Fissuré
HAPPY READING!
..
Fissuré = Retak
"Ahh ... ahh ... ahh ...."
Seluruh perhatian para pria jatuh pada sosok pria yang duduk di pojokan. Mereka semua menatapnya dengan tajam. Seolah memberi peringatan untuk tidak berteriak seperti itu lagi.
"Apa sih? Jangan nethink, gue bukan desah." Sosok pria di pojokan mulai bersuara. Mengerti akan tatapan para temannya yang sedari tadi terus memantaunya.
"Lo lagi ngapain, sih?" tanya Bima, salah satu dari pria yang sedang berkumpul di sana.
"Gue lagi nyari suara yang pas buat tanda bel di cafe gue. Yang lebih menarik dan unik gitu."
Mereka lantas mendengus.
"Raksa sialan, tanda bel cafe gak harus kayak desah juga." Hanson melempar botol ke arah Raksa. Merasa gemas dengan tingkah pria itu.
Raksa mendengus, mengusap wajahnya kasar. "Habisnya gue bingung, harus suara apaan?"
"Suara kayak biasa aja kenapa sih? Ribet banget deh lo, heran gue." Bima kembali menyahut. Raksa hanya memanyunkan bibir seperti anak kecil.
Ceklek.
Pintu terbuka, menampilkan sosok Bumi dengan kemeja putih yang area lengannya sudah terlipat. Jasnya tersampir dipundak kanan. Sepertinya pria itu baru kembali dari kantor.
"Sa," panggil Bumi. Raksa langsung berdiri dan menatap Bumi serius. Takut-takut ia melakukan kesalahan. Karena melihat tatapan pria itu yang selalu menghunus tajam seolah mengancam.
"Ada yang nyari lo di depan, cewek pake baju SMA," ujar Bumi datar. Lalu pria itu duduk bergabung bersama yang lain.
Raksa mengernyit sebentar, memikirkan siapa perempuan yang mendatanginya. Lama berpikir ia mulai menyadari sesuatu, ia tau siapa perempuan itu. Siapa lagi kalo bukan Nyonya Audy yang terhormat. Iya, Raksa sudah menduga gadis itu pasti akan mendatanginya ke Cafe. Karena Raksa sudah tidak menemuinya beberapa hari ini.
Sangat merepotkan. Lebih merepotkan daripada menjaga Raja kucing peliharaan Bumi.
"Sejak kapan lo deket sama cewek?" tanya Bima kepo, menatap Raksa dengan tatapan memicing.
"Gue gak deket. Cuma lagi dapet musibah aja," balas Raksa cuek, menghela napas malas dan merapikan segala barang yang berada di meja. Pria itu bergegas keluar untuk menghampiri Audy.
"Dia habis ngapain?" tanya Bumi, duduk di samping Bima.
"Gabut dia, katanya mau nyari suara buat bel Cafe. Apaan banget, kayak begitu juga harus di ribetin." Bima menggelengkan kepala.
"Lo habis darimana? Perasaan tadi kata Raksa lo balik duluan dari kantor." Hanson giliran bertanya pada Bumi.
"Apartemen sebentar," balas Bumi cuek. Lalu menatap Jovan yang sedari tadi diam bermain ponsel. "Jov, gimana?"
Jovan langsung mendongak, terdiam sebentar untuk mencerna. Lalu berdehem pelan. "Lokasinya berubah-ubah, kayaknya emang sengaja mau buat kita bingung."
"Situasi?"
"Masih aman, selama cewek lo dalam pengawasan."
Bumi mengangguk pelan.
"Wait, sekarang Sandra di mana?" tanya Bima. Bumi langsung menatap adiknya dengan alis terangkat.
"Jangan bilang lo tinggalin dia di Apartemen sendirian?" selidik Hanson.
Bumi tak menjawab, pikirannya mendadak blank.
"Bodoh, kenapa lo tinggalin sendiri?!" sentak Bima. "Cepet hubungi sekarang!"
Dengan mode lola setengah mati, Bumi mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Sandra.
"Gak diangkat," jawabnya pelan, masih dalam mode mengambang. Bingung setengah mati.
Brak.
"BUMI!"
Keempat pria itu menoleh, mendapati Raksa yang datang dengan tergesa. Napasnya terdengar tersendat dengan muka memerah.
"APARTEMEN LO DI BOM BODOH!" teriak Raksa panik. Sontak keempat pria tadi langsung berdiri dengan wajah terkejut.
"Sialan, jangan bercanda?!" sentak Bumi mencoba menampik. Tidak, ini tidak mungkin. Wajahnya sekarang sudah pucat pasi.
"Gue serius! Salah satu bagian dari perusahaan ada yang lapor." Raksa mengusap wajahnya kasar. "Beberapa menit lalu Apartemen lo meledak tiba-tiba."
"Sandra ... Sandra ... Arghhh, sialan!" Bumi bergerak gelisah, mengusap wajahnya kasar. Menendang meja dengan keras dan langsung pergi dari ruangan.
"Kalian semua ikutin Bumi, gue sama Jovan mau mantau sesuatu." Hanson angkat bicara. Raksa dan Bima langsung mengangguk dan bergerak mengejar Bumi yang sepertinya mulai kalut.
Sedangkan Hanson dan Jovan mengambil laptop. Melacak keberadaan seseorang.
...
"Dia sangat cantik, boleh aku mencicipinya sebentar?"
Seorang pria berpakaian casual dengan kaca mata hitam tersenyum lebar. Tatapannya menatap kagum sosok gadis yang masih terpejam dan dalam keadaan terikat.
"Kau boleh melakukan apapun, tapi nanti setelah aku memberikannya hadiah." Seorang wanita tersenyum menyeringai, memainkan ujung rambutnya dengan gaya centil.
"Siapa namanya?" tanya pria tadi. Umurnya sepertinya tidak beda jauh dengan gadis yang masih terlelap itu.
"Cassandra, mungkin? Aku lupa. Aku tidak begitu peduli dengan namanya. Karena sepertinya nama yang cocok untuk gadis sialan ini adalah jalang."
Pria tadi mendengus dan memutar bola matanya malas. "Seharusnya lo sadar diri," gumamnya pelan.
"Kau mengatakan sesuatu? Ansel?"
Pria tadi lantas tergagap, dengan cepat menggelengkan kepala. "Tidak, Kak. Aku tidak berbicara apapun."
Brianna, wanita yang baru saja dipanggil kakak hanya mengangguk acuh. Ia mengambil satu batang rokok dan mengapitnya.
"Berapa lama obat ini bekerja?" tanya Brianna.
Ansel yang sedari tadi setia menatap kagum Sandra langsung menoleh. "Hanya sebentar, beberapa menit lagi gadis cantik ini akan terbangun." Ansel tersenyum lebar. Sungguh, ia menyukai gadis tahanan kakaknya ini dalam pandangan pertama.
Sebenarnya ia tinggal di Amerika, hanya saja kemarin kakaknya menyuruh dirinya untuk pulang. Meminta sesuatu yang tentu akan mendapatkan imbalan yang tidak main-main.
Ansel tentu masih pelajar, ia seumuran dengan Sandra. Hanya saja ia sangat suka meracik sesuatu yang meledak, contohnya seperti bom. Dan ya, pelaku yang membuat Apartemen Bumi hancur adalah dirinya.
Entah, Ansel juga tidak mengerti. Sebegitu terobsesinya Brianna terhadap Bumi. Sampai menghalalkan segala cara agar Bumi tetap menjadi milik kakanya ini.
"Kakak ke ruangan sebentar, beritahu jika sudah bangun." Brianna bangkit dan berlalu. Ansel mengangguk dan langsung duduk di tempat yang tadi Brianna duduki.
"Sial, ni cewek cantik banget. Gak salah jadi saingan kakak gue." Ansel masih setia menatap kagum Sandra. "Shit, dia udah pernah ciuman." Ansel bergumam setelah tak sengaja matanya menatap bibir Sandra, ia tentu tahu dengan jelas bagaimana ciri-ciri orang yang sudah berciuman. Dirinya sudah sering menjumpai hal seperti ini di Amerika.
"Engh ...."
Ansel lansung menegakkan tubuhnya saat melihat gerakan dari gadis di depannya. Mata lentik itu perlahan terbuka, memicing untuk menyesuaikan cahaya.
Saat matanya terbuka dengan jelas, hal yang pertama ia lihat adalah ruangan kelam. Matanya lalu mengedar, dan jatuh pada sosok pria yang juga sedang menatap ke arahnya dengan senyum lebar.
Sandra mengernyit, mencoba mengingat sesuatu. Namun ia langsung tersadar, begitu merasakan tubuhnya terikat.
Sandra berdesis, Brianna sialan.
"Lepas!" sentak Sandra tiba-tiba. Menatap tajam sosok pria yang entah Sandra tidak tahu siapa.
Ansel tentu terkejut, ia langsung bangkit menghampiri Sandra.
"Hey, tenanglah."
"Lepas, sialan!" sentak Sandra kesal. Ansel lantas berdecak kagum.
"Wow," decaknya menggelengkan kepala. Sepertinya gadis ini bukanlah gadis lemah yang bisanya menangis.
"Brianna! Tante girang! Di mana lo, hah?! Main lo cupu banget!" Sandra berteriak nyaring, membuat Ansel reflek menutup telinganya.
"Badgirl," bisik Ansel pelan. Menjilat bibirnya dan menyeringai. Tak salah jika ia benar-benar menyukai gadis ini sedari awal.
"Ah, ratu murahan sudah bangun?"
Sandra menoleh, dan langsung menatap tajam Brianna.
"Main lo cupu!" sentaknya yang langsung mendapat tawa renyah dari Brianna. Wanita itu mendekati Sandra dan mencengkram dagunya kuat.
"Jalang kecil!" desisnya penuh emosi.
Plak.
"Sialan!" geram Sandra menggigit bibirnya. Pipinya terasa panas setelah mendapat tamparan dari Brianna.
"Jangan menyakitinya." Ansel menahan lengan Brianna yang hendak menampar Sandra kembali.
Brianna menghempaskan tangan adiknya dan menatapnya dengan tajam.
"Tugasmu sudah selesai. Pergi Ansel, kakak tidak butuh kamu lagi."
Ansel mendengus kesal. " Tapi kakak janji gak bakal nyakitin, cukup kasih apa yang mau kakak kasih. Jangan berlaku lebih."
Brianna memutar bola matanya malas. "Pergolah bocah, jangan mehgurusi urusanku."
"Tapi--"
"KELUAR ANSEL!" Brianna menatap tajam adiknya. Wajahnya sudah memerah.
"Oke, Ansel keluar!" putus pria itu mengangkat kedua tangannya ke udara. Menatap Sandra sebentar dan berlalu pergi.
Kini tinggal Brianna dan Sandra di dalam ruangan tersebut. Mereka saling memberikan tatapan tajam.
Brianna maju untuk mendekat dan melepas ikatan Sandra.
"Saya sebenarnya tidak ingin melakukan banyak drama. Berkelahi yang membuang-buang waktu." Brianna menepuk kedua tangannya membersihkan kuman. Sedangkan Sandra mulai mengikat rambutnya, mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Mengabaikan rasa sakit pada pipi dan pinggangnya.
"Jadi? Tujuan lo apa? Ngerusak Apartemen Bumi, terus bawa gue ke sini?" tanya Sandra melipat kedua tangannya di dada.
"Memberimu hadiah." Brianna tersenyum paksa. Lalu beranjak mengambil sesuatu di belakang meja.
"Kamu pasti akan menyukainya." Brianna memberikan sebuah kotak yang tutupnya sengaja sudah terbuka.
Dengan malas Sandra mengambilnya. Mengambil apa isi di dalam kotak tersebut.
"Wow, bagus. Edit di mana nih? Keren banget!" kagum Sandra tersenyum pura-pura. Menatap sebuah gambar yang sudah dicetak dan sepertinya sudah bertahan cukup lama.
Brianna ikut tersenyum, lalu menggelengkan kepala. Ia kembali mengambil sesuatu di balik laci meja. Membukanya dihadapan Sandra, juga menampilkan sesuatu di anggota tubuhnya.
Sandra langsung terdiam, membisu. Pikirannya mendadak berhenti bekerja. Terkejut, dan sangat terkejut.
....
"Gimana? Udah ketemu titik lokasinya?" tanya Bima, menelpon Hanson.
"Brianna bawa Sandra ke salah satu pulau kecil di Bali. Gue sama Jovan menuju ke sana."
"Oke, lo sharelock sekarang. Gue, Raksa sama Bumi nanti nyusul. Kita lagi nunggu helikopter jemput."
"Gue udah kirim lokasi, jangan pernah matiin ponsel lo, Bim. Jaga Bumi juga, jangan sampai dia lepas kendali."
"Oke."
Tut.
Bima menyimpan ponselnya di saku, lalu berbalik. Menatap jengah Raksa yang mencoba meredam emosi Bumi.
"Percuma, sampe lo mau bius dia sekalipun kalo udah emosi dia gak bakal bisa diredamin." Bima menarik lengan Raksa untuk menjauh. "Yang ada nanti lo jadi sasaran dia."
Raksa mendengus kesal. "Terus gimana anjir? Itu beberapa jari dia udah patah! Nonjok temboknya kenceng bener, gak sakit apa?"
Bima terkekeh pelan. "Lokasi Sandra udah ditemuin, yakin masih mau mukul tembok kayak begitu?"
Berhasil.
Bumi langsung menoleh, menatap Bima serius. "Di mana?!"
"Brianna bawa dia ke pulau kecil di Bali. Hanson udah ngirim lokasinya. Sekarang dia udah ke sana."
"Tunggu apa lagi?! Cepat ambil helikopter!!" bentak Bumi murka.
Bima mendengus. "Iya! Gue udah suruh pengawal, mereka masih di perjalanan!"
"Ck, becus. Sial, lama sekali! Pecat saja mereka, arghh sialan!" Bumi menendang batu kerikil asal. Keadaannya sudah sangat acak-acakan sekarang.
"Lama!" desis Bumi pelan. Pria itu berjalan tergesa menuju mobil. Menjalankan dengan kecepatan super cepat.
"EH DUNIA, MAU KEMANA LO?!" teriak Raksa kaget.
"Anj--Bima sakti, sodara lo bego apa gimana sih? Masa ke bali pake mobil? Sampe lo ngeduda pun gak bakal nyampe itu ke sana!"
"Yang udah bucin mah beda," gumam Bima terkekeh sembari berjalan menuju mobil miliknya. Raksa ikut mengekor di belakang.
"Lo belum pernah bucin, jadi belum pernah ngerasain." Bima mulai menjalankan mobilnya untuk mengejar Bumi.
"Kayak lo pernah bucin aja!" sinis Raksa.
Bima kembali terkekeh. Namun hanya sebentar, karena setelah itu raut wajahnya berubah serius dengan pandangan lurus ke depan.
Raksa ikut menoleh ke depan dengan penasaran. Dan matanya seketika melotot.
"Si Syaiton ngapain lagi sih, anjing?!" umpatnya kesal begitu mendapati Sailon sedang berhadapan dengan Bumi di depan sana.
Mereka berdua bergegas keluar dari mobil dan menghampiri mereka.
Sepertinya, sebuah kejadian menyenangkan akan terjadi sebentar lagi.
....
Revisi/150421
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top