Je suis toi et lui

HAPPY READING!
...

Je suis toi et lui = Aku, Kamu dan Dia

"GM, BAWAIN HANDUK! GUE LUPA NGAMBIL!"

Teriakan Raksa menggema di kamar milik GM. Pria itu lagi-lagi diberi hukuman untuk tinggal bersama GM. Pria paling menyebalkan sejagat asrama.

GM, pemilik kamar itu tak menghiraukan teriakan Raksa. Ia asik bermain laptop. Dengan mulut komat-kamit membaca sebuah artikel.

"GM, DENGER GUE TERIAK GAK SIH? DINGIN NIH BANGKE!"

"GM! FROZEN!"

GM berdecak, ia berjalan menuju kamar mandi. Sebelumnya mengambil terlebih dahulu handuk yang menggantung di lemari.

"Tidak ada orang bernama Frozen di kamar ini. Dan gue mohon, jangan berteriak. Kamar ini gak kedap suara. Lo bisa ngebangunin banyak orang. Terlebih lagi--"

"Terlebih lagi, lo banyak bacot. Tinggal kasih gue handuk, dan balik lagi duduk. Apa susah nya sih?! Banyak bacot deh kek emak-emak. Perasaan emak gue di kampung, gak cerewet gini." Raksa berteriak dari dalam kamar mandi menyela ucapan GM.

GM menggeram kesal, dengan perasaan jengkel ia kembali menggantungkan handuk ke tempat semula. Dan ia kembali duduk berhadapan dengan laptop. Kali ini, memakai earphone agar tidak terganggu dengan teriakan Raksa yang sebentar lagi akan berteriak.

"Mana handuknya?!" teriak Raksa dari dalam kamar mandi.

Tak mendapati sahutan apapun dari GM. Raksa membuka pintu dan menyembulkan kepalanya sedikit untuk menengok. Matanya melotot saat melihat GM masih terlihat santai duduk tak merespon dirinya.

Dengan perasaan dongkol, Raksa memberanikan diri keluar dengan sepenuhnya telanjang. Bodo amat, ia tidak peduli. Lihat saja GM, ia akan balas dendam!

Setelah mengambil handuk dengan sedikit berlari terbirit, Raksa dengan cepat melingkarkan handuk di area pinggang. Menutupi aset berharga yang selama ini selalu ia jaga baik-baik.

Untung saja GM tidak melihatnya. Pria itu terlalu asik dengan laptop.

Beberapa menit selesai berpakaian. Raksa mulai menatap GM dengan tatapan menyebalkan. Bibirnya tersenyum menyeringai.

"Rasakan pembalasan dendam gue, Frozen." Raksa bergumam sembari tersenyum sinis.

Ia berjalan menuju beberapa tumpukan buku koleksi GM. Mengambil beberapa buku tersebut dan menjatuhkannya secara tiba-tiba.

"Ups, sorry. Gak sengaja," ucap Raksa tersenyum jenaka. GM yang melihat itu melotot. Melepas earphone dan menghampiri Raksa.

"Jangan diberantakin. Beresin lagi cepetan!" suruhnya kesal dengan raut wajah datar.

Raksa mengerucut, menatap GM memelas. "Sorry, duh perut gue mendadak sakit. Ah, gue mau rebahan!"

Dengan tidak tahu malunya Raksa menjatuhkan tubuhnya dikasur GM. Pria itu berbaring dengan posisi tidak menentu. Bergerak kesana kemari yang membuat GM geram. Pria itu sangat tidak suka jika ada orang yang menyentuh atau mengacak kamar miliknya.

GM ingin marah, tentu saja. Ia ingin mengelak kepada Bumi, sangat ingin. Namun apa daya, peraturan tetaplah peraturan.

Oke, baiklah. Sepertinya Raksa ingin mengajak dirinya bermain.

"Seseorang mengatakan, jika ada dua manusia berjenis kelamin yang sama dalam satu ruangan. Dengan pintu tertutup, dan lampu yang digelapkan." GM tersenyum iblis, berjalan menuju saklar lampu dan mematikannya.

"Apa dua orang manusia tersebut bisa dikatakan sebagai gay?" ucap GM rendah. Sangat datar dan terkesan menyeramkan.

Raksa mematung, wajahnya pucat pasi dalam kegelapan. Ia terkejut saat sebuah lilin menyala, lilin yang dipegang oleh GM. Sehingga ia dapat melihat jelas wajah menyeramkan pria itu.

Raksa langsung menarik selimut, menatap GM dengan horor.

"Lo nyari masalah sama gue?" tanya GM datar, mendekati Raksa dengan lilin yang setia berada di tangannya.

"Lo ngajak gue keliling? Pake bawa lilin segala?"

Bodoh, sungguh bodoh pertanyaanmu itu Raksa! Sedang dalam keadaan seperti ini bisa-bisanya dirinya bercanda.

Oh ayolah, kenapa GM jadi aneh seperti itu.

Ah, GM memang selalu terlihat aneh setiap saat.

"Lo sangat merepotkan. Terlalu berisik, nakal, dan selalu langgar peraturan."

GM menyimpan lilin di nakas. Lalu kembali menjauh untuk mengambil sesuatu di dalam lemari.

Raksa langsung was-was.

"Udah lama gue gak main ini, selama ini gue di kamar sendiri. Elang dan Garesh selalu sibuk, apalagi Badai. Dia jarang banget pulang." GM mengambil sebuah tali panjang yang cukup besar. Ia berbalik dan menatap Raksa datar.

"Karena lo ada di sini sekarang. Mau gabung, main sama gue?" tawar GM menyeringai.

Raksa melotot, ia mulai bergerak mundur hingga membentur kepala ranjang. Wajahnya semakin pucat.

"SAEPUL! TOLONGIN GUE! SAEPUL, LO DENGER GUE KAN?! TOLONGIN GUE WOY! GM LAGI SEKARAT NIH SETAN!"

Raksa berteriak histeris dalam kegelapan. Sial, dimana tempat saklar itu berada?! Kenapa susah sekali menggapainya?!

"Tenang, Raksa. Gak perlu teriak gitu. Jangan terlalu berantusias untuk bermain."

Raksa menelan salivanya susah payah.

Oke, baiklah. Sepertinya ia sudah salah langkah berniat untuk mengerjai GM. Namun yang terjadi sekarang malah dirinya sendiri yang dikerjai pria aneh itu.

Saepul sialan, kemana lagi bocah itu pergi?!

...

"Besok sore kita berangkat ke Itali, ada transaksi baru di sana."

"Berapa lama?"

"Sekitar tiga hari."

Bumi mengangguk. "Lo ikut?"

"Iyalah, tadi gue kan bilang kita. Artinya gue sama lo. Lemot amat sih lo."

Bumi mendengus, tak menghiraukan gerutuan Bima dan malah melempar sebuah bekas pada adiknya.

"Apa ini?"

"Itu berkas bodoh."

"Yeu, setan. Gue juga tau ini berkas. Maksudnya, isi berkas ini apa?" tanya Bima jengkel.

"Punya mata? Baca sendiri!"

Bima mengumpat pelan, dengan gerakan malas mulai membuka berkas tersebut.

"William Dewan Perwakilan Rakyat?"

Pletak.

"Bodoh, sejak kapan lo buta akan tulisan?!" sinis Bumi setelah menjitak kepala Bima.

"Geblek, ini tulisan atau gambar rumput tanaman sih? Rata bener, gak paham gue!"

"Baca lebih teliti, sialan."

Bima mendelik kesal, lalu kembali meneliti tulisan dalam kertas tersebut.

"William Dewangga P-prelion Rayt?" beo Bima dengan dahi mengernyit. "Buset, ini nama manusia atau nama jalan di planet? Panjang amat?"

Bumi berdesis melihat Bima yang selalu tidak serius. Ia kembali merampas kertas tersebut.

"Siapa itu? Calon musuh baru?" tanya Bima mendongak, menatap Sang Kakak.

"Liam, bocah ingusan itu. Lo ingat?" tanya Bumi datar. Bima mengangguk.

"Jadi itu nama lengkap dia?"

"Iya, dia anak dari Seilan. Si keparat yang selalu mencari masalah."

Bima sontak langsung Berdiri. Matanya melotot karena terkejut.

"Seilan, pemilik perusahaan GDL, dia ayahnya Liam?" tanya Bima dan Bumi mengangguk singkat.

"Tunggu dulu." Bima berjalan mengitari Bumi dengan tangan memegang dagu nampak berpikir.

"Liam itu cowok yang disukai sama Sandra bukan?"

Bumi mendengus. "Tidak usah di perjelas, " ucapnya jengkel.

Bima langsung tertawa. "Kenapa? Cemburu lo?"

"Gak, mana mungkin," balas Bumi cuek.

"Alah," ledek Bima menyenggol lengan Bumi berniat menggoda.

"Sialan, jangan mengalihkan pembicaraan."

Bima terkekeh, lalu mengangguk. "Apa rencana lo?"

"Gak ada rencana apapun, gue cuma mau pengawasan Sandra lebih diperketat. Apalagi selama beberapa hari ke depan gue bakal pergi."

Mendengar itu, Bima kembali menyeringai jahil. "Fiks, lo suka sama Sandra!"

Bumi mendelik, tanpa perasaan ia menendang bokong Bima menyuruh pria itu keluar. "Enyah lo dari sini! Dasar manusia gak guna!" sentak geram.

Bima mendengus dan berjalan keluar dari ruangan pribadi Bumi. Sebelum benar-benar menutup pintu. Ia berbalik sebentar menatap Bumi.

"Jangan lupa pulang dulu ke rumah, bokap nyuruh lo pulang. Jangan jadi anak durhaka!" Setelah mengucapkan itu Bima langsung menutup pintu dengan keras.

Bumi berdecih, ia menghempaskan tubuhnya di sofa. Mengambil seekor kucing yang sedari tadi berdiam diri ditempat.

"Apa aku menyukainya?" tanya Bumi pelan sembari mengelus bulu lebat si kucing kesayangan.

...

Menjelang pagi, seorang gadis sudah bersiap dengan seragam sekolahnya. Ia menuruni tangga menuju dapur. Mencium pipi kedua orang tuanya.

"Pagi Bunda, Ayah," sapa Sandra tersenyum lebar.

"Pagi, sayang." Keduanya membalas dengan serempak.

"Kapan Ayah pulang? Bukanya kemarin Ayah ke luar negeri ya?" tanya Sandra sembari duduk di kursi dan mengambil roti.

"Dibatalkan, cuaca sedang buruk."

Sandra mengangguk paham. Ia kembali fokus memakan roti juga susu coklat.

"Sandra," panggil Hazzel lembut.

"Iya?" balas Sandra menoleh.

"Bagaimana? Apa kamu sudah menyetujui perjodohan itu? Cepat beri kepastian, Ayah tidak ingin menggantung hubungan lebih lama seperti ini." Setelah selesai berbicara Hazzel mengangguk sekilas, sembari tersenyum menenangkan saat istrinya memegang pundaknya memberi kode untuk tidak membahas hal itu sekarang.

Sandra sendiri kembali terdiam, kunyahan nya terhenti. Ia bingung, tak tau harus merespon seperti apa.

Menolak? Sebenarnya Sandra sangat ingin, namun mengingat hubungan kedua keluarga yang sudah sangat erat ini membuat Sandra enggan menolak. Apalagi kedekatan Sandra dengan Bumi bisa dikatakan mulai terekat.

Sandra tidak mau melukai siapapun. Di satu sisi juga ia memikirkan Liam. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia sangat mencintai pria itu. Walau secara diam-diam.

"Ayah tau, kamu belum menyukai Bumi. Dan Ayah tau kamu menyukai pria bernama Liam."

Sandra menelan salivanya, ia menatap Hazzel dengan tatapan gugup.

"Gimana Ayah bisa tau?"

Hazzel terkekeh, menyesap kopi sebentar. "Tidak ada hal yang ayah tidak tau tentang kamu."

Sandra mematung, tak tau harus merespon seperti apa lagi.

"Ikuti saja kata hati kamu, sayang."

Sandra menoleh, menatap Jingga Sang Bunda yang juga sedang menatap ke arahnya sembari tersenyum hangat.

"Pilih siapa yang selalu membuat kamu merasa paling nyaman jika bersamanya. Pilih dia yang selalu ada di samping kamu dalam situasi apapun. Semua harus dipikir secara matang, jangan ambil keputusan bergitu saja."

Sandra menggigit bibir bawahnya. "Sandra pikir-pikir dulu, ya? Nanti Sandra putusin kalo udah nemu jawaban."

Hazzel mengangguk, lalu berkata, "oke, Ayah akan menunggu. Ayah harap, kamu memilih pilihan yang benar."

Sandra terdiam, apa maksud dari perkataan ayahnya ini? Oh ayolah, Sandra pusing sekarang.

"Sudah selesai sarapan?" tanya Hazzel membuyarkan lamunan Sandra. Gadis itu menoleh dan mengangguk.

"Berangkat naik apa? Mau bareng sama Ayah?"

"Gak per--"

"Tidak usah, gadis nakal ini akan bersama saya."

Ketiga manusia yang sedang duduk di meja makan itu lantas menoleh ke arah sumber suara. Di mana berdiri sosok pria bertubuh tegap menggunakan jas formal. Ah, sungguh sangat tampan.

"Bumi? Kemari, nak." Jingga bangkit, menyambut Bumi dengan senyum hangat.

Bumi tersenyum tipis, mencium punggung tangan Jingga sopan.

Sungguh, Bumi adalah seorang psikopat yang paling langka.

"Gadis nakal? Kamu memberi panggilan anakku seperti itu?" tanya Hazzel datar sembari menaikkan satu alisnya.

Bumi terkekeh, ia duduk di bangku yang langsung berhadapan dengan Sandra. Pandangannya tak pernah putus dari bola mata bermata coklat gadis itu.

"Dia sangat nakal jika ingin, Om tau."

Hazzel menggeleng pelan, ia tidak melanjutkan lagi pembicaraan dan fokus kembali sarapan.

"Kamu sudah sarapan, nak?" tanya Jingga.

"Bumi tidak suka sarapan, tante." Lagi dan lagi Bumi membalas jawaban seseorang tanpa menoleh. Pandangnya terlalu fokus menatap sosok gadis yang nampak tak peduli dengan keberadaannya.

"Yang nanya Bunda, bukan gue. Jadi, stop liatin gue terus." Sandra mulai mendongak, menatap Bumi tajam.

Bukannya memalingkan muka, Bumi malah tersenyum tipis. Pria itu membasahkan bibirnya yang terasa kering.

Damn, dia terlihat sangat seksi! umpat Sandra dalam hati.

"Mari, kita berangkat sekarang. Saya tidak mau kamu terlambat." Bumi bangkit, menatap Sandra lembut.

Sandra menggeleng. "Sandra mau bawa mobil sendiri."

"Sandra," tegur Jingga menggelengkan kepala.

Sandra menghela napasnya, ia menatap Bumi jengah. "Yaudah, ayo." Sandra segera bangkit dan mencium punggung tangan kedua dan pipi orang tuanya. Setelah itu pergi meninggalkan Bumi.

"Bumi berangkat dulu, Om, Tante." Bumi ikut melakukan apa yang Sandra lakukan. Namun tidak sampai mencium pipi juga.

"Hati-hati."

Sandra sudah anteng menunggu di dalam mobil milik Bumi. Wajahnya tetap tak berekspresi sama sekali pada saat Bumi masuk ke dalam mobil. Gadis itu sibuk bermain ponsel.

"Gadis nakal," panggil Bumi pelan.

Sandra tak menyaut sama sekali. Yang pria itu panggil adalah gadis nakal. Dan tentu itu bukan dirinya.

"Ck, Sandra," panggil Bumi lembut menatap sepenuhnya ke arah Sandra.

"Apa sih? Jalan aja. Keburu telat nih," balas Sandra jutek tanpa menoleh.

Bumi mendengus kesal, ia mulai berbalik kembali menatap ke depan. Menyalakan mesin dan menjalankan dengan kecepatan sedang.

"Kenapa jemput Sandra?"

"Kenapa? Tidak boleh?"

"Kalo orang nanya, dijawab. Bukan balik nanya."

"Saya hanya ingin."

"Gabut banget."

"Gak papa, hanya untuk kamu saja."

Ekhem, oke tenang jantung.

"Nanti pulang, saya akan menjemput kamu. Tidak ada bantahan sama sekali."

Sandra langsung mendelik. "Gak bisa, Sandra mau pergi sama Liam."

Bumi berdesis. "Dengan bocah ingusan itu? Kemana?"

"Jangan kepo."

"Katakan, Sandra. Kalian akan kemana?"

"Bukan urusan, Om."

Bumi menggeram kesal. Tangannya mengepal kuat. Tak mau meluapkan emosi di depan gadis itu. Akhirnya ia diam dengan amarah yang sudah membludak.

Tak mendapat respon apapun dari Bumi Sandra nampak acuh tak acuh. Gadis itu kembali bermain ponsel.

Bicara tentang Liam, Sandra memang sudah membuat janji dengan pria itu. Nanti sehabis pulang sekolah mereka akan pergi bersama.

Beberapa menit berlalu dengan keadaan hening. Mobil Bumi berhenti tepat di depan gerbang. Saat Sandra hendak turun, Bumi mencekal pergelangan tangan gadis itu.

"Apa?"

"Tidak ada acara main, pulang sekolah saya akan langsung jemput.

"Gak bisa, Sandra udah ada jadwal sendiri. Jangan atur Sandra."

"Hanya untuk kali ini saja, saya berjanji tidak akan memaksa kamu lagi."

"Gak, hari ini tuh kesempatan buat Sandra makin deket sama Liam. Om jangan ganggu!"

Sandra keluar dari mobil Bumi, dan menutup pintu mobil tersebut dengan kencang. Bumi membenturkan kepalanya menuju stir mobil.

"Sial!" umpat pria itu geram mencoba menahan amarah.

...

Revisi/150421

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top