Les deux

HAPPY READING.
...

Les deux = Kedua

"Gila, luas banget."

Sandra berdecak kagum, matanya menatap seluruh ruangan apartemen Bumi. Semuanya terlihat sangat rapi dan bersih. Tak ada debu sama sekali.

Sandra berjalan mencari ruangan dapur, tujuan utamanya untuk mengambil camilan karena ia sudah kelaparan. Ia melangkah menuju lorong yang ia rasa di ujung sana adalah ruangan dapur. Ah sungguh tempat ini sangat besar sekali. Tidak bisa dikatakan apartemen jika luasnya melebihi rumah biasa.

Pada akhirnya Sandra bernapas lega setelah menemukan dapur. Ia langsung mengobrak-ngabrik dapur mencari makanan yang bisa masuk ke dalam perutnya.

Ia membuka kulkas, kali saja ada banyak camilan di sana.

Dan boom!

Sandra sampai membuka mulut dengan raut terkejut melihat banyak sekali makanan dan juga buah-buahan di dalam kulkas tersebut. Tanpa pikir panjang Sandra langsung mengambil semuanya. Minuman dingin, beberapa makanan berat juga camilan yang ia temukan di lemari khusus.

Sandra menyeringai jahil, sudah saatnya ia menunjukan sisi bar-barnya kepada Bumi. Tanpa rasa malu sedikitpun ia mengambil semuanya menuju ruang tamu. Menata segala jenis makanan di meja.

Sandra duduk bersantai di sofa sembari menyalakan televisi. Kakinya ia selonjorkan di atas meja. Sembari menonton televisi ia mengambil camilan dan mulai melahapnya tanpa peduli bahwa ia sekarang sedang berada di apartemen orang lain.

Di sisi lain, Bumi yang sedang berada di dalam mobil sembari memejamkan matanya itu tersentak kaget saat ada seseorang yang memeluk pinggangnya. Ia menoleh dengan tatapan tajam kepada pelaku.

"Raksa, jangan mulai!" sentak Bumi kesal. Yang memeluk pinggangnya adalah si makhluk astral yang akhir-akhir ini otaknya kembali bergeser.

Pelaku hanya diam tak merasa takut sedikitpun. Malah semakin mengeratkan pelukan.

Bumi menggeram kesal, tanpa rasa kasihan ia mulai mendorong Raksa secara kasar hingga punggung pria itu membentur dinding dengan sangat keras.

Raksa berdesis merasa nyeri, ia menatap kesal Bumi yang juga sudah melayangkan tatapan tajam ingin membunuh.

"Sakit anjir beb!"

"Gue bukan bebek!" sewot Bumi cepat.

"Lo mah gak bisa di ajak romantis!"

Bumi dengan cepat menoleh, "Lo gak gay kan?" tanya Bumi memastikan. Sikap Raksa selalu aneh akhir-akhir ini. Ia menjadi was-was.

"Enak aja, gue masih suka cewek!"

"Terus kenapa manggil begitu mulu? Jijik sialan."

"Gak ada yang bisa gue panggil kayak gitu. Jadi ya lo yang sekarang jadi korban."

"Sinting."

"Emang, gue sinting karena sama lo mulu."

"Makanya sekolah! Otak lo udah bego jangan nambah makin bego karena gak nuntut ilmu!"

"Dih, otak gue pinter. Satu tambah satu aja gue tau jawabannya dua!"

Bumi mendelik, tak mau meladeni Raksa lagi dan lebih memilih mengambil tab. Raksa memang titisan manusia tanpa otak.

"Bumi lo yakin gak mau ke rumah sakit dulu?"

"Gue gak papa."

"T-tapi--"

"Luka segini bukan apa-apa."

Raksa melotot. "Eh Haji Saepudin! Lo kena tembak anjir, bukan apa-apa darimana?!" sentak Raksa kesal.

Bumi hanya diam acuh tak acuh.

"Ck, nanti obatin di apartemen!"

"Hm."

Raksa menggelengkan kepala, ia sudah seperti seorang ibu yang memarahi anak laki-lakinya karena terluka.

"Raksa."

"Apa?!"

Bumi mendelik. "Kok sewot?"

Raksa langsung tersenyum palsu. "Iya, Bumi yang ganteng. Ada apa?" tanya Raksa berucap lembut.

"Sandra kenapa bisa ada di apartemen gue?"

Raksa terdiam, ia langsung memalingkan mukanya karena kikuk.

"Lo yang bawa dia ke sana?" tanya Bumi dengan mata memicing curiga.

"E-enggak! Bukan gue kok." Raksa mengelak tanpa mau menatap Bumi.

Bumi yang sudah tau bahwa Raksa berbohong mengangguk kepala seolah percaya akan jawaban pria itu.

"Oke, besok lo gak usah ke markas."

Dengan cepat Raksa menoleh di sertai mata yang sudah berbinar.

"Gue dikasih cuti? Boleh liburan? Dapet gaji tambahan?"

Bumi langsung memukul punggung Raksa cukup keras.

"Lo dipecat," ucap Bumi santai langsung bersidekap dada. Pandangannya kembali memandang ke jalanan sambil tersenyum miring. Berbeda dengan Raksa yang sudah membuka mulutnya tidak percaya.

"Sudah sampai, Tuan," ucap Sang supir sopan.

Bumi mengangguk dan langsung keluar tanpa memperdulikan Raksa. Dua pengawal sudah berdiri di depan Apartemen begitu Bumi sampai.

"Dia masih di dalam?" tanya Bumi menatap pintu apartemen miliknya.

"Masih, Tuan. Nona sepertinya sedang menyalakan musik dengan volume besar."

"Ya, saya mendengarnya." Bumi mengangguk sembari mulai membuka pintu. Suara di dalam sangat bising, entah apa yang sedang gadis itu lakukan sekarang.

Ceklek

Mata Bumi langsung menajam begitu pandangan matanya jatuh pada seorang gadis yang berdiri di depan televisi.

"Sandra," geram Bumi tertahan.

"Hai om," balas Sandra santai sambil berjoget ria, sebuah microfon tergenggam di tangan kanannya. Gadis itu sedang karaokean. Ia masih belum sadar bahwa yang datang adalah Bumi.

"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Bumi yang sudah menutup dan mengunci pintu apartemen.

"Lagi nyanyilah, Om gak liat apa--EH TUNGGU! APA?! OM?!" Sandra langsung menoleh dengan cepat dengan mata membulat. Ia baru menyadari bahwa pria yang datang adalah Bumi. Sandra berjalan mundur. Ia yakin Bumi akan marah karena dirinya sudah mengacak-acak seluruh isi apartemen.

"O-om kok bisa ada di sini?" tanya Sandra gugup.

Alis Bumi terangkat. "Ini Apartemen milik saya, seharusnya saya yang bertanya. Ada urusan apa kamu datang ke Apartemen saya?"

Sandra menelan salivanya susah payah.

Nah loh, gue harus jawab apa?! batin Sandra berteriak gelisah.

"Dan apa ini? Kenapa kamu mengacak semua ruangan di sini? Dan camilan ...." Bumi tak dapat berkata-kata lagi. Sandra memang benar gadis bar-bar yang sangat menyebalkan. Bumi sangat tidak suka semua hal berbau kotoran dan teracak seperti ini.

"Sandra, apakah kamu sedang memancing saya untuk memarahi kamu?" geram Bumi.

Sandra menggeleng dengan cepat. Mata tajam Bumi langsung membuat Sandra kicep seketika. Oh ayolah, ke mana perginya Sandra beberapa jam yang lalu. Yang berniat membuat Bumi kesal dan marah-marah kepadanya. Mengapa sekarang menjadi ciut seperti ini?

"Cepat bereskan!" suruh Bumi menatap tajam Sandra. Pria itu berjalan menuju kamarnya untuk membersihkan diri.

Setelah kepergian Bumi, Sandra menghela napas lega. Ia melempar bekas snack ke arah pintu kamar Bumi. Mengejek pria itu diam-diam.

Iyalah diam-diam, Sandra mana berani mengejek secara terang-terangan. Yang ada nanti ia digorok lagi sama psikopat itu.

"Males banget gue beresin ini semua, mending gue balik. Gue kan ke sini cuma kepo, tuh si Om juga gak kenapa-kenapa. Gak usah dipeduliin lagi," gumam Sandra tanpa rasa bersalah. Ia mulai berjalan mengendap untuk keluar dari apartemen. Sesekali melirik ke arah kamar Bumi agar tidak ketahuan.

"Anjir, dikunci?!" gumam Sandra pelan dengan kesal. Lagi dan lagi ia menengok ke belakang karena takut ketahuan.

"Sedang apa kamu?"

Bumi bersandar pada pintu kamarnya sembari melipatkan kedua tangannya. Pria itu sama sekali belum mengganti pakaian.

"Sandra mau pulang! Cepet bukain!"

"Setelah kamu mengacak apartemen saya dan kamu malah ingin pulang?" Bumi menatap Sandra intimidasi. Berjalan mendekati Sandra. Sontak Sandra bergerak mundur. Sampai punggungnya menabrak dinding.

"Cepat bereskan atau kamu saya cium sekarang juga!"

Sandra melotot, tanpa pikir panjang ia langsung bergerak kabur dan memungut bekas snack yang tadi ia makan.

Bumi berbalik sembari tersenyum menyeringai. Hanya diancam seperti itu saja gadis itu langsung takut.

Bumi berjalan menuju sofa dan duduk di sana. Menyandarkan tubuhnya sembari memejamkan matanya.

Sandra yang hendak mengambil snack di sofa langsung menatap Bumi ingin mengumpat. Namun ia urungkan karena melihat wajah pria itu yang nampak kelelahan. Ah Sandra lupa bahwa Bumi sedang ada masalah. Seharusnya ia tidak membuat keributan seperti ini.

Ya tapi, masa bodo lah ya.

Dengan hati-hati dan tak mau mengganggu Sandra mengambil snack tersebut dan membuangnya ke tong sampah. Ia mulai membersihkan seluruh ruangan dengan tidak membuat kebisingan.

Beberapa menit selesai, ia duduk di sofa single sembari meneguk air dingin yang tadi ia ambil. Nafasnya terengah karena kelelahan. Sandra mengusap keringatnya yang bercucuran.

"Udah?" tanya Bumi yang masih memejamkan matanya.

"Udah!" balas Sandra sewot.

"Jadi?" tanya Bumi.

"Jadi?" Sandra mengulang perkataan Bumi dengan alis tertaut.

Bumi menghela nafas sebentar, lalu menatap Sandra datar. "Ngapain kamu ke sini?"

Sandra langsung memalingkan muka. "Kenapa? Gak boleh?"

"Orangnya di sini, kenapa kamu malah nengok ke tangga?"

"Suka-suka Sandra dong. Kok Om ngatur sih."

Bumi memutar bola matanya malas. "Terserah kamu saja. Saya pusing," gumam Bumi pelan langsung memejamkan matanya kembali. Semuanya dapat Sandra dengar, gadis itu langsung menatap Bumi lagi.

"Om, itu kenapa diiket ditangan? Bukannya buat dipake dikepala, ya?" tanya Sandra mendekati Bumi dan menyentuh bandul yang diikat ditangan.

"Jangan disentuh!" sela Bumi memberhentikan pergerakan Sandra.

Sandra cemberut dan menurunkan kembali tangannya. Bumi sekarang terlihat menyebalkan. Pria itu juga terlihat sangat sensitif sekali. Seperti bukan seorang psikopat biasa yang terlihat menyeramkan.

Suara dering ponsel milik Bumi berdering. Mengalihkan fokus kedua sejoli.

"Tolong angkat," suruh Bumi pada Sandra. Sebelumnya ia melihat dulu siapa yang menelpon.

Sandra menerima ponsel milik Bumi dan menekan tombol hijau.

"H-halo?" ujar Sandra pelan.

"Sandra? Bumi ke mana?"

"Ada kok, katanya suruh gue yang angkat."

"Ck! Dia ngeyel sih, disuruh diobatin malah gak mau. Jadi kayak gitu kan sekarang."

"Loh, emang dia kenapa?"

Bumi membuka matanya dan langsung menatap Sandra curiga. Yang ditatap hanya acuh tak acuh.

"Lengan dia kena tembak, kepalanya kena pukul. Tapi lo lihat kan sekarang, dia berlagak kayak gak kenapa-kenapa. Sok jagoan sih!"

Sandra harusnya tertawa mendengar kalimat akhir yang Raksa ucapkan. Namun pikirannya malah terfokus pada perkataan Raksa yang mengatakan bahwa Bumi terkena tembakan dan pukulan. Matanya langsung jatuh pada lengan pria itu yang diikat. Jadi?

"Sandra? Kok diem aja?"

"A-ah gak kok. Nanti biar gue aja yang urus, lo tenang oke."

"Sip deh, makasih Bu negara."

"Bu negara?"

"Oh gak mau dibilang Ibu negara? Maunya kakak Ipar?"

"Maksud lo apa sih?"

"Ck, bodo amat. Dah ya calon istri Bumi. Raksa comel mau godain cewek di cafe dulu, bye!!"

tut.

Sandra membuka mulutnya tidak percaya.

Calon istri?

Sangat tidak mungkin!

"Apa yang dia katakan?" tanya Bumi.

"Gak tau, gak denger!" balas Sandra tiba-tiba sewot dan bangkit menuju dapur.

Bumi mengernyit melihat tingkah Sandra yang terlihat sangat aneh. Ia memijat pelipisnya yang kembali terasa pusing.

Tak peduli lagi dengan apa yang sedang gadis bar-bar itu lakukan. Bumi hendak bangkit menuju kamarnya. Ia ingin membersihkan tubuhnya yang sudah terasa sangat lengket.

"Eits, Om mau ke mana?" Sandra datang membawa sebuah kotak P3K.

Bumi berdecak malas. "Saya ingin mandi."

"Gak, nanti aja mandinya. Sekarang duduk!" suruh Sandra.

Bumi menurut dan duduk kembali di sofa.

"Buka baju."

Bumi melotot. "Ngapain?"

"Jangan mesum, Sandra cuma mau obatin luka Om doang."

"Saya tidak terluka Sandra."

Sandra mendengus, ia menekan luka yang berada di lengan Bumi. Dan tanpa sadar Bumi meringis karena yang Sandra tekan adalah bekas tembakan.

"Tuh kan, sok jagoan sih. Diteken aja langsung ringis!" sembur Sandra meledek.

Bumi hanya diam tak mau membalas.

"Ini luka tembak, di dalemnya pasti masih ada peluru. Aduh gimana cara Sandra ngambil itu peluru?" beo Sandra bergumam sendiri. Bibir Bumi berkedut menahan tawa melihat ekspresi Sandra yang terlihat sangat konyol.

"Simpan kembali kotak itu, saya tidak apa-apa."

"Gak sakit apa Om?"

"Tidak, saya kuat. Tidak seperti kamu, lemah."

Sandra mencibir, ia menyimpan kotak P3K di meja. Mengurungkan niatnya untuk mengobati makhluk aneh seperti Bumi.

"Sandra."

"Apa?!"

"Kamu menerima perjodohan ini?"

Sandra terdiam kaku. Kenapa menjadi bahas hal itu lagi sih?

"Mau jawaban jujur atau bohong?"

Bumi langsung menjitak kepala Sandra.

"Cepat jawab!" sentaknya tanpa perasaan. Sandra mendelik kesal.

"Jujur Sandra gak mau, ngapain dijodohin. Sandra juga udah punya masa depan sendiri kok."

"Siapa?"

"Liam."

"Bocah sialan itu?"

"Dih, enak aja! Orang cakep gitu dibilang sialan."

"Saya lebih ganteng."

Iya sih.

"Gak, Liam lebih ganteng!" sanggah Sandra cepat.

Bumi memutar bola matanya malas. "Kamu tidak akan bisa menolak perjodohan ini. Kamu akan terus bersama saya. Saya tidak akan pernah melepaskan kamu." Bumi bangkit sembari menyugar rambutnya.

Sandra menelan salivanya, jantungnya berdegup sangat kencang mendengar perkataan Bumi. Sikap pria itu sangat membingungkan.

"Kamu lapar? mari makan."

Sandra tersadar dari lamunan.

"Om bisa masak?"

"Gak."

"Ya terus makan apa?"

"Kamu yang masak."

"Dih gak mau, mager!"

"Ya sudah makan yang ada saja."

"Apa tuh?"

"Kamu lupa dengan makanan kesukaan saya?" tanya Bumi menatap Sandra menyeringai.

Sandra menelan salivanya susah payah. Tentu ia tidak lupa. Akhir-akhir ini dirinya selalu memikirkan hal itu.

Sandra bergerak mundur sampai berdempet dengan pojokan di sofa. Menatap Bumi dengan ngeri.

Melihat respon Sandra, Bumi berdecak. Ia menarik lengan Sandra untuk bangkit.

"IH LEPAS OM! SANDRA GAK MAU MAKAN DARAH! GAK ENAK TAU!"

"Tau gak enak darimana? Kamu pernah mencoba merasakan darah?"

"PERNAH, PAS BIBIR KE GIGIT TERUS BERDARAH. IH LEPASIN OM, KOK DISERET TERUS SIH?"

"Ck! Saya bercanda! Mana mungkin saya menyukai darah!"

"Terus ngapain nyeret Sandra?! Lepas ih!"

Bumi melepas cekalan Sandra setelah mereka sampai di dapur. Sandra menatap sebal Bumi dan menunduk untuk melihat keadaan tangannya yang ternyata sudah memerah.

"Kamu tau cara mengolah usus?" tanya Bumi.

"Cuma digoreng juga enak!" balas Sandra tanpa mau menoleh. Ia masih kesal kepada Bumi.

"Baiklah, tolong olah Usus yang berada di kulkas. Saya ingin ke balkon sebentar."

Sandra langsung mendongak menatap punggung Bumi yang sudah mulai berlalu.

"Usus apa dulu Om? Usus Sapi Sandra gak suka! Kalo Usus--"

"Manusia? Bagaimana? Kamu suka?"

Sandra melotot syok.
"U-usus m-manusia?"

...

Revisi/150421

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top