🌶🍭SCR-1🍭🌶

Anyeong ....
Heihooo ....
Belva-Carol hadir lagi dalam event GMG Branding Challange 2023 yang diselenggarakan oleh Grass_Media
Mohon dukungannya dengan cara:
1. Follow akunku
2. Vote Sweet Carolina Reaper di tiap bab
3. Vote postingan di instagram-ku
Borahae
💜💜💜

* * *

Jakarta, 10 tahun lalu

"Den Belva, ndak sarapan dulu? Bik Parmi masak nasi goreng telur ceplok lho." Tawaran Parmi membuat Belva bergegas menuruni anak tangga.

Bukan hanya karena lapar, tapi memang nasi goreng adalah makanan favorit Belva. Sekenyang apa pun, jika menu itu yang tersaji pasti akan tetap Belva makan. Apalagi pagi ini perut Belva memang sudah keroncongan. Pasalnya tadi malam sepulang dari rumah Bella, dia belum sempat makan malam.

Belva yang baru saja menjejak lantai satu pun melirik ruang makan. Kosong.

Memangnya gue berharap bakal ada siapa? batin Belva.

Belva mengambil segelas air dari lemari pendingin, lalu dibawanya ke ruang makan. Seperti biasa, hanya ada satu piring di atas meja. Entah kapan terakhir kali Belva makan bersama mama papanya.

Dulu, saat Belva masih duduk di sekolah dasar, mungkin rasa sepi itu kerap kali hadir. Hanya Parmi yang selalu setia menemani. Namun, sekarang Belva sudah terbiasa. Justru dia akan merasa aneh jika Indira atau Anthony ada di rumah.

Tanpa terasa jarum jam di pergelangan kiri Belva sudah menunjukkan pukul enam lebih dua puluh tiga menit. Kalau dia tidak berangkat sekarang, bisa-bisa terlambat. Itu artinya dia bakal dipanggil kesiswaan. Jika sudah begitu, ceramah Anthony akan memanaskan telinganya selama minimal seminggu penuh.

Belva menjinjing ransel di tangan kiri. Sesaat ia sempat melirik kamar Indira. Tidak tampak tanda kehidupan di sana. Entah Indira belum bangun atau sudah melanglang buana ke luar negeri. Sebenarnya bisa saja Belva bertanya tentang orang tuanya ke Parmi. Namun, untuk apa? Mengetahui keberadaan kedua orang tuanya juga tidak berdampak di hidupnya.

Baru saja Belva menutup pintu dan bersiap menyalakan city car merah terbarunya, ponsel di kantong celana berteriak nyaring. Suara cempreng Bella memenuhi penjuru mobil. Rupanya semalam kedua sahabatnya itu mengganti nada dering yang biasa Belva gunakan dengan teriakan Bella.

"Va!"

"Hm?" Belva meletakkan ponsel di phone holder setelah menekan tombol loudspeaker.

"Lo udah bangun belum?"

Belva memutar kunci kontak dan menghidupkan mesin mobil. "Hm."

"Hm apa? Udah belum sih? Lo jangan sampe telat lho, Va. Bisa mampus gue dihajar Cristal. Lo 'kan tahu, minggu ini tugas gue buat ngebangunin lo dan memastikan lo nggak telat. Semalem gue juga udah pasang alarm di hp lo. Memangnya nggak bunyi?"

"Bunyi." Belva menginjak pedal gas dalam-dalam saat jalanan sepi.

Sebenarnya jarak antara rumah ke sekolah tidak terlalu jauh. Kurang lebih lima belas menit kalau sepi dan misal ramai pun paling setengah jam juga sudah sampai.

"Lo udah mandi belum? Nggak usah mandi nggak apa-apa deh, daripada lo telat. Yang penting lo sikat gigi sama semprot parfum yang banyak. Ini gue bentar lagi sampe sekolah. Gue nggak mau tahu, hari ini lo nggak boleh telat!"

"Tadi lo sarapan apa sih, Bel? Pagi-pagi sudah nyerocos kayak petasan cina."

"Pokoknya gue tunggu lo di parkiran!" Bella memutus sambungan telepon begitu saja.

Belva menyalakan pemutar musik dan membiarkan suara Kanye West mengisi tiap sudut mobil. Tubuhnya bergerak perlahan mengikuti alunan nada. Bagi Belva, mendengarkan musik menjadi salah satu cara untuk menenangkan diri dalam menghadapi rutinitas baru. Setelah 1 bulan libur panjang, tubuh Belva yang sudah mulai terbiasa dengan ritme santai, harus dipaksa kerja keras lagi.

Biasanya jam segini Belva masih terlelap di balik selimut. Jika tidak ada yang mengganggu, tengah hari Belva baru sadar sepenuhnya. Setelah itu dia turun untuk makan, lalu balik ke kamar lagi untuk main game atau kembali tidur. Begitu saja rutinitasnya selama sebulan. Lain cerita kalau kedua Bella dan Cristal memaksanya untuk ikut nongkrong. Itupun tidak setiap hari. Sedangkan hari ini, mendadak sebelum jam lima pagi Belva harus bangun.

Belva kurang bersemangat ke sekolah bukan karena dia tidak suka belajar. Hampir semua orang yang mengenal Belva pasti tahu kalau cowok delapan belas tahun itu menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk tidur dan bermalas-malasan. Kalau kata Bella, waktu lima belas tahun Belva terbuang di alam mimpi. Sisanya yang tiga tahun untuk bernapas.

Namun, bukan berarti Belva tidak suka belajar. Baginya menimba ilmu itu suatu hal yang sangat penting. Tidak ada pelajaran yang tidak dikuasai Belva. Hampir semua mata pelajaran mendapat nilai nyaris sempurna. Terkadang Cristal heran, kapan Belva belajar? Karena setahunya, kegiatan Belva begitu pulang adalah tidur. Bahkan terkadang di kelas pun Belva juga pergi ke alam mimpi.

Hal itu yang membuat orang berpikir bahwa Belva berbuat curang. Mereka menduga nilai-nilai Belva didapat karena nama besar Anthony Wijaya, pemilik yayasan pendidikan Wijaya Kusuma, tempat Belva bersekolah. Hal ini yang menjadi alasan mengapa Belva malas untuk bersekolah. Sekeras apa pun usaha Belva untuk membuktikan diri bahwa hasil yang selama ini didapat adalah murni dari jerih payahnya, tetapi pandangan orang-orang tetap tidak berubah. Belva bukanlah Belva, tapi hanya anak dari Anthony Wijaya.

Tepat lima menit sebelum bel masuk berbunyi, Belva sudah memasuki gerbang sekolah. Tak jauh dari tempatnya memarkirkan mobil, tampak Bella dan Cristal menggegas langkah mendekati Belva.

"Gue berhasil 'kan," puji Bella ke diri sendiri tepat saat Belva turun dari mobil. Gadis berkulit putih dengan rambut sepunggung itu memamerkan senyum cerahnya.

"Bagus! Lo harus pertahankan sampai Sabtu." Cristal mengacungkan kedua jempol ke arah Bella. "Lo nggak lupa bawa topi 'kan, Va?"

Belva membenahi blazer dan dasi, lalu mencangklong ransel di punggung. "Bawa."

Ada lima lantai di SMA WK. Lantai satu digunakan sebagai ruang publik. Lapangan basket, lapangan olah raga yang biasa digunakan juga untuk olah raga, ruang guru, ruang musik, perpustakaan, kantin utama, musala, serta berbagai laboratorium berada di lantai ini. Lantai dua khusus untuk anak kelas satu, lantai tiga khusus kelas dua, dan lantai empat untuk kelas tiga. Sedangkan lantai lima digunakan sebagai ruang auditorium. Masing-masing lantai memiliki fasilitas kantin kecil dan toilet. Sehingga murid tidak perlu repot naik turun tangga jika ingin jajan atau ke kamar mandi.

"Va, bilang ke Om Anthony buat ngasih lift untuk siswa dong. Masak cuma guru doang yang dapet fasilitas. Capek banget gue kalau tiap hari harus naik turun begini," keluh Bella sambil terengah-engah. "Lagian kenapa kelas tiga ditaruh di lantai empat, sih? Gue bisa mampus beneran kalau tiap hari naik turun tangga macem ini."

"Makanya olah raga. Umur lo baru delapan belas, tapi naik ke lantai empat udah setengah mati. Gimana nanti di usia tua?" balas Belva cuek.

Bella merotasikan bola mata dengan tampang bosan. "Apa sih susahnya bilang iya? Tiap kali gue ngomong, pasti lo bantah, Va."

"Iya."

Bella mendelik kesal. "Iya apaan?"

"Tadi lo yang nyuruh bilang iya," protes Belva sebelum membuka pintu kelas.

Seluruh mata sontak beralih ke ambang pintu. Kehadiran Belva cukup menarik perhatian mereka. Sebagian sudah mengenal Belva karena pernah duduk di kelas yang sama, tapi tidak sedikit yang baru kali ini sekelas dengan Belva.

Sudah tidak banyak bangku kosong yang bisa mereka pilih. Hanya ada satu meja di baris pertama dan dua meja di baris kedua. Belva tidak pernah mempermasalahkan tempat duduk. Mau di mana pun sama saja. Hanya saja kalau kebetulan dapat kursi di belakang, dia bisa tidur dengan tenang.

"Kok di depan?" protes Bella saat Belva meletakkan tas di meja terdepan. Sedangkan Cristal memilih duduk di baris kedua.

Belva mengembuskan napas panjang. "Mau duduk di belakang? Lo ambil tiker, lesehan sana!"

Dengan santai Belva membuka ransel lalu mencari topi. Bel masuk baru saja berbunyi. Instruksi untuk segera berkumpul di lapangan sudah berkumandang.

"Lo sih, Va, dateng selalu mepet. Kita nggak bisa milih tempat duduk kan. Kalau di depan gue nggak bisa pakai kuteks, nggak bisa nge-drakor, nggak bisa ngobrol sama Cristal, nggak bisa-"

"Niat lo ke sekolah apa?" potong Belva cepat. "Lagian gue nggak pernah nyuruh lo buat nunggu. Lo bisa langsung masuk kelas."

"Nyebelin banget sih jadi orang!" Bella menghentakkan kaki, lalu gegas meninggalkan Belva yang masih sibuk menyimpan tas di laci meja.

"Va, gue duluan. Tuh anak sepertinya ngambek." Cristal berlari kecil mengejar Bella. Sedangkan Belva memilih berjalan santai, membiarkan rombongan siswa lain mendahuluinya.

"Belva!"

Langkah Belva terhenti saat mendengar suara bariton dari arah belakang. Belva menghela napas panjang saat melihat Robert, guru kesiswaan sekaligus kaki tangan Anthony, berjalan ke arahnya. "Pagi, Pak."

"Itu apa?" Robert menunjuk telinga Belva.

Belva langsung sadar dengan maksud Robert. "Oh, ini ... lupa belum dilepas, Pak." Dengan santai Belva mencopot sepasang anting yang menghiasi telinga.

Sial! Pasti Pak Robert lapor ke Papa, keluh Belva dalam hati.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top