Je suis malade
HAPPY READING!
...
Je suis malade = Aku sakit
Suasana masih hening, tak ada yang membuka suara. Raksa berdiri di depan jendela, menatap kosong jalanan di bawah sana. Sedangkan Bima duduk di samping Bumi. Tatapan mereka sama-sama kosong.
"Kapan?" tanya Bima datar, memecah keheningan.
Bumi menyandarkan tubuhnya di kursi. Memejamkan matanya sebentar, lalu menatap wajah Bima cukup lama. Bima yang merasa diperhatikan lantas menoleh, alisnya terangkat.
"Gue tanya sekali lagi, kapan lo ngelakuin itu?" ujar Bima mengulang pertanyaan.
"Waktu kita ke Itali," balas Bumi pelan. Wajahnya menunduk lemas. Mengambil ponsel dan menatap nanar sebuah foto kebersamaannya dengan Sandra.
Bumi tak ingin semuanya terjadi. Ia tak menyangka kebersamaannya dengan Sandra akan berakhir sampai di sini. Bumi, Bumi sangat tidak rela. Rasanya baru saja kemarin mereka bersama, mereka dekat dan saling menjaga.
Maafkan saya Sandra, saya akan menyelesaikan semuanya dengan cepat. Batin Bumi berbisik lirih.
Bima terdiam, memandang iba Bumi yang menunduk dengan pandangan fokus menatap layar ponsel yang menampilkan kebersamaan pria itu dengan Sandra. Bima berpikir, jika Bumi melakukannya saat di Itali. Otomatis Bima juga ada bersama Bumi saat itu. Namun ia merasa mereka tidak pergi kemana-mana selain menemui klien.
Bima terus mencoba berpikir keras. Hingga tak lama otaknya berputar dan jatuh pada satu kejadian.
Apa Bumi pergi bertemu dengan Brianna tepat saat Bima pergi keluar waktu itu? Benarkah? Jadi semua ini tidak ada rekayasa? Semua benar-benar terjadi? pikir Bima tidak percaya.
"Sekarang apa yang akan lo lakuin?" tanya Bima pelan.
Bumi lantas menoleh dan menatap adiknya datar. "Terpaksa, gue harus nikahin Brianna."
Bima sontak berdecih. "Dan ninggalin Sandra gitu aja?" tanya Bima kecewa.
"Mau gimana lagi? Itu beneran anak gue, Bim," ujar Bumi pelan. Tatapannya masih kosong. Terlihat sekali banyak yang sedang Bumi pikirkan.
Selang beberapa menit, suster yang berada di dalam ruangan keluar.
"Mohon maaf, apa ada pria bernama Bumi di sini?" tanya suster tersebut.
Bumi sontak mendongak dengan alis terangkat. "Ada apa?"
"Pasien menyuruh saya untuk memanggil anda masuk." Suster tersebut tersenyum. "Istri anda sepertinya sedang membutuhkan anda sekarang, pak."
Bumi berdesis, sembari bangkit ia berkata. "Saya bukan suaminya," ujar Bumi sinis sembari berlalu, menimbulkan gurat kebingungan dari suster tadi. Tak mau berpikir macam-macam, perawat itupun segera pergi dari sana.
Bima kembali duduk dengan mulut terus berdecak.
"Gimana ini?" tanya Raksa duduk di samping Bima.
"Gue gak tau, semua diluar dugaan." Bima mengusap wajahnya kasar. Lalu ia duduk menyamping, sepenuhnya menghadap Raksa. Menatap pria itu dengan serius.
"Lo ngerasa ini semua ada kejanggalan gak sih?" bisik Bima pelan. Sontak Raksa menoleh dengan raut bingung.
"Kejanggalan gimana maksud lo?"
"Gue rasa sikap Bumi beda, dia bukan Bumi yang selama ini suka memberontak, suka membuat keputusan dengan cepat. Bumi yang sekarang keliatan banyak pikiran dan kayak ada beban di dalam dirinya. Dia kayak pasrah gitu."
Pletak.
"Goblok, ya namanya juga ngehamilin orang! Pasti panik sama stres lah, gila lo anak setan!" sembur Raksa sewot. Bima ikut menjitak kepala Raksa untuk membalas dendam.
"Heh air Raksa, lo kenal deket gimana Bumi. Bumi gak gampang percaya gitu aja! Dia pasti nyelidikin dulu, dia pasti nyari bukti kuat kalo itu beneran anak kandungnya. Tapi dia yang sekarang beda, dia kayak pasrah. Bumi gak mungkin kayak gitu. Apalagi ini Brianna, cewek ular sejuta drama."
Raksa langsung terdiam. Mencerna perkataan Bima.
Ceklek.
Pintu ruangan terbuka, Bumi keluar dengan raut wajahnya yang masih sama. Sangat datar dan kosong.
"Lo berdua balik ke Jakarta duluan. Gue mau urusin dia dulu," ujarnya datar.
Sontak Bima dan Raksa saling menoleh. "Lo yakin bisa ngatasin ini sendiri?" tanya Bima ragu.
Bumi mengangguk yakin. "Lo tenang aja, gue bakal jagain Brianna sebaik mungkin."
"Tolol, bukan itu maksud gue!" balas Bima cepat dengan sinis. "Maksud gue, lo bisa selidikin ini semua sendirian? Lo yakin dia hamil anak lo? Darah daging lo sendiri?"
Bumi menatap nyalang Bima. "Jangan bahas itu lagi, sialan. Jangan buat gue semakin ngerasa bersalah sama Sandra. Stop, lo berdua balik! Biarin gue sama Brianna di sini."
Bima menghembuskan napasnya kasar. Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Bumi yang mudah percaya begitu saja.
"Terserah lo aja deh, Bum. Gue sama Raksa balik." Bima berlalu pergi, sedangkan Raksa masih berdiri menatap Bumi serius.
"Apa?" tanya Bumi jengah.
Raksa terkekeh pelan. "Gak mau nitip sesuatu buat Sandra?" tanya Raksa tanpa berani menatap Bumi.
Hening.
Bumi tak menjawab, ikut memalingkan muka. Raksa terkekeh saat tak mendapat sahutan dari Bumi. Ia lalu memberanikan diri menatap Bumi. Menepuk bahu Bumi dan berlalu. Sebelumnya ia berbisik.
"Bima benar, lo bukan sosok Bumi yang sebenarnya."
Bumi langsung memejamkan matanya dengan tangan terkepal. "Sial," gumamnya memukul dinding dan jatuh merosot sembari meremas rambutnya.
....
Sandra memandang kosong sebuah foto kebersamaannya dengan Bumi beberapa minggu lalu. Kala itu mereka terlihat sangat bahagia dan saling melempar tawa.
Sebenarnya, Sandra belum percaya sepenuhnya dengan kejadian kemarin. Ada sesuatu dari dirinya yang berkata bahwa itu semua tidak benar. Namun, semua pemikiran itu nyatanya salah. Bumi tidak menghubungi Sandra, tidak memberi kabar dan tidak sama sekali ada untuk menjelaskan. Membuktikan dengan jelas bahwa pria itu tidak memberontak, tidak mengelak dan menerimanya begitu saja.
Sandra terkekeh miris. Rupanya memang benar. Pria itu melakukannya. Pria itu mengecewakannya. Pria itu telah mengubah segalanya.
Sakit? Jangan ditanya. Sandra sudah sepenuhnya menaruh hati pada Bumi. Ia sudah mempercayakan semuanya pada pria itu. Namun apa daya? Sandra tidak menyangka Bumi bisa berlaku bejat dan mengecewakannya seperti ini.
Foto yang tadi gadis itu pegang telah ia remas dan dilempar begitu saja. Menurutnya semua ini tidak ada gunanya lagi. Sandra sudah kecewa, Sandra sangat terluka dan Sandra merasakan sakit yang luar biasa.
Sandra mengusap pipinya yang berderai air mata. Lalu bangkit dari ranjang dan berniat turun ke lantai bawah untuk menemui kedua sahabatnya yang masih di sana.
Saat kakinya hendak menuruni tangga, langkah Sandra terhenti begitu mendengar percakapan serius antara Hanson dan Jovan yang sepertinya baru saja datang.
"Raksa sama Bima lagi perjalanan pulang," ujar Jovan pelan. Hanson menoleh dengan alis tertaut.
"Bumi?" tanya Hanson.
Jovan menggeleng dengan kepala menunduk. "Dia melakukannya, dia benar-benar melakukannya."
Tak hanya Hanson dan Cakra, Sandra yang mengintip di balik tangga langsung menutup mulutnya karena terkejut. Air mata yang sudah mengering kembali turun tanpa bisa ia cegah.
Jadi ini semua nyata?
"Gak mungkin," ujar Hanson menggeleng tidak percaya.
"Raksa bilang, Bumi lebih mutusin buat tetep di sana untuk sementara. Brianna masuk rumah sakit karena pendarahan." Jovan kembali memberitahu dengan suara yang parau. Nampak begitu jelas bahwa ia juga dalam mode kecewa dan tak menyangka.
Prang.
Ketiga pria itu sontak terkejut mendengar suara barang jatuh dari lantai atas.
"Sandra?" teriak Cakra terkejut, pria itu langsung menaiki tangga dan mendekati Sandra yang sudah terduduk lemas. Ada vas bunga yang sudah pecah di sampingnya. Menandakan suara tadi berasal dari jatuhnya vas tersebut.
Cakra memegang kedua bahu Sandra. Menatap gadis itu dengan khawatir. Hanson dan Jovan ikut menghampiri dan berdiri di belakang Cakra.
"Lo gak papa?" tanya Cakra khawatir.
Sandra menggeleng sembari terisak. "Gue hiks ... gue gak papa ...." Sandra memukul dadanya yang terasa sesak. "Tapi di sini ... di sini rasanya sakit banget. Hiks ... s-sakit Cakra ... sakit banget." Sandra terus memukul dadanya sembari terisak hebat.
"Kenapa? K-kenapa Bumi tega? Hiks ... i-ini bohong kan? S-sakit Cakra ... hiks s-sakit ...." Sandra terus memukul dadanya semakin keras. Rasanya semakin sesak.
Cakra langsung menahan lengan Sandra. "Hey ... liat gue." Cakra mengangkat dagu Sandra untuk melihat ke arahnya. Namun Sandra tidak mau, gadis itu menepis tangan Cakra dan memeluk lututnya masih dengan terisak hebat.
"S-sakit," lirih Sandra yang sudah melemah saat Cakra menariknya ke dalam pelukan. Hanson dan Jovan sama-sama memalingkan muka. Tidak kuasa melihat Sandra yang begitu terpuruk dan berada di titik terlemah seperti ini.
Cakra membawa kedua tangan Sandra untuk melingkar di lehernya. Lalu tubuh gadis itu ia angkat dan membawanya ke kamar.
"Ambil minum," suruh Cakra yang langsung dilakukan oleh Hanson. Sedangkan Jovan menyingkirkan pecahan vas bunga agar tidak melukai orang lain.
"Sstt ... tenang ...." Cakra berbisik lembut menenangkan Sandra yang masih terisak. Pria itu membaringkan Sandra di kasur.
"Sstt ...." Cakra kembali menenangkan Sandra dengan mengelus kening gadis itu lembut. Sesekali mencium puncak kepalanya.
"Minun dulu," ucap Hanson datang membawa satu gelas air dan duduk di samping Sandra. Gadis itu bangun dan meminumnya sedikit. Lalu kembali berbaring menghadap Cakra.
Sandra mulai sedikit tenang, walau masih sesenggukan. Matanya perlahan terpejam. Menikmati elusan kepala yang dilakukan oleh Cakra.
Ketiga pria di sana terdiam, menatap Sandra penuh kasihan. Ikut merasakan sakit dan kecewa yang luar biasa.
"Sakit gak sih."
Ketiga pria yang sedari tadi melamun menoleh. Sandra ternyata masih terjaga walau dengan mata terpejam.
"San," ujar Hanson memegang bahu Sandra.
"Lo udah sepenuhnya percaya sama dia, lo udah naruh hati lo seutuhnya buat dia. Tapi balasan dia buat lo adalah sebuah rasa kecewa, dia ternyata gak sebaik apa yang lo kira. Dia brengsek, dia terlalu bajingan. Dia--"
"Ssttt, hey." Cakra menyela, memberhentikan ocehan Sandra. "Udah ya? Tenangin diri lo Ja--"
"GIMANA GUE BISA TENANG, CAK?!" bentak Sandra tiba-tiba langsung bangun.
"DIA HAMILIN CEWEK LAIN! DIA BEJAT! DIA BRENGSEK! GIMANA GUE BISA TENANG?!" teriak Sandra nyaring. Cakra memejamkan matanya tidak kuat, Hanson sudah memalingkan muka dan Jovan pergi menuju balkon. Semakin tidak tega rasanya melihat Sandra seperti ini.
"Gimana gue bisa tenang, disaat orang yang gue cinta, orang yang gue percaya malah melakukan hal yang gak pernah gue duga. Sakit, Cak. G-gue--"
"Ada apa ini?"
Deg.
Hazzel, ayah dari Sandra datang. Semakin menambah ketegangan di dalam kamar itu.
"Kalian apakan anak saya?! " sentak Hazzel marah.
"Sayang, kamu kenapa nak?" Jingga, sang ibu bergerak mendekati Sandra. Cakra dan Hanson mundur untuk memberi ruang.
"Cakra, jelaskan. Kenapa Sandra menangis?" tanya Hazzel dingin.
Cakra menelan salivanya susah payah. Sesekali melirik Hanson meminta bantuan.
"A-anu Om, Sandra tadi lagi pengen se--"
"Sandra menangis karena Bumi. Pria itu--"
"JOVAN!" bentak Cakra dan Hanson berbarengan. Menatap tajam pria itu yang sangat lancang berbicara.
Hazzel yang merasa ada kejanggalan menghela nafasnya.
"Kalian bertiga ikut ke ruangan saya," perintahnya tegas sambil berlalu.
Cakra dan Hanson sempat melirik ke arah Sandra yang sudah mulai tenang. Lalu mereka berdua melangkah keluar, sembari menatap Jovan yang masih berdiri kaku di tempat.
"Kak Jovan," panggil Sandra pelan. Jovan menoleh.
"Jangan kasih tau ayah," gumamnya pelan. Membuat Jingga yang sedari tadi berada di sana semakin dibuat bingung.
"Tapi--"
"Sandra mohon, jangan sampai ayah Sandra tahu."
Jovan menghembuskan nafas kasar. "Gue gak bisa pastiin," ujarnya dan berlalu menyusul Cakra dan Hanson.
"Sayang, liat Bunda." Jingga menangkup kedua pipi anaknya yang sudah basah oleh air mata.
"Tolong jujur sama Bunda. Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu menangis? Siapa yang sudah membuat kamu menangis seperti ini?"
Sandra tersenyum lemah, lalu menggeleng pelan. "Sandra gak papa, Bunda. Bunda jangan khawatir."
"Jadi kamu gak mau cerita sama Bunda?" Jingga menatap anaknya sedih.
Sandra menggeleng, memeluk Jingga dengan erat. "Sandra bakal cerita, tapi gak sekarang. Gak papa, kan, Bunda?"
Jingga mengelus rambut Sandra lembut. "Apapun yang terjadi, Bunda selalu ada di sini. Bunda selalu siap mendengar segala keluh kesah kamu. Bunda tau kamu gadis hebat, kamu gadis yang sangat kuat. Menangislah untuk sekarang, namun tersenyum kembali saat sudah merasa tenang."
Jingga mengecup kening putrinya lama.
"Bunda tidak akan marah jika kamu tidak mau bercerita sekarang. Bunda sangat mengerti."
"Terkadang, memang ada suatu hal yang gak bisa dijelaskan dengan lisan. Biarkan segala isi hati dan lara kita yang memahaminya sendirian." Jingga mengusap pipi Sandra pelan. "Menangislah untuk sekarang, dan tersenyumlah di masa mendatang. Lepaskan semuanya hari ini, dan lupakan semuanya esok nanti. Biarkan semuanya berlalu, karena Bunda tau kamu mampu."
Sandra lantas kembali terisak dan memeluk ibunya dengan erat. Menumpahkan segala isi hatinya lewat tangisan yang memilukan.
...
Revisi/150421
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top