Notre histoire
HAPPY READING!
...
Notre histoire = Kisah kita
Keduanya saling terdiam, masih tak mau mengeluarkan suara. Perjalanan kali ini terasa sangat lambat. Sandra sedaritadi fokus melamun, entah apa yang gadis itu lamunkan.
"Turun."
Suara Bumi menyita perhatian Sandra. Gadis itu menoleh sebentar, menatap Bumi yang sedari tadi tidak mau menatap ke arahnya.
"Maafin Sandra, Om. Sandra tau Sandra udah salah, selama ini Sandra gak pernah dengerin ucapan Om, Sandra sangat keras kepala." Sandra menunduk, sedikit meringis kala berbicara ujung bibirnya terasa sangat perih.
Bumi hanya diam tak bersuara. Tangannya masih setia menggenggam erat stir mobil. Bayangan saat di mana ia melihat sebuah bercak di leher gadis itu semakin membuatnya kalut.
"Apa saja yang pria itu lakukan?" tanya Bumi tanpa menoleh. Fokusnya hanya menatap ke depan.
Sandra memilin ujung seragamnya. "Liam cuma nampar doang."
Mendengar itu Bumi langsung berdecih. Dirinya tidak cukup bodoh dan mudah tertipu. Tanpa Bumi bertanya pun ia sudah tau apa saja yang dilakukan bajingan itu pada Sandra. Ia hanya ingin mendengar ucapan itu langsung dari bibir gadis ini. Bumi merubah posisi menjadi menyamping, menarik bahu Sandra untuk ikut menyamping sehingga sekarang mereka sudah saling berhadapan.
"Ini apa? Siapa yang melakukan ini kalau bukan Liam?" tanya Bumi datar, menunjuk bercak keunguan di sana. Dengan cepat juga ia mengalihkan tatapannya, tak mau berlama-lama melihat hal menyakitkan seperti itu.
Haruskah Bumi menghapusnya?
Ah tidak, Bumi tidak akan melakukan itu sekarang. Ia sudah cukup mengerti dengan keadaan Sandra. Gadis itu sekarang pasti sedang dalam mode trauma. Hal seperti ini sepertinya tidak perlu ia lakukan sekarang. Tapi, entah dengan nanti. Bumi tidak bisa menjamin ia akan diam saja.
Ia dapat melihat gadis itu masih setia menunduk, tak berani menatap ke arahnya. Bumi menghela napasnya sebentar. Sebenarnya ia ingin sekali memeluk, memberi ketenangan untuk gadis ini. Namun, Bumi ingin lebih dulu memberinya sebuah penyesalan, menyadarkan gadis itu bahwa apa yang ia lakukan selama ini ada kesalahan.
"Sepertinya tidak aman jika kamu pulang dengan keadaan seperti ini." Bumi memegang dagu Sandra, mengangkat dagu gadis itu untuk menatap ke arahnya.
"Mau ikut bersama saya?" tawar Bumi lembut.
"Om, g-gak marah?" cicit Sandra pelan, menatap Bumi dengan ragu.
"Mau atau tidak?"
"I-iya, Sandra mau."
"Bagus, untuk sementara ini kamu tinggal bersama saya. Saya akan menghubungi orang tua kamu nanti."
Bumi menegakkan badannya dan kembali menghadap ke depan. Mulai kembali menjalankan mobilnya menuju Apartemen. Sebelumnya ia mengacak rambut Sandra untuk memberikan gadis itu sedikit ketenangan.
Beberapa jam kemudian, mereka sampai di Apartemen Bumi. Pria itu membuka pintu dan menyuruh Sandra masuk.
"Saya sudah memberitahu orang tua kamu, kamu tunggu di dalam. Kalau butuh sesuatu bisa hubungi Raksa. Hari ini saya ada urusan, saya pergi dulu."
Sandra terdiam, saat Bumi hendak berbalik meninggalkannya dengan cepat ia cekal lengan pria itu. Mana bisa ia ditinggal dalam keadaan seperti ini. Bukan Sandra manja atau bagaimana. Yang ia butuhkan sekarang adalah teman, teman mengobrol agar bisa melupakan kejadian beberapa jam lalu.
Apa Bumi tidak memiliki sedikitpun rasa khawatir pada dirinya? Melihat keadaan Sandra yang sekarang mengapa pria itu terlihat biasa saja?
Apa karena Bumi masih marah?
"Ada apa?" tanya Bumi datar, membuyarkan lamunan Sandra.
"Jangan pergi," cicit Sandra pelan, wajahnya menunduk. Bumi yang melihat itu terdiam.
Oke, sebaiknya ia harus melawan semua keegoisan dan juga amarah yang sedari tadi belum juga padam. Yang harus Bumi utamakan sekarang adalah Sandra. Iya, gadis itu membutuhkan dirinya sekarang.
Bumi masih diam, menatap Sandra lama.
Melihat keterdiaman Bumi yang tak merespon ucapannya, Sandra langsung melepas cekalan. Gadis itu melangkah mundur dengan kepala masih menunduk.
"M-maaf, Om boleh pergi kok. Maaf Sandra ngerepotin."
Selesai berbicara, Sandra segera membalikan badannya tak mau melihat respon Bumi. Ia segera duduk di Sofa, tak memperdulikan lagi sosok pria yang masih setia berdiri di ambang pintu.
Bumi menghela napasnya lagi untuk yang kesekian kalinya. Ia masuk ke dalam, mengurungkan niatnya untuk pergi. Mencoba melawan ego dan emosi.
"Kemarilah," ujar Bumi yang sudah duduk di sofa single, tangan pria itu terlentang. Menyuruh Sandra untuk menghampirinya.
"Eh?" Sandra terkejut, menatap Bumi bingung.
"Kemari," titah Bumi lagi dengan nada tegas. Sandra langsung menurut dan sekarang ia sudah berdiri di depan pria itu.
"Butuh pelukan?" tawar Bumi pelan. Mendengar itu Sandra langsung menggigit bibir bawahnya. Perasaannya mendadak gugup luar biasa.
"Ck, lama sekali." Bumi menggerutu dan tanpa pikir panjang langsung menarik Sandra ke dalam pelukan. Gadis itu sekarang sudah terduduk di atas pangkuannya dengan posisi menyamping.
Sandra tak bergeming, cukup terkejut dengan perlakuan Bumi. Tubuhnya nampak sangat jelas sedang menegang di tempat. Ia segera memalingkan muka, tak kuasa menatap Bumi yang beberapa hari ini selalu membuat jantungnya berdegup kencang.
"Sebenarnya saya ingin marah, saya ingin berteriak, saya ingin memaki, kamu tau kenapa?"
Sandra menoleh, dan langsung menelan salivanya saat wajah mereka terlihat sangat dekat. Ditambah lagi tangan pria itu yang sudah bertengger manis dipinggangnya. Membuat Sandra semakin gugup.
"Jawab saya," ujar Bumi membuyarkan lamunan Sandra.
"Karena S-Sandra merepotkan?" tebak Sandra pelan. Bumi terkekeh, melepaskan tangannya dari pinggang Sandra. Lalu memegang tangan Sandra, menuntunnya untuk melingkar dileher Bumi.
"Ini," bisik Bumi pelan, menunjuk bercak keunguan di leher Sandra. "Ini yang membuat saya marah, ingin berteriak, dan memaki siapapun. Saya sangat tidak suka ini." Bumi berdesis di akhir kalimat.
"Apalagi ini," bisik Bumi terkekeh. "Dia pasti sudah menyentuhnya? Benar bukan?" tanya Bumi sembari memegang bibir ranum Sandra.
Entah sejak kapan Sandra sudah memalingkan muka, menunduk dalam dan menangis dalam diam. Gadis itu mencoba menahan isak tangisnya agar tidak terdengar. Bayangan saat Liam menyentuhnya, menampar pipinya kembali terngiang.
"Sstt, sudah." Bumi mengelus punggung Sandra menenangkan. Menyandarkan kepala Sandra pada dada bidangnya. Mengusap rambutnya pelan.
Dari situlah tangis Sandra pecah, gadis itu mengeratkan tangannya dileher Bumi. Memeluk pria itu dengan erat, menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria itu. Ah, sangat nyaman sekali rasanya. Membuat hati Sandra sedikit merasa tenang.
Bumi memejamkan matanya, ikut merasa sakit mendengar tangis Sandra.
Awas saja Liam sialan. Tunggu pembalasan dari dirinya. Mulai saat ini Bumi tidak akan pernah membiarkan siapapun menyentuh gadisnya lagi. Ia tidak akan pernah tinggal diam dan akan bergerak maju jika ada yang kembali mengusik Sandra.
"Berhenti menangis," bisik Bumi lirih, Sandra langsung merapatkan bibirnya yang bergetar. Masih dengan menyembunyikan wajahnya di dada bidang Bumi.
"Ketika menaruh harapan kepada seseorang itu jangan sepenuhnya, sisakan sedikit ruang untuk menyimpan rasa kecewa. Karena terkadang semua tidak akan berjalan dengan sesuai harapan kita."
"Contohnya sekarang, kamu merasa--oh shit, oke! Saya tidak akan membahasnya lagi, dan tolong berhenti menangis gadis nakal! Saya tidak suka kamu menangis karena orang lain!" geram Bumi mengusap wajahnya kasar ketika mendengar tangis Sandra yang kembali pecah.
Sandra mendongak, dengan mata yang memerah dan juga sembab. Sedikit merasa aneh dengan sikap Bumi yang mendadak bajyak bicara. Matanya mengerjap, masih dengan sisa Isak tangis.
Cup
"Berhenti menangis, okay?" gumam Bumi pelan setelah mengecup bibir Sandra.
Sandra terdiam mematung, menatap Bumi dengan terkejut. Tak menyangka dengan perlakuan pria itu yang sangat tidak terduga.
Lama mereka berpandangan, dengan perlahan entah siapa yang memulai, bibir mereka mulai menyatu. Mata mereka saling terpejam, Bumi yang sudah terbuai mulai melumat dan menyesap bibir Sandra lembut. Tangannya memegang tengkuk gadis itu untuk lebih memperdalam ciuman mereka. Sandra ikut terbuai dan membalas ciuman Bumi, tangannya meremas rambut pria itu kuat.
Hingga beberapa menit mereka asik berciuman, Bumi melepas pagutan mereka dengan nafas terengah. Begitupun dengan Sandra yang sudah sibuk mengambil pasokan udara.
Mata mereka kembali bertubrukan, hanyut dalam tatapan yang cukup dalam dan tersirat banyak makna.
Sandra memejamkan matanya begitu bibir Bumi menempel di kening, lalu kelopak matanya.
"Boleh?" ujar Bumi pelan sembari menatap bibir Sandra lagi. Sandra hanya diam taj merespon. Pipinya sudah memerah.
Cup
"Ah, sungguh. Bibir ini sudah menjadi candu untuk saya." Tanpa meminta ijin lagi, Bumi kembali melumat bibir Sandra. Merapatkan tubuh mereka agar lebih intim. Saling memejamkan mata dan menikmati permainan mereka.
"Shit, pertunjukan macam apa ini?!"
Kedua sejoli yang sedang larut dalam kenikmatan tersentak kaget saat mendengar suara dari ambang pintu. Dengan cepat mereka melepas pagutan. Sandra langsung bangun dari pangkuan Bumi dan bergerak membelakangi mereka dengan kepala menunduk.
Sial, pipinya masih saja memerah.
"Setan sialan, kenapa tidak memencet bel lebih dulu?!" sentak Bumi kesal langsung bangkit dan melempar vas bunga yang berada di nakas.
Pria yang tadi berteriak dengan sigap menangkapnya. Lalu ia tertawa, berbeda dengan dua pria di belakangnya yang masih menampilkan raut wajah terkejut. Tak menduga bahwa seorang Bumi, psikopat dengan kekuasaan tertinggi ini melakukan hal seperti itu.
"Sandra, masuk kamar. Istirahatlah, jika butuh sesuatu panggil saja."
Dengan cepat Sandra mengangguk, gadis itu berlalu pergi menuju kamar dan menutupnya dengan kencang.
Prok prok prok.
Ketiga pria yang masih berdiri di ambang pintu bertepuk tangan. Mereka berjalan menghampiri Bumi.
"Abang gue semakin aktif, salut gue! Gimana rasanya, bang?" Bima merangkul bahu Bumi, yang langsung ditepis dengan cepat oleh pria itu.
"Shit, kalian ngapain ke sini?"
"Kenapa? Gak boleh? Kita menganggu proses pembuatan dedek bayi, ya?"
"Shut up, Raksa!"
Raksa terkekeh. "Pada akhirnya lo juga mulai suka kan sama dia? Udahlah, jangan ngelak lagi!"
Plak.
"Diam atau gue gorok?!" Raksa memutar bola matanya malas dan langsung merapatkan bibir.
Bumi kembali duduk di sofa single, menyugar rambutnya dan menghela nafas berat.
"Katakan sesuatu yang penting," ujarnya datar.
"Kasus pembunuhan, terkuak di media sosial, dan banyak orang mencurigai pelaku pembunuhan itu adalah bagian dari Wx." Jovan angkat bicara.
"Bukannya itu sudah biasa? Dan, apa-apaan ini? Lo bukan bagian dari Wx, kenapa ikut campur?" sarkas Bumi menatap sinis Jovan.
"Maka dari itu jadikan gue sebagai bagian dari Wx!"
"Tidak sudi!"
"Udah, jangan berantem mulu napa." Bima menghempaskan tubuhnya di sofa bergabung dengan Raksa.
"Kasus pembunuhan kali ini berbeda, yang dibunuh adalah seorang psikopat. Lo tau Greg? Si pria haus darah manusia itu?"
"Dia yang menjadi korban?" tanya Bumi dan Bima mengangguk.
"Lo bisa nebak gak kalo yang bunuh itu dari kalangan psikopat juga?" tanya Raksa.
"Gue gak tau, yang pasti kematian Greg kali ini jadi topik terhangat. Karena pelaku yang bunuh dia ninggalin surat di baju yang Greg pake."
"Tulisannya?"
"I live, I breathe, and I want you to die."
"Anjir, beneran psikopat juga kayaknya itu pelaku!"
Bumi bangkit, menyita perhatian kedua pria yang sedang berbincang.
"Mau kemana?" tanya Raksa.
"Theo, gue mau bicarain ini sama mereka. Dan lo," ujar Bumi menunjuk Raksa dan Bima.
"Lo berdua tunggu di sini, jaga Sandra. Kalo dia butuh apa-apa segera turuti. Biar Jovan pergi sama gue."
"Kenapa bicarain ini sama mereka? Kenapa gak sama kita aja?"
Bumi memutar bola matanya malas, sembari berlalu ia berucap, "kalian harus jadi psikopat dulu biar paham dengan apa yang akan gue bicarain."
Setelah mengucapkan itu Bumi pergi bersama Jovan. Meninggalkan Raksa dan Bima yang terdiam saling bertatapan.
"Mau jadi psikopat gak?" tanya Bima santai.
"Mau, tapi gak jadi. Dosa gue udah banyak, gak mau nambah dosa lagi."
"Cih, sok suci!"
Raksa hanya menjulurkan lidah dan mulai menyalakan televisi. Mengambil kacang dan mulai melahapnya.
"Sa."
"Hm?"
"Btw, Theo nama orang?"
"Lah, lo gak tau?" tanya Raksa balik.
"Enggak, emang siapa?"
"Theo kumpulan psikopat juga, tapi mereka temen Bumi dari lama, bisa dibilang dari kecil. Dan mereka sempet pisah karena salah satu dari mereka membunuh temen mereka sendiri."
"Keren."
"Keren darimana sinting! Temen dibunuh dibilang keren, gak ada akhlak lo!" sewot Raksa melempar kacang tepat ke arah wajah Bima.
"Ck, bukan itu. Maksud gue keren untuk pertemanan mereka yang masih tahan sampe sekarang." Bima menghela nafasnya sebentar.
"Gak kayak gue, temen kecil gue udah pada lupa sama gue, kalo ketemu pun mereka cuma senyum canggung."
"Dih, curhat lo?" ledek Raksa.
"Sialan!" umpat Bima kesal. Pria itu mengambil sebuah buku kecil dari balik jaketnya. Mulai membuka dan membaca dengan mulut komat-kamit.
"Buku apaan, tuh?" tanya Raksa. Bima tak menjawab, asik dan fokus membaca dengan serius.
Raksa yang teramat sangat kepo lantas mendekat, mengamati dan membaca judul buku tersebut.
"Trik dan cara menjadi seorang psikopat?" gumam Raksa membaca juduk buku tersebut. Lama terdiam Untuk mencerna, ia langsung melotot. Menarik dagu Bima untuk menatap ke arahnya.
"LO MAU NYALONIN DIRI JADI PSIKOPAT?!" teriak Raksa nyaring.
Bima langsung nyengir dan mengangguk cepat. "Biar keren."
...
"What are you doing, bastards?"
Seorang pria menoleh, merasa kegiatannya terganggu oleh suara yang sudah tidak asing lagi baginya.
"Shit, kalian datang disaat yang tidak tepat! Jangan ganggu gue," jawab pria tersebut sembari mengumpat.
Bumi, pria itu memutar bola matanya malas. Sedikit jengah melihat temannya yang sedang memainkan tangan manusia yang sudah patah.
"Tangan wanita, huh?" tebak Bumi berkacak pinggang.
"Ya, lo benar. Jose yang bunuh, dan dia kasih mainan ini buat gue. Liat, lucu kan?" Pria tersebut memainkan tangan manusia tersebut seolah itu adalah mainan biasa. Bumi hanya mendengus malas.
"Dimana yang lain?" tanya Jovan.
"Jose lagi main di belakang, korbannya cantik anjir tadinya gue mau selamatin, tapi pas tau dia itu jalang, gak jadi."
"Owen, jangan berbasa-basi. Langsung beritahu di mana mereka semua?" kesal Bumi.
"Ck, lo masih aja kayak dulu." Owen, pria itu berdiri. "Eric lagi main game sama temen tak kasat matanya itu, terus si Sean lagi pacaran sama ceweknya di belakang."
"Pacaran? Sejak kapan iblis sialan itu berpacaran?"
Owen tertawa. "Sejak dia nemuin cewek yang tadinya mau dia bunuh tapi dia malah jatuh cinta. Kalian berdua liat aja ke belakang, semenjak dia nemuin cewek itu dia jadi bucin banget. Gue, Jose sama Eric sampe enek liatnya."
"Kumpulkan mereka sekarang," suruh Bumi tegas.
"Ngapain? Ada masalah apa lagi kali ini?" tanya Owen bingung.
"Jangan bilang lo dateng ke sini cuma buat bicarain soal Greg?"
Ketiga pria yang berada dilantai bawah menoleh ke atas, menampilkan sosok pria yang tubuhnya dilumuri banyak darah.
"Shit, Jose! Cepet ganti baju, darah lo bikin Reana mual!" Seorang pria datang dari arah belakang.
"Oh ayolah Eric, dia tak terlihat. Jangan terlalu posesif dengan makhluk seperti itu!" balas Jose malas.
"Jose, cepat ganti baju. Gue gak punya waktu banyak!" teriak Bumi kesal.
"Dan, lo! Panggil Sean ke sini," suruhnya pada Eric.
"BUMI?! SHIT, SEJAK KAPAN LO DI SINI?!" Pria bernama Eric berteriak heboh. Ia dengan cepat berlari menuju lantai bawah, dengan senyum sumringah.
"Reana, lihatlah Bumi datang!"
Bruk
"Berhenti menghalu Eric, tidak ada perempuan bernama Reana di sini." Bumi menggerutu sembari mencoba melepaskan pelukan Eric.
Eric langsung melepaskan pelukan dan berdecak. "Dia ada di sini, lihat dia sedang bermain!" Eric menunjuk ke salah satu ujung ruangan. Yang tentunya tidak ada siapapun di sana.
"Ya, terserah lo aja. Sekarang panggil Sean!"
"Kita temui saja ke belakang," pinta Owen yang langsung dibalas anggukan Jose yang sudah turun.
"Kita grebek pria itu sekarang, pasti mereka sedang berbuat sesuatu di sana!" ucap Jose sinis.
"Menjijikan," desis Jovan malas.
Mereka lantas pergi ke belakang rumah, Eric berjalan paling terakhir. Pria itu sibuk mengobrol dengan sosok tak kasat mata. Entah pria itu hanya menghalu atau tidak. Yang jelas mereka memang sudah menyadari bahwa selama ini Eric mempunyai kelebihan bisa melihat makhluk halus.
"Reana, tutup mata kamu. Aku takut saat kita berada di sana, kamu melihat sesuatu yang tidak pantas untuk kamu lihat." Eric berbicara dengan nada serius.
"SHIT, FUCK! SEAN! PAKAI PAKAIAN LO SEKARANG! SIALAN, RUMAH INI TERNODAI!"
Eric melotot saat mendengar teriakan Jose, dengan cepat ia menahan sesuatu yang tak terlihat.
"Gak usah ke sana, kita tunggu di sini aja!" ujarnya langsung duduk di meja makan dan kembali mengobrol dengan sosok bernama Reana itu.
...
"Sandra? Lo butuh sesuatu?" Raksa dan Bima reflek bangkit berdiri saat melihat Sandra keluar dari kamar.
Mereka meringis, melihat keadaan Sandra yang sangat tidak baik-baik saja. Rambutnya acak-acakan, bekas tamparan itu masih terlihat sangat jelas dengan sudut bibir terdapat darah yang sudah mengering. Oh apalagi sesuatu yang paling membuat mereka berdua terkejut adalah sebuah bercak keunguan. Mereka sangat yakin itu bukan ulah Bumi. Bumi tidak mungkin melakukan sampai diluar batas seperti itu.
Sandra yang tau kemana arah tatapan kedua pria itu tertuju lantas segera menutupi lehernya. Raksa dan Bima langsung tersadar, mereka berdehem sebentar dan langsung memalingkan muka.
"Sorry," ujar Bima pelan. Sandra hanya tersenyum tipis.
"Luka lo udah diobatin?" tanya Raksa.
"Udah kok," balas Sandra pelan. Lalu matanya mengedar, mencari sosok yang menjadi tujuan ia keluar dari kamar.
"Bumi ada urusan, dia pasti balik kok sebentar lagi. Kalo lo butuh sesuatu, bilang aja sama kita." Bima angkat bicara, seolah mengerti dengan pergerakan Sandra.
"A-ah oke, gue gak pengen apa-apa kok. Kalo gitu gue masuk lagi ya," ujar Sandra pelan dan tersenyum tipis. Gadis itu langsung menutup pintu kamar dengan pelan.
Raksa dan Bima menghempaskan tubuh mereka ke sofa. Saling memejamkan mata dan menghela nafas.
"Siapa yang ngurusin Liam?" tanya Bima.
"Hanson sama Heksa."
"Heksa? Sejak kapan dia ada di Indo?"
"Sejak dia tau kalo Bumi mau dijodohin."
Bima mengernyit, ia langsung bangkit dan membuka matanya. "Why? Apa harus se-heboh itu?"
"Ya lo tau lah, dia posessive banget."
"Sampe relain tugas di Amrik? Cuma gara-gara Bumi mau dijodohin? Membuang-buang waktu!"
Raksa mengangguk. "Gak percaya kan? Iya itulah Heksa, si cowok posessive," kekehnya. "Ini hal rumit, semakin rumit lagi dengan tingkah Hanson yang sangat aneh pas tau Sandra dibawa Liam. Lo tau? Yang nelpon Bumi tentang keberadaan Sandra itu Hanson. Tapi pas Bumi suruh dia buat tangani Sandra lebih dulu dia langsung nolak, katanya dia lebih milih ngurusin pelaku."
"Seperti menghindar?" tebak Bima dan Raksa mengangguk.
"Gak tau lagi, pusing gue ngurusin ini semua."
"Sa, perasaan gue kok gak enak ya?"
"Kenapa lagi?"
"Gak tau, perasaan gue gak tenang daritadi."
"Apa mungkin ada hubungannya sama Bumi? Kalian pasti punya ikatan yang kuat banget."
"Gue gak tau, semoga aja dia gak kenapa-kenapa."
"Cih, tumben doain sodara yang baik-baik. Biasanya lo yang paling pengen banget Bumi mati."
"Hutang dia sama gue banyak. Jadi gue gak mau biarin dia mati dulu." Bima terkekeh pelan.
"Eh, gue denger lo punya pacar?" tanya Bima mengalihkan pembicaraan. Membuat Raksa yang mendengarnya berdecih.
"Gosip darimana itu?"
"Amora," jawab Bima.
"Gak ada, mana sempet gue deketin cewek. Ngurusin si Bumi aja udah pusing."
"Audy, iya gue inget. Dia yang lagi deket sama lo kan?"
Mata Raksa membulat, ia menatap Bima malas. "Males banget gue sama bocah rempong meresahkan kayak dia!"
"Alah, benci sama cinta itu beda tipis, hati-hati."
"Gak bakal, najis banget gue."
Bumi hanya terkekeh dan menggelengkan kepala. Pria itu langsung bermain ponsel untuk menghalau rasa bosan.
"Sa!"
"Apa?"
"B-bumi," cicit Bima pelan hampir tidak terdengar.
"Kenapa lagi dia? Bunuh siapa lagi kali ini?"
"Bukan itu, anjing."
"Terus apa, babi? Gue jadi nyebut kan!"
"Dia kecelakaan!"
"HAH?!" Raksa bangkit dengan mata melotot.
"Sst, jangan berisik. Jangan kasih tau Sandra dulu!"
"Lo gak bohong? Jangan bercanda! Ulang tahun gue masih lama, jangan bikin kejutan gak lucu kayak gini!" bisik Raksa dengan raut kesal. Sengaja memelankan suara agar tidak terdengar oleh Sandra.
Bugh.
"Gue serius, setan! Liat, Jovan yang chat gue!"
"Arghh, kok bisa sih?!" erang Raksa frustasi. Wajahnya sudah terlihat panik sembari berjalan mondar-mandir.
"Jovan gak ceritain secara detail, yang jelas dia sama Bumi beda mobil. Mobil Bumi nabrak pembatas, katanya rem blong. Kita ke rumah sakit sekarang!"
"Tunggu dulu!" cegah Raksa cepat.
"Apalagi sih?!"
"Sandra, dia gimana?"
Bima langsung terdiam, lalu mengusap wajahnya kasar.
"Minta Wx jagain! Ayo cepet, hati gue makin gak tenang daritadi!"
Bima dengan segera menarik lengan Raksa. Tanpa berpamitan mereka pergi dari Apartemen itu. Meninggalkan Sandra sendirian.
...
Revisi/150421
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top