Impossibilité

HAPPY READING!

..

Impossibilité = Kemustahilan


"SANDRA, LO MASIH HIDUP?!"

Gadis yang baru saja menginjakkan kakinya di kelas tersentak kaget. Menatap bingung kedua temannya yang sedang menatapnya dengan horor.

"Apaan sih?"

"Badan lo masih utuh?!" tanya Vanya, mengguncang bahu Sandra heboh.

"Kaki masih ada dua, tangan juga ada dua, punggung lo gak ada memar kan? Itu payuda--"

"Heh!" bentak Sandra seketika melotot horor ke arah Claire yang hendak memegang harta tahta miliknya. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Ini manusia sinting kenapa sih?

"Kalian belum minum obat atau emang lagi jadwalnya gak waras?" Sandra menatap teman-temannya bingung.

"Sini duduk dulu!" Vanya menarik lengan Sandra dan duduk di bangku mereka.

"Gue denger dari Cla, lo kenal sama Bumi? Si psikopat sadis bin ganteng? Kenal di mana lo? Gak di apa-apain kan sama dia?" bisik Vanya karena tidak mau menarik perhatian banyak orang. Ya taulah, nama Bumi terkenal di mana-mana.

"Iya, gue juga penasaran. Lo kok bisa kenal sama psikopat itu? Mana pulang bareng lagi. Kenapa juga chat gue gak lo bales? Online tapi gak nge read chat gue!" Claire terus berceloteh membuat Sandra berdecak.

"Nanti gue jelasin, sekarang waktunya gak tepat."

"Kita udah kepo, Sandra!" Kedua gadis itu berujar bersamaan. Menatap Sandra dengan kesal.

"Cerita sekarang, dong!" pinta Claire yang langsung dibalas anggukan setuju Vanya.

"Panjang ceritanya, gue lagi males. Nanti, oke? Gue pasti cerita kok."

"Ish, awas kalo gak cerita."

"Iya, jangan ganggu gue dulu!" Sandra menjatuhkan kepalanya di meja dan langsung memejamkan matanya.

"Tapi sumpah, ya. Andai aja lo liat langsung itu wajah Bumi, gue yakin lo bakalan klepek-klepek!" ujar Claire pada Vanya.

"Pake hoodie item, wajahnya dingin, ganteng banget lagi, sampe doi gue aja kalah!"

"Gue jadi penasaran."

"Lo lagi Sandra, kenapa sekarang? Sakit?" tanya Claire.

Sandra menggeleng, masih dengan memejamkan matanya. "Gue pusing, mikirin dua cowok."

"Anjim, belagu amat. Liam jadi salah satunya nih pasti?" selidik Vanya mengguncang bahu Sandra.

Belum juga Sandra membuka mulut hendak bercerita, bel tanda akan dimulainya pembelajaran lebih dulu terdengar. Vanya berpindah duduk di belakang bersama Raja yang orangnya entah berada di mana. Sedangkan Claire duduk di samping Sandra. Mereka mulai mengikuti pembelajaran diseilingi gibah-gibah yang tak bisa mereka lewatkan.

Beberapa jam fokus dengan pembelajaran, akhirnya bel tanda istirahat mulai terdengar. Sandra membereskan seluruh peralatan belajarnya. Gadis itu meregangkan ototnya sebentar.

"Sandra, ada Liam nih nyari lo."

Brak.

"Sial," umpat Sandra begitu ia menyenggol ujung meja karena terlalu antusias sekaligus terkejut.

Teman-temannya hanya diam memperhatikan. Melihat apa yang akan Sandra lakukan setelah ini.

"Gue ke depan dulu," ujar Sandra kembali bersikap normal. Mulai melangkah menuju keluar kelas.

Sosok pria tinggi yang berdiri membelakanginya kembali membuat Sandra gugup. Gadis itu menghembuskan napasnya sebentar.

"Liam?"

Pria yang dipanggil namanya berbalik, langsung menyapa dengan senyum manis yang mampu menghipnotis Sandra.

"Kantin bareng?" ajak Liam dengan ramah.

Sandra menggigit bibirnya. "Bareng temen gue? Boleh?"

Liam mengangguk. "Ayo, barengan aja."

Sandra ikut mengangguk. "Gue ajak mereka dulu ya?"

"Sip, gue tunggu di sini."

Sandra langsung masuk ke dalam kelas. Menggebrak meja Vanya dan Raja yang sedang berbicara.

"Apa sih anying?" kesal Raja yang merasa dikagetkan.

Sandra nyengir, matanya menatap seluruh teman-temannya dengan tatapan berbinar.

"Ayo ke kantin!" ajak Sandra girang.

"Tuh curut?" tanya Sultan menunjuk Liam yang masih berdiri di depan kelas.

"Iya, sama dia juga."

"Ogah," jawab mereka serempak. Membuat Sandra mendengus kesal.

"Kalian masih aja sensi sama Liam? Ck! Kekanakan tau gak?!"

"Biarin," jawab mereka dengan serempak lagi.

"Ish, yaudah. Kalo gitu gue ke kantin berdua aja sama Liam!" Sandra yang sudah merasa kesal langsung berbalik dan pergi dengan kaki yang dihentak.

"Batu banget sih itu bocah," gumam Cakra gemas.

"Udah biarin aja, selama dia gak macem-macem kita pantau aja dari belakang." Raja membuka suara.

Di sisi lain, Sandra dan Liam memasuki kantin yang sudah lumayan ramai. Mereka duduk di pojok. Sembari menunggu Liam memesan makanan, Sandra membuka ponsel miliknya untuk menghalau rasa gabut.

Tak lama kemudian, Liam datang membawa dua nampan berisi nasi goreng.

"Makasih," ujar Sandra dibalas anggukan Liam.

"Oh iya, nanti pulang sekolah jadikan?" tanya Liam.

"Jadi kok," balas Sandra cepat.

"Oke, nanti gue tunggu di parkiran."

Sandra mengangguk dan lanjut memakan makanannya. Liam terkekeh, melihat Sandra yang sibuk makan tanpa rasa gengsi sedikitpun. Sungguh sangat menggemaskan.

"Jangan liatin gue terus, makan!" suruh Sandra tanpa berani mendongak. Takut nanti pipinya memerah.

Liam tertawa. "Tau aja lo."

Mereka larut dalam perbincangan random. Entah membicarakan sekolah, dan lain lain. Hingga bel tanda istirahat sudah selesai, Sandra kembali ke kelas di antar oleh Liam.

"Jangan lupa nanti pulang sekolah, gue tunggu di parkiran."

"Oke," sahut Sandra mengacungkan jempolnya. Liam yang kembali merasa gemas langsung mengacak rambut gadis itu dan segera pamit menuju kelasnya.

"Huft, tenang Sandra tenang!" gumam Sandra mengibaskan tangannya yang sudah memanas.

...

"Mau bawa senjata gak lo?"

"Gak usah."

"Inget, jam lima sore udah harus ada di bandara. Gue tunggu di sana, dan jangan kelayapan."

"Gue abang, jangan sok ngatur."

"Ck, iya-iya!" Bima memutar bola matanya malas. "Emang mau ngapain sih? Ada urusan apa?"

"Gak usah kepo," balas Bumi datar.

"Halah, pasti gak jauh tentang Sandra. Lo udah mulai bucin!"

Bumi hanya mendelik, tak mau meladeni Bima lagi.

"Eh, bang." Bima mendekat ke arah Bumi. Bumi segera menjauh, menatap aneh Bima.

"Ajarin gue dong." Bima tersenyum lebar, tatapannya memelas.

"Apa?" tanya Bumi malas.

"Ajarin jadi psikopat."

"Cih."

"Serius."

"Tujuan lo jadi psikopat, buat apa?"

"Biar keren."

"Sinting!" umpat Bumi cepat.

Bima menggerutu. "Gue serius. Habisnya gue cuma jago gelut doang, kali-kali belajar cara bunuh membunuh dong biar keren."

Bruk.

"Keren-keren. Urus dulu itu preman-preman lo. "

Bima meringis saat kepalanya ditimpuk sebuah buku. Ia menoleh ke belakang, begitupun dengan Bumi.

"Papa?"

"Mau jadi psikopat kamu, hah?!" Ajalio, Ayah dari saudara kembar itu berkacak pinggang. Menatap tajam putra keduanya. "Jangan nambah dosa!" ujarnya lagi dengan ketus.

"Cih, terus apa kabar sama Bumi? Dosa dia terus ngalir, kenapa gak Papa tegur?!" sinis Bima merasa jengkel.

"Dia sudah jarang membunuh," balas Lio tak mau kalah.

"Jarang membunuh dari mana, kemarin dia habis go--"

"Bima," desis Bumi menatap nyalang Bima.

"Apa?! Kamu bunuh manusia lagi?" Lio menatap anak pertama dengan tatapan menyelidik.

"Iya, kenapa?" tanya Bumi santai.

"Kenapa?! Kamu tanya kenapa?! Gak inget dosa kamu, Bumi?! Astaga, anak siapa sih ini?"

"Anak Papa lah!" sahut Bima cepat.

"Diam kamu!" sinis Lio membuat Bima memutar bola matanya malas.

"Ngapain ke sini?" tanya Bumi datar.

"Anak gak ada akhlak, Bapaknya dateng bukan disambut, di kasih minum, ditanya kabar. Malah nanya begitu!"

"Lah, emang situ bapak kita?" Bima si pria tidak ada akhlak kembali bersuara. Menatap sinis Lio.

"Bima," tegur Bumi jengah.

"Apa? Dia bapak lo ya? Gue gak kenal soalnya," tanya Bima dengan wajah sok bingung.

"Bukan."

"Terus ini siapa sih, anjir?"

"Babu," balas Bumi santai.

Sialan!

Lio langsung berbalik mengambil tongkat yang kebetulan berada di ujung ruangan. Tanpa rasa kasihan sedikitpun, pria itu langsung memukul punggung Bumi dan Bima lumayan kencang.

"Anak gak ada akhlak! Gue coret lo semua dari Kartu Keluarga."

Bima langsung tertawa. "Udah ah, cape. Serius kenapa sih?! Ngelawak mulu."

"Lo yang mulai, Saepudin." Lio menatap sinis putra keduanya.

"Anjir bapak gaul, sok-sok'an pake lo gue."

"Papa gak punya banyak waktu. Orang sibuk gini. Ngajak bercandanya nanti aja." Bima memutar bola matanya malas mendengar itu.

"Gimana kamu sama Sandra?" Lio menatap Bumi.

"Hambar, Pa. Bima rasa, Bumi itu mulai suka sama Sandra. Tapi Sandra nya suka sama orang lain. Kasian banget gak sih psikopat satu ini?" ledek Bima menahan tawa.

"Serius? Sandra gak tertarik sama kamu?Masa sih? Produk hasil goyangan Papa padahal selalu bagus."

"Astagfirullah, Bapak! Ngucap, Pak! Goyangan apa itu yang Bapak maksud? Astagfirullah," seru Bima mengusap dadanya sembari menggelengkan kepala.

"Ssst, diem kamu!" Lio kembali menatap Bumi. "Bener yang dikatain Bima?"

Bumi mengangkat bahunya, acuh tak acuh.

"Ck, kalo Sandra tetep gak tertarik. Kenapa gak langsung hamilin aja? Biar langsung nikah!"

"Buset!" teriak Bima cepat. Ia ayahnya tidak percaya.

"Ngasih saran ke jalan sesat mulu bapak gue," gumam Bima menggeleng tidak percaya.

Bumi? Hanya diam tak peduli. Ya beginilah kalau adiknya disatukan dengan Papanya. Keduanya selalu saling berceloteh. Dan ia hanya diam sebagai penonton.

"Papa bercanda, lebih banyak usaha lagi aja." Lio menepuk bahu Bumi mulai serius.

"Papa ke sini cuma mau pantau perkembangan perusahaan, sekalian ngasih undangan pernikahan."

"NAH LOH, PAPA MAU NIKAH LAGI?!" teriak Bima terkejut. Matanya melotot kaget.

"Bima," kesal Bumi langsung menendang bokong adiknya. Tidak bisakah, sekali saja diam dan dengarkan? Tak perlu berteriak seperti perempuan! Membuat pusing saja!

"Anjir, sakit!" Bima mengelus bokongnya dengan wajah cemberut.

"Bukan Papa yang mau nikah, tapi anaknya temen Papa."

"Oh," jawab kedua pria tampan itu dengan berbarengan.

"Harus dateng."

"Iya."

"Yaudah, Papa ada meeting sekarang. Papa pergi dulu."

"Ck, gabut banget dateng ke sini cuma mau ngasih tau begitu doang. Kenapa gak lewat telepon aja coba?"

"Sekalian mantau, Bima."

"Iyain, sana pergi!" usir Bima.

Lio langsung menjewer telinga putranya.

"Argh ... iya, maap bos. Bercanda doang aelah, lepasin dong!"

Bumi memutar bola matanya malas, ia langsung keluar dari ruangan miliknya meninggalkan mereka. Di depan ia berpapasan dengan Raksa.

"Loh, mau ke mana?" tanya Raksa langsung bangkit.

"Cafe lo, sekarang."

"Tumben?"

"Kenapa?" tanya Bumi balik, menatap Raksa datar.

"Gak, gak papa. Ayo dah, sekalian gue mantau situasi."

Bumi langsung melengos pergi lebih dulu. Raksa yang melihat itu mendengus kesal. Ia langsung bergegas mengikuti Bumi. Jangan lupakan dengan kakinya yang pincang.

Penyebabnya? Tentu saja, Tuan GM yang terhormat se-asrama.

...

Setelah beberapa menit lamanya Sandra dan Vanya bercekcok perihal antara memilih Hangout bersama temannya atau jalan bersama Liam. Pada akhirnya Vanya mengalah, membiarkan Sandra dengan kesenangan pribadi gadis itu.

Mereka lebih dulu pergi ke Cafe seberang, meninggalkan Sandra yang sudah bersama Liam.

"Kenapa?" tanya Liam pelan, menyadari raut wajah Sandra yang terlihat banyak berpikir.

"Ah, gak papa. Yaudah, yuk."

Liam mengangguk, tak mau mengambil pusing. Ia memberikan helm satunya kepada Sandra. Dan langsung Sandra terima.

Baru saja Sandra hendak menaiki motor Liam. Suara seseorang memberhentikan pergerakannya.

"Turun," ujar seseorang dengan suara berat.

Sandra dan Liam menoleh. Liam dengan raut wajah bingung, dan Sandra yang nampak terkejut. Tak menyangka dengan kehadiran pria itu sekarang.

"O-om?" gagap Sandra menelan salivanya.

"Om? Ini Om kamu, San?" tanya Liam bingung. Karena rasanya tidak mungkin, seorang Om-om memiliki paras tampan seperti pria di depannya. Terlihat masih sangat muda dan umurnya seperti tidak jauh berbeda dengan Liam.

"I-iya, ini Om gue."

Sial, Sandra langsung merutuki bibirnya yang asal ceplos berbicara. Ia menatap Bumi takut, melihat bagaimana ekspresi pria itu.

Ah, selamat tinggal hidup damai.

"Om kamu, ya?" Bumi menatap Sandra dengan tatapan yang sulit diartikan. Pria itu berdecih, memalingkan wajahnya sebentar. Lalu kembali menatap Sandra dengan datar.

"Pulang sekarang," suruh Bumi tegas. Urat dilehernya nampak sangat jelas. Tak lupa, tangannya juga ikut mengepal. Menandakan dengan jelas bahwa pria itu sedang dalam mode amarah yang menggebu.

Sandra langsung menyeret Bumi menjauh dari Liam, ia harus berbicara dengan pria ini.

"Lepas," desis Bumi langsung menyentak tangan Sandra kasar.

Sandra menelan salivanya, menggigit bibirnya bawahnya mulai panik. Bumi sepertinya sedang dilanda amarah yang cukup besar.

Dan ini semua harus ia hindari!

"Om," cicit Sandra pelan.

"Apa? Kamu mau memilih bersama dia?" tanya Bumi datar.

Perlahan Sandra mengangguk. Bukan karena ia tidak mau bersama Bumi. Melainkan, situasi sekarang Bumi sedang dalam amarah yang besar. Dan itu semua karena dirinya. Jadi Sandra lebih memilih menghindar saja daripada nanti kena amukan pria ini.

"Kenapa?" tanya Bumi pelan. Raut wajahnya mulai bisa terkontrol dengan baik.

"S-Sandra pengen s-sama--"

"Oke, saya mengerti." Bumi mengusap wajahnya sebentar. Menatap Sandra lebih dalam dan lekat. Sandra yang ditatap seperti itu langsung memalingkan muka.

Rasanya memang Sandra tak menginginkan keberadaan dirinya. Setiap bersama dirinya pun, Bumi tak pernah melihat kebahagian dari gadis itu.

Jika sudah begini, mau bagaimana lagi?

"Terserah kamu, saya tidak akan peduli lagi. Jangan mencari saya lagi, Sandra. Dan saya harap, kamu akan bahagia bersama bocah ingusan itu."

Setelah mengucapkan kalimat panjang tersebut, Bumi melengos pergi. Meninggalkan Sandra yang terdiam mencerna perkataan Bumi.

Harapan Sandra untuk menghindari masalah nyatanya salah. Yang ada, ia malah membangun masalah baru.

Yang tanpa Sandra sadari, masalah tersebut adalah sebuah kehancuran untuk dirinya sendiri yang pastinya akan ia sesali suatu saat nanti.

...

Revisi/150421

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top