🌶🍭SCR-19🍭🌶
Annyeong, yeorobun
Ada yang penasaran sebenernya permasalahan Belva-Carol itu apaan? Harap bersabaaaar, perjalanan kita masih panjang, Gaes ....
Pokoknya jangan bosen untuk baca SCR, ya
Happy reading
💜💜💜💜💜💜💜
Kafe es krim dekat kampus Wijaya Kusuma menjadi pilihan untuk melepas rindu. Dulu semasa kuliah, hampir seminggu tiga kali Bella mengajak dua sahabatnya ke sini. Selain karena enak, menurut Bella tempatnya nyaman dan pemiliknya ramah. Awalnya hanya Bella yang memesan es krim, sedangkan Cristal memilih jus buah dan Belva jelas americano. Lama-lama kebiasaan Bella menular kedua temannya. Walau tidak seekstrim Bella, yang selalu memesan menu triple, Belva mulai mencicipi desert manis itu.
"Kalian masih sering ke sini?" Belva mengamati sekeliling kafe. Tidak banyak perubahan. Tempat ini masih mempertahankan konsep back to nature.
Cristal mengangguk sambil menuliskan pesanan. "Pajak mingguannya si Alvin nih. Lo americano atau es krim, Va?"
"Ice americano tanpa gula. By the way, gimana yayasan lo, Cris? Gue pernah baca di portal berita online tentang Yayasan Permata Indonesia."
"Semua lancar. Sekarang dipegang Mbak Keke sama Juwita. Gue ngawasin dari jauh aja. Lagian di sana ada Toni sama Budi juga."
Belva tersenyum samar. "Mereka masih ikut lo ke mana-mana?"
"Gue yang belum bisa ngelepas Budi sama Indah, Va. Kalau Toni sih tahun depan rencananya mau nikah."
"Nah tuh, Toni aja udah berani nikah, Va. Lo kapan?" sindir Bella.
"Ngaca! Lo sendiri kapan nikah?" balas Belva.
Bella mengucapkan terima kasih saat pramusaji mengantar pesanan mereka. Kemudian meletakkan gelas kopi ke depan Belva. "Gue gitu udah jelas, awal tahun depan fix jadi Nyonya Giovanni. Tanggal juga udah ada. Gedung sama gaun juga udah pesen. Lo nggak lupa kan, Va?" selidik Bella.
Belva menaikkan bahu. "Mungkin saja Gio batalin."
"Astaga!" Bella memelototkan mata. "Omongan lo sadis banget sih! Awas aja kalau kejadian bener, gue bakal nguber lo dunia akhirat."
Cristal geleng-geleng melihat dua orang di depannya. Masih saja belum berubah, setiap bertemu pasti bertengkar. "Memangnya lo nggak ada niat buat ngenalin cewek lo ke kita, Va?" Cristal mengalihkan topik kembali berpusat pada Belva. Banyak hal yang ingin ia ketahui dari lelaki itu.
Sebelah alis Belva melengkung naik. "Cewek?"
"Pacar lo, Va! Nggak mungkin kan lo jomlo selama di Aussie. Secara cewek sana kan cakep-cakep," timpal Bella.
"Nggak ada." Belva menyesap es kopi. Pahit. Namun, Belva sudah terbiasa dengan rasa itu.
Bella memajukan tubuh hingga menabrak pinggir meja. "Lo masih lurus 'kan, Va? Perasaan dulu sebelum ke Aussie, lo sering gonta-ganti cewek."
Belva memilih untuk diam. Minatnya untuk menjalin hubungan dengan perempuan sudah lama hilang. Selama ini Belva pacaran pun tidak berlandas cinta. Belum ada cewek yang bisa masuk tepat di hatinya. Kalaupun ada perempuan yang ia suka, biasanya hanya sebatas naksir dari luar. Makanya Belva tidak pernah pacaran lebih dari enam bulan.
"Lo jadian sama Carol aja, Va. CLBK gitu. Mumpung sekarang kalian sekantor. Pasti lebih gampang buat PDKT-nya," lanjut Bella penuh semangat.
Rahang Belva mengerat saat mendengar nama Carol. "Jangan sebut nama orang itu di depan gue."
Cristal dan Bella saling melempar pandang. Rupanya permasalahan sejak SMA yang sampai sekarang masih dirahasiakan oleh Belva belum juga menemukan titik damai.
"Gue sampai sekarang masih penasaran, lo ada masalah apa sih sama Car—" Bella menghentikan menyebut nama Carol saat Belva meliriknya tajam, "sama cewek itu."
Belva menghela napas panjang dan lama. "Nggak ada. Gue cuma nggak suka sama sikap dia."
Cristal mengerutkan kening. "Gue nggak bermaksud membela dia nih ya, tapi ... sikapnya yang mana yang nggak lo suka?"
"Nah iya, dia orangnya asyik banget kok. Temenan sama dia selama ini so far so good," tambah Bella.
"Ya sudah, kalian yang pacaran sama dia."
Bella merotasikan bola mata. "Maksud lo?"
"Gue sama Bella tuh nggak nyuruh lo pacaran sama dia. Kalau akhirnya kalian berjodoh sih nggak apa-apa. Cuma gue heran aja sama perubahan sikap lo ke Carol. Drastis banget, Va. Kayak ada sesuatu yang bikin lo menjauh."
Bella menyetujui pernyataan Cristal. "Dulu kan lo sempet deket banget tuh sama dia, kenapa mendadak jadi dingin gitu sih?"
Belva berdecak sebal. "Kalau kalian masih mau ngomongin orang itu, gue balik."
Cristal dan Bella membuang napas panjang bersamaan. Mungkin saat ini bukan waktu yang tepat untuk membahas Carol, batin Cristal. Ia mengode Bella untuk mengubah topik. Jangan sampai mood Belva balik anjlog.
"Tapi ... lo nggak ada rencana mendadak ngilang lagi kayak 4 tahun lalu kan, Va? Lo udah nggak dateng di acara tunangan gue. Lo juga dengan teganya nggak dateng di nikahan Cristal. Kalau sampai nikahan gue besok lo alasan lagi, fix gue nggak bakal mau temenan sama lo lagi," cerocos Bella.
Belva memicing sembari menghela napas panjang. "Sorry. Gue bener-bener brengsek nggak bisa dateng di acara penting kalian."
Cristal menepuk lembut punggung tangan Belva. "It's oke, Va. But, tell me what happened to you?"
Belva tahu, penjelasannya selama ini tidak akan bisa diterima oleh kedua sahabatnya. Namun, untuk jujur juga berat dilakukan. Harga diri dan egonya jelas melarang. Cukup mereka tahu bahwa keluarganya tidak seharmonis yang tampak di permukaan. Tidak perlu tahu detail kejadian bahkan seberapa dalam luka yang dialami Belva.
"Lo nganggep kita berdua sahabat lo nggak sih? Padahal tiap ada masalah, gue sama Cristal pasti cerita ke lo. Istilah kata, gue bingung mau beli pembalut bersayap atau tanpa sayap aja nanya ke lo. Tapi, lo selalu nutupin semua masalah," cerocos Bella.
Cristal menautkan kesepuluh jari di atas meja. "Va, kita udah temenan lebih dari tiga belas tahun. Selama ini gue nggak berani ngusik permasalahan yang lo hadapi. Karena lo seolah menutup diri. Gue mikirnya lo masih bisa menghadapinya sendirian. Gue nggak bodoh-bodoh banget sampai nggak tahu pokok permasalahan di hidup lo itu apa. Apapun jalan atau keputusan yang lo ambil, gue sama Bella selalu mendukung. Buat kami, yang penting lo bahagia."
Cristal mengambil jeda sejenak sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Kalau nurutin ego, empat tahun lalu gue sama Cristal pengin ngelarang lo ke Aussie. Kami tuh nggak bisa ngebiarin lo tinggal di tanah asing tanpa temen satu pun. Tapi, kami sadar misal lo tetap di Indonesia pun belum tentu bahagia. Bisa jadi lo tambah terpuruk. Makanya kami biarin deh lo minggat."
Keheningan melingkupi meja mereka beberapa detik. Musik yang mengalun dari speaker kafe serta suara bising dari arah dapur seolah berada di belahan dunia lain. Sama sekali tidak terasa efeknya bagi ketiga orang yang kini saling menatap.
"Kali ini, please, berbagi sama kami, Va. Nggak masalah sehancur apa hidup lo. Nggak urusan seblangsak apa dunia lo. Yang penting sekarang lo udah di sini dan lo harus inget, lo punya gue sama Bella," pinta Cristal sepenuh hati.
* * *
"Jadi ... lo kenal sama Pak Belva?" cecar Kirana dengan suara rendah.
Dari setengah jam lalu, saat Bella dan Cristal beranjak dari meja resepsionis, gadis berkulit sawo matang itu terus-terusan menempel pada Carol. Dia benar-benar penasaran ada hubungan apa antara Carol dengan teman-teman bos barunya.
Carol mengode Kirana untuk kembali ke kursinya. Dia sendiri membenahi bawahan saat berdiri dari duduk. Baru saja sepasang tamu dari kamar 1012 memasuki lobi hotel. Suami istri paruh baya itu tersenyum cerah menyapa Carol.
"Selamat sore, Bapak Ibu Slamet," sapa Carol pada pasangan yang baru saja melangsungkan annyversary pernikahan ke-25 tadi malam di ballroom GWS.
"Selamat sore, Cantik." Bu Slamet membalas sapaan Carol sembari menerima kunci kamar yang tadi ia titipkan di resepsionis.
"Bagaimana perjalanan Bapak Ibu hari ini?" Carol tidak bermaksud ingin tahu, hanya saja pasangan ini menggunakan jasa pelayanan travel tour yang dimiliki GWS, sehingga sudah menjadi kewajibannya untuk menanyakan kesan dari Wijaya Travel.
"Ibu suka sekali sama perjalanannya, Mbak." Bu Slamet memajukan tubuh mendekat Carol. "Apalagi pemandunya," bisiknya dengan senyum lebar.
Berkebalikan dengan istrinya, Pak Slamet tampak menekuk wajah. "Mbak, besok tolong carikan pemandu yang cewek saja. Ibu kesenengan lihat brondong ganteng."
Bu Slamet terbahak mendengar protes dari suaminya. Dia menggeleng ke arah Carol. "Jangan dengarkan Bapak. Biasa ... Bapak cemburu."
Carol tersenyum dikulum. Ia tahu pasti bahwa ekspresi Pak Slamet hanya akting. Pasangan ini sudah menjadi pelanggan setia GWS. Setiap merayakan hari jadi pernikahan, mereka selalu menginap di hotel ini. Sehingga Carol paham tabiat kedua tamunya.
"Apakah ada yang bisa kami bantu lagi, Ibu?" tanya Carol dengan ramah.
Rupanya keliling Kota Tua hari ini cukup menguras tenaga pasangan itu. Alhasil malam ini mereka memutuskan untuk beristirahat di kamar. Carol menyarankan mereka untuk menikmati santap malam di dalam kamar daripada harus turun ke restoran.
"Lo kenal mereka di mana?" Kirana kembali mendekati Carol setelah kedua tamunya kembali ke kamar mereka.
Carol mengerutkan kening bingung. "Di sini lah. Kan mereka udah sering nginap di GWS, Ran. Kamu lupa?"
Kirana menghentak pelan sambil mengerucutkan bibir. "Ih maksud gue bukan Pak Slamet, tapi temen-temennya Pak Belva."
Carol geleng-geleng. Heran, masih saja temannya ini penasaran. Carol pikir setelah kedatangan pasangan Slamet tadi, Kirana lupa tentang Bella dsn Cristal.
"Cerita dong ...." rengek Kirana.
Carol melirik penunjuk waktu di pergelangan tangan. Sudah jam tiga kurang lima. Sebentar lagi shift kerjanya berakhir. Itu artinya Carol bisa mengistirahatkan kaki dan punggung. Setelah seharian dari jam 7 berdiri, ia baru bisa duduk jika tidak ada tamu, tubuhnya mulai terasa pegal.
"Siap-siap pulang yuk, Ran. Aku pengin banget makan seblak yang super pedes. Kamu mau nggak?" Warung seblak langganan Carol berada di gang kecil belakang GWS.
Kirana berdiri sambil bersedekap di depan Carol. Ia memiringkan kepala, menelisik raut muka gadis di depannya. "Lo sengaja menghindar, ya? Atau jangan-jangan ... lo ada story sama Pak Belva?"
Kirana menjentikkan jari. "Pasti bener kan tebakan gue? Dari tadi pagi sikap lo tuh aneh banget. Nggak kayak biasanya."
Carol membereskan meja dan laci resepsionis. Habis ini giliran Ira, salah satu resepsionis senior di GWS, jadi Carol tidak ingin dapat teguran karena meninggalkan kotoran di tempat kerja.
Kirana masih memberondong Carol dengan pertanyaan seputar Belva. Bahkan setelah mereka selesai berganti pakaian di bilik khusus karyawan, Kirana belum menyerah.
"Pak Belva kan baru pulang dari Australia, berarti kalian kenal sebelumnya ya? Kapan? Di mana? Kok bisa?"
Carol menutup loker lalu menguncinya. Setiap pegawai di GWS memiliki loker di bilik karyawan yang bisa mereka gunakan untuk menyimpan baju ganti, tas, sepatu, atau barang pribadi lain.
"Cabut yuk, aku laper banget nih." Carol memainkan kunci motor matic di tangan.
Tadi siang dia tidak nafsu makan, sehingga melewatkan jam makan siang dengan duduk melamun di taman dekat kolam renang. Seharusnya setiap karyawan di GWS mendapat jatah 1 kali makan sesuai shift masing-masing. Lumayan untuk dompet tipis macam Carol.
"Gue traktir lo seblak sesuka lo, asal lo cerita ke gue," tawar Kirana.
Carol menghembuskan napas panjang. Percuma menghindar terus. Teman kerjanya satu ini tidak akan diam kalau belum dapat apa yang ia mau. "Iya, ntar aku cerita."
Carol jelas tidak mau membahas tentang dirinya dengan Belva di lingkungan GWS. Kalau sampai ada yang dengar, pasti akan timbul gosip. Tadi saja waktu Bella dan Cristal menyapanya, anak-anak front office, terutama Nia, sudah melirik dengan sinis.
Jangan sampai hanya karena masa lalu yang tidak seberapa membuat dunia kerjanya hancur. Untuk bisa sampai di posisinya sekarang, bukan hal yang mudah bagi Carol. Mengingat seleksi perekrutan pegawai di GWS terbilang ketat. Jadi dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang dimiliki.
Pakde dan budenya sudah berkorban banyak hingga bisa menyekolahkan Carol di kampus perhotelan. Seharusnya di usia senja, mereka bisa menikmati masa pensiun dengan bersantai. Namun, waktu mereka malah tersita untuk mengurus Carol. Sehingga Carol merasa wajar jika saat ini dia harus membalas segala kebaikan mereka.
Setelah lulus dari kampus dalam waktu tiga tahun, Carol langsung mendapat pekerjaan menjadi resepsionis di sebuah hotel bintang tiga. Pekerjaannya di tempat lama sangat menyenangkan. Rekan kerja di sana ramah, tekanan kerja pun tidak sebanyak GWS. Namun, Carol tetap ingin berkembang.
Kebetulan ada info bahwa GWS membuka lowongan untuk posisi front office. Jadilah Carol mendaftar berdasar pengalaman tiga tahun di tempat lama. Menyingkirkan puluhan pesaing bukan hal mudah. Terlebih Carol mempunyai satu kekurangan. Tinggi badannya terlalu mepet untuk posisi front office.
"Nah, lo bisa cerita kan sekarang?" tuntut Kirana.
Mereka duduk berhadapan di warung seblak sambil menunggu pesanan datang. Tadinya Carol ingin membawa pulang saja, dimakan di rumah bareng budenya. Namun, pelototan tajam Kirana menghalangi niatnya.
"Dulu aku satu sekolah sama mereka waktu SMA," jelas Carol sambil menatap permukaan es jeruk yang dari tadi ia aduk.
Kirana menggeser kursi plastik mendekat ke Carol. "Mereka? Sama Pak Belva juga?"
Carol mengangguk sambil menggigit ujung sedotan.
"Daebak! Lo temenan sama Pak Bos besar atau ... 'temenan'?" Kirana menggerakkan dua telunjuk dan jari tengah di depan wajah.
Boro-boro temen atau cuma kenalan. Bahkan bisa jadi Belva nganggep aku kayak musuh, batin Carol.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top