🌶🍭SCR-11🍭🌶

Hai, Gaes ....
Udah pada makan belum?
Aku baru pengin banget makan yang pedes-pedes.
Bikin seblak enak nih kayaknya.
Pada doyan nggak?
Hhhh ... jadi beneran ngebayangin seblak panas, pedes, pake telur 'kaaaan ....
Buat nemenin baca part ini yang rada panjang dan bikin jengkel bin sebel. Kali aja sambil makan seblak, tambah panas kan yaaa

* * *

Sejak memasuki gerbang sekolah, Carol merasakan sesuatu yang tidak biasa. Beberapa siswa tampak berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. Beberapa ada yang menunjuk langsung ke arah Carol dengan senyum miring.

Kenapa sih? batin Carol sambil melihat dirinya dari kaca besar di lobi sekolah. Tidak ada yang salah dengan penampilannya. Seragamnya sudah benar. Rambut juga masih rapi.

Suasana di papan majalah dinding semakin aneh. Jarang sekali anak-anak menerumuni papan informasi, kecuali saat tahun ajaran baru. Itu pun sekadar melihat pengumuman penempatan kelas baru. Namun, pagi ini mereka seolah sangat tertarik dengan kotak kaca tersebut.

Carol yang penasaran pun ikut mendekat ke papan mading di lorong lobi sekolah. Setiap siswa yang selesai membaca pengumuman pasti memandang dengan tatapan meremehkan seolah ada yang salah pada diri Carol.

Carol benar-benar dibuat bingung. Seingatnya, dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Sabtu kemarin tidak ada peraturan sekolah yang ia langgar. Namun, mengapa Senin ini seolah seisi sekolah melihatnya seperti pelaku sebuah kejahatan?

"Ada apaan sih?" gumam Carol seraya membelah kerumunan.

Netranya sontak membola saat foto dirinya yang tengah berjualan burger tertempel di sana. Bukan hanya itu saja, judul yang tertulis pun membuat dunia Carol runtuh. Darah seolah meluncur bebas dari ujung kepala ke telapak kaki. Hingga seketika membuatnya pucat pasi.

PEKERJAAN 'SAMPINGAN' SI ANAK HARAM

Fakta terbaru!!!
Carolina Yulisia Rustam, siswi baru di kelas 3 Bhs-2 baru-baru ini tertangkap kamera sedang 'berjualan' di taman dekat komplek xxx.

Fakta lain adalah siswi tersebut seorang yatim piatu yang tinggal dengan kerabatnya. Kenyataan yang paling mencengangkan adalah hingga kini tidak ada seorang pun yang mengetahui siapa ayah kandung dari Carolina.

Jadi bisa disimpulkan bahwa Carolina lahir tanpa ayah alias ANAK HARAM!

Dan bisa jadi, pekerjaan sampingannya berjualan burger hanya kedok dari pekerjaan aslinya. Bukankah BUAH JATUH TAK JAUH DARI POHONNYA?

Carol menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Siapa yang tega berbuat seperti ini? Apa kesalahan yang sudah dia lakukan sampai orang itu mengumbar masalah pribadi Carol?

Rasa marah, malu, sedih, kecewa bercampur jadi satu. Hingga membuatnya sesak luar biasa. Butiran bening meluncur bebas dari pelupuk matanya tanpa bisa ditahan.

Rahasia besar yang selama ini Carol tutupi, terkuak begitu saja. Padahal selama bertahun-tahun tinggal di Semarang, tidak ada seorang pun yang tahu latar belakang keluarganya. Kalau pun mereka penasaran, tidak pernah sekali pun menanyakan kepada Carol.

Carol tidak merasa pernah menyinggung atau mengganggu orang di Wijaya Kusuma. Akan tetapi, kenapa ada orang yang menjahatinya seperti ini? Carol berusaha membuka kotak kaca di depannya. Namun,
sekuat apa pun ia menarik tuas, pintu kaca itu tak bergeser sedikit pun. Seseorang sengaja menguncinya.

"Lo si anak haram ini, ya?"

"Beneran lo nggak tahu siapa bokap lo?"

"Jangan-jangan lo jual diri juga."

"Mending lo balik ke desa sana. Bikin aib di WK aja deh!"

Merasa tak mampu lagi mendengar berbagai ocehan yang masuk ke telinga, Carol berbalik lalu menggegas langkah menuju kamar mandi. Ia tumpahkan seluruh emosi di dalam bilik kecil itu.

Carol menggigit kuat-kuat bibir bawahnya agar isaknya teredam. Rasa anyir yang menyapa ujung lidah pun tak ia hiraukan. Sakit akibat luka sobek di bibir tak seberapa dibanding perih yang ada di hatinya.

Berkali-kali Carol memukul dada dengan kuat. Cakaran pun ia layangkan ke kedua lengan. Namun, segala upaya menyakiti diri sendiri yang Carol lakukan tetap tak sebanding dengan amarah dalam hatinya.

Hingga bel masuk berbunyi pun Carol tetap tak berkutik. Raganya luruh di lantai kamar mandi. Ia sudah tak sanggup menghadapi teman-temannya lagi. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan mereka. Namun, untuk pulang pun ia tak memiliki keberanian. Cukup sudah selama belasan tahun ia merepotkan keluarga Suprapto. Carol tidak mau lagi menjadi beban pikiran mereka. Walau itu artinya ia harus menanggung segala beban seorang diri.

* * *

"Gue gabung di sini, ya." Tanpa menunggu persetujuan pemilik meja, Ulfa langsung mendudukkan diri di kursi samping Cristal.

"Ke kantin sendirian tuh nggak enak banget. Nggak ada temen ngobrol. Coba kalau gue punya geng kayak kalian, pasti rame." Ulfa menyendok nasi rames, tapi meletakkan lagi di piring.

"Sejak gue dekat sama Carol, anak-anak sekelas nggak ada yang mau temenan sama gue. Nggak ngerti kenapa mereka nggak suka sama Carol. Kalian bisa bayangin, jadi anak baru tapi nggak ada yang mau dekat. Kasihan banget 'kan?" Ulfa mengalihkan pandang kepada tiga orang di sekitarnya.

Cristal melirik Ulfa sedetik, lalu melanjutkan makan. Bella masih menunduk demi menutupi wajah muaknya. Sedangkan Belva terlalu asyik dengan nasi goreng telur ceplok.

Ulfa memajukan tubuh hingga menempel di meja kantin. "Kalian udah baca pengumuman di mading belum? Gue kaget banget sumpah! Nggak nyangka ternyata Carol kayak gitu. Pantes anak-anak pada nggak suka sama dia. Mungkin mereka udah ngerasain aura negatif dari dia."

Cristal hanya berdeham pendek.

Merasa mendapat angin segar, Ulfa kembali buka suara. "Yang namanya anak haram, nggak punya bokap, apalagi sampai nggak tahu siapa ayah kandungnya, itu berarti ibunya perempuan nggak bener 'kan? Jangan-jangan ibunya sering dipakai orang, sampai nggak tahu siapa yang bikin dia hamil. Gue sih nggak nyalahin Carol. Dia selama ini ngerahasiain keluarganya pasti karena malu. Ya iyalah, siapa juga yang bangga punya ibu kayak gitu."

Ulfa terus saja berbicara, "Nah, kalau kata anak-anak, kemungkinan besar Carol ini juga 'jualan'. Kan dia tinggal sama saudaranya yang udah pensiun. Namanya udah nggak kerja pasti duitnya juga mepet. Pasti Carol juga butuh uang dong. Cara paling gampang jelas jual diri. Pantesan tiap gue ajak jalan, dia selalu nolak."

Belva melempar sendok keras-keras hingga terpelanting ke lantai. Bella dan Cristal langsung sadar bahwa cowok ini sedang marah besar.

"Lo sudah selesai?" Belva menyandarkan punggung sambil bersedekap. Tatapannya tajam menusuk tepat di kedua netra Ulfa. Seulas senyum miring terbit di wajah Belva.

"Kalau lo sudah, sekarang giliran gue yang ngomong." Belva memajukan tubuh, menyipitkan mata lalu berbicara dengan nada rendah. "Sebelumnya gue ingatkan sekali lagi, takutnya otak lo yang isinya sampah itu lupa kalau gue, Raffles Belva Wijaya, anak pemilik sekolah ini."

Ditunjuknya kening Ulfa. "Gue paling benci ada orang yang bikin masalah di wilayah gue. Asal lo tahu, begitu gue bergerak gue jamin nggak akan ada yang bisa lolos. Jadi ... daripada lo kebanyakan tingkah di sini, yang cuma ngebacot nggak jelas, mending lo sebar berita kalau gue bakal bikin perhitungan sama orang-orang yang bikin onar."

Buat Belva, mencari biang penyebar gosip bukan hal yang sulit. Sudah jelas ada campur tangan pengurus majalah dinding sekolah. Karena mereka yang mempunyai kunci akses ke kotak kaca.

Belva beranjak dari duduk, lalu menunjuk Ulfa tepat di mukanya. "Jangan pernah nunjukin muka lo di hadapan gue lagi."

Ucapan Belva sontak membuat Ulfa pucat pasi. Dia tak lagi sanggup membuka mulut. Bahkan kesepuluh jarinya sudah gemetar tak karuan. Belva memundurkan kursi dengan kasar, hingga membuat sebagian anak di kantin terdiam. Bella dan Cristal yang sudah hafal tabiat Belva pun tidak berani mengikuti langkahnya pergi. Karena hal itu akan semakin memperburuk suasana hati Belva.

Atap sekolah menjadi pilihan terbaik saat ini. Belva sadar emosinya sedang tinggi, kalau dia memaksakan diri masuk kelas, pasti akan timbul masalah baru. Amarahnya naik bukan cuma karena gosip yang beredar di sekolah. Memang, sedari pagi telinganya cukup risih mendengar kabar miring tentang Carol. Namun, jika bukan karena pertengkaran Indira dan Anthony tadi pagi, Belva yakin masih bisa mengontrol diri.

Kali ini entah apalagi yang mereka ributkan. Setelah hampir seminggu tidak pulang, bukannya melepas rindu dengan keluarga, Anthony malah beradu pendapat dengan Indira. Walau sudah seperti santapan sehari-hari, tetap saja ketidakharmonisan keluarganya membuat Belva kecewa.

Belva mendorong pintu rooftop. Langkah Belva terjeda saat melihat Carol di sana. Duduk di atas kursi kayu sambil memeluk kedua lutut. Wajahnya dibenamkan ke sela lengan dan lututnya.

Belva mengambil napas panjang sebelum kembali melanjutkan langkah. Tanpa menyapa, Belva menjatuhkan diri di kursi samping Carol hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Sontak membuat gadis itu mengangkat wajah ke sumber suara.

"Astaga! Kamu bikin kaget!" Carol mengelus dada sambil membuang napas lega. Dia pikir ketahuan guru.

"Lo bolos."

Carol mengerucutkan bibir. "Kamu juga 'kan."

"Enggak. Gue cuma numpang istirahat."

"Terserahlah, aku baru males debat." Carol kembali menelungkupkan wajah di antara kedua lutut.

"Ntar lo jualan nggak?"

Carol menggeleng pelan. "Nggak tahu. Aku baru males banget."

Belva menaikkan kedua kaki ke atas meja. Disandarkannya punggung sambil bersedekap. "Tumben lo anteng."

"Tumben mulutmu nggak jahat," balas Carol pelan.

"Gue mana tega, muka lo sudah dekil kayak gitu," ucap Belva pelan, tapi masih bisa didengar Carol.

Carol menoleh ke arah Belva. "Nggak tega apanya? Itu barusan ngatain mukaku dekil."

Belva menaikkan sebelah alis sambil tersenyum miring. "Salah gue di mana? Coba lo ngaca. Lihat wajah lo. Mata sudah bengkak kayak bola tenis. Hidung penuh ingus. Rambut awut-awutan. Baju lusuh."

Carol berdecak sebal. Kenapa harus ketemu Belva di saat ia berada di kondisi paling buruk?

"Kamu balik kelas sana deh, Va." Carol kembali menghadap lutut.

"Memangnya lo siapa, berani nyuruh-nyuruh gue? Lo lupa kalau sekolah ini punya gue?" Belva mengeluarkan bungkus rokok yang tersisa dua batang. Disulutnya dengan pemantik, lalu diisapnya kuat-kuat sebelum akhirnya dia mengembuskan perlahan.

Carol menoleh lalu menggeleng-geleng. "Va, ini sekolah lho. Kalau ketahuan guru kan bahaya."

"Memang kenapa? Gue yang punya sekolah."

Carol berdecak kesal. "Udahlah terserah. Mati muda juga kamu yang ngerasain. Mending kamu pergi jauh-jauh. Aku nggak suka bau asap. Aku mau tidur."

"Kalau gue maunya gangguin lo gimana?"

"Astaga, Va! Bisa diem nggak! Sebenarnya kamu ada masalah apa sih sama aku?" Carol menurunkan kedua kaki sambil menghentak keras. Ditatapnya cowok berkulit pucat itu tanpa kedip.

"Nih." Belva mengulurkan sapu tangan dari kantong kemeja.

Carol tampak bingung, kenapa Belva memberinya sapu tangan. Namun, sedetik kemudian ia sadar. Setitik air menetes dari ujung mata.

Carol menyambar sapu tangan Belva lalu kembali menyurukkan wajah di kedua telapak tangan. Tangis yang semula reda, kini kembali muncul.

"Kenapa kamu ke sini sih? Aku udah capek nangis tahu! Mataku pedih, Va. Hidungku juga mampet, nggak bisa napas. Gara-gara kamu, aku jadi nangis lagi. Bau asapmu itu juga bikin tambah sesak."

Belva terkekeh, tapi tak urung dibuangnya batang rokok yang hampir belum ia isap. "Bisa-bisanya lo nyalahin gue. Dari tadi gue cuma diem."

Carol menoleh cepat sambil melotot. "Diem apanya? Kamu ngoceh nggak berhenti. Aku itu baru pengin sendiri. Aku nggak mau diganggu. Tahu nggak sih."

"Memangnya kalau lo sendirian, lo yakin nggak bakal mewek lagi? Bukannya dari tadi lo nggak ada temen juga nangis?"

"Ya, tapi 'kan sebelum kamu dateng aku udah nggak nangis, Va." Carol mengusap air mata lalu membuang cairan di hidung dengan kasar.

Belva menatap jijik. "Jorok banget."

"Biarin! Suruh siapa sekolahmu ini bikin masalah? Salahmu sendiri udah bikin aku jadi kayak gini. Kamu sama temen-temenmu itu nyebelin semua!"

Belva mengerutkan kening. "Kenapa jadi bawa-bawa gue?"

"Siapa lagi? Kamu 'kan yang punya sekolah ini, jadi orang-orang di dalemnya juga punyamu! Jadi kamu juga salah! Pokoknya kamu salah!" Napas Carol naik turun tak beraturan.

"Lo belum makan, ya?"

Carol mengerjap. "Maksudnya?"

"Biasanya cewek kalau laper 'kan omongannya suka ngaco. Mending lo turun, makan dulu."

"Nggak mau! Aku nggak mau turun sampai semua pulang. Aku nggak mau ketemu siapa-siapa."

"Kenapa?"

Carol menatap Belva tidak percaya. "Kamu jangan pura-pura nggak tahu deh. Semua juga udah tahu gosip tentang aku."

"Makanya gue tanya kenapa lo harus sembunyi? Semakin lo menarik diri, mereka semakin yakin kalau berita itu benar."

"Ya, karena gosip itu bener makanya aku malu, Va. Sekarang semua orang tahu tentang aib keluargaku, tentang aku yang anak haram, tentang ayahku yang nggak jelas, tentang keluarga pakdeku. Semua udah kebongkar. Gimana ceritanya aku bisa baik-baik aja kalau semua orang membicarakanku? Mending kamu diem aja, karena buat anak kayak kamu, nggak mungkin ngerti gimana perasaanku sekarang."

"Anak kayak gue gimana maksud lo?"

"Anak dari keluarga kaya. Orang tuamu lengkap, harmonis, temen-temenmu jelas baik semua. Kurang apa hidupmu? Kamu mau apa beli pun bisa, tanpa perlu repot-repot kerja. Sedangkan aku, kerja jualan burger udah dituduh jual diri."

"Lo jual diri?"

Carol memelototi Belva. "Nggaklah!"

Belva memelorotkan duduk hingga kepalanya bisa bersandar di punggung kursi. "Kalau gitu lo cuekin aja. Namanya gosip lama-lama juga reda. Memangnya kalau lo bolos, yang bakal rugi mereka? Kalau lo nggak masuk kerja, mereka yang nggak dapet gaji? Nggak 'kan? Lo sendiri yang rugi. Jadi buat apa lo mikirin hal nggak penting? Lo sembunyi atau nggak, mereka tetep ngomongin lo. Bedanya cuma lo denger, lo masukin hati, lo sedih, lo marah. That's it."

Belva mengambil rokok dari kantong celana, lalu menyulutnya."Yang bikin lo kayak gini, itu cuman pikiran lo sendiri. Memang kenapa kalau lo yatim piatu? Memangnya yang ngambil nyawa nyokap lo siapa? Lo mau nyalahin Tuhan? Nggak 'kan? Memangnya kenapa kalau lo sekolah sambil kerja? Lo nggak gangguin hidup mereka. Lo nggak kerja, juga mereka nggak bakal ngasih lo duit. Jadi ngapain ngurusin sampah?"

Carol merenungi ucapan Belva. Kalau dipikir-pikir, ucapan Belva ada benarnya juga. "Tapi 'kan—"

"Asal lo tahu, nggak semua yang lo lihat sempurna itu sesuai kenyataan sebenarnya," gumam Belva sambil memejamkan mata. Membiarkan Carol sibuk dengan pikirannya.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top