🌶🍭SCR-18🍭🌶
"Aku tidak akan mengizinkan anak haram itu masuk Universitas Wijaya Kusuma!"
"Kamu sama sekali tidak berhak untuk melarangku, Indira!" Bentakan Anthony disusul gebrakan di meja membuat langkah Belva terhenti.
"Kamu lupa kesepakatan kita, hah? Apapun yang berhubungan dengan mereka, harus sepengetahuanku! Tapi sekarang apa? Kalau bukan pihak kampus yang bilang, aku tidak mungkin tahu kalau diam-diam kamu memasukkan anak itu ke Universitas Wijaya Kusuma!"
Menurut Indira, Puspa sangat tidak tahu diri. Mereka sudah merebut perhatian dan waktu Anthony. Sekarang mereka ingin merebut posisi Belva.
"Jangan kamu pikir aku hanya sekadar mengancam saja. Keluarga Danuwiharja tidak akan tinggal diam jika sampai kamu nekat melanggar perjanjian. Aku akan memastikan mereka mendapat balasan setimpal kalau berani mengusikku atau Belva!" ancam Indira.
Umpatan kasar dilempar Anthony. Harga diri serta egonya tak dapat terima atas sikap Indira yang selalu menekan dan mengancam. Dia merasa sudah sangat bersabar meladeni kekonyolan wanita itu. Jika bukan demi Wijaya Kusuma, sudah dari awal pernikahan Anthony berniat menceraikannya. Namun, sekali lagi, hutang budi Wijaya Kusuma ke Danuwiharja telah membelenggu kebebasan Anthony.
Napas Anthony berderu menahan emosi yang membeludak. Dalam hitungan detik, pria paro baya itu merangsek maju. Mencengkeram kuat dagu wanita yang notabene masih menjadi istrinya. Memaksa Indira untuk menengadah, menatap kilat amarah dalam netra coklat milik Anthony.
"Dengar," desis Anthony, "jangan berani menyentuh mereka seujung rambut pun!"
Indira tertawa tanpa nada humor. Dengan tajam ia membalas tatapan Anthony. "Kalian yang terlebih dahulu berulah. Selama ini, aku sudah cukup sabar dan membiarkan semua perbuatan menjijikkan yang kalian lakukan."
Anthony menghempaskan Indira dengan kasar hingga menggelosor di lantai. Telunjuknya mengarah tepat ke wajah wanita yang selama dua puluh enam tahun menjabat sebagai istrinya tersebut. "Kalau bukan karena Wijaya Kusuma, sudah kulempar kalian berdua dari rumah ini!"
Belva terlalu marah dengan ucapan Anthony. Hal itulah yang menjadi alasan Belva meninggalkan Indonesia 4 tahun silam. Dengan dalih menempuh program pasca sarjana. Yang sebenarnya adalah Belva terlalu muak dengan dunia ini.
"Va, lo dengerin gue nggak sih?" Tepukan Bella di bahu Belva, mengembalikan jiwa lelaki itu dari kenangan empat tahun lalu.
"Lo ada masalah? Gue lihat dari tadi lo ngelamun terus, Va," tambah Cristal.
Belva mengangkat sebelah alis. Hari ini rupanya jauh dari kata santai. Berbagai emosi datang silih berganti. "Kalian mau makan di sini atau kita keluar?"
Bella berdecak kesal. "Lo ngalihin topik! Jawab dulu pertanyaan gue. Itu," Bella menunjuk arah belakang tubuh dengan jempol, "Carol kan?"
Ganti Belva yang menyuarakan kekesalan. "Kalau dia kenapa?"
Netra Bella membola sempurna. Senyum lebar terbit di wajah glowing shimering splendid yang tak pernah luntur sejak dari jaman ke jaman. "Udah gue tebak! Tadi gue sempet lihat Carol waktu nanyain lo di informasi. Cuman gue takut salah. Habisnya dia jadi cantik banget."
Bella meraih tas dari atas meja, bersiap beranjak dari duduk. "Kita samperin yuk. Gue kangen sama dia."
Tatapan tak setuju disertai decak protes Belva tak dianggap sedikit pun oleh Bella. Gadis itu tetap melanjutkan langkah dengan mantap.
Cristal mengangguki ajakan Bella. Digandengnya Alvin mengikuti langkah Bella. "Ayo, Va!" Cristal menarik paksa tangan Belva yang masih duduk santai di sofa. Tidak terlihat sedikit pun keinginan lelaki itu untuk beranjak.
Kalau bukan karena tak tega melihat Cristal menarik tubuhnya, Belva tak mungkin mau melangkah. Satu embusan panjang dia loloskan. Belva mengurai pegangan Cristal, ganti dia yang merangkul bahu ibu muda tersebut. Belva tidak ingin sebelah kaki Cristal terasa sakit.
"Gue naik bentar, Cris." Belva melepas pegangan di bahu Cristal tepat di depan meja resepsionis. Belva berbelok kiri menuju lift khusus karyawan. Jangankan menyapa, sekadar melirik ke arah Carol pun enggan dia lakukan. Melihat wajah Carol membuatnya teringat kebejatan Anthony.
"Ish, itu orang kurang obat atau gimana sih?" geram Bella melihat Belva berlalu begitu saja di depan mereka.
"Carol, long time no see." Cristal menghampiri Carol, lalu memeluk gadis bercepol rapi itu. "Udah 10 tahun lebih nggak ketemu. Gue nggak nyangka bakal ketemu lo di sini."
Carol membalas pelukan Bella dan Cristal bergantian. "Tadi aku juga mikir nggak asing sama Bella, tapi mau nyapa takut salah. Tambah cantik aja, Bel."
Bella mengibaskan rambut genit sambil tertawa lebar. "Jelas dong. Percuma jadi beauty blogger kalau nggak bisa dandan."
Cristal menoyor bahu Bella. "Sombongnya. Lo jangan muji cewek ini, bisa-bisa besar kepala."
Carol tergelak. Mereka terakhir kali bertemu saat pesta kelulusan jaman SMA. Setelah itu komunikasi mereka terputus begitu saja. Sehingga bertemu lagi dengan Bella dan Cristal membuat Carol gembira.
Beda ceritanya dengan kejadian tadi pagi. Carol tahu Abdul akan digantikan oleh orang baru dari Australia. Dia sama sekali tak menyangka bahwa pimpinan barunya adalah Belva.
Carol tahu kalau Belva adalah putra pemilik hotel ini. Dari pertama melamar di GWS pun Carol sudah tahu silsilah kepemilikan jaringan hotel Grand Wijaya. Namun, sepanjang pengetahuan Carol, Belva masih di Australia. Dan belum ada kepastian kapan dia kembali ke Indonesia. Alasan Carol nekat melamar kerja di GWS jelas karena tahu Belva tidak ada di sini. Sejarah hubungannya dengan Belva agak kurang bagus. Carol hanya khawatir masa lalu mereka akan berpengaruh pada hubungan kerja.
Lagipula selama lebih dari 3 tahun bekerja di GWS, tak ada kabar sedikit pun bahwa Belva akan kembali ke Jakarta. Sehingga Carol merasa aman dan nyaman. Sampai pagi tadi saat Firman, manajer front office, memberi perintah untuk menyambut General Manager mereka yang baru.
"Ganteng banget," bisik salah satu rekan kerja Carol tadi pagi saat mereka menyambut pimpinan baru GWS.
Carol belum bisa melihat jelas tampang bos barunya itu. Posisi berdirinya tertutup pilar. Carol mencoba menggeser tubuh lebih ke kiri agar bisa mengakses pemandangan yang kata Kirana rugi kalau terlewat. Kebetulan laki-laki itu sedang menghadap ke Abdul, sehingga yang terlihat hanya bagian belakang kepalanya.
Tinggi sih, mungkin sekitar 170-an. Badannya juga proporsional. Wiiih, rambutnya coklat. Asli nggak tuh? Astaga, itu kulit tangannya putih bener. Ada ya cowok seputih itu? Eh, dia bule kan ya? Wajar sih kalau putih gitu. Dari belakang gayanya sih oke. Sepatunya jelas mahal banget tuh. Setelan jasnya nggak mungkin beli di pasar loak kan ya. Balik badan dong, Bos. Seganteng apa sih kamu, Bos? batin Carol ramai sendiri.
Sedetik kemudian pria yang berada dalam satu garis pandang dengan Carol itu pun berbalik. Berjalan mendekat sembari menyalami petinggi GWS lainnya. Saat itu lah Carol dapat melihat dengan jelas sepasang anting perak berbentuk bulat, poni bergelombang, kulit mulus seputih porselen, bibir merah dengan lengkung sinis yang tak asing lagi di matanya.
Seandainya Kirana tidak menyenggol tulang rusuk Carol, mungkin saat ini gadis itu sudah masuk IGD karena kekurangan oksigen. Tanpa sadar Carol lupa cara bernapas dengan benar hanya karena mengetahui siapa bos barunya.
Raffles Belva Wijaya. Sebaris nama yang hingga kini masih terekam sempurna dalam long term memory-nya. Lelaki yang pernah hadir dalam hidupnya sepuluh tahun lalu. Pria yang pernah mewarnai hari-harinya dengan berbagai hal konyol. Namun, laki-laki itu juga yang membuat Carol kalang kabut karena perubahan sikap ekstrim.
Bertemu dengan Belva sama sekali tidak ada dalam list to do Carol tahun ini. Bahkan resolusi awal tahunnya adalah menjalani hari dengan tenang. Lalu bagaimana mungkin hidupnya akan sama kalau ternyata bos barunya adalah Belva?
Sepanjang sisa masa SMA-nya, sikap Belva kepada Carol berubah 180°. Carol lebih memilih dibentak, digertak, atau dikata-katai daripada dijauhi dan didiamkan oleh Belva. Seolah Carol itu makhluk tak kasat mata. Ada tapi tak dianggap.
Dan mulai hari ini Belva akan jadi pimpinannya. Tentu bukan hal gampang untuk Catol.
"Lo udah lama kerja di sini?" Pertanyaan Cristal membuyarkan ingatan Carol akan peristiwa tadi pagi.
"Lumayan sih, tiga tahun lebih."
"Oh pantes gue nggak pernah lihat lo di sini. Lo kerja setelah Belva ke Aussie." Bella menyandarkan sisi kiri tubuh ke meja resepsionis yang terbuat dari marmer setinggi dada.
"Alvin, jalan pelan aja dong," Cristal mengingatkan saat melihat putranya berlarian di lobi hotel.
"Anak kamu, Cris?" tanya Carol takjub.
Cristal mengangguk bangga. "Ganteng kan? Kayak ibunya."
Carol terbahak mendengar kenarsisan Cristal. Cristal berjalan cepat ke arah Alvin saat bocah itu hampir saja menabrak vas pohon di tengah ruang. Midi dress-nya tak bisa menyembunyikan kaki kiri Cristal. Siapa pun pasti langsung tahu, Cristal memakai kaki palsu.
Sontak Carol terdiam. Berulang kali ia mengerjap, mungkin matanya terkena debu jadi agak buram melihat sosok teman SMA-nya itu. Namun, tak ada perubahan. Besi berwarna merah bergliter emas itu yang menyangga tubuh Cristal.
"Kaki kiri Cristal diamputasi empat tahun lalu," jelas Bella saat melihat wajah syok Carol.
"Kenapa, Bel?" tanya Carol berhati-hati.
"Bel, cabut sekarang!" Suara dalam dan tegas menginterupsi obrolan Carol dan Bella.
Tanpa menunggu jawaban Bella, Belva melenggang meninggalkan area lobi sambil membawa tas kerja. Sore ini dia memutuskan untuk langsung pulang.
"Va!" Bella meneriaki lelaki yang masih saja berjalan menjauh. "Itu anak bener-bener nggak beres," gumam Bella kesal.
"Udah sana dikejar." Carol menunjuk arah Belva dengan dagu.
Cristal mendekati meja resepsionis setelah bisa mengendalikan Alvin. Saat ini bocah satu setengah tahun itu sudah berjalan tenang sambil menggandeng Cristal. "Belva kenapa tuh?"
Bella mengangkat bahu. "Mana gue tahu."
Cristal berdecak heran. "Ya, udah yuk cabut. Carol, kita jalan duluan, ya. Eh, gue minta nomor HP lo dong."
Carol gegas mengeluarkan kartu nama yang selalu tersedia di laci meja resepsionis. "Ntar hubungi aku, ya."
Cristal mengacungkan jempol kanan. "Kapan-kapan kita hang out bareng kayak dulu, oke?"
Setelah berpamitan dengan Carol, Bella dan Cristal gegas menyusul Belva. Carol menghela napas panjang sembari memperhatikan punggung tegap di depan sana. Kamu masih aja nggak nganggep aku ada, ya, Va. Sebenernya aku salah apa sih sama kamu, Va?
* * *
Gaiseu, minta pendapatnya dooong.
Di part ini kan banyak flashback-nya, bingung nggak?
Yang nungguin interaksi Belva dan Carol, harap bersabar dulu yaaa ....
Gumawooo
💜💜💜💜💜💜💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top