🌶🍭SCR-12🍭🌶

Anyeong, Yeorobun ....
Peringatan!
Part ini mengandung emosi berlebih.
Harap menyiapkan gelas, piring, mangkok, dan benda pecah belah lain yang bisa kalian lempar.

I Purple You
💜💜💜💜💜💜💜

* * *

Carol mengerutkan kening. "Kok lewat sini, Va?" Carol menengok ke luar lewat jendela. Sudah beberapa hari ini Belva mengantar Carol pulang dari lapak burger.

"Gue laper, dari siang belum makan."

"Tadi aku tawarin burger nggak mau."

Belva melambatkan laju kendaraan saat melewati sederetan penjual kaki lima. "Gue baru pengin sate ayam."

"Tumben, biasanya nasi goreng, nasi goreng, dan nasi goreng."

"Lo pengin nasi goreng?" Belva memberhentikan mobil di area parkir yang tersedia.

Carol menggeleng cepat. "Aku temenin kamu aja."

"Kenapa? Lo takut gendut? Badan kurus kering kayak anak TK gitu masih diet." Belva mengunci mobil lalu mencari lapak penjual sate. "Gue nggak suka makan sambil dilihatin orang."

"PD banget! Siapa yang mau ngelihatin kamu?" Carol mengikuti langkah Belva menuju salah satu kios penjual sate ayam.

"Bang, sate 2 porsi. Yang satu cabenya banyak, Bang," pesan Belva.

Carol cukup terkejut saat pertama kali diajak makan Belva. Dia pikir anak orang kaya pasti malu untuk makan di pinggir jalan. Apalagi untuk orang sok bersih macam Belva. Namun, ternyata cowok satu ini tidak begitu rewel soal makanan. Yang penting tempatnya bersih.

"Habisin." Belva menggeser satu porsi sate dengan cabai yang banyak ke depan Carol.

"Lontongnya kebanyakan, Va. Aku nggak bakal habis."

Belva berdecak, lalu mendekatkan piringnya ke piring Carol. Dia mengambil beberapa potong lontong yang tidak terkena cabai.

"Lagi, masih kebanyakan itu," protes Carol yang masih melihat tumpukan korbohidrat di piring.

"Udah, habisin!" Belva mendorong piring ke arah Carol. Lalu makan dalam diam.

Carol yang mulai tahu apa yang disuka dan apa yang tidak Belva suka pun ikut diam. Satu hal yang selalu membuat Belva marah adalah diganggu saat makan dan tidur.

"Balik yuk, Va. Udah malem banget, nanti Pakde khawatir," ajak Carol tepat setelah ia menandaskan isi piring.

Belva yang sudah selesai makan dari tadi masih sibuk dengan ponselnya. "Bentar, biar turun dulu."

Carol terbahak mendengar alasan Belva. "Turun ke mana, Mas? Semua makanan yang ditelan pasti larinya turun."

Belva mengangkat wajah dari ponsel. "Mas? Sounds good. Mulai sekarang lo panggil gue mas."

"Apaan? Nggak! Enak aja. Memangnya kamu siapaku? Lagian kita seumuran."

"Lo maunya jadi siapa gue?"

Carol ternganga. Sedetik kemudian ia sadar kalau Belva sedang menggodanya. "Aku laporin ke Bella, tahu rasa!"

Belva berhenti mengetik pesan. "Apa hubungannya sama Bella?"

"Kalian pacaran 'kan?"

Belva mengerjap beberapa kali. Berusaha mencerna kalimat Carol. "Dapat gosip dari mana lo?"

"Lhoh, memangnya bukan? Kalau gitu sama Cristal?"

Belva merotasikan bola mata. Malas meladeni ke-over thinking-an Carol. Belva memilih untuk menghubungi Bella. Sedetik kemudian terdengar sambungan telepon dari ponsel Belva.

"Ngapain lo video call malem-malem? Gue baru maskeran!" bentak Bella dengan suara kurang jelas.

Belva meletakkan ponsel di tengah meja, sehingga Carol bisa melihat wajah Bella yang penuh benda berwarna hijau.

"Lo baru sama Carol?" Bella mendekatkan wajahnya ke layar ponsel.

"Carol tanya, apa kita pacaran." Ucapan Belva yang disambut gelak tawa dari seberang.

"Astaga! Lo bikin masker gue pecah," gerutu Bella. "Gimana ceritanya lo bisa mikir kayak gitu? Gue sama Cristal nggak sudi pacaran sama Belva."

"Gue lebih-lebih," gumam Belva.

"Jadi ... lo nggak usah cemburu. Oke?" Bella tersenyum menggoda.

Carol spontan menggebrak meja. "Siapa yang cemburu? Astaga!"

Carol memelototi Belva yang tersenyum. "Jangan senyum-senyum!" bentaknya galak setelah sambungan telepon terputus. Bella sudah marah-marah karena gagal maskeran. "Udah, ayo pulang." Carol gegas berdiri untuk menyembunyikan rasa malu.

"Ulfa masih gangguin lo?" tanya Belva begitu mobil kembali melaju.

Dua hari setelah kejadian pemasangan pengumuman di majalah dinding, Belva langsung tahu kalau pelakunya adalah Ulfa dan gengnya. Belva sudah bersiap membawa kasus ini ke ranah hukum karena telah mencemarkan nama baik dan membuat kegaduhan di WK. Namun, dengan keras kepala Carol menghalangi rencana Belva.

Carol menggeleng. "Paling cuma melototin aku."

"Harusnya kemarin lo ngizinin gue bawa masalah ini ke hukum. Biar dia dapat hukuman."

"Nggak usah dibahas lagi deh. Aku 'kan udah bilang, aku nggak mau bikin Pakde sama Bude sedih. Lagian gosipnya juga udah mulai hilang 'kan."

Belva tidak bisa percaya begitu saja dengan janji Ulfa yang tidak akan mengganggu Carol lagi. "Kalau dia bikin ulah lagi, gue nggak bakal diem."

* * *

Begitu bel istirahat berbunyi, Carol gegas membuka tas jinjing lalu mengeluarkan dua buah kotak makan. Tadi pagi, Carol sengaja bangun lebih awal demi memasakkan nasi goreng kornet untuk Belva.

Senyum tipis terkembang saat dia mengembalikan kotak ke dalam tas. Lalu beranjak menuju atap. Tangga menuju atap berada di ujung lorong, berdekatan dengan gudang. Jarang ada yang lewat kecuali penjaga sekolah dan petugas kebersihan.

Semoga Belva suka sama nasi goreng buatanku. Carol menepuk tas yang dibawanya. Kakinya sudah menapak di anak tangga pertama, saat lengan kirinya ditarik kasar oleh seseorang.

"Aduh," pekik Carol tertahan saat tubuhnya diseret masuk ke dalam gudang oleh perempuan berambut pendek. "Ada apa ini?"

Carol masih belum sadar apa yang terjadi, sampai tubuhnya di lempar hingga menubruk tembok gudang. Sesaat kemudian pintu gudang tertutup. Dari arah pintu muncul enam perempuan yang salah satunya tak asing lagi di mata Carol.

"Ulfa?" Mata Carol otomatis terbelalak melihat teman sekelasnya berada di barisan orang yang menyeretnya.

Ulfa mendekati Carol. "Gue pernah nasehatin lo buat jauh-jauh dari Belva, tapi lo nggak pernah dengerin perintah gue. Lo pikir selama ini gue cuma omong kosong? Sampe-sampe lo nggak nganggep kami, hah?!"

Carol berniat mundur selangkah, tapi punggungnya sudah menempel erat pada tembok gudang. "Aku ... aku sama Belva nggak seperti yang kamu pikirkan, Fa. Kami cuma temenan biasa."

Ulfa tertawa keras. "Temen biasa?" Ulfa menjambak rambut Carol dengan keras hingga terdengar suara seperti ranting patah. Carol yakin akar rambutnya ikut tercabut.

"Temen biasa, tapi tiap hari lo ketemu di atap. Temen biasa, tapi tiap malem kalian ketemuan di taman. Temen biasa, tapi Belva nganter lo pulang. Kayak gitu temen biasa?" bentak Ulfa sambil mendorong wajah Carol.

Carol mengaduh pelan saat kepala belakangnya membentur tembok dengan keras. "Ulfa, aku mohon cukup. Aku nggak mau kamu—" Ucapan Carol terhenti saat dengan keras Ulfa menampar pipi kiri Carol.


"Apa? Lo mau lapor ke Belva, hah? Tapi sayangnya gue nggak segoblok Ariel. Di sini nggak ada CCTV. Di sini juga nggak bakal ada yang nolongin lo!" Lagi-lagi Ulfa mendorong kepala Carol.

"Anak haram kayak lo nggak pantes sama Belva. Harusnya lo ngaca! Bisa-bisanya orang miskin mimpi dapetin Belva!" seru gadis lain.

"Makanya kalau halu jangan tinggi-tinggi! Sakit 'kan akhirnya," timpal yang lainnya.

Ulfa baru sadar kalau dari tadi Carol membawa tas jinjing. "Apaan nih?"

Ulfa merebut paksa tas milik Carol lalu mengeluarkan isinya. "Bekal?"

Ulfa membuka tutup bekal dan kemudian tertawa keras. "Gaes, ternyata si anak haram masakin nasi goreng buat Belva kita!" teriak Ulfa lantang.

"Uh, so sweet banget." Cewek yang tadi menyeret Carol ke gudang, kini kembali menjambak rambut Carol hingga tubuh Carol melengkung ke belakang.

Air mata mulai merembes dari pelupuk mata Carol. "Tolong lepasin," pinta Carol sambil memegangi pangkal rambut.

"Lo berkhayal bisa suap-suapan sama Belva? Wah! Nggak tahu diri juga. Gaes, enaknya nih anak kita apain?" tanya Ulfa sambil menekan tubuh Carol sampai jatuh berlutut.

"Maskerin mukanya pakai nasi goreng spesial aja, Fa. Mubazir 'kan kalau udah masak susah-susah tapi nggak bermanfaat," usul salah seorang gadis yang berdiri di belakang Ulfa.

"Ide bagus tuh." Ulfa membuka tutup kedua kotak bekal lalu mencampur nasi, kornet, dan telur ceplok.

"Masker nasgor ala Anak Haram sudah siap." Carol mengambil segenggam nasi goreng.

Salah satu anak menarik rambut Carol sampai wajahnya menengadah. "Ratain, Fa!"

Ulfa meratakan nasi goreng ke seluruh wajah Carol. Rambutnya pun tak luput ia beri butiran-butiran nasi. "Sekalian creambath, biar rambut lo berkilau sehalus sutra. Lo itu cuma benalu yang bisanya numpang hidup di rumah orang lain! Makanya ngaca! Jadi orang itu harus sadar diri! Sudah tahu anak haram, yatim piatu, miskin pula, eeeh ... berani godain Belva!" Ulfa menuang nasi dari kotak bekal satunya ke seluruh tubuh Carol.


Isak tangis sudah tak dapat lagi Carol tahan. Carol benar-benar tak habis pikir, kenapa Ulfa begitu jahat padanya? Kenapa dia harus mengalami hal seperti ini? Kalau saja Carol berasal dari keluarga kaya, apa dia masih harus menerima perlakuan tidak adil juga? Kalau saja ibunya masih hidup, apa dia masih tetap dihina? Kalau saja dia tahu siapa ayahnya, apa teman-temannya bisa menerima Carol.

Seandainya bisa memilih, Carol tidak mau terlahir dengan keluarga tak jelas. Seumur hidup, ibunya tidak pernah mau memberitahu siapa ayah Carol. Bahkan Suprapto tak berhasil membuat Maua buka mulut.

Kalau boleh memilih, Carol jelas tidak pernah berharap ibunya meninggal.

Kalau boleh memilih, tentu Carol ingin dilahirkan di tengah keluarga yang kaya raya. Yang bisa memberinya segala hal tanpa memandang label harga. Namun, apa sekarang Carol berhak untuk menghujat Tuhan? Apa dia memiliki wewenang untuk mengatur Sang Pemilik Alam Semesta? Tidak. Tentu tidak.

Yang bisa Carol lakukan hanya menerima. Pasrah akan keadaan yang kini menimpanya. Membiarkan ketujuh orang ini memperlakukannya seperti sampah. Pukulan, jambakan, cakaran, bahkan ludah yang disemburkan Ulfa pun hanya bisa ia terima dalam diam. Air mata dan rintihannya sama sekali tidak digubris oleh Ulfa dan teman-temannya.

Ulfa melempar kotak bekal tepat ke pelipis Carol. "Kalau lo berani melaporkan kami, gue jamin lo bakal menyesal seumur hidup!"

"Tugas lo sekarang cuma diam. Kalau perlu lo pindah dari Wijaya Kusuma!" ancam gadis lain.

Sekali lagi Ulfa mendorong bahu Carol hingga terjengkang. "Inget, ancaman gue bukan sekadar omong kosong!"

Carol terduduk lemas di dinginnya lantai gudang. Ulfa dan keenam temannya meninggalkan Carol begitu saja. Pintu gudang pun ditutup dari luar. Sedetik kemudian terdengar suara pintu dikunci.

Carol sudah tidak peduli. Mau dia dikurung di gudang atau dipukuli lagi pun terserah. Hatinya terlanjur remuk. Baru seminggu Carol bisa bangkit, tapi kini ia kembali dihadapkan pada kenyataan pahit tentang siapa dirinya. Anak yang tidak pernah tahu siapa sosok sang ayah. Anak yang hanya menumpang hidup di salah satu keluarganya. Anak miskin yang tidak punya apa-apa.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top