🌶🍭SCR-10🍭🌶
Anyeong, Yeorobun
Ada yang kangen sama Mr. Savage Boy nggak?
Jangan lupa vote bintang sama komennya, yaaa ....
Komentar kalian itu mood booster banget buatku
Gumawooo
Sarangbeooo ....
I purple you
💜💜💜💜💜💜💜
* * *
Mata pelajaran Bahasa Jerman selalu jadi momok bagi Carol. Mungkin untuk anak Wijaya Kusuma lainnya, mapel itu sudah jadi menu wajib sejak kelas satu. Namun, tidak dengan Carol. Sebelum pindah ke Wijaya Kusuma, dia belum pernah sekali pun mendapat pelajaran bahasa Jerman. Mata pelajaran asing di sekolah lamanya hanya Inggris dan Mandarin. Sedangkan di WK, dia harus mempelajari Jerman dan Jepang.
Dalam waktu empat bulan, Carol berusaha mengejar ketertinggalannya selama satu tahun. Dia sedikit lebih bersahabat dengan bahasa Jepang. Akhirnya hobi menonton drama Negeri Sakura itu pun berguna juga. Namun, jangan tanya tentang bahasa Jerman. Lidah dan otaknya selalu keseleo tiap membaca tulisan asing itu.
"Bisa nggak sih aku nggak ikut kelas Jerman?" keluh Carol sambil menelungkupkan wajah di atas meja.
Bel istirahat baru saja berbunyi. Beberapa anak sudah meninggalkan kelas untuk ke kantin. "Aku butuh es jeruk buat ngademin otak." Carol menegakkan tubuh. "Ke kantin yuk, Fa."
"Lo masih sering ketemu sama Belva?" tanya Ulfa saat mereka berjalan menuju kantin.
"Enggak. Terakhir waktu rapat masalah Ariel itu."
Carol sengaja tidak cerita kalau sudah seminggu ini setiap malam Belva main ke lapak burgernya. Bukan tanpa alasan, pertama karena Belva memintanya untuk tidak cerita ke siapa pun. Kedua, menurut Carol tidak penting juga orang lain tahu. Dia tidak ingin ada kabar burung yang berembus.
"Ya, baguslah. Gue udah pernah ngingetin lo untuk jauh-jauh sama Belva 'kan? Jangan sampai nasib lo berakhir kayak Ariel CS," lanjut Ulfa sambil mengibaskan rambut.
Carol menoleh ke Ulfa. "Memangnya kenapa sama Ariel?"
"Lo belum denger? Hari ini dia resmi keluar dari sekolah. Siapa suruh cari perkara sama anak pemilik sekolah."
"Terus Ariel pindah ke mana?"
Ulfa mengedikkan bahu. "Mana gue tahu. Nggak penting juga 'kan."
Carol menyetujui perkataan Ulfa. Untuk apa peduli, toh memang itu akibat dari ulah mereka sendiri. Bukankah siapa yang menabur, dia yang menuai.
"Carol!"
Carol mengedarkan pandang ke seantero kantin saat mendengar namanya dipanggil. Bella melambaikan tangan dari meja di pojok belakang.
"Lo pesenin gue bakso sama es jeruk. Gue ke sana dulu." Ulfa menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan lalu berlalu begitu saja.
Carol sempat menarik napas panjang sambil meremas uang di tangan. Anak-anak sekelas pernah mewanti-wantinya agar jangan dekat-dekat dengan Ulfa. Mereka bilang, Ulfa memiliki sifat yang menyebalkan, suka memerintah, dan kasar.
Awalnya Carol tidak mengindahkan ucapan teman-temannya, karena merasa sikap Ulfa masih dalam batas wajar. Namun, akhir-akhir ini—apalagi setelah kasus perundungan Bella—sikap Ulfa padanya semakin menjadi. Carol merasa Ulfa memperlakukannya seperti pembantu yang bisa diperintah seenaknya.
Carol memberi isyarat ke Bella, kalau mau memesan makanan dulu baru menyusul mereka. Untungnya siang ini kantin tidak begitu padat, sehingga Carol tidak perlu mengantre terlalu lama.
Setelah dua mangkok bakso dan dua es jeruk diterima, Carol bergegas menyusul Ulfa. Biasanya Ulfa akan marah kalau menunggu terlalu lama. "Halo, semua!" sapa Carol sambil meletakkan nampan ke atas meja.
"Lo laper atau doyan?" tanya Belva sambil menunjuk isi nampan Carol dengan sendok.
"Ini bukan buat aku semua," protes Carol tidak terima dengan tuduhan Belva.
Belva memperhatikan saat Carol meletakkan semangkok bakso dan segelas es jeruk ke depan Ulfa. "Lo sok baik atau temen lo yang nggak tahu diri? Nggak bisa pesen sendiri, hah?"
"Halah, kayak lo nggak pernah nyuruh-nyuruh gue sama Cristal aja!" balas Bella sambil tersenyum canggung ke arah Ulfa.
"Syukurin!" ucap Carol tanpa suara sambil menjulurkan lidah.
"Tadi yang nawarin untuk mesenin punyaku juga Carol, Va. Iya, 'kan?" Ulfa menendang kaki Carol, memberi isyarat supaya mengikuti dramanya.
Belva kembali memusatkan perhatian ke piringnya. Entah kenapa dia tidak suka dengan Ulfa. Walau tidak pernah sekelas, bukan berarti Belva tidak tahu siapa dan bagaimana Ulfa. Sejak SMP kebetulan mereka satu sekolah. Sudah jadi rahasia umum kalau Ulfa menyukai Belva. Bahkan rumor yang pernah tersebar menyebutkan bahwa Ulfa bergabung dalam kelompok penggemar fanatik Belva.
"Lo makan bakso pakai sambal atau makan sambal pakai bakso?" tegur Belva saat melihat Carol memasukkan lima sendok sambal ke mangkok bakso.
"Carol memang suka pedes sih. Lo sendiri masih belum bisa makan pedes, ya, Va?" sambar Ulfa.
"Jangan ngeluh kalau nanti mules!" Belva mengabaikan ucapan Ulfa dan lebih memilih menceramahi Carol.
"Mana enak makan bakso nggak pakai sambel," timpal Carol sembari tangannya bersiap menyendok sambal lagi.
Belva menyambar mangkok sambal dengan cepat, lalu meletakkan di meja samping. "Kalau dibilangin itu nurut! Mulut lo mungkin nggak ada masalah, tapi kasihan usus lo," tegur Belva.
"Eh, memangnya makan pedes bisa bikin usus sakit? Kok bisa? Kenapa? Apa hubungannya? Kan yang pedes mulutnya, Va." Pertanyaan beruntun dari Bella sontak membuat Belva memutar bola mata kesal. "Oh, gue tahu. Pasti gara-gara biji cabenya, ya? Gue pernah denger kalau biji cabe bisa bikin usus buntu. Iya 'kan?" tambah Bella.
Dengan keras Belva mendengkus. Kalau mode lemotnya muncul, Bella terasa sangat menyebalkan di mata Belva. "Mending lo makan, Bel, biar otak lo ada nutrisinya."
"Va, mulut kamu lebih pedes dari baksoku deh. Kalau sambel cuma bikin mules, kalau omonganmu bisa bikin stroke, darah tinggi, migrain, bahkan bayi bisa lahir prematur," balas Carol.
Bella jelas kegirangan ada orang yang membelanya melawan Belva. "Mulai sekarang lo kudu ngelawan kita bertiga, Va. Yakin masih bisa menang?"
Belva mendorong piringnya menjauh. "Menang itu kalau lawan gue sepadan. Kalau sama kalian," Belva menunjuk Bella, Cristal, dan Carol, "gue mending mundur, daripada derajat gue turun drastis."
"Mulutnya!" protes Cristal sambil melempari Belva dengan kacang atom.
"Ngomong sama dia nggak mungkin beres." Bella menggeser tubuh hingga berhadapan dengan Carol. "By the way, pulang sekolah nanti lo ada acara nggak? Kita jalan ke mal yuk. Gue pengin beli es krim."
Carol tampak berpikir. Pulang sekolah jam dua, kalau dia ikut kemungkinan besar bakal pulang lebih dari jam tiga. Dia pasti akan terlambat masuk kerja.
"Duh, maaf banget, Bel. Aku nggak bisa." Carol menangkupkan kedua tangan di depan wajah sambil memasang wajah menyesal.
Bella mendesah kecewa. "Lo ada janji, ya?"
Carol melirik Belva sekejap, hanya ingin tahu bagaimana reaksi cowok yang sibuk dengan ponselnya. Melihat tidak ada tanggapan, Carol lalu mengangguk.
"Lo biasa nongkrong di mana? Baskin di Anggrek asyik banget buat kongkow, Bel. Gue biasa ke sana. Gue paling suka sama cake es krimnya. Kalau ke sana gue nggak cukup beli satu doang. Gue temeni aja ntar." Ulfa ikut masuk ke pembicaraan.
"Nggak jadi deh. Belva sama Carol nggak bisa. Nggak asyik."
Jawaban Bella membuat Ulfa kesal. Sedari tadi dia sudah berusaha menyambung ke percakapan mereka, tapi selalu saja tidak dianggap. Masih lumayan Bella dan Cristal yang menanggapi, walau dengan sepatah dua patah kata atau dengan senyuman. Sedangkan Belva, jangan ditanya. Cowok itu sibuk bermain game atau kalau pun dia bersuara cuma menimpali ketiga orang lainnya.
Ulfa benar-benar merasa seperti angin. Dan itu membuatnya marah. Kenapa Belva bisa nyambung dengan Bella dan Cristal. Bahkan Carol yang notabene anak baru, bisa menarik perhatian Belva. Sedangkan Ulfa yang sudah berusaha sekuat tenaga sama sekali tidak digubris.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top