, kenyataannya sangat jauh dari bayangan. Hidup Anthony terlalu disibukkan dengan pekerjaan. Bisa dikatakan bahwa 99% waktunya habis untuk urusan bisnis. Sisanya digunakan untuk marah-marah ke Belva dan Indira.

Jika di mata Belva, Anthony adalah ayah yang buruk. Tak jauh berbeda dengan Indira. Wanita itu terlalu sibuk dengan kegiatan bersama teman-teman sosialitanya. Bagi Indira, arisan, berbelanja, dan jalan-jalan ke luar negeri jauh lebih menarik ketimbang bercengkerama dengan keluarga.

Sebagai anggota Emerald, klub sosialita yang sama dengan orang tua Bella dan Cristal, kegiatan Indira tampak sangat padat. Sampai tidak bisa meluangkan waktu untuk Belva. Sepengetahuan Belva, Fatimah-maminya Cristal- yang menjabat sebagai ketua klub masih bisa mengurus rumah. Seringkali saat Belva main ke rumah Cristal, Fatimah sedang memasak atau membersihkan kebun belakang. Dinar, mamanya Bella selaku sekretaris klub, juga tak jauh berbeda dengan Fatimah. Jika dilihat dari jabatan, tentu kegiatan Fatimah dan Dinar jauh lebih sibuk dibanding anggota biasa seperti Indira.

Rupanya hal itu tak berlaku untuk Indira. Jangankan memasak, sekadar menanyakan kabar Belva lewat pesan singkat pun tidak pernah Indira lakukan. Semua keperluan Belva diserahkan kepada Parmi. Baik Indira dan Anthony merasa cukup memberi perhatian kepada Belva dengan limpahan materi.

"Malam ini lo nginep di rumah gue aja, Va. Balik lusa atau minggu depan gitu. Jadi kan Om Anthony udah lupa masalah tadi," usul Bella sambil memasukkan buku ke tas. Sudah sepuluh menit lalu jam pulang berdentang. Saat ini hanya tinggal Belva, Bella, dan Cristal yang masih betah di kelas.

"Yang ada begitu Belva pulang, baju-bajunya udah di koper semua," komentar Cristal.

"Kalau gitu, pulang tengah malam terus berangkat pagi buta." Bella kembali memberi usul.

Belva menonyor kening Bella hingga terjengkang. "Ribet banget hidup lo. Dimarah tinggal dengerin. Bukan gaya gue buat lari dari masalah."

"Untung aja gue bukan anak Om Anthony. Gue bisa mati berdiri kalau punya bokap kayak dia," gerutu Bella sambil mengembuskan napas lega.

"Sebelum lo mati berdiri, bokap gue sudah bunuh lo duluan," sahut Belva.

"Maksud lo gimana? Memangnya gue kenapa?"

Belva tersenyum sinis, ekspresi yang paling sering ditampakkan wajah tampannya. Tanpa bersuara, Belva mencangklong ransel, bersiap turun untuk pulang.

"Bentar! Maksud ucapan lo tadi apaan, Va? Kenapa mereka mau bunuh gue? Gue salah apa?"

"Gue balik duluan." Sekilas Belva melambaikan tangan dari ambang pintu.

"Lo nggak ada niat ngejelasin, Va?" Bella masih saja mencecar Belva dengan pertanyaan yang sama. Bahkan ketika Belva sudah sampai di ujung anak tangga, suara Bella masih bisa didengar.

Belva melepas strap di bahu kiri, lalu menggeser tas ke depan demi bisa membuka resleting di kantong depan. Sambil terus berjalan menuruni anak tangga, Belva mencari earphone di dalam tas. Namun, tak juga ditemukan.

Atensi Belva terpusat pada isi kantong depan ransel, hingga tak menyadari jika di depannya ada seseorang yang juga sedang menuruni tangga. Tanpa sengaja, Belva menubruk punggung orang tersebut. Hingga membuat orang di depan Belva tersungkur ke lantai bawah.

Pekikan yang diikuti erang kesakitan sontak membuat Belva terkejut. Serta merta Belva mengalihkan netra ke bawah, di mana seorang gadis tengah tengkurap di lantai. Rok coklatnya tersingkap menutupi ransel yang ia cangklong di punggung. Untung gadis itu memakai celana senam di balik rok, sehingga pakaian dalamnya tidak terekspos langsung.

Sekian detik berlalu dalam hening. Baik Belva maupun gadis itu tetap mempertahankan posisi tanpa bergerak sedikit pun. Mereka sama-sama terkejut. Hingga akhirnya gadis itu yang lebih dulu bergerak. Perlahan gadis berkucir dua itu mendudukkan diri di lantai sambil membenahi rok. Berkali-kali ia mengusap kening dan ujung hidung yang memerah sambil terus mengaduh.

Belva menelan ludah demi menghilangkan rasa bersalah. Melihat kondisi gadis itu, membuat Belva merasa kasihan sekaligus lucu. Tampang gadis itu tampak kesakitan sekaligus menggemaskan. Belva berniat turun untuk meminta maaf, saat kedua netra coklat di bawah memelototinya tajam.

"Kamu sengaja, ya!" tuduh si gadis sambil mengacungkan telunjuk ke arah Belva. Hidung, kening, dan lututnya masih terasa nyeri. Dia yakin, tak lama lagi akan muncul bercak biru di jidat akibat benturan dengan lantai. Namun, rasa malu lebih mendominasi perasaannya saat ini.

Belva merasa sangat bersalah. Tadi dia sempat melihat netra coklat itu berair. "Gue-" Langkah Belva terhenti saat telepon genggamnya berbunyi nyaring.

Nada sambung yang khusus Belva sematkan untuk nomor telepon Anthony berteriak kencang dari dalam saku celana. Satu embusan napas panjang Belva loloskan sesaat sebelum menerima panggilan tersebut.

"Ya, Pa." Lagi-lagi Belva menghela napas panjang seraya memicingkan mata sesaat. Beberapa detik ia terdiam demi mendengarkan suara papanya.

"Iya." Belva cepat-cepat menuruni anak tangga dengan ponsel masih menempel di telinga.

"Hei, kamu mau ke mana?" teriak gadis yang masih terduduk di lantai sambil mengawasi Belva yang melewatinya begitu saja. "Hei! Tanggung jawab dong!"

Belva berjalan cepat ke tempat parkir. Panggilan dari Anthony membuatnya lupa akan kejadian tabrukan di tangga barusan. Belva sama sekali tidak ingat, di dalam gedung sekolah ada seorang gadis yang tengah kesakitan sambil terus mengumpati dirinya.

Tujuan utama Belva saat ini adalah secepat mungkin sampai rumah.

* * *

Sudah sepuluh menit berlalu sejak Belva duduk di sofa ruang keluarga. Di depannya, Anthony Wijaya duduk tegak memandangi Belva. Tidak perlu ilmu khusus untuk mengetahui emosi yang terpancar dari raut wajah lelaki itu. Sedari Belva memasuki ruang keluarga, Anthony hanya menyuruh Belva untuk duduk. Selebihnya dia menutup bibir rapat-rapat.

Belva sudah hafal perangai papanya. Kalau saat ini Belva nekat membuka mulut terlebih dahulu, pasti dengan senang hati Anthony akan segera menyemburkan lahar kemarahan. Namun, jika harus bertahan dalam diam jelas Belva yang tidak tahan.

Ayo kita akhiri perang dingin ini. Sekarang atau nanti juga sama aja, putus Belva dalam hati.

"Ada apa, Pa?" pancing Belva.

"Kamu belum sadar apa kesalahanmu?" Suara dingin dan tegas langsung menampar gendang telinga Belva.

Pertanyaannya, apa yang nggak salah dari gue? Justru aneh kalau ada hal yang benar dari gue. Belva menyembunyikan senyum sinisnya dengan menunduk.

"Berapa kali Papa harus mengingatkan, kamu itu pewaris Wijaya. Mau sampai kapan perilakumu membuat malu keluarga?"

Belva menarik napas pelan. Padahal sikapnya sudah sangat jauh berubah jika dibanding jaman SMP. Belva ingat benar, saat itu adalah masa terkelam dalam hidupnya. Saat di mana emosi Belva masih sangat labil. Peralihan dari masa kanak-kanak ke remaja membuat Belva bingung akan jati diri. Belva tak tahu harus bersikap bagaimana agar orang tuanya memberikan kasih sayang dan perhatian. Hampir setiap hari Belva sengaja berbuat ulah. Tidak hanya di rumah. Saat di sekolah atau di luar rumah pun Belva selalu bersikap membangkang dan melanggar aturan.

Tumbuh tanpa perhatian dan kasih sayang orang tua membuat Belva menjadi remaja pemberontak. Baginya hanya itu satu-satunya cara untuk menarik perhatian Anthony dan Indira. Walau pada akhirnya respon yang Belva dapat sangat jauh berbeda dari harapannya.

"Papa kira sikap memberontakmu sudah selesai, tapi ternyata masih sama saja. Umurmu sudah lebih dari delapan belas tahun. Seharusnya kamu bisa memilah mana yang baik dan buruk. Papa benar-benar kecewa dengan sikapmu. Bagaimana Papa bisa menyerahkan bisnis yang sudah Papa bangun selama ini kalau kamu masih saja bersikap tidak bertanggung jawab."

"Ada apa lagi ini?"

Belva melirik mamanya yang baru saja masuk ke ruang keluarga. Kedua tangannya penuh paper bag. Belva tebak Indira baru saja menghamburkan uang untuk menambah koleksi tas dan sepatunya.

"Dari mana saja kamu?" tegur Anthony tajam.

Indira menyerahkan barang belanjaan ke Parmi dan minta dibawakan segelas jus jeruk sebelum akhirnya bergabung di ruang keluarga. "Apa aku lupa memberitahu kalau Emerald ada acara di Bandung?" Indira balas bertanya dengan nada sinis.

"Arisan terus yang kamu pentingkan! Lihat kelakuan anakmu itu, lagi-lagi membuatku malu. Penampilan urakan seperti penjahat. Kalau kamu memang tidak bisa mendidik Belva dengan baik, aku akan membawa-"

"Oh, jadi lagi-lagi aku yang salah?" Indira cepat-cepat memotong perkataan Anthony. "Belva itu juga anakmu. Bukankah dia putra tunggal Anthony Wijaya? Sebagai ayah Kemana saja kamu selama ini, hah? Setiap ada masalah selalu aku yang disalahkan!"

Wajah oriental Anthony mulai memerah. "Jangan kurang ajar, Indira!" ancam Anthony dengan tajam.

"Ah, sudahlah. Aku capek." Indira beringsut dengan kasar. Dia sempat melirik Belva sekilas. "Mama harap kamu bisa berpikir lebih dewasa. Sudah bukan waktunya berbuat onar. Mama minta kamu buktikan ke papamu kalau kamu memang pewaris Wijaya. Jangan buat Mama kecewa, Belva."

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top