Libération
HAPPY READING!
..
Libération = Pembebasan
Sebelum melakukan perjalanan ke Itali, Bumi memilih berdiam diri terlebih dahulu di Cafe Raksa. Pria itu duduk sendiri di bangku pojokan.
"Kita berangkat satu jam lagi," ujar Raksa baru saja datang sembari membawa dua gelas kopi.
Bumi tak menyahut, matanya fokus menatap ke jalanan. Memperhatikan dua sejoli yang sebentar lagi akan pergi entah ke mana.
Raksa mengikuti arah pandang Bumi. Saat tau apa yang menjadi objek pria itu, Raksa langsung berdehem.
"Cemburu?" ujar Raksa tiba-tiba, membuat Bumi berdecih.
"Jujur aja lah sama gue, gak usah gengsi-gengsi."
"Diam, Raksa."
"Kalo udah suka tuh pertahanin, jangan main lepas gitu aja."
"Gue gak suka sama dia."
Raksa memutar bola matanya jengah. "Gak suka tapi daritadi lo terus perhatiin mereka."
Tak mendengarkan ucapan pria di depannya, Bumi malah berdecak saat melihat dua sejoli itu mulai meninggalkan sekolah. Ia menyandarkan punggungnya di kursi dan menyugar rambutnya sembari memejamkan mata. Mencoba menenangkan pikirannya yang terasa kacau.
Kenapa rasanya tidak enak, melihat gadis nakal itu bersama pria lain?
"Lo beneran mutusin buat berhenti?" tanya Raksa lagi.
"Berhenti apaan sih?" kesal Bumi berdecak. Menatap tajam Raksa.
"Berhenti deketin Sandra lah, apalagi?"
"Gue gak lagi deketin siapa-siapa. Jangan sok tau, dan berhenti untuk ikut campur!" sentaknya kesal. "Gue gak peduli dia mau sama cowok manapun, gue gak akan pernah peduli. Tapi kalo cowok yang dia pilih si bocah ingusan itu gue gak bisa diem aja. Bukan karena apa-apa, gue cuma gak suka sama bejatnya bocah ingusan itu."
Raksa terdiam, menelan salivanya mendengar perkataan Bumi yang tumben sangat panjang itu.
Ini memang bener sebatas menjaga atau gengsi gak mau ngakuin suka sih?
Saat Raksa akan membuka suara lagi, teriakan seseorang mengalihkan fokus dirinya.
"Abang!"
Kedua pria itu lantas menoleh saat mendengar suara seorang gadis.
Amora, gadis itu berlari menghampiri meja mereka dengan satu gadis lain mengikuti di belakangnya.
Raksa mengumpat, saat tau siapa gadis yang mengekori Amora. Siap-siap saja stok kesabarannya akan terkuras setelah ini.
"Abang, kenapa gak bilang kalo mau ke sini?" tanya Amora langsung duduk di samping Bumi. Bumi hanya tersenyum tipis, dan mengacak rambut Amora.
"Tumben Abang keluar? Biasanya ngurung terus di ruangan gelap itu. Kenapa, Rak?" tanya Amora kepada Raksa.
"Gue gak tau," balas Raksa tak mau mencari gara-gara. Lebih baik diam saja.
"Oppa!"
Astagfirullah, suara nenek sihir mulai menggema teman-teman.
"Oppa, apa kabar? Udah lama gak ketemu! Kangen Audy gak?!" Audy tersenyum lebar, dengan segera duduk di samping Raksa dan mepet untuk melingkarkan tangannya di lengan pria itu.
"Gak usah mepet-mepet juga atuh, neng." Raksa segera menepis tangan Audy dan mulai menjaga jarak. Namun, bukan Audy namanya jika diam saja.
Raksa yang sudah jengah hanya bisa pasrah.
"Oppa!"
"Apaan?!" balas Raksa sewot, enggan menoleh.
"Oppa, udah lucu, manis, ganteng, hidup pula. Ngerepotin perasaan Audy aja ih!"
Raksa bergidik jijik. "Lo udah kecil, pendek, gak ada manis-manisnya, eh hidup pula. Meresahkan populasi kaum cewek aja!"
"Hahaha ... kalian cocok, tau!" Amora tertawa, menatap gemas dua sejoli di depannya.
"Amit-amit!" cetus Raksa cepat.
"Ih, kok amit-amit?" Audy merenggut.
"Gak mau dipenjara gue, cuma gara-gara macarin bocah kayak lo!"
"Yaudah, Audy aja yang dipenjara!" sahut Audy masih dengan senyum lebar.
"Bagus, gih sana penjara selama-lamanya. Gak usah balik lagi!" sewot Raksa.
"Ih, harusnya Oppa tanya. Emang Audy mau dipenjara? Gitu! Ah, Oppa!" Audy merenggut seperti anak kecil. "Audy rela dipenjara, asalkan pelanggarannya karena mencintai, Oppa."
Eh, buset!
Raksa menatap Audy tidak percaya. Ini manusia turun dari mana sih?
"Serius lo temenan sama cewek kayak gini?" Heran Raksa menatap Amora tidak percaya.
"Hyperaktif banget ya? Gitu juga dia banyak yang suka, loh. Percaya gak percaya, hari ini dia udah nolak tiga cowok."
Raksa melotot. "Jangan ngada-ngada!"
"Serius! Audy ditembak tiga cowok hari ini. Dan itu semua dia tolak. Alasannya mau tau kenapa?"
"Gak, makasih. Bukan urusan gue juga."
"Ck, alasannya karena lo, Raksa! Dia bener-bener suka sama lo! Ih, gimana sih?" kesal Amora merasa gregetan.
Raksa menggelengkan kepalanya. "Sebegitu jatuh cintanya lo sama gue, sampe nolak tiga cowok?" Raksa menatap Audy meminta jawaban.
Audy mengangguk cepat. "Arlan terlalu nakal, apalagi suka ngerokok. Terus Kak Qian playboy, Audy gak suka cowok playboy. Terakhir, Mahesa dia itu mesum! Audy gak suka," ujar Audy melapor pada Raksa.
"Yeu, lo harusnya gak suka juga sama gue. Karena semua daftar hal yang lo gak suka ada pada diri gue."
"Ih, Oppa suka ngerokok?"
Raksa mengangguk.
"Oppa playboy juga?!"
Raksa mengangguk lagi.
Audy mendengus, kali ini pasti tidak mungkin.
"Oppa mesum? Pasti boong!"
"Sayangnya, gue gak bohong."
Bibir Audy mengerucut, ia langsung bangkit. "Audy mau pulang, mau ngambek dulu sebentar. Nanti kalo udah gak ngambek, Audy ke sini lagi!" tutur Audy dengan wajah masam, seperti anak kecil.
"Amora, Audy pulang dulu! Kakaknya Amora juga, Audy pulang dulu!" Audy segera melengos pergi.
"Lah? Sarap tuh cewek!" Raksa menggeleng pelan.
Hingga tak lama kemudian Audy kembali ke meja mereka. Masih dengan wajah yang cemberut dan sangat masam.
"Loh, lo kok balik lagi? Supir lo belum jemput?" Amora menatap bingung Audy.
"Audy lupa, Audy kan gak bisa nyebrang." Audy menunduk, memainkan tali tas nya. "Bantu Audy nyebrang, dong!" cicitnya pelan.
"Sa, bantuin gih." Amora menyuruh Raksa.
"Ck, emang dasar bocah. Udah gede masih gak bisa nyebrang?" Raksa berdecak, mulai bangkit dan berjalan lebih dulu. "Ayo, bocil! Jangan diem aja!" teriak Raksa ketika melihat Audy masih diam ditempat. Audy segera berbalik dan berlari mengejar Raksa.
"Mereka lucu banget," gumam Amora sembari terkekeh pelan menatap punggung dua sejoli yang mulai keluar dari Cafe. Ketika matanya beralih ke samping, ia mengernyit.
"Bang? Hey!"
Bumi tersentak, lalu menoleh dengan mengangkat alisnya.
"Ngelamunin apa?"
"Bukan apa-apa."
Amora mendengus. "Abang nanti ke Itali? Berapa lama?"
"Kenapa?" Bumi malah bertanya balik.
"Gak papa sih, rasanya gak enak aja. Lagi dan lagi Amor ditinggal kalian berdua."
Mendengar itu Bumi terkekeh, ia mengacak rambut adiknya sembari menariknya ke dalam pelukan, lalu mengecup puncak kepalanya penuh kelembutan.
"Abang kerja, kamu harus ngerti."
Amora mengangguk di dalam pelukan Bumi. Gadis itu memeluk pinggang Bumi erat dan menenggelamkan wajahnya di dada sang kakak.
"Ekhem."
Deheman seseorang merebut perhatian adik kakak tersebut. Mereka sama-sama menoleh ke sumber suara. Di sana sudah berdiri Garesh dengan Raksa di belakangnya.
"Sana pulang," suruh Bumi pada Amora. Adiknya itu mengangguk dan mulai bangkit.
"Abang gak mau pulang dulu? Ketemu sama Papa atau Mama?" tanya Amora yang langsung dibalas gelengan Bumi. Melihat itu Amora mendengus kesal.
"Kalo gak mau ke rumah, telepon aja kalo gitu. Jangan sampe gak ngabarin Papa sama Mama."
"Iya, Amora." Bumi menatap jengah adiknya.
Amora memutar bola matanya malas. Lalu beralih melirik Raksa sekilas yang sedari tadi diam memperhatikan.
"Abang."
"Apa lagi?"
"Cepet halalin Kak Sandra, jangan berduaan terus sama Raksa. Biar gak dikira kalian itu, gay!"
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Amora menarik lengan Garesh sang pacar untuk pergi dari sana. Meninggalkan Raksa dan Bumi yang sudah saling melotot.
"Apa?!" sinis Bumi saat matanya bertubrukan dengan manik mata Raksa.
"Halalin gue, Bumi."
"Sinting!" sentak Bumi cepat langsung bangkit dan berlalu pergi.
"Mau ke mana, woy?!"
"Berangkat sekarang, gue tunggu di Bandara."
Raksa langsung melotot. Sial, ia belum membereskan segala persiapan yang sudah Bumi suruh beberapa jam yang lalu.
Dengan cepat Raksa berlari mengikuti Bumi. Ia tidak mau kena amuk iblis tampan itu. Merelakan rasa sakit kakinya yang habis ditendang oleh GM saat malam kemarin.
GM SIALAN, AWAS AJA LO NANTI. PAS GUE UDAH BALIK DARI ITALI, GUE BENER-BENER BAKAL BALAS DENDAM SAMA LO. Batin Raksa berteriak.
...
Sandra mengernyit heran, matanya mengedar dengan tatapan bingung. Masih belum mengerti mengapa Liam membawanya ke Hutan. Tidak ada orang sama sekali, sangat sepi dan entah mengapa ia merasakan suasana di sini terasa sejuk. Sangat cocok untuk menenangkan pikiran.
Ia terus mengikuti ke mana Liam pergi. Hingga langkahnya terhenti tepat di depan sebuah Danau yang pemandangannya cukup indah. Sangat bahkan.
"Kenapa ke sini?" tanya Sandra menatap bingung Liam.
"Kenapa?" Liam bertanya balik. Pria itu duduk di bangku, menatap Sandra dan mengkode untuk duduk di sampingnya. Sandra langsung menurut dan duduk di samping pria itu.
"Dua tahun yang lalu, di hari yang sama, adik gue bunuh diri di sini."
Deg.
Sandra menoleh, menatap Liam terkejut. Ia dapat melihat raut sendu dan penuh luka di mata pria itu.
"Gak usah diceritain kalo lo belum siap," ujar Sandra mengelus punggung Liam, memberi ketenangan.
Liam menunduk. "Gue udah gak papa, kejadian itu udah lama. Gue cuma sekedar ingin berbagi cerita aja sama lo. Karena selama ini gue gak ada lawan bicara buat mengeluh, gak ada teman buat gue bersandar, gak ada sama sekali orang yang setia berdiri di samping gue."
"Lah, terus gue lo anggap apa?" tanya Sandra dengan wajah kesal.
Liam terkekeh, mengacak rambut Sandra pelan. Lalu kembali menatap ke depan dengan tatapan serius. "Dia bunuh diri karena frustasi akan keluarga kita. Lebih tepatnya, orang tua kita. Mama sama Papa gue terlalu sibuk kerja, gak pernah sempetin waktu buat kumpul bareng anak-anaknya. Adik gue sering sendirian di rumah. Gue? Jarang pulang karena sibuk ngurusin organisasi pas SMP. Dia juga sering disiksa sama pengasuh yang Papa suruh buat jagain adik gue."
Sandra kembali terkejut, entah kenapa matanya mulai berkaca-kaca. Seakan hatinya tercubit mendengar cerita dari Liam.
"Adik gue waktu itu masih umur lima tahun. Gue berasa jadi kakak yang gak becus, kakak yang gagal karena gak bisa jagain adiknya sendiri. Dia sendirian, dia selalu nangis di pojok kamar. Bahkan setiap pulang ke rumah gue gak pernah sadar tubuh dia selalu penuh dengan luka memar."
Liam terkekeh sebentar, mencoba menutupi luka yang mulai terbuka itu dengan sebuah senyuman.
"Dia ngajak gue ke sini, untuk pertama kalinya gue liat dia ketawa, ketawa yang bebas dan lepas banget. Di situ gue gak mikir apa-apa, yang ada dipikiran gue cuma, bahagia, lo harus bahagiain adik lo. Buat dia selalu ketawa, buat dia selalu tersenyum. Temanin dia dikala apapun, jangan pernah tinggalin dia lagi."
"Namun nyatanya, semua tugas dan keinginan gue gak bisa gue lakuin. Saat gue lengah dan biarin adik gue main sendirian di tepi Danau. Tanpa sepengetahuan gue, dia nyebur."
"Gue--" Liam memberhentikan ucapannya. Pria itu menggeleng sembari menggigit bibir bawahnya. Tak kuasa lagi untuk meneruskan ceritanya.
"Udah, Liam. Jangan diterusin," bisik Sandra pelan kembali mengusap punggung Liam. Tak menyangka sosok Liam yang ia lihat selalu ramah pada semua orang ini menyimpan luka yang cukup dalam.
"Tugas lo sekarang, doain dia, ikhlasin adik lo. Mungkin ini waktunya dia pulang, walau dengan cara yang salah. Tapi lo harus percaya, Tuhan lebih sayang sama adik lo, makanya dia harus pergi ninggalin kalian."
"Ini semua takdir yang udah Tuhan buat, Tuhan atur, lo gak bisa apa-apa. Lo hanya perlu menerima dan mengikhlaskan."
Sandra menghela nafasnya sebentar, lalu berbisik, "kehilangan seseorang memang menyakitkan, tapi dengan cara mengikhlaskan akan membuat diri kita sedikit merasa lebih tenang."
Hening.
Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Hingga Liam mulai mendongak, menoleh ke arah Sandra dan menatap gadis itu lama.
"Makasih," ucap Liam sembari tersenyum tulus. Sandra ikut tersenyum dan mengangguk.
"Lo gak sendiri, ada gue. Lo bisa cerita apapun sama gue."
Liam mengangguk, kembali menatap Sandra lekat. Sandra yang ditatap seperti itu langsung kikuk. Entah bagaimana, tapi Sandra rasa pipinya sudah merona sekarang.
Hingga perlahan, Liam mulai mendekatkan wajahnya. Sandra langsung mematung, gugup setengah mati.
Sampai saat bibir mereka sudah berjarak satu jengkal lagi, Sandra langsung memalingkan muka dan menjaga jarak. Entah kenapa, ia merasakan ini semua tidak benar. Sandra saja sampai merasa aneh dengan respon tubuhnya. Bukannya ini yang ia inginkan selama ini? Berada sedekat ini dengan Liam.
Namun, entah kenapa ada sesuatu dalam dirinya yang menolak. Entah apa, Sandra tidak tau.
"Sorry," ujar Liam kikuk segera menjauh dan memalingkan muka. Sandra mengangguk dan bergerak tidak enak.
Oke , suasana mulai menjadi canggung.
...
Revisi/150421
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top