Inattendu
HAPPY READING!
.
.
Inattendu = Tak terduga
Kedua sejoli asik berpelukan di balkon Apartemen. Sama-sama terdiam menikmati kehangatan dan kenyamanan yang saling menenangkan.
"Om gak kerja?" tanya Sandra di dalam dekapan Bumi. Pria itu hanya menggeleng, tangannya sibuk mengelus rambut Sandra. Menikmati kebersamaan mereka yang akhir-akhir ini terasa semakin dekat.
"Hari ini Raksa yang handle, tidak ada acara penting. Hanya menandatangani berkas saja."
Sandra mengangguk, lalu kepalanya mendongak untuk menatap wajah Bumi dari bawah.
"Om."
"Ya?" Bumi menunduk, mengecup ujung hidung Sandra.
"Ceritain dong, gimana awal Om suka sama Sandra."
Bumi mengernyit. "Harus diceritakan?"
Sandra mengangguk cepat.
"Saya tidak mau."
"Ish, harus diceritain. Sandra kepo tau, gak nyangka aja Sandra disukain psikopat kayak Om," sindirnya sembari mengedipkan mata.
Bumi hanya mendengus dan menggigit pipi Sandra gemas.
"Sakit Om," kesal Sandra mendorong wajah Bumi dan mengusap kasar pipinya yang sedikit basah. Bumi tertawa dan semakin mengeratkan pelukan.
"Kamu menyebalkan, sangat bar-bar, nakal, dan pembangkang. Itu yang membuat saya tertarik."
"Kok buruk semua sih?! Gak ada bagus-bagusnya." Sandra mendongak menatap Bumi tidak terima. Enak saja, padahal Sandra memiliki banyak kelebihan dan sesuatu yang menarik perhatian. Tapi kenapa jawaban dari Bumi semuanya adalah bagian dari sisi buruk Sandra?
Bumi terkekeh pelan, mengacak rambut gadisnya gemas. "Kamu memang tidak ada bagus-bagusnya kok." Pria itu dengan sengaja menggoda Sandra. Senang rasanya melihat wajah kesal gadisnya ini.
"Beneran?!" tanya Sandra cepat.
"Iya, semenjak pertemuan pertama di rumah kamu waktu itu saya sudah menduga bahwa kamu adalah sosok gadis nakal dan bar-bar." Bumi mengangkat Sandra ke dalam pangkuan, menahan pinggang gadisnya dengan satu tangan, dan satu lagi ia gunakan untuk menangkup pipi Sandra. "Dan ternyata benar, gadis ini sangat bar-bar dan selalu membuat saya kesal." Terakhir, Bumi langsung mengecup pipi Sandra gemas.
Sandra tersenyum geli, melingkarkan tangannya di leher Bumi. "Om udah bucin banget kayaknya."
Bumi langsung memundurkan wajahnya, menatap Sandra dengan kening mengerut. "Kenapa? Tidak boleh?"
"Boleh, kalo bucinnya sama Sandra doang."
"Tentu saja hanya dengan kamu. Memang dengan siapa lagi?"
"Ya ... siapa tau ada cewek lain?"
Tuk.
"Jangan sembarangan!" cetus Bumi setelah menyentil kening Sandra. Sandra mendengus, mengeratkan pelukan dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Bumi.
Bumi berdesis, mencoba menahan segala godaan Syaiton yang berbisik di telinganya.
"Turun dari pangkuan saya sekarang, atau saya terkam kamu detik ini juga?"
Sial, sontak Sandra langsung turun dan menjauh. Melototi Bumi dengan kedua tangan tersilang di depan dada. Dasar pria mesum.
"Cabul ya, Om!" teriak Sandra kesal. Bumi hanya memutar bola matanya malas. Lalu bangkit berdiri.
"Saya mau kembali bekerja saja, kamu pergilah tidur. Anak kecil besok harus sekolah."
"Sandra bukan anak kecil."
"Kamu anak kecil."
"Terus lo Om-om! Iya, dasar pedofil!" balas Sandra sewot. Matanya terus memperhatikan punggung Bumi yang mulai menjauh.
"Kamu jalang kecil," balas Bumi tak mau kalah.
Sandra reflek melotot. "What?!" teriaknya tidak terima. Gadis itu berlari menghampiri Bumi dan langsung melompat pada punggung Bumi dan menjambak rambut pria itu cukup kencang.
"Lo bilang apa hah?! Jalang?!"
Shit, Bumi mengumpat di dalam hati.
"Lepas, Sandra."
"Gak usah manggil nama. Kenapa gak panggil Jalang aja sekalian," teriak Sandra lagi semakin mengencangkan jambakan.
"Saya minta maaf."
"Sandra, ini sakit." Bumi semakin meringis merasakan jambakan Sandra semakin menguat.
Sandra mendengus dan melepaskan jambakan. Gadis itu terduduk di sofa dengan tangan bersidekap dada. Bumi langsung duduk di samping Sandra. Baru saja hendak ingin meminta maaf, Bumi terkejut ketika Sandra tiba-tiba kembali menerjang.
"Rasain nih gigitan maut dari jalang kecil yang Om bilang," kesal Sandra langsung menggigit ujung hidung Bumi kencang, lalu berpindah pada pipi. Menggigitnya dengan kuat sampai Sandra menduga akan ada bekas giginya di pipi pria ini nanti.
Bumi kembali meringis. Kenapa tenaga gadis ini kuat sekali?
"Shit, lepas."
Bukannya melepas, Sandra malah semakin menguatkan gigitan yang membuat Bumi menggeram kesal.
Dengan sekuat tenaga Bumi menjauhkan wajah Sandra, gadis itu akhirnya melepaskan gigitan. Pipi Bumi sudah memerah sekarang. Sandra tersenyum lebar, merasa puas.
"Enak?" sinis Sandra menjulurkan lidah dan langsung turun dari pangkuan Bumi.
Bumi segera menahan Sandra, melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu dan tersenyum manis.
"Giliran saya untuk memberi hukuman."
Cup.
Bumi mengecup bibir Sandra. Mengetahui hukuman yang pria itu maksud Sandra langsung mendengus dan menjauhkan wajahnya.
Belum sampai disitu. Bumi melanjutkan kegiatannya. Menarik tengkuk Sandra dan mulai mencium bibir gadis itu lama. Awalnya Sandra memberontak, namun lama kelamaan ia menikmatinya juga. Mata mereka saling terpejam. Dan ...
Brak.
"SIALAN, KONTEN DEWASA APALAGI INI?!"
Baik, Raksa yang terhormat telah datang sebagai penyelamat untuk mencegah terjadinya pembuatan Bumi junior.
"Sial, udah liat bokep secara langsung, terus gue diusir, kenapa sekarang harus dipertemukan dengan bocah ini lagi?!" ujar Raksa frustasi. Sosok yang ia bicarakan hanya nyengir sembari melambai-lambai.
"Kayaknya kita jodoh deh, Oppa." Audy, iya gadis itulah yang dimaksud oleh Raksa.
Entah angin darimana mereka dipertemukan. Raksa yang baru saja diusir dari Apartemen Bumi berencana untuk pergi ke taman, tujuannya untuk mencuci mata. Mencari yang bening-bening. Namun, siapa sangka yang ia temui malah tuyul mini menyerupai bidadari. Ya baiklah, raksa tak munafik untuk mengatakan bahwa Audy sekarang nampak lebih cantik.
"Oppa, jalan berdua yuk!"
Tapi tetap saja menyebalkan!
Raksa tak menghiraukan Audy, dan lanjut berjalan.
"Oppa ih, ayok! Kita jalan-jalan berdua!" Audy berlari mengejar Raksa dan langsung mengapit lengan pria itu.
"Pengawal yang biasa ngikutin lo pada ke mana?" tanya Raksa.
"Audy suruh pulang! Audy mau sendirian, gak mau dikawal-kawal kayak gitu lagi. Audy udah gede, gak perlu di awasin. Emang dasarnya aja, Papi Audy itu terlalu posessive, ini-itu harus diawasin, padahalkan--"
"Padahalkan lo gak perlu jelasin se-detail itu. Gue cuma nanya pengawal lo ke mana, gak perlu jawab sampai tektek bengeknya juga." Raksa memutar bola matanya malas, mencoba menepis tangan gadis itu namun tetap tidak bisa. Akhirnya ia pasrah dan diam saja.
"Hehe ... maaf. Audy kalo ada yang nanya suka jawab kemana-mana, ya?" Audy terkikik pelan. "Soalnya seneng aja gitu kalo ada yang nanya dan perhatian."
"Aneh, perhatian darimana coba? Gue cuma nanya doang!" sewot Raksa malas. Ia berhenti di kedai es krim.
"Pak, es krim coklat satu." pesan Raksa pada penjual yang langsung dibalas acungan jempol.
Audy langsung tersipu. "Oppa tau aja, Audy lagi pengen makan es krim."
Raksa langsung menoleh, menaikkan satu alisnya. "Kalo mau, ya beli."
"Lah? Itu Oppa kan udah beliin."
Raksa langsung mendelik. "Yeu ... Markonah! Itu es krim buat gue, enak aja! Lo kalo mau, ya beli sendiri, anak Sultan yakali gak bisa beli es krim."
Audy langsung melotot, bibirnya terbuka lebar. Tak menyangka dengan jawaban Raksa yang kelewat jujur. Kecewa? Tentu saja. Ah salahnya sendiri juga yang terlalu kepedean.
Gadis itu langsung cemberut dan melepaskan tangannya yang merangkul lengan Raksa. Lalu berbalik meninggalkan Raksa untuk duduk di kursi kosong dengan kaki yang dihentakkan.
Raksa yang melihat itu langsung menahan tawanya. Bisa menggemaskan juga rupanya?
"Mang, satu lagi deh bikinin. Kasian tuh, takut nangis." Raksa berujar sembari menunjuk Audy yang sudah duduk di kursi dengan wajah muram. Penjual es krim tersebut terkekeh dan mengangguk.
Tak lama, Raksa memegang dua es krim ditangannya. Pria itu mendekati Audy yang sedang memeluk lutut dengan bibir mengerucut.
"Nih, jangan kayak gembel deh. Gak dikasih es krim aja ngambek lo, lebay."
Audy langsung tersenyum lebar, tak mendengarkan ucapan Raksa dan menerima es krim yang pria itu kasih.
"Ini kedua kalianya Audy makan es krim tau." Audy tersenyum senang. Mulai menjilat es krim dengan penuh binar.
Raksa duduk di samping gadis itu, menatapnya dengan alis terangkat.
"Keliatan banget bohongnya."
"Serius, Papi sama Mami larang Audy makan es krim. Gak tau kenapa, untungnya sekarang Audy bisa makan lagi."
"Pertama kalinya lo sama siapa?"
"Sendiri, itu juga diem-diem. Setelahnya Audy masuk rumah sakit, dan ya ketauan Papi sama Mami kalo Audy makan es krim."
Raksa langsung menoleh, rasa ingin taunya semakin meningkat. "Rumah sakit?"
"Iya, katanya Audy gak boleh makan es krim. Nanti kulit Audy bakal merah-merah terus sesak napas," balas Audy dengan polos. Namun tetap anteng memakan es krim.
Raksa langsung melotot. " Terus kenapa sekarang lo makan, sialan?!" sentak Raksa panik. Dengan cepat ia merebut es krim Audy dan membuangnya.
Audy terkejut, menatap nanar es krim yang sudah jatuh. Matanya berkaca-kaca. "Es krim Audy ...."
Raksa menyimpan es krim miliknya, lalu memegang kedua bahu Audy untuk menatap ke arahnya.
"Sial, wajah lo udah mulai merah!" geram Raksa panik. Audy langsung meraba wajahnya memeriksa.
"P-panas ...." ringisnya pelan. Matanya semakin berkaca-kaca. Nafasnya mulai tersendat.
"Ck, bodoh sih lo!" umpat Raksa langsung menggendong Audy dan membawanya ke rumah sakit.
Mati sudah jika ia bertemu dengan orang tua gadis ini nanti. Semua bukan salahnya, Raksa tidak berniat meracuni. Ia bahkan tidak tau apa-apa. Memang gadis ini saja yang selalu merepotkan.
Sial, sial, sial.
....
"Di mana ruangan pasien bernama Audy Queenyta Xavier?"
Deg.
Raksa langsung menelan salivanya, ia tau nama lengkap yang paruh baya itu ucapkan adalah nama gadis yang baru saja ia bawa ke rumah sakit.
Raksa baru kembali dari kantin untuk membeli minum. Namun siapa sangka di tengah perjalanan ia bertemu dengan sosok pria paruh baya dan juga seorang wanita yang berdiri di depan resepsionis.
Tanpa pikir panjang Raksa langsung mendekati mereka. Sial, banyak sekali pengawal yang menjaga. Se-famous itukah mereka?
"Emm-maaf, permisi." Raksa mendekati dua sejoli itu. Keduanya berbalik, menatap Raksa dengan alis tertaut.
"Kalian orang tua Audy?" tanya Raksa hati-hati.
"Ya, kamu yang membawa anak saya ke rumah sakit?" tanya Pria paruh baya tersebut, Raksa mulai mengingat namanya sekarang. Gusevon Aleardo Xavier, iya. Pengusaha terkenal dibidang Batu bara. Ah, sial. Ia gugup sekarang.
"I-iya, mari ikut saya." Raksa menunduk sopan dan langsung berjalan lebih dulu. Seketika nyalinya ciut, saat mengetahui bahwa Audy memang benar-benar dari keluarga yang tidak main-main.
Ia berjalan lebih dulu dengan kedua sejoli iti mengikutinya dari belakang. Ditambah lagi pengawal yang berbadan besar yang juga ikut mengekor.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Mr. Gusevon. Raksa mulai menyamakan langkahnya agar lebih sopan.
"Maaf, mungkin anda akan marah setelah mendengar ini. Tapi jujur, saya yang memberikan Audy es krim. Saya tidak tau bahwa beliau mempunyai alergi."
Mr. Gusevon berhenti berjalan, tatapannya berubah menajam. Mrs, Gusevon langsung menenangkan suaminya.
"Beraninya kamu?!" geram Mr. Gusevon mengepalkan kedua tangannya. Raksa hanya meringis pelan. Berusaha gentle dan tidak takut.
"Sudah, kita lihat kondisi Audy dulu, mas. Tahan emosi kamu." Mrs. Gusevon mengelus lengan suaminya. Lalu menatap Raksa tulus. "Ayo lanjutkan antar kami, nak."
Raksa mengangguk dan melanjutkan perjalanan.
"Siapa nama kamu?" tanya Mr. Gusevon datar.
"Raksa, lengkapnya Raksa Abreeta Lukee."
Mr. Gusevon mengangguk.
"Nak Raksa, apa Audy baik-baik saja?" tanya Mrs. Gusevon khawatir.
"Dokter mengatakan, Audy hanya perlu dirawat beberapa hari untuk memulihkan memar pada kulitnya. Sesak nafasnya juga berangsur pulih karena dengan cepat dilarikan ke rumah sakit." Raksa berhenti tepat di depan ruangan Audy. "Ini tempatnya, saya sungguh meminta maaf karena telah membuat putri anda seperti ini, Mr. Gusevon."
Mr. Gusevon tak menjawab, langsung membuka pintu dengan cepat dan bergerak tergesa. Raut wajah khawatir sangat terpancar dengan jelas.
Raksa menghela nafas pasrah. Pria itu menunggu di luar bersama pengawal keluarga Gusevon.
"Kira-kira gue bakal kena amuk tuan lo gak?" tanya Raksa pada salah satu pengawal yang berdiri tegak di sampingnya.
"Sepertinya tidak."
"Cih, sok tau lo. Entar gue dipukul, lo tanggung jawab!" balas Raksa menyenggol lengan pengawal. Pengawal tersebut hanya memutar bola matanya malas dan setia berdiri dengan pandangan lurus.
Tak lama pintu terbuka, Mrs. Gusevon menatap Raksa dengan tulus.
"Masuklah, suami saya memanggil kamu."
Raksa mengangguk dan segera masuk ke dalam.
"Papi ... Oppa gak salah. Jangan dimarahin, Audy yang nakal berani makan es krim."
Kalimat itulah yang Raksa dengar saat memasuki ruangan. Pria itu berdiri di samping brankar, tepatnya berhadapan dengan ayah Audy.
"Oppa?" tanya Mr. Gusevon dengan dahi mengernyit.
"Panggilan Audy, hehe. Abisnya mukanya mirip Oppa-oppa tau."
Mr. Gusevon menggelengkan kepalanya. "Rupanya kalian sudah dekat? Baguslah."
Raksa langsung mendongak, dahinya mengernyit. Ia mulai mencium bau-bau tidak mengenakan.
"Maksudnya apa ya, Om?" tanya Raksa pelan.
"Kamu ingin mendapat permintaan maaf dari saya?" Raksa langsung mengangguk.
"Ada syaratnya."
"Apa?"
"Jaga putri saya untuk beberapa hari ke depan. Sampai saya kembali lagi ke Indonesia. Sekiranya, saya akan tinggal di London dua bulan. Bagaimana?"
Tunggu dulu. Raksa terdiam, beberapa hari ke depan? Tapi kok di London dua bulan? Jangan bilang Raksa harus ngurusin bocah ini selama dua bulan?
Oh no!
"Apakah kamu bersedia, Tuan Raksa Abreeta Lukee?"
"Ah-ya saya bersedia, saya akan menjaga Audy selama anda di London."
"Bagus."
Bagus, bagus darimana anjir?! umpat Raksa di dalam hati.
Sial, sial, sial.
...
Revisi/150421
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top