Nous sommes éloignés
Kukira kamu adalah obat penyembuh dari segala lukaku selama ini. Namun nyatanya, kamu adalah pemberi luka paling nyata yang tentu akan sulit untuk aku sembuhkan.
..
Nous sommes éloignés = Kita yang berjarak
..
Suasana di dalam sebuah rumah besar nampak menegangkan. Satu pria paruh baya sibuk berjalan mondar-mandir. Dua wanita sibuk mengobrol secara berdampingan. Sisanya hanya terdiam tak mau membuka suara.
Bima dan Raksa adalah salah satu dari mereka. Keduanya dipaksa datang oleh Lio, ayah Bima. Pria paruh baya itu sudah tahu mengenai persoalan Bumi dengan sendirinya. Entah dari siapa Bima pun tidak tahu. Sedangkan, Hazzel Bima tahu ayah dari Sandra itu mengetahui semuanya dari Hanson dan Jovan.
"Saya gak pernah menyangka, ini seperti bukan Bumi." Lio membuka suara, memecah keheningan.
"Bumi gak mungkin ngelakuin hal keji seperti itu, Mama percaya sama Bumi." Lea ikut bersuara, yang langsung ditenangkan oleh Jingga.
"Kita tunggu kedatangan orangnya. Dengarkan penjelasan yang dia berikan." Hazzel menyahut, nada suaranya sangat datar. Dalam memori otaknya masih terekam dengan jelas, suara tangis putrinya yang memilukan.
"Maaf semunya, tapi Bima ngerasa ini semua ada yang gak beres."
Seluruh pandangan mengarah pada Bima.
"Bima gak bisa jelasin maksudnya kayak gimana, tapi Bima sama Raksa bakal bantu selidikin itu semua."
Lio berjalan mendekati anak keduanya. "Kamu yakin dengan semua ini?" tanyanya serius.
Bima mengangguk. "Percayakan semuanya sama Bima juga Raksa."
"Iya Om, Raksa yakin ini semua hanya jebakan. Meskipun Bumi sendiri sudah mengaku tapi Raksa yakin ada sesuatu yang Bumi sembunyikan."
"Gak ada."
Seluruh tatapan mengarah pada sosok yang baru saja tiba. Sosok pria jangkung yang berdiri di ambang pintu. Di sampingnya berdiri sosok perempuan seksi. Di belakangnya pria remaja yang membawa koper.
"Gak ada yang Bumi sembunyikan. Ini semua murni kesalahan Bumi." Bumi datang dengan wajah yang tetap datar.
Bugh.
"Siapa yang menyuruh kamu membawa jalang itu kesini, Bumi?" desis Lio marah setelah memukul rahang putranya.
"Pa, dia tanggung jawab Bumi se--"
Plak.
"Persetan dengan tanggung jawab! Papa tidak sudi, bahkan tidak rela untuk melihat dia menginjakkan kaki di rumah ini." Rahang Lio mengetat, mukanya memerah.
Bumi mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Merasakan panas luar biasa di area pipinya.
"Om, saya--"
"Diam!" sentak Lio kembali membentak, menatap bengis Brianna. Ansel yang berada di belakang nampak terlihat santai menikmati pertunjukan. Ia tak mau ikut campur sekalipun kakaknya dihina. Karena itu memang adanya, dan Ansel tidak begitu peduli. Memang tipikal adik tidak tau diri, menurut Ansel pribadi.
"Jelaskan kepada kami, Bumi. Kenapa kamu melakukan ini? Mengkhianti putri saya? Membuatnya menangis? Apa kamu kira saya akan diam saja, saat kamu memperlakukan putri saya dengan seperti ini?" ucap Hazzel angkat bicara.
Bumi bungkam, menggigit bibir bawahnya dan langsung memalingkan muka.
"Bumi, katakan dengan sejujurnya." Lea angkat suara. Membuat Bumi semakin bisu tak mampu berkata.
Dengan berat hati Bumi menjelaskan apa yang ia ketahui saja. Semua menyimak dengan raut wajah kecewa.
"Papa dan Om Hazzel ingin bicara dengan kamu. Ke ruangan Papa sekarang." Lio dan Hazzel bangkit dan berlalu menuju ruang Lio. Sedangkan Brianna duduk di sofa tanpa di minta. Ansel pamit keluar mencari udara segar.
Tak ada yang mengajak Brianna bicara, semua sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
"Ma, Bima sama Raksa ijin keluar, ya. Kita ada urusan sebentar, kalo Mama butuh sesuatu langsung hubungi kita berdua aja, ya?" Bima berjongkok dihadapan Sang ibu yang masih menampilkan raut wajah sendu.
Lea mengusap kepala Bima lembut, lalu mengangguk kecil. Bima tersenyum dan mengecup kening sang mama.
"Mama tenang aja, ini semua bakal berjalan baik-baik aja. Bima yakin Bumi gak seperti apa yang dia ceritakan." Bima dengan sengaja mengeraskan suaranya menyindir Brianna. Lea nampak mengangguk sembari tersenyum tipis.
Lalu setelahnya kedua pria itu beranjak dan pergi dari kediaman Catra.
Di lain tempat, Bumi duduk berhadapan dengan kedua pria paruh baya yang nampak menatapnya dengan mengintimidasi.
Pria itu sudah menjelaskan semuanya. Pengawal yang ia suruh tadi sudah memberikan sehuah rekaman cctv pada Bumi. Pria itu kini sudah mulai paham dengan semuanya. Dan, Bumi merasa kecewa luar biasa.
"Jadi apa keputusan kamu?" tanya Lio sembari memijat pelipisnya merasa penat.
"Bumi harus tanggung jawab, dan nikahin Bri--"
"Dan meninggalkan anak saya?" potong Hazzel cepat. Lalu terkekeh pelan. Ia berdiri, membenarkan letak jasnya. Sebelum berlalu meninggalkan ruangan, ia sempat berucap sesuatu yang membuat Bumi frustasi saat itu juga.
"Terimakasih, sudah membuat saya kecewa, Bumi. Saya kira kamu adalah obat penyembuh untuk anak saya. Namun nyatanya kamu adalah pemberi luka paling menyakitkan yang bahkan saya sendiri ikut merasakan kesakitan."
"Ini adalah keputusan yang telah kamu buat, Bumi. Jadi setelah ini, jangan dekati anak saya lagi, jangan membuat luka yang kembali menganga itu kamu tambahi racun yang akan membuatnya semakin kesakitan." Hazzel membersihkan noda di jasnya. Lalu menunduk untuk menatap Bumi. "Dengan jarak sedekat apapun, jangan pernah mendekati putri saya lagi. Lepaskan dia, lupakan dia, relakan dia jika sudah menemukan yang baru--"
"Om," sela Bumi menatap Hazzel memelas. Matanya bahkan sudah memerah, dengan tangan yang sudah terkepal kuat.
Hazzel terkekeh, sangat tahu dengan jelas bahwa pria itu menahan tangisan, gengsi tentu saja.
"Oke-oke saya diam," ucapnya lagi menepuk bahu Bumi. "Satu lagi, saya ingin menyampaikan sesuatu yang harus kamu ingat sampai kapanpun, Bumi."
Hazzel dan Bumi saling tatap.
"Saya kecewa." Hazzel nampak memperlihatkan raut kekecewaan yang semakin membuat Bumi tambah kalut dan terus memikirkannya.
Hazzel sudah pergi sepenuhnya, tinggal Lio dan Bumi. Ayah pria itu sedari tadi hanya diam memperhatikan gerak-gerik putra pertamanya.
"Lihat, Papa," ujar Lio tiba-tiba, sontak Bumi mendongak dan menatap Lio.
"Jelaskan apa yang sebenarnya terjadi," tekan Lio kembali mengatakan kalimat itu lagi. Bumi sampai dibuat jengah. Apa yang harus ia jelaskan lagi? Sebenarnya kalimat apa yang ingin ayahnya ini dengarkan?
"Bumi udah jelasin semuanya, gak ada yang Bumi tutup--"
"Kamu yakin dengan keputusan kamu ini?" selidik Lio menatap anaknya serius. Bumi mengangguk pelan.
"Sebagai pria bertanggung jawab, Bumi harus menikahi Bri--"
"Pria bertanggung jawab?" potong Lio terkekeh sinis. "Papa tidak mengerti arti dari bertanggung jawab yang kamu maksud."
Lio bangkit berjalan menuju jendela besar yang langsung menampilkan halaman luas lapangan basket rumah mereka. Di sana, ia melihat putrinya sedang bermain basket dengan seorang pria yang tak lain dan tak bukan adalah pacarnya. Lio tersenyum sangat tipis, dengan pandangan yang masih mengarah pada kedua sejoli itu. Ia mengucapkan sesuatu yang sekali lagi membuat Bumi merasa tidak mengerti.
"Papa harap keputusan yang kamu ambil tidak akan membuat kamu menyesal di akhir nanti. Dan Papa ha--"
Brak.
"Maaf menganggu! Huh ... t-tapih ... Kak Brianna terpeleset dan kembali pendarahan!" teriak Ansel dengan nafas ngos-ngosan. Sontak Bumi langsung bangkit dan bergerak turun diikuti Ansel.
Lio masih terlihat santai, tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. Lalu tersenyu miris.
"Dia terlalu bodoh untuk menjadi seorang pria sejati."
...
Di sisi lain, para remaja yang tadi sedang berkumpul kini mereka sedang sibuk bermain di depan halaman rumah Cakra. Tepatnya di jalanan kosong yang tak dilalui kendaraan sama sekali.
"Eh, eh kenapa nangis?" ucap Raja mendekati Vanya yang sudah mengeluarkan air mata dengan pandangan ke layar ponsel.
Teman yang lain belum menyadari dan sibuk bermain. Sedangkan Raja sudah menenangkan Vanya dengan terus mengusap punggung gadis itu.
"Kenapa, hm? Siapa yang buat lo nangis?" tanya Raja lembut.
"Cowok gue jalan sama cewek lain, Ja." Vanya menatap Raja memelas, bibirnya melengkung ke bawah.
Raja langsung mengernyit. "Pacar lo yang mana dulu, nih?" kekehnya bergurau.
"Ih, Rajaaaaaa!" rengek Vanya yang langsung menarik perhatian teman-temannya.
"Lonte, ngapa nangis lo?" Sultan lebih dulu bergerak mendekati Vanya dan yang lain ikut mendekat.
"Katanya cowok dia jalan sama cewek lain," ujar Raja memberitahu, sedangkan Vanya masih sibuk menangis.
"Davian, Nya?" tanya Sandra langsung duduk di samping Vanya. Gadis itu mengangguk dan langsung memeluk Sandra.
"Tuh kan, gue juga bilang apa. Davian itu playboy, fuckboy kualitas tinggi. Lo gak pernah mau dengerin gue, sih." Claire berujar kesal. Vanya hanya mengerucutkan bibirnya.
"Udah jangan nangis lagi, ada gue di sini."
"Sakit tau ... nyesek ... hiks ...." Vanya mengusap ingusnya dan mengelapnya pada kaos Raja.
Raja menghela nafasnya pelan, lalu memalingkan muka.
"Sakitan mana sama gue, Nya? Gue yang selama ini ada di samping lo, nemenin disaat lo dalam kondisi apapun, gue selalu berusaha lindungin lo, gue jagain lo dari belakang, gue nunggu lo sampai bertahun-tahun. Tapi, lo gak pernah sadar. Lebih sakit mana, Nya?" ujar Raja seketika membuat suasana hening.
Mereka lantas saling tatap. Sultan berdehem pelan merasa suasana berubah menjadi awkward.
"Duh, Cak. Gue pengen pipis, anterin gue ke kamar mandi rumah lo, yuk." Sultan menarik lengan Cakra. Awalnya Cakra menolak, namun dengan senjata kode dari Sultan akhirnya pria itu mengerti dan menerima saat tangannya dipaksa ikut.
"San, tadi lo haus kan? Bareng gue yuk, gue juga mau minum nih." Claire membuka suara. Sandra mendongak dengan dahi mengernyit. Claire mengedipkan matanya mengkode Sandra.
"A-ah iya, ayo." Sandra melepaskan pelukan Vanya. Menatap sahabatnya lama. "Jangan nangis, ada dia di samping lo," ujarnya tulus sembari menunjuk Raja. Lalu bangkit dan berlalu bersama Claire.
Hening.
Vanya dan Raja saling menoleh dan tatapan mereka bertemu. Lama saling pandang mereka lantas terkekeh dan langsung memalingkan muka.
"Suasana macam apa ini, setan. Gila, merinding gue." Raja bergidik mengusap lengannya dengan mata kembali berpaling. Vanya terkekeh sembari mengusap air matanya.
"Makasih, Ja. Makasih udah ma--"
"WOY PARA SETAN, SEDIAIN MOBIL! TANGAN SI CAKRA KENA AIR PANAS, ANYING!"
Teriakan dari Sultan mengejutkan kedua sejoli itu. Begitupun dengan Sandra dan Claire yang sedari tadi bersembunyi. Mereka langsung berlari menuju rumah Cakra.
"Kok bisa, sih?" teriak Sandra lebih dulu, paling terlihat panik dan mendekati Cakra. Benar saja, tangan pria itu sudah memerah dan siap melepuh.
"Tadi kita mau bikin kopi, eh rebutan air panas. Gak sengaja kesenggol dan jadi kena tangan Cakra. Gue gak salah, ya, anying." Sultan nampak panik dengan bibir terus meniup lengan Cakra.
"Cepet bawa ke rumah sakit!" teriak Claire melengking heboh.
"Angkat Ja, angkat!" teriak Sultan ikut heboh hendak menggendong Cakra.
"Eh, goblok!" umpat Cakra kesal. "Yang sakit tangan gue, kenapa pake gendong segala, bego? Gue masih mampu jalan!" sentaknya kesal.
"Panik gue anying," ujar Suktan frustasi.
"Ayo bawa ke rumah sakit, ih!" teriak Claire lagi.
"Ck, ini cuma kena air panas, para setan. Pake salep juga sembuh, udah deh jangan lebay."
"LEBAY MATA LO!" teriak mereka dengan serempak membuat Cakra terkesiap kaget. "Cepet paksa, kita ke rumah sakit sekarang!" ujar Sandra langsung mendorong Cakra. Pria itu hanya pasrah.
Di perjalanan, para wanita yang berceloteh heboh kepanikan. Sedangkan yang terkena musibah hanya diam menutup mulut seolah tidak merasakan apa-apa.
"Heh, siluman. Lo gak ngerasa sakit, apa? Tangan lo melepuh, kalo lo pengen tau." Raja yang sedang menyetir bersuara, menatap Cakra lewat kaca spion.
"Biasa aja," jawab Cakra cuek, tanpa meringis sedikitpun.
"Sarap, awas aja kalo nanti gue liat lo pas diobatin malah mewek!" sindir Sandra yang sudah tahu dengan jelas sifat Cakra. Ia akan mulai merasakan kesakitan, dan meringis heboh jika sudah diobati. Makanya, orang tua Cakra selalu lebih memilih Cakra tidak perlu diobati jika luka pria itu tidak terlalu parah. Sebab mereka terlalu malas meladeni Cakra yang akan bertingkah berlebihan dan menjadi manja saat sudah selesai diobati.
"Gak bakal" balas Cakra meyakinkan diri.
Hingga beberapa menit kemudian, mereka sampai di rumah sakit. Claire yang paling heboh segera memanggil perawat. Otomatis para perawat yang mengira jika ada korban yang mengalami kejadian parah itu langsung menyeret brankar rumah sakit mendekati mobil milik Raja.
"Sial, gue masih bisa jalan. Yang luka cuma tangan gue, kalian kenapa sih, anjing?!" kesal Cakra, tentu merasa malu. Mereka terlalu berlebihan.
"Udah ah, cepet naik aja!" paksa Vanya mendorong Cakra untuk tidur di brankar. Para perawat sampai merasa kebingungan dan terheran-heran. Mereka kira korban mengalami kecelakaan parah, namun ternyata?
Sampailah Cakra dibawa menuju ruang pemeriksaan. Seluruh teman-temannya menunggu di luar ruangan.
"Ada-ada aja sih kalian berdua. Air panas dijadiin rebutan," ujar Sandra kesal.
"Ya, gue kan gak tau bakal jadi kayak gini," timpal Sultan menyesal.
Selang beberapa menit, Cakra keluar dengan tangan yang sudah diperban.
"Gimana? Gak papa kan? Gak harus diamputasi kan?" tanya Sultan cepat yang langsung mendapat toyoran dari Raja.
"Idiot, mending lo diem deh!" cetus Raja merasa kesal dengan tingkah Sultan.
"Gak papa, disuruh ambil obat di ruangan sebelah, ini kertasnya tolong pegangin." Cakra memberikan kertas itu pada Sandra.
"Yaudah ayo, kita ambil obatnya." Sandra berjalan lebih dulu bersama Cakra. Mereka kembali menunggu di depan resepsionis sekaligus menunggu Raja yang membayar administrasi.
"San," gumam Cakra yang sudah duduk di samping Sandra. Pria itu menatap Sandra memelas, bibirnya melengkung ke bawah dengan mata berkaca-kaca. Persis seperti anak kecil yang bersiap merengek.
Sandra langsung terkekeh. " Mau nangis?" ujarnya pelan. "Sakit ya?" tanya gadis itu. Cakra mengangguk beberapa kali seperti anak kecil.
"Nangis aja gak papa, jangan ditahan." Sandra bangkit berdiri dan menarik Cakra ke dalam pelukan. Pria itu menenggelamkan wajahnya diperut Sandra untuk meredam tangisnya.
"Hadeuh, nih anak mulai alay lagi." Sultan menggeleng tidak habis pikir. Pria sekece Cakra ternyata bisa lebay seperti ini. Mana sampai menangis pula.
"Dia kan emang suka lebay kalo udah dibawa ke rumah sakit, plusnya lagi ada Sandra. Udah kek bayi gede aja," sahut Raja sembari melirik Cakra yang menenggelamkan wajahnya di perut Sandra.
"Perawat, tolong siapkan brankar. Di luar ada perempuan hamil sedang pendarahan!"
Seluruh perhatian mereka teralihkan pada salah satu perawat yang berteriak barusan. Para perawat itu mendorong brankar menuju area luar rumah sakit yang kebetulan sangat dekat dengan jarak mereka sekarang.
Dan sosok pria yang datang ikut mendorong brankar itulah yang membuat mereka terkejut. Saat mata mereka jatuh pada sosok wanita yang berada di brankar, mereka semakin terkejut. Tatapan mereka terus tertuju pada kedua itu yang hendak melewati mereka.
Sandra mematung, bibirnya bungkam, hatinya tidak tenang, matanya sudah berkaca-kaca. Apa yang ia lihat tampak sangat nyata dan menyakitkan.
Hingga pandangan ia dan sosok pria itu bertubrukan. Mereka berpandangan sangat lama hingga pada akhirnya pria tersebut memalingkan muka dan fokus pada satu wanita yang terbaring di brankar. Lalu setelahnya mereka menghilang di ujung lorong.
Hening.
"San," ucap Claire pelan. Memegang pundak Sandra. Cakra yang tidak tau apa-apa karena wajahnya tadi masih ia sembunyikan di perut Sandra mulai mendongak. Melihat Sandra yang ternyata sudah berubah tegang.
"Gue gak papa," ujar Sandra memalingkan muka. Melepas pelukan dan duduk di antara Sultan dan Cakra.
"Gue beneran gak papa," ucap Sandra namun dengan bibir bergetar dan siap menangis.
"Hey," ujar Cakra pelan, memegang pundak Sandra. Wajahnya masih terlihat bingung, menatap seluruh temannya meminta jawaban apa yang sebenarnya sudah terjadi.
"Tapi sakit," ujar Sandra tiba-tiba dengan tatapan kosong. Setelahnya ia terkekeh pelan, menatap Vanya dan Claire yang berdiri di depannya.
"Kok sakit ya?" lanjutnya sembari terkekeh. Kembali memalingkan muka dan memukul dadanya yang terasa sesak. lalu setelahnya ia terisak. "Sialan, sakit banget," lirih Sandra terisak.
"Dia kenapa?" bisik Cakra panik pada Raja yang berdiri di sampingnya. Raja mendekatkan bibirnya ke telinga Cakra dan menceritakan kejadian sebelumnya.
"Sialan," desis Cakra setelahnya. Lalu dengan cepat berbalik mengarah pada Sandra yang sudah berada di dalam pelukan Sultan
"Udah, jangan nangis. Tenangin diri lo," ujar Sultan mengelus rambut Sandra, dan menaruh dagunya di puncak kepala gadis itu. Ikut merasakan sakit mendengar tangis sahabatnya.
"D-dia sama aja kayak cowok itu, hiks ... dia sama aja. Dia sama aja udah nyakitin gue, luka gue yang belum sembuh dia goresin lagi, hiks. D-dia, dia bukan penyembuh, dia pemberi luka. Pemberi luka paling menyakitkan yang pernah gue rasain."
"Sstt, hey." Cakra berpindah dan berjongkok di hadapan Sandra. Mengabaikan tangannya yang diperban dan mengarahkan Sandra untuk menatap ke arahnya.
"Liat gue," ujar Cakra yang langsung Sandra turuti. Dengan tangis yang belum reda dan sesenggukan, gadis itu menunduk untuk menatap Cakra.
Pria itu mulai menggenggam tangan Sandra. Menatap dalam gadis itu.
"Dia mungkin emang bukan yang terbaik buat lo, dia emang bukan sosok penyembuh dari segala luka lo. Dia hanya sosok pendatang yang hanya singgah dan nguji perasaan lo yang baru saja lemah karena telah dihancurkan." Cakra mengusap punggung tangan Sandra pelan.
"Penyembuh luka lo adalah kita. Kita semua yang ada dihadapan lo sekarang."
Sandra langsung berhenti menangis. Menatap seluruh teman-temannya yang tersenyum tulus ke arah Sandra.
"Jangan nangis lagi," ujar Sultan merangkul bahu Sandra dan tersenyum meyakinkan. "Gue tau lo cewek kuat, meskipun seberapa sakitnya perasaan lo sekarang. Jangan lemah dan jangan mudah goyah. Ini mungkin cara terbaik Tuhan buat nguji hati lo, ngasih tau kalo sosok yang selama ini lo percaya adalah sosok yang akan buat lo kecewa setelahnya." Sultan mengusap air mata yang jatuh di pipi Sandra. "Air mata lo ini sangat berharga," lanjutnya.
"Percaya sama gue, semua akan baik-baik aja. Hati lo emang butuh waktu untuk sembuh, luka lama lo aja belum cukup terobati dan gue ngerti akan itu. Kita, kita ada di sini, lo boleh terpuruk, tapi jangan lama ya? Karena itu semua bakal bikin kita ikut ngerasa sakit hati, kita gak bisa biarin lo kayak gini terus. Percaya sama gue, perlahan, kalau lo ikhlas dan kuatin hati lo, Tuhan pasti akan ngirim seseorang yang benar-benar untuk lo. Benar-benar penyembuh sebenarnya bagi diri lo." Raja menepuk puncak kepala Sandra, dan tersenyum tulus.
"Udah dong, cewek bar-bar kok nangis, sih," lanjut Claire yang sudah duduk di samping Sandra ikut merangkul, mencairkan suasana.
"Heh, setiap manusia berhak nangis. Sekarang Sandra ada dititik terlemah, dia lagi ada di fase kecewa yang luar biasa. Biarin hati dia lega dan luapin semuanya dengan cara nangis." Vanya mulai bersuara. Claire menatap Vanya kesal dan melotot.
"Yaudah San, nangis aja kalo gitu. Nih gue sediain kaos gue buat ngusap ingus lo, ayo nangis." Sultan mengerahkan lengan kaosnya ke arah Sandra. "Nangis yang kenceng, kalo bisa sampe bangunin mayat yang udah mati."
"Sinting!" balas Sandra mendelik dengan tangis yang sudah berhenti.
"Cakrawala Alsyef Dewara." Salah satu perawat memanggil nama lengkap Cakra.
"Biar gue yang bawa," ujar Vanya segera berbalik. Beberapa menit kemudian ia kembali dengan menenteng kresek kecil. "Ini obat yang dokter rekomendasiin langsung, sisanya beli di apotik."
"Kok banyak?" ujar Cakra tidak percaya.
"Kenapa? Lo takut juga sama obat? Gak berani minum?" sahut Raja.
"Bukan gitu, ini gue cuma kena air panas. Pake salep doang paling beberapa hari sembuh." Cakra tidak habis pikir dengan obat yang jumlahnya lumayan banyak itu.
"Gue gak ngerti beginian, turutin aja sih udah." Vanya menyerahkan obat tersebut pada Cakra.
"Udah ayo balik." Sultan bangkit dari duduknya dan merapihkan pakaiannya.
"Lo semua duluan aja, gue mau--"
"Jangan macem-macem," potong Cakra cepat. "Kita pulang bareng-bareng. Jangan buat hati lo makin ngerasa sakit," ujar Cakra lagi.
"Justru itu, gue gak mau hati gue semakin sakit jadi gue harus mastiin sesuatu." Sandra tetap kukuh ingin di sini.
"Kita temenin deh," ucap Vanya yang langsung mendapat gelengan dari Sandra.
"Lo semua pulang aja, gue beneran gak papa. Plis kasih gue ruang." Sandra menatap teman-temannya dan mencoba meyakinkan. Lantas mereka saling pandang.
"Yaudah deh, tapi lo hati-hati, oke? Awas aja kalo sampe nangis lagi," ujar Sultan pada akhirnya. Sandra langsung mengangguk cepat.
"Kalo ada apa-apa, telpon gue." Cakra mengusap pipi Sandra. Gadis itu ikut menggenggam tangan Cakra sembari mengangguk.
"Yaudah, lo hati-hati. Kita duluan," ujar Vanya setelah memeluk Sandra. "Awas kalo nanti lo balik mata lo sembab!" ancamnya. Sandra hanya memutar bola matanya malas.
Cakra dan yang lain mulai meninggalkan Sandra sendirian. Mereka menghilang tepat di pintu utama. Sandra menarik nafas dan menghembuskan secara kasar. Kakinya mulai melangkah untuk mencari ruangan wanita itu, wanita pendatang baru yang dengan gampangnya menghancurkan skenario kisah Sandra selama ini.
"Di mana sih?" gumam Sandra kesal karena tidak juga menemukan ruangannya. Ia terus menelusuri setiap koridor rumah sakit.
Saat kakinya melangkah untuk belok ke kanan, ia langsung berhenti dan bersembunyi dibalik dinding. Di belokan itu Sandra dapat melihat Bumi yang sedang duduk di kursi dengan kepala menunduk.
Hingga selang beberapa menit dokter keluar dari ruangan tersebut dan berbicara kepada Bumi.
"Istri anda sudah mengalami pendarahan dua kali. Kondisi janinnya semakin melemah. Untuk sementara waktu pasien harus dirawat." Hanya kalimat itu yang Sandra dengar, setelahnya dokter itu pamit dan Bumi kembali duduk.
"Istri?" gumam Sandra terkekeh miris.
"Kenapa gak disamperin, mbak?" celetuk seseorang dibalik Sandra. Sontak Sandra berbalik dengan wajah terkejut.
"Hai,"sapanya tersenyum lebar. Sandra hanya mengernyit, merasa tidak asing dengan wajah pria di depannya.
"Lo lupa sama gue?" ujar pria tersebut, lalu mengulurkan tangannya. "Nama gue Ansel, adik dari Brianna."
Wajah Sandra langsung berubah datar. Ia sudah ingat sekarang, pria ini salah satu orang yang saat itu bersama Brianna.
"Eits ... mau ke mana?" Ansel menahan Sandra yang hendak melengos pergi.
"Lepas!" sengit Sandra sinis. Ansel malah terkekeh dan langsung melepaskan cekalannya.
"Kenapa gak disamperin?" tanya Ansel lagi.
"Bukan urusan lo," balas Sandra datar, langsung memalingkan muka.
"Bagus deh, jangan disamperin. Daripasa ntar lo makin sakit hati, terus nangis." Ansel mengangguk-anggukan kepalanya.
"Urusannya sama lo apa? Pergi deh lo!" Sandra mengibaskan tangannya merasa risih. Ansel tetap kukuh berdiri tanpa mau pergi.
Sandra yang sudah kelewat kesal mendorong Ansel dan langsung pergi dari sana.
"Inget ya, nama gue Ansel. Dan gue suka sama lo!" teriak Ansel nyaring menyita perhatian, bahkan Bumi langsung mendongak bertepatan dengan Sandra yang sudah menghilang.
"Sinting!" gumam Sandra melengos pergi.
Ansel hanya senyum-senyum sendiri. Lalu berjalan mendekati Bumi yang sudah menatapnya aneh.
"Kenapa berteriak seperti itu? Siapa perempuan yang kamu suka?" tanya Bumi.
Ansel langsung duduk di samping Bumi dan merangkul bahu pria itu.
"Cassandra, lo inget dia kan? Perempuan yang baru aja lo sakitin hatinya. Iya, gue suka sama dia. Kebetulan kan lo sekarang sama kakak gue tuh, jadi gue mau deketin Sandra, siapa tau kan dia nyantol." Ansel terkekeh pelan, sengaja menyindir.
Bumi langsung menatap Ansel tajam, menepis lengan pria itu dan bangkit berdiri.
"Di mana dia sekarang?" tanya Bumi datar.
Ansel menyugar rambutnya, dan tersenyum menyeringai. "Baru aja pergi, setelah liat lo ngobrol sama dokter."
Bumi lantas mengacak rambutnya, dan berjalan dengan tergesa.
"Eh mau ke mana?" teriak Ansel. "Calon istri lo mau ditinggal?" tanya Ansel sengaja menekankan kata 'Calon istri'.
"Persetan!" balas Bumi kesal dan berlalu begitu saja. Ansel langsung bersiul dan bangkit masuk ke dalam ruangan kakaknya.
...
Revisi/150421
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top