Harceleur

HAPPY READING!
...

Harceleur = Penguntit


     Suasana di Bali nampak ramai. Tak hanya penduduk lokal, para turis juga banyak memadati lingkungan surganya wisata ini. Cuaca yang cerah menambah kesan nikmat yang luar biasa bagi para wisatawan.

Termasuk dua sejoli yang sudah menginjakan kaki di Bali selama 2 hari itu. Mereka sibuk bermain, mendatangi tempat-tempat wisata, mencoba mencicipi banyak aneka kuliner di Bali.

"Huft, udah berhenti dulu, gue cape."

Sandra, gadis itu duduk di pasir pantai. Mengibaskan tangannya yang terasa gerah akibat berlarian. Beberapa detik yang lalu Sandra habis berlari mengejar Cakra yang kembali berulah. Pria itu tidak pernah gentar untuk selalu membuat Sandra kesal.

Di hari pertama mereka berada di Bali, Cakra sudah membuat ulah dengan melarang Sandra memakan yang pedas, padahal Cakra tahu dengan jelas bahwa makanan pedas adalah makanan favorit Sandra. Gadis itu tentu tidak bisa tinggal diam, sibuk merengek untuk membuat Cakra luluh. Namun, tentu Cakra tidak akan pernah luluh. Pria itu tetap kukuh melarang Sandra memakan pedas. Tak peduli dengan Sandra yang langsung marah padanya saat itu juga.

Tidak sampai di situ, setiap malam jika sedang bersantai Cakra juga sering mengganggu Sandra. Menarik rambutnya, mencolek lengannya, dan segala jenis keisengan telah Cakra lakukan. Sampai Sandra jengah tidak mau melawan lagi, membiarkan pria itu sampai lelah sendiri. Walau Sandra yakin Cakra tidak akan pernah merasa lelah.

"Huh, lemah!" ejek Cakra baru saja datang, membawa dua buah kelapa yang sudah dibuka. Sandra langsung merebut satu buah tersebut dan meminumnya dengan cepat karena kehausan. Cakra hanya menggeleng pelan.

"Lo ngeselin akhir-akhir ini," gerutu Sandra setelah selesai minum. Sangat lega rasanya, tenggorokan yang tadi terasa kering kini terasa sangat menyejukkan.

Sandra juga merasa aneh dengan sikap Cakra akhir-akhir ini. Yang Sandra kenal sedari dulu Cakra tak pernah mau mengajak Sandra main lebih dulu, maksudnya main dalam artian pergi mengajaknya ke suatu tempat seperti sekarang. Sandra juga merasa aneh dengan sikap Cakra yang mendadak pecicilan, karena biasanya pria itu lebih banyak diam, terkadang suka sinis dan berbicara tajam.

Gadis itu menatap lamat Cakra dari samping. Tampan, memang sangat tampan pria di sampingnya ini. Namun sayang, setiap ada wanita yang berniat mendekatinya selalu saja Cakra tolak secara terang-terangan. Entah Sandra juga tidak mengerti kenapa.

"Apa? Mikirin apa?" ujar Cakra membuyarkan lamunan Sandra. Gadis itu lantas mendengus dan memalingkan muka saat ketahuan sedang memperhatikan.

"Lo ganteng tau Cak." Sandra berujar tiba-tiba, membuat Cakra menoleh dan menatapnya bingung.

"Maksud lo?"

"Iya, lo ganteng. Tapi kenapa setiap ada cewek yang deketin lo, selalu lo tolak?" tanya Sandra menatap Cakra serius.

Cakra mengernyit. "Hubungannya ganteng sama pacaran apa? Aneh banget lo."

"Ish, ya, intinya maksud gue lo kenapa gak mau pacaran? Kenapa selalu nolak banyak cewek?" tanya Sandra gemas. Cakra terkekeh pelan. Tangannya terangkat mengusap kening Sandra yang berkeringat. Lalu setelahnya kembali menghadap ke depan, menatap ke arah hamparan laut.

"Gue mau mastiin lo bahagia dulu, mau mastiin lo berhenti di pelabuhan yang benar. Setelah lo bahagia, setelah lo berhasil menemukan sosok pengganti gue nanti, gue baru lepas lo. Untuk sekarang tugas gue belum selesai, lo masih dalam lingkaran gue, lo masih harus gue jaga, fokus gue dari dulu dan sekarang cuma buat lo."

Terkejut? Tentu saja. Sandra tidak percaya mendengar jawaban yang Cakra berikan sedetail itu. Tidak menyangka dengan sikap Cakra yang ternyata sangat perhatian dan pengertian seperti ini.

Sandra cukup paham dengan sangat jelas. Cakra selalu menjaganya, pria itu selalu berdiri paling depan bila ada yang mengganggu dirinya, tak pernah membiarkan siapapun menyakiti hati atau fisiknya. Pria itu sangat melindungi Sandra, tidak hanya saat di masa SMA saja, melainkan sedari kecil juga pria itu selalu menjaganya. Iya, tanpa Cakra mungkin hidup Sandra tidak berarti apa-apa. Pria itu sosok terbaik yang selama ini selalu berada di sisinya.

"Untuk saat ini gue lebih fokusin ke lo, lo itu kayak anak kecil, harus dipantau, oleng sedikit langsung berulah." Cakra menarik hidung Sandra gemas. Sandra hanya mendengus dan menepis tangan Cakra.

"Lo nggak suka sama gue, kan?" tanya Sandra tiba-tiba dengan tatapan memicing. Cakra lantas menoleh, menatap Sandra lama.

"Liat mata gue," ujar Cakra, Sandra langsung membalas tatapan Cakra.

"Apa lo ngeliat adanya kebinaran di mata gue saat bertatapan dengan lo?" tanya Cakra datar. Sandra langsung mempertajam tatapannya. Tatapan pria itu sangat teduh, Sandra tak merasakan apa-apa di sana. Yang Sandra lihat hanya sebuah tatapan sebuah rasa seperti seorang kakak yang menjaga adiknya.

"Udah," tegur Cakra mengusap wajah Sandra saat gadis itu masih saja menatapnya lama. Sandra lantas mendelik, menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga.

"Mungkin lo terlalu percaya sama pepatah yang mengatakan dimana ada persahabatan lawan jenis, di sana akan ada salah satu yang memiliki perasaan lebih. Bener, kan?" Cakra terkekeh pelan. "Sayangnya gue gak gitu, San. Gue murni, gue beneran anggap lo sahabat, adik malah. Lo sesuatu yang harus gue jaga, lo berharga buat gue. Tapi, hanya sebagai sahabat, adik, gak lebih."

Cakra menyugar rambutnya sebentar. "Mungkin iya, selama ini sikap gue agak sedikit berlebihan, tapi jujur gue gak ada maksud apa-apa. Gue cuma mau ngelakuin yang terbaik buat lo, sebisa mungkin gue akan selalu buat lo ketawa, dan gue gak mau menjadi salah satu sosok penyebab lo nangis."

Sandra termenung, tak menyangka sebesar inikah rasa sayang Cakra untuknya? Ternyata pengorbanan pria ini sangatlah tinggi. Cakra menyayanginya lebih dari siapapun. Jujur Sandra tak menyadari semuanya. Cakra memang benar-benar bisa menutupi semuanya dengan rapi.

"Lo gak baper, kan? Gue bilang gini?" tanya Cakra hati-hati. "Awas aja kalo lo suka sama gue," lanjutnya terkekeh.

Sandra langsung merenggut, memukul lengan Cakra cukup keras. "Lo tau dengan jelas hati gue buat siapa," jawabnya memalingkan muka.

Cakra terdiam, kembali menatap Sandra lama. Ia cukup mengerti dengan perasaan gadis ini. Tidak mudah pastinya menghilangkan sebuah rasa itu. Rasa yang padahal baru saja tumbuh dan hendak mekar ini seketika dibuat layu. Butuh waktu yang lama tentunya untuk menyembuhkan luka tersebut. Dan Cakra siap menemani Sandra melakukan segala proses itu. Ia harus yakin dan berhasil membuat Sandra pulih dan tidak menangis lagi.

"Makasih banget loh, Cak." Sandra tiba-tiba membuka suara. Cakra menatap gadis itu bingung.

"Untuk?"

"Makasih untuk selalu ada buat gue, makasih lo selalu ada di samping gue entah itu ketika gue nangis, patah hati, atau senang. Lo selalu lindungi gue, lo selalu berdiri paling depan kalo ada yang nyakitin gue, dan gue sangat bersyukur punya lo di samping gue. Bener kata lo, kita sahabat, gue anggap lo sebagai layaknya kakak sama adik." Sandra tersenyum tipis.

"Jika suatu saat nanti di antara kita saling menaruh hati, bilang, ya? Jangan dipendem. Gue tau gak enak, meskipun nanti jawaban gak sesuai apa yang kita harapkan, setidaknya kita bilang, kita ngutarain, gak boleh ada sembunyi-sembunyian," ujar Sandra dengan tatapan lurus memandang ombak yang menerjang.

Cakra terkekeh, pria itu berbalik menghadap Sandra menarik bahu gadis itu untuk menatap ke arahnya juga. Mereka saling bertatapan lama.

"Gue berusaha sebaik mungkin ngelakuin yang terbaik buat lo. Perasaan gak ada yang tau, iya memang seperti itu. Tapi, gue akan tetap mencoba menganggap lo sebagai adik, kita keluarga. Dan gue mau, sebelum gue menemukan sosok wanita yang gue suka nantinya. Gue mau lo dari sekarang harus belajar, belajar tanpa gue, lo harus bahagia, lo harus mencari sesuatu yang baru, yang bisa buat lo tenang, yang bisa buat lo melupakan segala keresahan sekarang."

"Ih, lo mau pacaran?!" selidik Sandra merusak suasana. "Siapa? Cewek yang lo suka? Harus hadepin gue dulu, harus gue seleksi dulu, Cakra!" lanjutnya geram.

Cakra mendengus, menarik hidung Sandra gemas. "Gak ada, gue udah bilang untuk sekarang fokus gue mau buat lo dulu. Ck, udah sih, kenapa jadi bahas beginian?"

Sandra merenggut, mengusap hidungnya yang pasti sudah memerah. Ia kembali menghadap ke depan, senja sepertinya sebentar lagi akan tiba. Namun, lagi dan lagi Sandra melihat siluet dari ujung matanya. Seperti ada seseorang yang memperhatikan dirinya sedari tadi.

Ini bukan kali pertama, Sandra merasakannya semenjak ia menginjakkan kaki di Bali. Kemanapun Sandra dan Cakra pergi, Sandra selalu merasakan ada seseorang mengikutinya, ia merasa ada seseorang memperhatikan dirinya dari kejauhan. Namun, ia belum menceritakan itu semua kepada Cakra. Karena mungkin Sandra merasa itu semua hanya perasaannya saja.

"Senja indah, gue suka," celetuk Sandra menatap lamat matahari yang hendak tenggelam. Ia bersandar di bahu Cakra. Mencari kenyamanan untuk menikmati senja.

Cakra diam tak memberontak, membiarkan Sandra bersandar di bahunya. Mereka sama-sama menikmati keindahan di depan mata.

"Sayangnya, indah senja cuma sesaat." Sandra terkekeh, membenarkan kepalanya yang bersandar agar lebih nyaman. Cakra mengusap kepala gadis itu dan hanya diam mendengarkan.

"Kehadiran senja banyak ditunggu, kehadiran senja sangat dinanti, semua orang menikmati keindahannya. Namun, setelah itu senja pergi. Dia kembali meninggalkan, dia datang hanya sebentar, rasa kenikmatan kami hanya sementara." Sandra tersenyum tipis, entah kenapa tiba-tiba matanya berkaca-kaca.

"Namun dia kembali," balas Cakra tenang. "Dia pasti akan kembali, menemui kalian, kembali memberikan keindahan. Meskipun dia selalu datang dan pergi dengan cepat, percayalah, dia akan selalu hadir, dia akan selalu kembali menyambut kalian."

Cakra menaruh kepalanya di atas kepala Sandra yang bersandar di bahunya.

"Sesuatu yang indah gak selamanya akan menetap, tapi sesuatu yang indah juga gak selamanya akan pergi."

Sandra memejamkan matanya sembari tersenyum, hingga tak sadar air mata mulai turun membasahi pipinya.

Apa dia akan selamanya pergi? Apa Sandra benar-benar harus melepaskannya? Merelakan pria itu? Sanggupkah? Rasanya tidak.

Jujur, meskipun Sandra merasakan sakit yang luar biasa, kecewa karena dipatahkan, pedih karena ditinggalkan, namun dari lubuk hati yang paling dalam. Ia merindukannya. Ia merindukan sosok itu. Ia tidak bisa melupakannya. Sangat sulit, Sandra tidak bisa mengendalikan pikirannya.

Di sisi lain, seseorang yang sedari tadi memperhatikan dibuat terus mengumpat melihat kedua sejoli di depannya.

Sial, apa yang sedang mereka bicarakan? Kenapa terlihat mesra sekali? pikirnya gusar.

"Kenapa secepat itu?" gumamnya pelan. Pria dengan kaca mata hitam dan baju santai itu duduk di salah satu kursi kosong dipojok yang terhalang pohon kelapa. Sedari tadi ia terus memperhatikan kedua sejoli yang duduk di tepi pantai.

Lama memperhatikan ia lalu menggelengkan kepalanya cepat. Tidak, ia tidak boleh seperti ini.

"Sandra milik saya, saya harus merebut kembali sumber kebahagian saya. Iya, saya harus bisa membawa Sandra kembali menjadi milik saya. Apapun rintangannya akan saya hadapi. Saya tidak peduli," ujar pria tersebut mengangguk yakin.

"Shit, sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan?!" geramnya mencak-mencak sendirian, merasa gelisah. Kedua sejoli di depannya nampak saling tertawa, berbincang mesra, saling melepar senyum yang entah artinya apa.

"Tidak mungkin kalau mereka menjadi sepasang kekasih," lanjutnya bermonolog.

"Ah sial, kenapa kamu se-risau ini, Bumi?!" geramnya pada diri sendiri.

iya, Bumi adalah pria yang sedari tadi memperhatikan Sandra dan Cakra. Dua hari ini pria itu terus menguntit mereka. Entah, Bumi juga tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Segabut itukah sampai mengikuti kemanapun mereka pergi. Memperhatikan pergerakan mereka dari jarak jauh. Walau Bumi sendiri tidak mengerti apa saja yang sebenarnya mereka perbincangkan selama berduaan seperti itu.

Jujur, sekarang Bumi merasa risau, kalut, cemas berlebihan. Ia takut, Sandra benar-benar melupakannya, gadis itu meninggalkan dirinya. Ah sial, untuk sekarang bumi mengaku bahwa dirinya sangat bodoh dalam hal percintaan.

Pikirannya sekarang bercabang, berbagai kemungkinan mulai menghantui pikirannya. Apakah mereka sudah benar-benar menjadi sepasang kekasih? Atau? Ah ... tolong selamatkan bumi dari kerisauan ini!

Bumi langsung tersadar saat Cakra meninggalkan Sandra sendirian. Pria itu pergi entah ke mana. Sandra terlihat masih menikmati senja yang sebentar lagi akan benar-benar menghilang.

Perasaan Bumi mulai bimbang. Apakah ini saatnya?

"Selain berprofesi menjaadi psikopat dan pengusaha, sekarang lo jadi penguntit juga?"

Bumi tidak terkejut, ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Dengan santainya ia berbalik, menghadap Cakra yang sudah menatapnya datar dan sinis.

"Jadi bener, yang selama ini ngikutin gue sama Sandra itu lo." Cakra bersidekap dada. "Mau apa lagi? Gak cukup lo buat dia menderita?" tanya Cakra sarkas.

Bumi hanya diam tak bersuara.

Cakra memang sudah mencurigainya sejak awal. Ia tak bodoh, akhir-akhir ini ia juga merasakan ada seseorang yang mengikuti dirinya dengan Sandra, ada seseorang yang selalu memperhatikan mereka dari kejauhan. Awalnya Cakra mencoba bersikap biasa saja, namun lama kelamaan ia menjadi jengah sendiri. Apalagi semenjak tau bahwa ternyata yang mengikutinya adalah Bumi. Ia tidak bisa tinggal diam begitu saja.

"Atau sekarang lo udah nyesel?" sindir Cakra kembali bersuara. "Mau balik lagi sama Sandra? Cih, jangan harap."

"Bukan urusan kamu," balas Bumi datar. Cakra lantas kembali terkekeh.

"Jelas itu urusan gue, Sandra udah gue anggap sebagai adik. Dia satu-satunya perempuan yang gue sayang setelah ibu gue, dan jangan harap lo bakal balik lagi sama dia. Gue gak akan pernah biarin itu."

"Kamu tidak tau apa-apa, Cakra. Jadi diamlah, ini urusan saya dengan Sandra."

Bugh

"Lo belum puas, hah?!" bentak Cakra murka berani memukul Bumi. Nafasnya memburu, wajahnya memerah menahan emosi. Seluruh perhatian mengarah ke arah kedua pria itu.

"Belum puas lo bikin dia nangis? Bikin dia sakit hati? Lo gak tahu selama ini Sandra kenapa, keadaan dia gimana? Tau gak lo?!" Cakra mencengkram kerah baju Bumi. Tidak peduli dengan siapa sosok di depannya ini. Ia sudah terbawa emosi.

"Dengan lo deketin dia lagi, lo bakal nambah luka Sandra. Udah cukup Bumi, Sandra baru aja pulih dari keterpurukan dia, dia baru aja merasa tenang. Jangan ganggu dia lagi, kalo bisa lo pergi dari kehidupan Sandra."

Bugh.

Bumi memukul pipi Cakra. Menatap tajam pria itu. "Saya tekankan sekali lagi, jangan mengurusi urusan saya. Kamu tidak tau yang sebenarnya."

Bugh

Cakra ikut memukuli Bumi lagi. "Iya, gue emang gak tau apa-apa. Tapi gue tahu, hati Sandra bakal kembali hancur kalau lo nemuin dia lagi, luka dia bakal nambah lagi. Lo ngerti gak sih, anjing?!"

Bumi berdesis, menatap Cakra tajam. Saat ia hendak membuka suara, seseorang lebih dulu datang dan menyela.

"Bumi Aiden Catra, kali ini saya tidak salah orang, kan?"

Kedua pria yang saling menatap tajam itu menoleh ke sumber suara. Sosok pria tegap memakai kacamata hitam dengan gaya santai datang tersenyum ke arah Bumi.

"Owen?" balas Bumi mengernyit.

"Ya, ini saya! Akhirnya saya bisa bertemu dengan kamu yang asli!" Owen nampak berseri. "Dan ada apa ini? Kenapa kalian seperti sedang berkelahi?" tanya Owen bingung.

Bumi terdiam, bukan atas pertanyaan yang Owen berikan. Namun tentang pernyataan yang pria itu katakan. Apa maksudnya, bisa bertemu dengan dirinya yang asli?

"Sebentar Owen," ujar Bumi menarik perhatian Owen dan Cakra. Owen menatap Bumi bertanya, sedangkan Cakra hanya bungkam menyimak dengan wajah datar.

"Apa maksudmu berkata bisa bertemu dengan saya yang asli?" tanya Bumi menyuarakan pikirannya.

Owen terkekeh. "Kembaran kamu rupanya tidak memberitahu?"

"Bima? Apa maksudnya?" tanya Bumi semakin merasa tidak mengerti.

"Beberapa saat yang lalu, ketika saya berada di Italia. Saya datang ke bar, di sana saya bertemu kembaran kamu. Awalnya saya kira dia adalah kamu, makanya saya temui, nyatanya saya salah orang." Owen menghela nafasnya. "Bagaimana dengan keadaan adik kamu sekarang?" tanya Owen semakin membuat Bumi merasa ada yang aneh.

"Dia baik, tapi maaf Owen. Kau nampak aneh hari ini, ada apa?" Bumi memicing.

Owen menggaruk keningnya. "Ini mungkin sedikit tidak masuk akal. Ini juga termasuk bukan urusan saya. Tapi saya sedikit merasa khawatir dengan adik kamu, karena terakhir yang saya lihat, saat keadaanya sedang mabuk dia dibawa masuk ke dalam kamar oleh Brianna, wanita jalang yang terkenal itu. Dan saya memiliki perasaan bahwa mereka melakukan sesuatu di sana. Saya tau ini privacy, but sorry Bumi. Karena saya hanya takut kalau Brianna melakukan hal yang sama seperti saya. Yaitu mengira bahwa Bima adalah kamu." Owen meringis setelah berbicara. Entah apa yang sudah dikatakannya ini terbilang sopan atau tidak. Yang jelas nalurinya menyuruh untuk memberitahu.

Bumi tidak terkejut, pria itu masih bersikap santai dengan raut wajah rasa ingin tahu. Sedangkan Cakra, sedaritadi ia memang sudah kepo dengan arah pembicaraan mereka. Dan sekarang, ia terkejut bukan main mendengar perkataan teman dari Bumi ini. Apa maksudnya?

"Jadi yang?" Cakra tidak berkata-kata. Bumi juga langsung mencegah Cakra untuk tidak berbicara lebih dulu.

"Jadi kau berada di sana?" tanya Bumi dan Owen mengangguk.

"Rumor tentang Brianna yang terobsesi sama kamu pernah menjadi pembicaraan hangat di kalangan para psikopat. Makanya saat melihat Brianna bersama Bima aku merasa heran."

"Bisa jelaskan ini semua?" ujar Cakra menatap tajam Bumi.

Bumi menghela nafasnya, tangannya terangkat mengacak rambutnya. Lalu mengumpat dan menggeram.

"A-ada yang salah?" tanya Owen bingung, sedikit was-was melihat Bumi yang nampak gusar.

"Pergilah, temui Sandra gadis itu pasti sedang menunggu kamu," ujarnya pada Cakra.

Cakra menggelengkan kepalanya, "Dia pasti nung--loh? Sandra ke mana?" Cakra berubah panik, ketika matanya tidak menemukan keberadaan Sandra di tempat tadi. Bumi ikut menoleh dan langsung mengedarkan matanya.

"Cepat hubungi!" suruh Bumi tegas yang memang tanpa Bumi suruh pun Cakra langsung menghubungi Sandra.

"Ada yang mau aku tanyakan Bumi!" ujar Owen cepat.

"Ini bukan saatnya, Owen. Nanti akan kujelaskan semuanya, jadi diamlah!" Bumi berjalan gusar berjalan ke sana ke mari.

"Sial, gak di angkat!" gerutu Cakra pelan. Bumi langsung menoleh.

"Dia mengirim pesan!" ujar Cakra setelahnya, dan mulai membaca pesan dari Sandra.

"Apa katanya?!" tanya Bumi cepat bernada panik dan khawatir.

Cakra nampak bernapas lega. "Dia sudah kembali ke resto milik bokap gue."

"Jangan berbohong!" tukas Bumi kesal. Cakra ikut menatap Bumi tajam dan gemas.

"Nih!" kesalnya menyerahkan ponsel untuk dibaca sendiri oleh Bumi.

"Udah," balas Cakra sewot kembali merampas ponselnya. Lalu ia menatap Bumi dengan selidik. "Sekarang jelasin apa maksud yang dibilang temen lo ini?"

Bumi terdiam, menatap Owen dan Cakra bergantian. "Kita cari tempat dulu untuk mengobrol," ujar Bumi pasrah pada akhirnya.

"Kenapa gak di sini aja, sialan?!" kesal Cakra.

"Bodoh, saya tidak mau bercerita berdiri seperti ini!" balas Bumi ikut emosi.

Owen memutar bola matanya malas. Sepertinya dua pria di depannya ini sedang dalam mode cinta segitiga dengan gadis bernama Sandra? Sedaritadi ia melihat mereka tidak akur dan saling menatap tajam terus menerus.

"Baiklah, ke Cafe saya saja. Kebetulan jaraknya tidak jauh dari sini." Owen membuka suara.

Bumi langsung mengangguk dan jalan terlebih dahulu diikuti Cakra. Owen lantas tersenyum geli dan mengikuti mereka. Ia tidak perlu memberikan arah di mana letak Cafenya, karena Bumi sendiri pun pasti sudah mengetahuinya.

...

Beberapa jam mereka  mengobrol. Bumi mendapat respon Cakra yang terus terkejut, memaki dirinya, mengumpat, dan masih banyak yang pemuda itu lakukan karena ketidakpercayaannya.

"Jadi bukan lo? Tapi Bima?" tanya Cakra lagi untuk kesekian kalinya.

"Lo rela sakitin Sandra hanya karena embel-embel melindungi kembaran lo?" Cakra menggelengkan kepalanya tidak percaya.

"Sejak kapan kamu bersikap bodoh seperti ini Bumi?" Owen ikut terkejut dan memandang Bumi tidak percaya.

"Sepertinya dia memang sudah bodoh sejak lahir," timpal Cakra sinis. Entah kenapa ia sekarang memiliki keberanian dengan Bumi. Tak peduli meskipun sosok yang ia maki ini adalah seorang raja psikopat.

"Saya terlalu terkejut, saya kalut, kalian tentu tahu bagaimana Brianna. Dia gadis licik, jika saja dia memang tahu yang menghamilinya Bima, dia juga akan melakukan segala cara dan mengubah skenario menjadi saya sebagai pelaku."

"Dari dulu dia memang sangat terobsesi dengan kamu." Owen mengusap dagunya berpikir. Tak lama kemudian ia teringat sesuatu.

"Ada yang mau saya tanyakan." Owen bersuara. Bumi dan Cakra menatap pria itu tanda tanya.

"Kamu membunuh Seilan?" tanya Owen hati-hati.

"Sudah lama, saya juga tidak yakin dia mati atau tidak," balas Bumi cuek.

"Shit," umpat Owen seketika panik.

"Sebenarnya niat saya ingin menemui kamu dari dulu adalah untuk mengatakan ini. Seilan masih hidup, saya pernah mendengar dari detektif saya. Kalau Seilan berniat menyerang kamu, disaat kamu dalam keadaan rapuh." Owen menggigit bibir bawahnya. "Saya takut dia akan memanfaatkan keadaan ini dan melukai orang terdekat kamu, Bumi." Bumi bungkam, mencerna perkataan Owen.

"Siapa Seilan?" tanya Cakra bingung.

"Ayah Liam, dan paman Brianna," balas Bumi dengan tatapan yang kosong. Cakra tersentak, menatap Bumi terkejut.

Ketika ketiganya sibuk berpikir dalam keheningan. Perhatian mereka teralihkan saat mendengar keributan di dekat pintu masuk. Mereka bangkit untuk memperhatikan apa yang terjadi.

Sosok perempuan dibawa paksa oleh beberapa pria berbaju hitam dengan dibungkam mulutnya. Mereka menyeret perempuan tersebut keluar. Bumi,Cakra dan Owen sempat melihat perempuan tersebut menatap ke arah mereka seperti meminta pertolongan.

"Sial, itu Sandra!" teriak Cakra seketika panik. Ia ingat dengan jelas pakaian yang Sandra gunakan, dan bentuk tubuh, rambut perempuan tadi memiliki kesamaan yang jelas dengan Sandra.

"Apa?!" Bumi menoleh dengan cepat. Tidak, tidak mungkin.

"Iya, itu Sandra. Gue tahu dengan jelas baju yang dia pake!" Cakra bergerak risau. "Dia bohong, dia gak ke resto. Dia ngikutin kita, sedari tadi dia hadir dan menguping."

"Shit, Argh!" Bumi menggeram marah. Pria itu lantas berlari mengejar Sandra. Cakra dan Owen tidak tinggal diam dan ikut mengejar.

Kalut, khawatir, cemas dan marah. Itu yang Bumi rasakan. Kalut dan khawatir karena Sandra sudah mendengar semuanya lewat menguping, dan ia tidak suka itu. Ia ingin Sandra mengetahui semuanya dari mulut Bumi yang berbicara langsung pada gadis itu. Cemas, Bumi sangat cemas dengan keadaan Sandra sekarang. Ia takut terjadi sesuatu dengan gadisnya. Ia juga sangat marah pada dirinya sendiri. Sungguh, yang dikatakan seluruh orang memang benar, Bumi sangat bodoh!

Seilan, rupanya kamu telah bermain-main dengan saya. Batin Bumi menggeram marah.

...

Revisi/160421

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top