🌶🍭SCR-15🍭🌶
Gaes, sejauh ini gimana SCR menurut kalian? Boleh dong kritik & sarannya. Alurnya terlalu cepat atau lambat? Kalau ada plot hole, boleh banget kasih tahu aku.
Gumawooo
💜💜💜
"Va, ntar lo bisa nganter gue ke pesta si Dona kan?" tuntut Bella butuh kepastian.
Bel pulang sudah berbunyi sejak lima menit lalu. Jika anak-anak lain saling berlomba untuk keluar kelas, maka Belva lebih memilih menunggu sampai sepi. Dia tidak suka berdesak-desakan di tangga.
"Gue usahain." Belva memasukkan buku ke dalam tas ransel. Jujur, Belva malas untuk datang ke ulang tahun Dona.
"Ih, jangan cuma diusahain dong. Kalau lo nggak jemput gue, Mama nggak bakal kasih izin buat pergi. Tante Fatim juga gitu, Va." Bella memasang wajah memohon sambil menggoyang-goyang lengan kiri Belva.
Cristal mengangguk. "Mami gue baru ngasih izin kalau lo dateng, Va. Katanya biar ada cowok yang jagain."
Belva menarik lengan yang dari tadi ditempel terus oleh Bella. "Jam berapa?"
"Acaranya jam tujuh. Lo jemput gue jam enam ya, Va, habis itu ke tempat Cristal."
Belva beranjak dari duduk, lalu mencangklong ransel di bahu kiri. Dia sempat melirik jam di atas papan tulis sebelum keluar kelas. Otaknya menghitung cepat sisa waktu untuk tidur jika nanti terpaksa mengantar kedua gadis ini pesta.
"Lo ajak Carol aja sekalian, Va," usul Bella yang masih berusaha membujuk Belva.
"Dia nggak suka pesta," jawab Belva singkat. Sekali lagi ia membungkuk untuk mengecek laci meja. Jangan sampai ada barang yang tertinggal.
"Lo nggak perlu nunggu sampai selesai, Va. Yang penting lo jemput gue, habis itu lo mau cabut juga boleh. Pulangnya gue dijemput Bang Caesar," tambah Bella.
Belva melangkah keluar kelas sambil mengecek ponsel. Tadi dia sempat mengirim pesan ke Carol untuk menunggunya di dekat tangga. Namun, hingga kini belum ada jawaban yang masuk.
"Lo nge-chat siapa sih?" Bella mengintip ke layar telepon selular Belva. "Lo serius sama Carol?"
Belva melirik gadis yang sudah berada di samping kiri. "Serius apanya?"
Belva kembali mengetik pesan, menanyakan keberadaan Carol. Sejak insiden dengan Ulfa dan gengnya di gudang, Belva tidak pernah luput untuk mengantar jemput Carol. Baik itu ke sekolah maupun ke lapak burger.
Carol sempat menolak, tapi Belva memaksa. Walau Ulfa saat ini sedang menjalani skorsing sekolah sambil menunggu hasil pemeriksaan dari pihak kepolisian, Belva masih belum yakin komplotan mereka akan membiarkan Carol begitu saja.
"Keadaan Carol sekarang gimana, Va?" tanya Cristal. Sejauh ini yang dia lihat, Carol sudah mulai membaik. Saat di kantin atau ruang publik, Carol sudah bisa tertawa. Dia juga tidak lagi sembunyi di pojok kelas atau mengasingkan diri ke atap sekolah.
Belva mengendikkan bahu. "Dia sok kuat. Padahal gue yakin, dia masih sering ketakutan sendiri. Apalagi kalau lewat di dekat gudang."
"Siapa sih yang nggak trauma kalau diperlakukan bagitu. Gue lho sampai sekarang, kadang masih mimpi buruk kalau inget kejadian sama si kunyuk Ariel itu. Apalagi Carol," jelas Bella. "Makanya, Va, lo jagain Carol bener-bener."
Belva mengembuskan napas panjang. Dia sadar kondisi Carol masih belum baik. Rentetan masalah, setelah latar belakangnya terungkap ditambah perundungan yang Ulfa lakukan, tentu membuat mental Carol turun. Masih untung Carol mau masuk sekolah. Suprapto sempat mengatakan kekhawatirannya akan kondisi Carol terhadap Belva.
"Lo beneran suka sama Carol kan, Va?" tanya Cristal serius. "Saat ini dia baru butuh banget dukungan dari lo."
"Kalau lo sama Carol, gue setuju," komentar Bella setelah tak ada tanggapan dari cowok di sampingnya.
Cristal pun mengatakan hal serupa. "Gue rasa Carol bisa mengimbangi kecuekan lo, Va. Nyatanya selama lo dekat sama dia, sikap lo sedikit berubah. Agak lebih perhatian gitu."
Bella mengangguk. "Setuju banget."
"Udahlah, gue mau balik." Belva mengambil kunci mobil dari dalam tas, lalu bergegas turun. Barusan Carol mengirim jawaban kalau dia sudah di tempat parkir. Tadi begitu bel pulang, Carol harus mengumpulkan buku tugas ke ruang guru. Sehingga baru sempat membalas pesan Belva.
"Bareng Carol, ya?" Bella menaik-turunkan alis untuk menggoda Belva. "Tembak aja lah, Va. Buat apa nunggu lama-lama."
"Berisik! Nanti lo mau gue jemput nggak?" potong Belva tegas.
"Mau dong! Gue tunggu di rumah jam enam! Jangan telat!" tegas Bella.
* * *
Belva mematut diri di depan cermin. Jin gelap dengan kemeja putih berkerah V dengan aksen sedikit renda di bagian depan, ditambah jas hitam menjadi pilihannya sore ini. Kalau bukan karena paksaan Bella untuk memakai atasan norak ini, dia lebih suka mengenakan kaos atau hoodie. Kata Bella, dresscode malam ini bertema Disney Princess, minimal Belva harus pakai jas. Demi menghormati pemilik acara, Belva terpaksa berdandan.
Untungnya baik Bella maupun Cristal tidak memaksanya untuk terus ada di lokasi sampai pesta selesai. Karena berada di kerumunan, terlebih jadi pusat perhatian, adalah satu dari sekian banyak hal yang tidak Belva suka.
Rencananya setelah menyalami Dona, Belva akan cabut ke lapak Carol. Tadi siang, dia sudah janji akan menjemput Carol di lapak. Bella sempat mengajak Carol untuk ikut ke pesta, tapi di malam minggu seperti ini pasti lapak akan ramai. Selain itu, sayang sekali kalau Carol harus merelakan bonus lembur di akhir minggu.
Alasan utamanya, Carol masih belum nyaman untuk berbaur dengan anak lain. Walau rumor tentang keluarganya sudah memudar, digantikan berita heboh tentang Ulfa, tapi rasa minder dan canggung masih saja belum hilang. Carol selalu merasa orang akan membicarakannya di belakang.
"Iya, aku tahu kok kalau banyak yang nggak punya orang tua. Tapi ... mereka punya ayah, Va. You know what i mean. Aku nggak menyalahkan Mama yang nggak mau ngasih tahu siapa ayahku, bahkan Pakde juga nggak dikasih tahu. Tapi, kadang aku juga kecewa sama pilihan Mama. Seandainya aku tahu siapa ayahku, siapa pun dia, minimal aku bisa bilang kalau aku juga punya ayah. Orang-orang pun nggak bakal menuduh mamaku sebagai perempuan nggak bener. Tapi ... aku nggak tahu kenapa sampai segitunya Mama merahasiakan ayahku," ucap Carol siang tadi di dalam mobil.
"Lo malu sama diri lo?"
Carol termenung beberapa saat. "Ya dan tidak. Aku nggak malu jadi anak yatim piatu. Aku nggak malu punya ibu kayak mamaku. Aku juga nggak malu kalau ketahuan numpang hidup sama Pakde Prapto." Carol menjeda jawabannya.
"Tapi lo malu karena nggak punya bokap?"
Carol menghela napas panjang.
Belva mengangguk paham. "Gue nggak nyalahin kalau lo malu. Cuma menurut gue, lebih baik nggak punya bokap daripada ada orangnya, tapi nggak ada fungsinya."
Carol tidak terkejut dengan ucapan Belva. Dia pernah melihat bagaimana Anthony memperlakukan Belva. Namun sayangnya, Belva belum pernah cerita secara langsung. Oleh karena itu, Carol bersikap biasa. Seolah tidak tahu kondisi keluarga Belva.
Dering telepon dari ponsel menyadarkan Belva dari lamunan. Diliriknya sekilas jam di pergelangan kiri. Baru juga jam lima lebih sedikit, tapi Bella sudah berisik mengingatkannya untuk segera berangkat. Daripada pusing diteror terus-menerus, Belva memutuskan untuk berangkat lebih cepat. Toh nanti ia bisa bersantai dulu di rumah Bella atau Cristal.
"Belva," panggil Indira saat Belva tiba di anak tangga terbawah.
Belva mengangkat sebelah alis. Tumben mamanya ada di rumah. Belva menghampiri Indira di ruang keluarga. Sepertinya ada sesuatu yang ingin Indira sampaikan. Karena begitu ia berdiri di dekat Indira, wanita itu mengkodenya untuk duduk.
"Bagaimana sekolahmu?"
Alis kiri Belva kembali terangkat. Ada angin apa sampai Indira menanyakan kabarnya? Atau jangan-jangan wanita ini sedang mabuk?
"Baik," jawab Belva singkat. Memangnya Belva harus menjawab apa lagi? Rasanya aneh kalau tahu-tahu dia menceritakan kegiatannya di sekolah.
Indira menarik napas panjang. "Mama dengar dari papamu, kalau kamu bikin masalah lagi di sekolah."
Belva menunduk sambil tertawa miring. Ternyata tadi cuma basa-basi, karena inti dari pertemuan ini cuma akan berisi nasehat dan ceramah. "Dia ngomong apa lagi?"
Sejak terbongkarnya rahasia Anthony, sebisa mungkin Belva menghindari sebutan 'papa' untuk lelaki itu. Rasa hormat yang hanya secuil itu pun kini hilang tak berbekas.
"Sekarang ada masalah apa lagi? Mau sampai kapan kamu selalu bikin Mama pusing? Kamu lihat sendiri, sudah dua minggu lebih papamu tidak pulang. Kamu tahu apa artinya? Dia lebih memilih mereka!"
Lalu kenapa? Gue juga nggak butuh lelaki itu! batin Belva.
Indira kembali melanjutkan, "Kelakuanmu kali ini membuat papamu marah besar. Bisa-bisanya kamu membawa-bawa kasus temanmu ke polisi, sampai hampir semua surat kabar Ibukota tahu kabar buruk tentang yayasan kita. Apa kamu tidak berpikir bagaimana efeknya untuk nama baik Wijaya Kusuma?"
Belva tertawa sumbang mendengar ceramah dari Indira.
"Lagi-lagi nama baik. Suruh orang itu mikir yang benar, kelakuan siapa yang lebih membuat malu Wijaya Kusuma! Lagian buat apa Mama mikirin Wijaya Kusuma? Bukankah keluarga ini yang bikin hidup Mama sengsara? Apa demi kekuasaan dan harta lagi?" Belva beranjak sambil mencengkeram erat kunci mobil.
"Siapa yang membuat WK jadi seperti itu? Tidak adanya aturan jelas, sampai-sampai murid bebas melakukan segala hal yang mereka mau. Lalu yang salah masih aku?" Belva tertawa sumbang. Bisa-bisanya Anthony menuduhnya sebagai biang kerok. Menggelikan.
"Belva! Mama belum selesai ngomong!"
Belva melirik tajam Indira. "Apa lagi, Ma? Nyuruh aku bersikap baik, jangan bikin masalah, dan lain-lain? Kalau cuma itu, aku sudah hafal!"
Indira ikut berdiri. "Kalau hafal, harusnya kamu lakukan! Bukan malah selalu bikin masalah. Mama tidak mau kalau anak dari wanita itu menggantikan kamu! Cuma kamu yang berhak mewarisi klan Wijaya Kusuma. Mama cuma—"
Belva memutus ucapan Indira cepat, "Mama cuma minta aku untuk bersikap baik, melakukan semua hal dengan sempurna, jangan bikin malu keluarga, begitu 'kan? Mau sampai kapan Mama mengulang kata yang sama? Aku sudah bilang, aku hafal. Bahkan bosan. Lagipula, apapun yang aku lakukan, tetap saja masih salah. Kesempurnaan yang kalian inginkan itu tidak ada standartnya. Sudahlah, aku capek, Ma. Kalau nggak ada lagi yang mau disampaikan, aku mau pergi!"
Tanpa menunggu respon Indira, Belva bergegas keluar. Ia tidak ingin mengumpat di depan mamanya. Belva tidak membenarkan kelakuan ibunya selama ini, bahkan rasa kecewa itu masih bercokol dalam hati. Namun, ada sedikit kesadaran dalam diri Belva, bahwa ibunya bersikap demikian juga karena Anthony. Indira pun korban dari keegoisan papanya.
Papa? Hah! Belva mengumpat keras di dalam mobil. Hanya karena sedikit andilnya akan kehadiran Belva di dunia, tidak serta merta membuatnya pantas disebut ayah. Hanya karena Anthony pemilik sebagian DNA dalam tubuhnya, Belva tidak akan membiarkan lelaki itu bersikap semena-mena.
Selama ini Belva berpikir bentuk kasih sayang Anthony adalah dengan mempersiapkan Belva menjadi penerus Wijaya Kusuma. Meletakkan satu-satunya harapan tentang masa depan perusahaan di tangan Belva. Namun ternyata salah. Bahkan saat ini Belva tidak yakin, lelaki itu pernah menyayangi Indira dan dirinya.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top