🌶🍭SCR-17🍭🌶

Jakarta, saat ini

"Permisi, Pak Belva. Ini daftar seluruh karyawan sesuai divisi masing-masing yang kemarin Bapak minta." Malik menyerahkan tumpukan map warna-warni ke atas meja.

Belva memutar kursi kerja kembali menghadap meja. Sudah cukup acara rendezvous dengan masa lalunya. Saatnya kembali ke kehidupan nyata. Buat apa buang-buang waktu untuk mengingat hal-hal yang cuma merusak suasana hati. Lagipula sudah sepuluh tahun berlalu, masa-masa SMA-nya telah terkubur jauh.

"Ada perubahan apa di GWS selama saya pergi?" Belva membuka map paling atas sembari menunggu Malik menjelaskan secara singkat perkembangan yang terjadi. Rapat umum baru akan dimulai satu jam lagi. Masih ada waktu baginya untuk mengetahui GWS lebih jauh.

Lelaki berusia awal 30-an itu menjelaskan satu per satu personil dari tiap divisi yang ada dalam manajemen Grand Wijaya. Mulai dari dewan direksi beserta petinggi Grand Wijaya hingga manajer tiap divisi.

Sebenarnya Grand Wijaya Serpong jauh lebih kecil dibanding GW Surabaya atau Denpasar. Namun, karena GWS adalah pusat dari jaringan perhotelan yang dimiliki Wijaya Kusuma, sudah seharusnya Belva berupaya untuk membuat hotel ini lebih maju.

"Kalian masih mempertahankan Beni di keuangan?" Sebelah alis Belva melengkung naik. Tadi pagi dia tidak melihat batang hidung pria berkepala plontos itu, tapi namanya masih tertera di daftar karyawan.

Setahu Belva, manajer pengganti sementaranya itu terindikasi melakukan penggelembungan dana saat menjabat di divisi purchasing. Namun, karena saat itu tak ada personil lain yang bisa menggantikan Belva, terpaksa diangkatlah Beni. Seharusnya hanya sementara.

"Selama tiga tahun saya di GWS, belum pernah ada kabar tentang penggantian atau penurunan jabatan beliau, Pak," jawab Malik apa adanya.

Belva berdecak kesal. Padahal dulu dia sempat berpesan pada Abdul untuk segera memecat Beni. Melihat pria berambut minim itu menggantikannya di posisi Manajer Keuangan saja sudah membuat Belva meradang. Ditambah satu lagi fakta bahwa hingga saat ini Beni masih ongkang-ongkang di jabatan itu. Enak sekali, bisa bersantai setelah melakukan kecurangan.

Belva menandai nama Beni dalam daftar karyawan. Dia berencana membahas langsung di rapat umum sesaat lagi. Buat apa menunggu terlalu lama. Semakin cepat memotong habis bagian yang busuk, maka semakin besar bagian yang bisa diselamatkan.

Sudah ada tiga nama yang Belva catat dalam buku agenda. Bagian keuangan dua orang dan purchasing satu orang. Belva tak habis pikir, apa saja yang dikerjakan Anthony selama ini. Sampai membiarkan tikus diam-diam menggerogoti GWS.

"Apa ada divisi lain yang terindikasi melakukan pelanggaran atau ada masalah lain?"

Malik dengan tegas menyatakan selain kedua divisi itu, semua berjalan sesuai aturan. "Hanya ada satu laporan dari bagian personalia mengenai salah satu pegawai di front office, Pak."

Jari Belva yang tengah membalik halaman berkas terhenti. Entah mengapa, mendengar bagian front office mendadak sosok Carol berkelebat di pelupuk mata. Namun, dengan cepat Belva dapat menguasai diri. "Ada masalah apa?"

Belva menutup berkas karyawan dari housekeeping. Ia beralih pada map berwarna hijau dengan tulisan Front Office di bagian depan.

Percuma saja Belva berusaha keras menolak untuk memikirkan Carol. Kenyataannya tangan, mata, dan otak tak berjalan seiringan. Jarinya terus membalik halaman per halaman sembari mencari sebaris nama yang masih ia hafal di luar kepala.

"Salah seorang kasir kita berniat mengundurkan diri setelah menikah, Pak. Yang menjadi persoalan, apakah kita perlu mencari pegawai baru atau me-rolling divisi front office?"

"Nanti kita bahas di rapat," jawab Belva sambil terus membuka berkas pegawai.

Ketemu.

Nama: Carolina Yulisia Rustam
Tempat tanggal lahir: Jakarta, 10 Juli 1996
Pendidikan: D3 perhotelan
Status: Belum kawin

Entah Belva harus heran atau gembira. Bukankah usia Carol sudah lebih dari cukup untuk berkeluarga? Apa dia terlalu sibuk mengurus karir sampai tidak sempat memikirkan masa depan? Atau karena dia tidak bisa menikah dengan pacarnya?

Belva menutup kasar berkas yang dibaca. Sialan! rutuknya. Ingatan akan perselingkuhan Anthony dengan Carol malam itu kembali hadir. Luka yang susah payah ia tutupi, terbuka lagi hanya gara-gara tanpa sengaja menangkap sosok Carol di deretan karyawannya.

Namun, satu hal yang membuat Belva heran. Mengapa Anthony membiarkan simpanan, atau mantan pacar, atau kencan satu malam, atau ... terserah apa sebutan untuk hubungan mereka berdua, hanya bekerja sebagai resepsionis?

* * *

Rapat yang diperkirakan hanya berlangsung tak lebih dari dua jam, molor dua kali lipat. Awalnya mereka mengira Belva hanyalah anak kemarin sore yang belum paham manajemen perhotelan. Sehingga bisa dipastikan pertemuan pertama ini hanya berisi perkenalan dan hal remeh lainnya.

Siapa sangka, Belva langsung meminta masing-masing kepala divisi untuk memaparkan visi misi dan apa saja yang menjadi prioritas mereka jangka pendek. Belva sengaja melakukannya. Dia sadar akan posisi yang didapat saat ini hanya berupa jabatan warisan. Karena dia putra Anthony Wijaya.

Belva tidak bisa mengelak akan nama Wijaya di akta lahir. Dia tak bisa menghilangkan begitu saja separuh DNA Anthony dalam darahnya. Walau ingin, Belva tetap tak bisa menolak pelimpahan tahta di kerajaan bisnis Anthony. Indira jelas akan berbuat hal nekat jika Belva berniat melepas haknya. Jadi, yang bisa dia lakukan adalah membuktikan diri. Memperlihatkan kemampuan serta keahliannya dalam memimpin GWS. Bukan sekadar gertak sambal, tapi benar-benar melakukan gebrakan.

Embusan lega disertai raut lega terpancar dari seluruh peserta rapat, setelah Belva menutup rapat. Walau ada sebagian permasalahan yang masih perlu dibahas lebih lanjut, tapi secara garis besar tujuan Belva mengadakan rapat ini telah tercapai. Beni, tokoh utama yang selalu menjadi sasaran sindiran pedas Belva, pasti bisa menebak nasibnya ke depan akan seperti apa.

Belva mengeluarkan ponsel dari saku jas. Dia mengecek percakapan grup Kingdom Squad. Untung saja tadi dia sempat mengabari Bella dan Cristal untuk mengundur pertemuan mereka di sore hari. Sehingga dua sahabatnya itu tak perlu menunggu terlalu lama.

Princess Bella
Heh, kampret!
Kenapa lo baru ngomong sekarang?
12.13

Gue udah di GWS!
Cepetan nyusul, Cris!
12.13

Queen Cristal
Gue otw.
13.45

Princess Bella
Lo baru otw???
Gue udah berkarat nungguin Belva di lobi.
14.18

Lo sampe mana sih?
14.20

Queen Cristal
Deket kok, paling bentar lagi sampai.
14.21

Princess Bella
Cepetan, Cris!
Gue udah gatel pengin ngomong.
14.28

Belva menutup layar gawai. Pasti Bella terlambat melihat pesan yang tadi Belva kirim di grup. Setelah memberi instruksi ke Malik untuk segera mengirim notula rapat, Belva gegas meninggalkan ruang rapat. Sudah lama tidak duduk di belakang meja, membuat punggung Belva terasa panas.

Daripada menyuruh Bella naik ke ruangannya, Belva memilih untuk turun. Selain ingin mencari udara segar, Belva merasa kurang tepat jika membiarkan perempuan memasuki ruangannya di hari pertama kerja. Bisa-bisa tersebar kabar tak sedap.

Sore ini lobi terlihat tak seramai pagi tadi. Mungkin para tamu sedang istirahat siang atau masih beraktivitas di luar. Keluar dari lift khusus karyawan, Belva disambut sapaan dari bell boy. Dia memberitahu bahwa ada tamu yang sedang menunggu Belva di lobi.

Setelah mengucapkan terima kasih, Belva menghampiri lokasi yang ditunjukkan oleh bell boy tadi. Duduk membelakangi pintu utama di balik sebuah pot besar, menjadi tempat sempurna bagi Bella untuk menyembunyikan diri. Dari kejauhan, Belva dapat melihat rambut ungu kemerahan milik Bella.

Seingat Belva, sahabatnya satu itu selalu mengisi waktu luang dengan menonton drama Korea. Bisa jadi saat ini pun dia tengah tertawa cekikikan atau malah menangis gara-gara terlalu asyik mengikuti cerita.

"Nggak ada tontonan yang lebih mendidik, Bel?" tegur Belva. Dia sempat melihat adegan ciuman dari layar gawai Bella.

Cengiran lebar yang tadinya menghiasi wajah Bella otomatis sirna. Dia menoleh ke asal suara dengan muka tertekuk. "Nggak ada sambutan yang lebih manis, Va? Lebih dari empat tahun nggak ketemu, bisa-bisanya lo nggak berubah. Masih aja sinis."

Bella yang tadinya sudah berdiri, bersiap untuk memeluk Belva, berakhir dengan kecewa. "Lo nggak ada niat buat meluk gue gitu?"

Belva tidak menggubris protes Bella. Dia hanya merespon dengan menaikkan kedua alis, lalu duduk di sofa depan Bella. Baru kali ini Belva merasakan duduk di fasilitas umum yang disediakan GWS.

Not bad, tapi kurang nyaman, batin Belva. Sandarannya terlalu tegak dan jarak antara sofa dengan meja terlalu dekat. Saat Belva menyilangkan kaki, ujung sepatunya mengenai meja kaca. Belva membelai permukaan sofa. Lembut, tapi kurang empuk. Mungkin nanti dia akan meminta bagian purchasing untuk menggantinya dengan yang lebih bagus.

"Lo beneran nggak ada niat buat meluk gue gitu?" Bella masih berusaha meminta sambutan hangat dari Belva dengan sebuah pelukan.

Bukannya memajukan tubuh, cowok berwajah datar itu malah sengaja memalingkan muka.

"Ah nggak asyik lo." Bella kembali duduk bersandar sambil menyilangkan kedua lengan di depan dada. Drama yang tadi ia lihat sudah tak lagi menarik dibanding menceramahi Belva. "Gue udah nunggu di sini lebih dari dua jam, cuma demi lo cuekin begini? Lo nggak tahu betapa gabutnya gue di sini? Memangnya lo pikir gue ini pengangguran atau gimana? Main seenaknya ngerubah jam janjian. Gue orang sibuk you know!"

Belva melirik gadis di depannya sekilas. "Gue kirim chat jam 11.45. Kalau lo baca, nggak mungkin kejadian begini, kan?"

"Jadi gue nih yang salah?" Bella melebarkan mata tak percaya. "Udah tahu kita janjian pas makan siang. Lo nggak lupa kan, di Indonesia makan siang itu jam 12. Lo ngabarin jam 11, jelas gue udah jalan lah!"

Belva mengambil ponsel dari saku celana. "Coba lo hubungi Cristal, Bel."

Walau masih kesal karena Belva tidak menggubris protesnya barusan, Bella tetap melakukan perintah cowok itu. "Katanya tadi udah hampir sampai."

Bella menengok ke belakang, ke arah pintu masuk. Mengecek kalau-kalau Cristal sudah datang. Karena chat dan teleponnya tidak direspon oleh Cristal.

"Nah, itu dia!"

Belva mengangkat wajah dari layar ponsel. Seorang wanita dengan jalan sedikit terseok baru saja turun dari mobil, lalu berjalan memasuki hotel sambil menggandeng seorang bocah lelaki.

"Dia baik-baik aja kan, Bel?" tanya Belva.

Bella menoleh sekilas ke arah Belva sambil mendengkus keras. "Pilih kasih banget sih lo. Kalau Cristal aja lo tanyain kabarnya. Giliran gue, lo cuekin sampai berdebu."

Bukan tanpa alasan Belva merasa khawatir terhadap kondisi Cristal. Mungkin lebih tepatnya, Belva merasa bersalah karena sudah meninggalkan Cristal empat tahun lalu. Di saat sahabatnya itu benar-benar butuh dukungannya, Belva malah memutuskan untuk melarikan diri ke Australia.

"Lo punya hutang maaf ke Cristal sama gue lho, Va." Bella menekankan kata maaf dengan intonasi tajam sebelum bangkit dari duduk untuk menyambut Cristal.

"Penting banget, ya, terus-terusan diungkit," gumam Belva malas.

"Cristal!" Bella berseru kencang sambil bertepuk tangan agar Cristal menoleh ke arah mereka duduk.

Belva jelas mengamuk. Bisa-bisanya Bella membuatnya malu di depan para karyawan dengan teriak-teriak di dalam lobi. Dia pikir ini hutan atau bagaimana?

Cristal membalas lambaian Bella dengan senyum lebar. Dia sempat menunduk untuk mengatakan sesuatu pada bocah lelaki di sampingnya sambil menunjuk arah Bella.

"Sorry, gue telat, ya?" Cristal memeluk dan mencium Bella. "Tadi Alvin masih tidur, gue kasihan kalau ngebangunin dia."

Bella berjongkok di depan bocah dua tahun itu. "Halo,  Ganteng. Tos dulu dong."

Alvin beringsut mendekati Bella. "Hello, Auntie. How are you?" balas Alvin dengan ucapan yang belum begitu jelas.

"Great!" Bella menciumi wajah Alvin dengan gemas. "Kamu lucu banget sih, Pin. Jadi pengin bawa pulang deh."

Bella menggendong Alvin lalu berdiri menghadap Belva. "Apin, inget nggak om ini siapa?"

Kening bocah itu tampak sedikit berkerut. Cukup lama ia terdiam. "Om Belva?"

"Wah, keren! Apin bisa tahu lho."

Cristal tidak lagi memperhatikan obrolan Bella dengan putranya. Netranya mulai memanas saat melihat langsung sosok Belva.

"Hai," sapa Cristal dengan suara bergetar.

Belva menghembuskan napas lega, lalu memeluk Cristal dengan erat. "Sorry, Cris."

Cristal menyembunyikan tetesan air mata di bahu bidang milik Belva. "It's okay. Yang penting lo sekarang udah balik, Va."

* * *

Annyeong, yeorobun ....
Penasaran sama Cristal?
Kalau pengin tahu detailnya, bisa dibaca di KATASTROFE yaaa ....
Nah, kisah si Bella juga ada di (Un)Perfect Boyfriend ....

Gimana part ini?
Perpindahan dari flashbacknya berasa nggak?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top