Évidemment?

HAPPY READING!

...

Évidemment? = Ternyata?

     Sandra berjalan menelusuri koridor rumah sakit. Hari sudah mulai gelap. Sandra belum memutuskan akan pergi kemana setelah ini.

"Ngapain pake ke sana segala sih lo, San!" gumam Sandra pada diri sendiri. "Lupain dia, jangan ditangisin lagi, lepasin, udah jangan dipikirin!" Sandra terus meyakinkan dirinya.

Sandra akan mencoba menguatkan dirinya, melupakan segala kenangan manis dan mencoba kembali hidup normal seperti biasanya. Meskipun ia tau melakukan hal tersebut adalah masa-masa paling sulit untuk Sandra lakukan.

Setelah berhasil keluar dari rumah sakit, Sandra sekarang berdiri di pinggir jalan untuk menunggu kedatangan Taxi.

Selang beberapa menit menunggu, Sandra dikejutkan dengan satu buah mobil yang terparkir tepat di depannya. Sandra merasa mobil itu sangatlah tidak asing. Hingga kaca mobil mulai terbuka, menampilkan sosok pria yang selama ini selalu menghantui pikiran Sandra.

"Masuk," ujarnya pada Sandra. Tentu Sandra menggeleng dengan datar dan langsung memalingkan muka.

"Masuk Sandra," tekan pria itu sekali lagi. Sandra mulai bimbang, menggigit bibir bawahnya merasa ragu.

"Sandra ...."

"Iya oke, gue masuk!" putus Sandra dengan cepat, segera masuk ke dalam mobil Bumi yang sedari tadi terus memaksanya.

Sandra menutup mobil dengan cukup keras, memasang seatbelt dan memalingkan muka, menatap ke arah jendela.

Bumi menghela napasnya, dan mulai menjalankan mobilnya. Suasana di dalam mobil sangat hening, tidak ada yang bersuara. Hingga Bumi memberanikan diri memulai pembicaraan.

"Maafkan saya, San--"

"Basi," potong Sandra cepat tanpa mau menoleh.

"Saya--"

"Jadi bener lo yang lakuin? Bayi yang dikandung wanita sialan itu anak lo?" tanya Sandra cepat, namun tatapannya masih setia ke arah jendela dengan tatapan kosong.

Bumi terdiam sebentar, bibirnya mendadak kelu. Dengan berat hati ia mulai berkata, "i-iya, saya yang-"

"Udah, stop. Berhentiin mobilnya sekarang." Sandra menatap Bumi datar.

Bumi memberhentikan mobilnya di pinggir jalan. Pria itu memejamkan matanya sebentar dengan tangan yang sibuk menggenggam erat stir mobil. Belum membiarkan Sandra keluar, dan tubuhnya ia hadapkan sepenuhnya ke arah Sandra.

"Saya memang brengsek, saya bajingan, saya--"

"Iya, lo brengsek! Lo bajingan! Lo pria sialan! Lo, lo udah buat hati gue hancur! Lo manusia laknat, lo setan! Puas lo hah?!" teriak Sandra emosi menatap berang Bumi, air matanya sudah mengalir. Hatinya kembali merasakan sakit teramat dalam. Sandra menepuk dadanya yang terasa sesak.

"Sial, gue udah coba buat terlihat baik-baik aja dihadapan lo. Tapi rasanya susah! Lo keterlaluan! Lo udah buat hati gue hancur, Bumi. Lo sialan, lo brengsek!" Sandra memukul dada Bumi sekuat tenaga, melampiaskan amarah yang selama ini ia tahan dan terus di pendam.

Bumi menatap Sandra sendu, hendak menarik Sandra ke dalam pelukan. Namun yang ia dapat adalah sebuah tamparan.

Iya, Sandra menampar Bumi cukup keras.

"Makasih, makasih udah buat luka yang belum sembuh itu semakin menganga dan terbuka lebar. Makasih udah nyadarin gue kalo lo bukan cowok baik-baik, makasih banget, Bumi. Makasih udah pernah singgah dan nyadarin gue kalo lo itu cuma sekedar sampah." Sandra berbalik untuk membuka pintu mobil. Namun saynagnya, pintu masih terkunci otomatis.

"Buka," suruh Sandra pada Bumi.

"Sandra, dengarkan saya." Bumi hendak meraih lengan Sandra, namun dengan cepat Sandra tepis.

"Buka pintunya!" bentak Sandra dengan wajah yang sudah memerah.

"Dengarkan saya dulu, Sandra."

"Jangan! Jangan ngomong apapun, cukup Bumi! Jangan buat hati gue semakin sakit, udah cukup! Tugas lo sekarang pergi, jauhin gue, biarin hati gue istirahat! Jangan nambah luka lagi!" teriak Sandra dengan tangis yang belum reda. Bumi yang melihat itu sampai ikut mengeluarkan air mata. Dengan sangat tidak rela pria itu membuka kunci, membiarkan Sandra pergi.

Sebelum Sandra keluar, gadis itu mengusap pipinya yang basah. Menatap Bumi dengan perasaan sakit yang luar biasa.

"Gue tahu. Gue tahu, gue kuat dan hebat. Gue pernah cinta sama lo dengan sangat luar biasa. Maka, hari ini ...." Sandra menatap Bumi sedikit sendu, terlihat jelas binar luka dari bola mata gadis itu. "Hari ini gue harus ikhlasin lo dengan hati yang lapang luar biasa."

Bumi langsung memalingkan muka. Menyembunyikan air mata yang lagi dan lagi menetes begitu saja.

"Makasih, gue harap lo bahagia." Sandra langsung keluar dari mobil dan berlari tak tentu arah.

Bumi mengerang marah, memukul stir kuat. Membenturkan kepalanya dikaca mobil beberapa kali.  "Arghhh!" teriak Bumi marah, hingga air mata kesakitan itu kembali mengalir dengan deras.

"Andai kamu tahu, bahwa ada sesuatu yang harus dijawab iya walau sebenarnya dilatarbelakangi dengan kata tidak."

...

Sandra menumpahkan tangisnya di taman yang untungnya sedang sepi. Gadis itu terus terisak dengan posisi memeluk lututnya sendiri.

Saat dimobil tadi, sekuat tenaga Sandra menahan untuk tidak memeluk Bumi. Jujur ia sangat merindukan pria itu. Namun semuanya seketika sirna begitu Sandra mendengar kebenaran yang langsung keluar dari mulut Bumi.

Kecewa? Sangat. Sandra begitu tidak menyangka Bumi menjadi sosok pria seperti itu. Rasanya semakin sakit, hatinya terasa sangat perih.

"Aduh, gue tadi denger suara orang lagi nangis. Eh ternyata yang nangis bidadari."

Sandra mendongak saat mendengar suara pria di depannya.

"Tersesat dan gak tau arah jalan pulang ke kayangan, ya?" tanya pria tersebut yang sudah berjongkok dihadapan Sandra.

Sandra langsung memalingkan muka dan mengusap pipinya secara kasar.

"Lo ngapain ada di sini?" tanya Sandra serak tanpa mau menoleh.

Pria tersebut mendengus. "Lo punya indra ke enam?" tanyanya ngawur. Sandra langsung menoleh dengan tatapan aneh.

"Apaan sih?"

Pria tersebut tertawa, "habisnya lo tadi nanya ngadep ke sana, lo lagi nanya siapa? di sana kan gak ada orang."

Sandra mendengus, "gue nanya setan."

"Serius? Lo bisa lihat? Mana? Setannya di mana? Dia lagi ngapain?" tanya pria itu bertubi-tubi.

"Dia lagi jongkok, di depan gue, mukanya ngeselin banget!" jawab Sandra sewot.

Pria tersebut lantas terdiam sebentar, mencerna ucapan Sandra. Lalu menatap tubuhnya sendiri cukup lama.

"Lah, gue dong?" balasnya setelah beberapa detik.

"Lah, baru nyadar?" sinis Sandra seketika melupakan sejenak kesedihannya.

"Enak aja, ini Ansel. Anselio Raden Rayt." Iya, Ansel. Pria itu lah yang menghampiri Sandra. Entah tau darimana pria itu sampai bisa datang menghampiri Sandra seperti ini. Tidak mungkin juga bukan, kalau Ansel mengikuti Sandra.

"Bangun deh, ini pemerintah udah sediain kursi buat didudukin. Lo malah duduk di rumput." Ansel berdiri sembari mengulurkan tangannya. Namun Sandra tak menerima uluran tangan tersebut, ia bangkit sendiri dan langsung duduk dikursi.

Ansel hanya terkekeh, lalu ikut duduk di samping Sandra.

"Ngapain sih?" sentak Sandra merasa risih.

"Lo lihat pohon jambu di depan gak?" tanya Ansel sembari menunjuk pohon di depannya.

"Gue gak buta," balas Sandra sewot. Tentu ia bisa melihat pohon jambu yang jaraknya tidak jauh dengan posisi ia duduk.

"Nih dengerin gue." Ansel mengubah posisi duduknya menghadap Sandra. "Jika ketinggian pohon mangga itu terhitung sekitaran lima meter, dan berat satu buah mangga itu sekitar lima ratus gram. Jadi, kira-kira berapa ya, nomor wa lo?"

Krik krik

Sandra hanya menatap Ansel datar. Sedangkan Ansel yang mendapat respon seperti itu langsung merenggut.

"Garing ya?" kekehnya menggaruk kepala. Sandra kembali menatap lurus ke depan mengabaikan Ansel.

Ansel berdehem, "sebenarnya gue juga gak suka dan masih gak percaya kalo ternyata yang hamilin kak--"

"Jangan dibahas, udah stop. Kalo lo mau bahas itu lagi mending lo pergi." Sandra dengan cepat memotong ucapan Ansel.

Ansel segera merapatkan bibirnya. "Iya maaf, Kasa."

"Kasa?" Sandra menatap Ansel bingung.

"Nama lo kan Cassandra, yaudah gue panggil lo kasa." Ansel nyengir. Sandra langsung mendengus. Ada-ada saja memang pria ini.

"Eh, udah dong lo jangan galau terus." Ansel menepuk bahu Sandra tiba-tiba. Reflek Sandra menepis tangan Ansel dan menatapnya tajam.

"Jangan sentuh gue, Seli."

"Hah? Seli?"

"Nama lo kan Anselio, yaudah gue panggil lo Seli." Sandra tersenyum paksa, membalas ucapan Ansel.

"Ih gemes banget sih!" seru Ansel tiba-tiba yang tentu membuat Sandra terkejut. Gadis itu menatap aneh Ansel.

"Sandra?"

Kedua sejoli itu lantas menoleh ke arah sumber suara. Tepatnya di depan mereka, terdapat dua orang pria dengan wajah hampir mirip sedang menatap khawatir ke arah Sandra.

"Kak Noah, Kak Nial?" Sandra sontak bangkit menatap dua pria itu dengan terkejut. Tak menyangka dengan kehadiran dua saudaranya yang sudah lama menghilang.

"Kamu gak papa?" Nial lebih dulu mendekati Sandra, memeriksa tubuh saudaranya.

"Kita nyariin lo tau, jangan bikin orang lain pusing. Ngerepotin banget deh ja--"

"Diam Nial!" sergah Noah menatap saudaranya kesal. Jika mereka sudah dipertemukan selalu saja ada kejadian adu mulut yang membuat kepala Noah pusing.

"Kak Noah sejak kapan ada di Indo?" tanya Sandra menghiraukan ucapan Nial.

"Sejak Papa ngasih tau kalo lo sa--"

"NIAL!" bentak Noah kesal. Nial langsung tersentak kaget dan seketika bungkam. Jika Noah sudah membentak artinya peringatan terakhir untuk segera diam. Karena jika tidak, pria itu akan semakin murka.

"Kita pulang sekarang, ya?" ajak Noah mengelus kepala Sandra. Sandra mengangguk patuh dengan tangan yang sudah menggenggam erat tangan Noah.

Tatapan Noah jatuh pada sosok pria di belakang Sandra. "Dia siapa?"

"Saya calon pacarnya Sandra, nama saya Ansel!" Pria itu bangkit dan menghampiri Noah. Mengulurkan tangannya dan tersenyum manis. Noah menerima uluran tangan tersebut dengan wajah yang masih kebingungan.

"Jangan dengerin, dia bukan siapa-siapa. Ayo pulang sekarang," sergah Sandra langsung memisahkan genggaman tangan Noah dan Ansel. Lalu menarik Noah pergi dari sana.

Nial dan Ansel saling bertatapan. Ansel yang melempar senyum dan Nial yang mengeluarkan raut wajah datar.

"Aneh," gumam Nial setelah itu pergi meninggalkan Ansel.

Ansel melunturkan senyumnya. "Itu semua saudara titisan iblis apa gimana sih? Sikapnya sinis semua sama gue!" gerutu Ansel kesal.

...

Dalam sebuah ruangan yang luasnya cukup besar, dua orang pria nampak sibuk dengan berkas mereka. Salah satu pria di sana sesekali melirik pria yang duduk disofa. Menurutnya tingkah sekretarisnya itu sekarang terlihat sangat aneh. Yang biasanya selalu ricuh dan mendumel, kali ini ia melihat pria itu terus banyak diam dan sesekali menatapnya sinis.

"Raksa," panggil Bumi pada akhirnya.

"Hm," balas Raksa tanpa mau menoleh, sibuk bermain ponsel disofa.

"Berkas yang tadi saya suruh cek, udah beres apa belum?" tanya Bumi.

"Udah."

"Bawa ke sini."

"Ambil aja sendiri," sahut Raksa cuek. Bumi yang tadinya menunduk membaca berkas langsung mendongak, menatap Raksa aneh.

"Lo kenapa sih?" Bumi bangkit dan mengambil berkas sendiri. Lalu kembali duduk di kursi.

"Gak tau, mager." Raksa tetap fokus bermain ponsel, wajahnya nampak tak bersahabat. Bumi hanya menggelengkan kepala dan melanjutkan pekerjaannya.

Selang beberapa menit, Bumi kembali memanggil Raksa. "Sa, tolong ambilin berkas map hitam di laci deket sofa."

"Punya kaki kan? Ambil sendiri." Raksa berujar sinis sembari mengubah posisinya menjadi membelakangi Bumi.

Bumi menatap tajam Raksa. "Lo ada masalah apa sama gue?" tanya Bumi kesal. Raksa tak menjawab dan sibuk bermain ponsel. Malah pria itu mulai menyalakan musik dengan volume yang cukup tinggi.

"Berisik Raksa, jangan ganggu konsentrasi gue!" teriak Bumi geram.

"DAN IJINKAN AKU ... MEMELUK DIRIMU KALI INI SAJA .... TUK UNGKAPKAN SELAMA TINGGAL UNTUK SELAMANYA ... DAN--"

Brak

"Heh air Raksa jahanam, lo bisa gak sih gak usah galau di jam kerja?! Teriakan lo sampe ke ruangan gue, onta!" teriak seseorang yang baru saja melempar bantal sofa ke arah Raksa.

Raksa langsung bangkit, mengelus pipinya yang terasa kebas akibat ditimpuk bantal keras.

"Apa sih, Bim? Repot amat hidup lo?" Raksa menatap Bima kesal. Bima langsung berkacak pinggang.

"Hidup lo yang repot! Ini jam kerja, bukan jam karaoke. Jangan teriak-teriak nggak jelas, karyawan yang lagi pusing ngerjain tugasnya nambah pusing denger suara lo yang gak bagusnya itu nauzubillah banget!" cerocos Bima kelewat kesal.

"Yeu ... lo lebay banget. Gue aja ba--"

"Keluar jika kalian berdua masih ingin bertengkar, saya sedang si--"

"DIAM!" teriak Bima dan Raksa spontan membuat Bumi terkejut. Menatap kedua pria itu tajam menusuk. Apa-apaan maksudnya ini?

"Jaga perilaku kalian, ingat ini kawasan siapa." Bumi menatap keduanya mengancam.

Bima dan Raksa langsung menelan salivanya susah payah. Saling senggol menyenggol menyalahkan.

"Lo sih, dateng-dateng langsung marah-marah!" bisik Raksa menyenggol lengan Bima.

"Kalo lo gak teriak gak jelas gue gak bakalan nyamperin ruangan menyeramkan ini, tai." Bima tidak mau disalahkan dan ikut menyenggol Raksa.

"Cepet minta maaf!" lanjut Bima.

"Nggak, dih. Gak mau gue, ngapain." Raksa bergidik dan memalingkan muka.

Bima mendengus, karena tidak mau jabatannya menjadi ancaman di kantor milik Bumi itu. Ia pada akhirnya mendekati Bumi dengan wajah murung.

"Maaf, janji gak bakal ngulangin lagi." Bima menunduk.

Bumi mendengus kesal. "Cara meminta maaf kamu seperti anak usia lima tahun yang ketauan mencuri es krim, Bima."

"Banyak mau banget deh," gumam Raksa mendumel yang tentu dapat Bumi dengar. Pria itu lantas kembali menatap Bima dengan datar.

"Bilangin ke orang yang di belakang kamu, kalau punya masalah sama saya bicara langsung, jangan mendumel tidak jelas dari belakang." Bumi menatap Bima sembari sesekali melirik Raksa datar.

Bima mengangguk, langsung berbalik dan menghampiri Raksa. "Kata Bumi, kalo lo punya masalah sama dia ngomong langsung, jangan dumel gak jelas dari belakang."

Raksa mendengus kesal begitu melihat Bima yang terlalu menurut. "Gue denger, tai!"

Bima mengangguk dan berbalik menghampiri Bumi. Dengan polos pria itu berucap, "kata Raksa, gue denger tai."

Raksa langsung melotot, menendang pantat Bima kesal. Bima yang tidak terima langsung berbalik dan menatap Raksa geram.

"Pantat gue kenapa di tendang, sialan?!"

"Lo kenapa ngasih tau ke dia juga?!"

"Lah emang harus gue kasih tau dong!" sahut Bima tidak terima.

Raksa memutar bola matanya malas. "Kasih tau juga ke bos lo, selagi masih punya tangan dan kaki jangan main suruh-suruh seenaknya!" sewot Raksa menyindir.

Bima mengehela nafasnya pelan. Berbalik menghampiri Bumi, baru saja ingin membuka mulut Bumi sudah menyela.

"Beritahu pria di belakang kamu, jika sudah tidak berniat bekerja jangan datang kesini lagi. Saya masih mampu untuk mencari sekretaris baru." Bumi berucap sembari menatap Raksa tajam. Raksa ikut menatap Bumi kesal.

Bima berbalik, hendak membuka mulut menyampaikan apa yang Bumi katakan, lagi dan lagi ucapannya di sela Raksa.

"Lo nyium bau sesuatu gak sih?" celetuk Raksa sembari berpura-pura mengendus.

"Bau apa?" tanya Bima bingung.

"Gue mencium bau-bau penghianatan," kekehnya terkesan menyindir. Bima yang masih dalam kode lemot hanya mengernyit tidak mengerti.

"Bima," panggil Bumi lagi. Bima segera berbalik dan menatap Bumi tanda tanya.

"Sekali lagi tolong bilang ke pria di belakang kamu, kalo ada masalah sama saya bilang, jangan nyinyir tidak jelas seperti perempuan."

Bima berbalik, bersiap membuka mulut menyampaikan apa yang barusan Bumi katakan, namun lagi dan lagi ucapannya di sela Raksa.

"Bilang ke bos lo, kenapa--"

"IYA GUE MAU BILANG KE LO BERDUA, JAMAL SAMA TOHA. KENAPA GAK NGOMONG SENDIRI AJA, BODOH?! KAKI GUE CAPEK BOLAK-BALIK, MULUT GUE PEGEL, SIALAN. MANA GUE BEGO LAGI NURUT GITU AJA SAMA KELAKUAN LO BERDUA!" Bima mengatur nafasnya setelah selesai berteriak. Berjalan menuju pintu keluar dengan emosi yang menggebu, lalu mendobrak pintu dengan cukup keras.

"Urus aja permasalahan rumah tangga kalian sendiri!" sentaknya kesal lalu menghilang dibalik pintu.

Raksa dan Bumi saling tatap cukup lama.

"Apa?!" sewot Raksa kesal. Bumi hanya mendengus dan lebih memilih kembali fokus pada pekerjaannya.

Raksa mendelik, berbalik dan melangkah keluar.
"Jangan cari gue, gue cuti hari ini. Awas aja lo kangen sama gue, gak bakal gue samperin!" ujar Raksa sewot lalu menutup pintu ruangan Bumi cukup keras.

Bumi hanya memutar bola matanya malas. Tingkah Raksa ternyata masih saja sama. Seperti anak kecil.

Dan yang dimaksud cuti oleh Raksa adalah pria itu mengungsikan dirinya ke ruangan Bima. Tanpa mengetuk pintu Raksa langsung nyelonong masuk dan duduk disofa.

"Astaga, ini beban ngapain kesini?" kesal Bima jengah. Raksa merenggut dan rebahan disofa. "Hasil yang lo selidikin gimana?" tanya Raksa mulai serius.

Bima ikut merubah raut wajahnya karena mulai mengerti dengan perubahan situasi.

"Gue udah suruh bawahan gue buat cek ke tempat bar yang dimaksud Brianna. Mereka otw ke kantor buat laporan." Bima menyandarkan tubuhnya dikursi. Akhir-akhir ini memang dirinya menjalankan penyelidikan bersama Raksa terkait Bumi dan Brianna.

"Heh Bima Sakti kelewat bego setengah mati!" sentak Raksa tiba-tiba bangkit dari sofa. "Lo mau sekarat di ini kantor? Nyari mati lo, hah? Ngundang Malaikat Izrail lo kemari?!" lanjut Raksa sinis.

"Apa sih?" Bima merespon kebingungan.

"Lo bawa bawahan lo kesini sama aja lo menaruh curiga ke si dunia, geblek! Kita bahas ditempat lain dong, setan! Ah, lo mah minta banget gue hujat, anjir!" cerocos Raksa gemas.

"Biasa aja dong!" Bima ikut merasa kesal karena Raksa terus memakinya. "Jadi kita harus gimana sekarang?" tanya Bima setelahnya.

"Pindah lapak! Suruh bawahan lo ke markas lo aja, kita bahas itu di sana!" Bima langsung mengangguk dan mengambil ponsel untuk menghubungi bawahnnya.

"Udah gue kirim pesan, ayo cabut!" Bima mengambil jasnya dan segera pergi dari kantor Bumi.

Selang beberapa menit, mereka sampai di markas milik Bima. Markas kumpulan para preman yang tentu berada dibawah naungan Bima.

Bima segera masuk ke dalam, para preman di sana langsung bangkit dan membungkuk saat tuan mereka datang. Bima hanya balas dengan anggukan dan berlalu menuju ruang rapat.

Ternyata di sana sudah ada bawahan yang selama ini ia suruh untuk menyelidiki sebuah bar di Italia dan juga menyelidiki kejadian di Bali beberapa waktu lalu.

"Bagaimana?" tanya Bima to the point. Duduk di kursi diikuti Raksa.

Ali, pemimpin dari orang yang Bima suruh mendekati tuannya. Menyerahkan tab yang sudah menampilkan rekaman beberapa detik kejadian di bar.

"Saya hanya bisa mendapatkan pergerakan sampai koridor tuan, di dalam kamar terdapat privacy karena kamar yang wanita itu pesan adalah kamar VIP."

Bima mengangguk, mengambil tab dan memperhatikan deretan kejadian di dalam tab tersebut.

Ia melihat Brianna mendekati pria yang sedang duduk dipojok kanan, memakai jas hitam dengan rambut acak-acakan.

"Shit, ini beneran Bumi?" Raksa semakin mempertajam penglihatannya. "Gak jelas banget anjir, kalo dari atas keliatan Bumi, tapi kalo dari segi lain juga mirip lo, Bim."

Bima lantas terdiam, memperhatikan dengan serius rentetan kejadian dalam video tersebut. Dimulai saat mereka berbincang, sang pria yang memegang kepalanya, dan si wanita yang memapah tubuh sang pria dan membawanya ke sebuah kamar VIP.

"Shit, ini bukan Bumi. Ini ...." Raksa mendongak, menatap Bima ragu.

"Maaf tuan, sebelumnya saya juga menemukan jejak foto di ruangan terakhir tempat Tuan Bumi dan Brianna berbicara. Foto ini terlihat sedikit lecet karena sepertinya sehabis di remas oleh seseorang." Ali memberikan sebuah foto pada Bima.

Bima dengan cepat merampasnya, mata tajamnya menelisik memperhatikan wajah sang pria yang ternyata benar tidur dengan Brianna.

"Shit, ini bukan Bumi!" Bima menggelengkan kepalanya tidak percaya. Wajahnya sudah pucat pasi. "I-ini gue, te-ternyata gue yang udah tidur sama jalang itu."

....

Team mana nih kalian?
Sabu (Sandra Bumi)
Rasa (Cakra Sandra)
Ansan (Ansel Sandra)

Revisi/150421

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top