En fait, Parti et Disparu
Warning
Part ini terdapat beberapa kata kasar, harap kalian bijak dalam membaca, ya.
En fait, parti et disparu = Kenyataan, Pergi dan Menghilang.
Flashback
Dua pria dengan wajah yang hampir sama sedang duduk mengobrol di balkon hotel. Pandangan mereka jatuh pada langit malam yang nampak terlihat cerah dan sangat indah.
"Klien yang kemarin ngasih janji malam ini, ditunda. Istrinya sakit dan harus dibawa ke rumah sakit," ujar Bima membuka suara, Bumi langsung berdecak mendengarnya.
"Jadi, lagi dan lagi jadwal balik ke Indo ditunda?" balas Bumi sedikit merasa tidak terima. Entah mengapa saat ini hatinya terasa tidak tenang dan terus memikirkan seseorang di sana.
Bima mengangguk. "Terpaksa, iya."
Bumi kembali berdecak dan memalingkan muka.
"Kenapa? Kangen lo sama Sandra?" ejek Bima terkekeh pelan. Bumi tak menghiraukan ucapan Bima.
"Gue mau pergi, lo mau ikut?" tanya Bima sudah bangkit berdiri. Bumi langsung mendongak menatap bingung adiknya. "Ke mana?" tanya pria itu.
"Ke Bar, sumpek gue di hotel mulu sama lo. Raksa juga sekarang lagi have fun sama temennya yang kebetulan ada di Italia. Lo ikut gue aja ke Bar, ayo." Bima menepuk bahu Bumi dan segera masuk ke dalam kamar. Bumi tak menghiraukan dan tetap duduk di balkon. Pria itu mulai mengambil sebatang rokok dan mengapitnya di antara jari tengah dan telunjuk. Mengarahkan rokok tersebut pada bibirnya dan mulai menyalakan api. Asap mulai mengepul seiringan dengan Bima yang datang dengan keadaan yang sudah berganti pakaian.
"Lo mau ikut apa nggak?" ajak Bima lagi. Bumi menggeleng pelan dan mengibaskan tangannya menyuruh Bima pergi.
Bima pada akhirnya mengangguk tak memaksa dan meninggalkan Bumi sendirian di Hotel.
Sesampainya di Bar, pria itu langsung memesan bir dengan kadar alkohol yang lumayan tinggi. Entah, Bima hanya sedang ingin. Sambil menunggu, Bima duduk di salah satu sofa yang kebetulan kosong. Ia bersandar pada sofa, menaikan salah satu kakinya dan ditumpukan pada paha kaki yang lain. Matanya mengedar memperhatikan banyak manusia berlalu lalang.
"Mr.Bumi? Apakah ini benar anda putra dari Mr.Ajalio?" Seseroang pria muda berpakaian jas datang menghampiri Bima.
Bima segera membenarkan letak duduknya. "Ah, maaf. Sepertinya anda salah orang. Saya Bima, saudara kembar dari Bumi. Memang wajah kami sekilas hampir terlihat sangat mirip."
Pria yang baru saja duduk lantas tersenyum kikuk dan meminta maaf.
"Saya kira anda Bumi, wajah kalian memang benar sangat mirip sekali." Pria tersebut tersenyum canggung.
"Ah, hampir lupa. Perkenalkan, nama saya Owen, saya teman lamanya Bumi." Owen lagi dan lagi mengulurkan tangannya yang langsung diterima oleh Bima.
"Saya Bima, tentu anda sudah tau siapa saya." Bima terkekeh pelan sambil melepas genggaman tangan mereka. Owen mengangguk ikut terkekeh pelan.
"Urusan pekerjaan juga datang ke Itali?" tanya Owen.
Bima mendongak, lalu mengangguk. "Saya bersama Bumi kemari untuk bertemu klien dan juga melihat perkembangan salah satu cabang perusahaan kami yang berasa di sini."
"Bumi juga ada di Itali rupanya?"
"Tentu saja, dia sekarang sedang di hotel. Pria itu tidak mau kemari meskipun sudah saya paksa beberapa kali."
Owen tertawa. "Dia tidak suka bermain wanita, dia lebih suka bermain dengan nyawa." Bima langsung mengangguk dan kembali tertawa renyah.
Hingga selang beberapa menit bartender datang membawa pesanan Bima. Kedua pria itu langsung akrab dan sibuk mengobrol. Ditambah lagi mereka berdua sama-sama mabuk karena efek alkohol.
Bima sudah mulai tidak sadarkan diri, ia bersandar pada sofa sembari memijat pelipisnya yang terasa pening. Owen bangkit dan menepuk bahu Bima. Memberi kode untuk ijin pamit dan bergabung dengan para wanita.
Bima tetap setia bersandar pada sofa. Kepalanya terasa semakin pening. Dengan setengah kesadaran yang ada ia mencoba untuk mengambil ponselnya. Namun sayangnya Bima tidak bisa. Kesadarannya hampir saja hilang jika seseorang tidak datang menghampiri Bima.
"Hai, my boy." Samar-samar Bima melihat wanita seksi duduk di sampingnya. Ia tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya, terlihat samar dan buram.
"Siapa kamu?" selidik Bima dengan mata memicing.
"Hey, ini aku Brianna."
Bima mengernyit bingung, berpikir keras mencari deretan nama perempuan yang selama ini ia ingat. Dan nama Brianna tidak ada di deretan nama itu.
Bima terkekeh, ia tidak peduli. Kepalanya sudah semakin pening.
"Bawa saya ke kamar, saya sangat mengantuk." Bima memijat pelipisnya yang terasa sangat pening. Ia merasakan wanita itu memapah Bima dan membawanya ke salah satu kamar VIP.
Sesampainya di sana, Bima dibaringkan oleh wanita itu di ranjang. Karena keadaan yang sudah sangat pening, Bima memutuskan untuk memejamkan matanya sepenuhnya.
"Kamu sedikit berubah ternyata." Samar-sama Bima mendengar lirihan itu, namun ia tidak peduli dan semakin ingin cepat-cepat terlelap. Namun nyatanya salah, Bima malah merasa panas saat wanita itu mengelus pipinya lembut seolah menggoda.
Shit, umpat Bima.
Wanita semakin gencar menggoda Bima dengan menyentuh beberapa bagian dari tubuh pria itu yang lumayan sensitif. Otomatis Bima semakin merasa terpancing, terangsang dan langsung mencumbu wanita yang sendiri tidak tau siapa.
Bima tidak peduli dengan wanita itu yang terus-terusan memotret, yang Bima inginkan adalah kepuasan karena wanita ini sudah memancingnya sedari awal.
Dan setelahnya, mereka berdua melakukan hal keji itu. Bima dengan situasi dikabut gairah, dan si wanita yang menikmati semuanya dengan kesenangan.
Flashback Off.
"Sial, sial, sial!" umpat Bima mengacak rambutnya frustasi. Pria itu menonjok dinding ruangannya cukup keras.
"Anjing, kenapa gue bisa lupa?! Kenapa gue baru inget sekarang? Lo goblok, Bim! Arghhh!" Bima membenturkan kepalanya ke dinding cukup keras beberapa kali.
Bugh
Bugh
"Udah, woy!"
Raksa yang tadinya sibuk melamun seketika tersadar dan dengan cepat bangkit untuk menghentikan Bima yang sudah membenturkan kepalanya ke dinding hingga mengeluarkan banyak berdarah.
"Gue brengsek, Sa," lirih Bima melamun seketika. Tatapannya tiba-tiba kosong.
"Kenapa Bumi lakuin ini? Kenapa Bumi sembunyiin ini semua? Kenapa malah dia yang tanggung jawab? Kenapa?"
Raksa memejamkan matanya sebentar, ia menepuk bahu Bima beberapa kali.
"Kita ke rumah sakit sekarang," suruh Raksa menyuruh Bima bangkit.
Bima menggeleng, lalu berkata, "Jangan sekarang, gue masih belum siap ketemu cewek itu. G-gue gak bisa--"
Plak
"Yang nyuruh lo ketemu si Brianna siapa, Bagong?!" teriak Raksa kesal setelah menampar pipi Bima. "Gue nyuruh lo ke rumah sakit buat obatin itu kepala lo, liat setan! Kepala lo bocor, ayo ke rumah sakit buat nambal kelapa lo!" lanjutnya menarik kerah kemeja Bumi.
Bima mendelik. "Kelapa apa setan? Ngomong aja pake typo segala lo, idiot!"
"Cepet anjing," bentak Raksa melotot geram.
"Sabar, monyet! Lo gak ngerti situasi banget sih?! Gue lagi serius, Sa. Tolong dong lo ngertiin gue!" Bima menatap Raksa marah, lalu mengusap wajahnya kasar dan berteriak nyaring meluapkan emosinya.
"Gue juga serius, Bima Sakti. Lo yang seharusnya ngerti situasi, itu kepala lo bocor, darah keluar banyak, lo mau mati sekarang, hah? Nih malaikat udah di samping lo kalo lo siap dicabut nyawa sekarang!" omel Raksa yang sudah kelewat kesal. Tangannya berkacak pinggang.
Bima mendengus, dan akhrinya pasrah dibawa ke rumah sakit oleh Raksa. Namun, sepanjang perjalanan pria itu terus terdiam, tak meringis kesakitan sama sekali, pikirannya terus melayang pada kejadian sialan itu.
"Ck, sial!" gerutu Bima lagi kembali membenturkan keningnya ke kaca mobil.
"Jangan mulai!" sentak Raksa cepat menarik Bima menjauhi kaca mobil. Bima menurut, menatap Raksa kosong.
"Apalagi?" sewot Raksa setelah melihat raut wajah Bima yang malah terlihat menyebalkan. Raksa juga tentu sangat terkejut. Ia masih dalam keadaan syok. Namun untuk sekarang keadaan Bima jauh lebi penting.
"Apa yang harus gue lakuin?" tanya Bima pelan.
"Setelah kepala lo diobatin, kita temuin Bumi. Minta penjelasan ke dia, kita juga belum tau kan alasan Bumi lakuin ini karena apa," jawab Raksa.
"Kalo nanti gue yang harus nikah sama si ular itu, gimana? Gue gak mau, Sa." Bima mengusap wajahnya kasar. Lalu seketika meringis saat kepalanya kembali merasakan sakit.
"Udah jangan dipikirin dulu, jadi pusing kan lo. Ali, lo juga! Yang cepet kek bawa mobilnya, ini tuan lo lagi bocor, darahnya banyak! Lo mau tanggung jawab, hah, kalo dia kehabisan darah dan mati mendadak?" omel Raksa pada Ali yang sedang menyetir.
"Maaf tuan," ujar Ali dengan segera kembali menancapkan gas dengan kecepatan tinggi.
"ALI ADUH SIAH, SI BIMA PINGSAN INI GIMANA WOY, BIMA JANGAN MATI DULU SIALAN!" teriak Raksa seketika panik. Ali hanya melongo melihat tingkah Raksa yang menurutnya sangat berlebihan. Raksa langsung menghubungi keluarga Bima karena rasanya keadaan Bima akan berujung tidak baik-baik saja kali ini.
Sedangkan di tempat lain, Sandra sedang sibuk bercengkrama dengan kedua saudaranya yang sudah lama tidak bertemu. Sejenak juga ia melupakan kesedihan yang terjadi beberapa jam yang lalu. Untuk sekarang ia hanya ingin menikmati kebersamaan bersama Nial dan Noah.
"Sandra, kamu dipanggil Ayah."
Ketiga remaja tadi lantas menoleh ke ambang pintu. Di sana sudah ada Jingga ibu dari Sandra yang tersenyum ke arahnya.
"Kenapa Bun?" tanya Sandra langsung bangkit menghampiri Jingga.
"Kamu dipanggil Ayah," ulang Jingga tersenyum. "Turun gih, ada Cakra sama orang tuanya juga di bawah."
Seketika wajah Sandra berbinar. "Ayah Noven sama Bunda Oliv udah pulang, Bun?" tanya Sandra antusias. Jingga mengangguk sembari mengelus kepala anaknya lembut.
Dengan cepat Sandra segera bergegas turun untuk menemui orang tua Cakra yang beberapa hari terakhir pergi ke luar negeri.
Jingga menggeleng pelan, lalu matanya beralih pada dua saudara yang juga sedang menatap ke arahnya. Wanita paruh baya itu tersenyum dan menghampiri keduanya.
"Apa Sandra bercerita sesuatu?" tanya Jingga. Noah dan Nial menggeleng.
"Noah gak tega buat nanya, Bun. Liat wajahnya yang murung terus aja Noah udah langsung ikutan sakit." Noah menunduk sebentar, lalu mendongak menatap Jingga dengan senyum tulus. "Tapi Noah yakin Sandra bisa lalui ini semua dengan kuat, Sandra gadis hebat."
Tak sadar Jingga meneteskan air matanya. Ia Memang sudah mengetahui semuanya. Dan rasanya ia juga ikut merasakan sakit dan juga kecewa. Walau dalam lubuk hati Jingga sendiri, Jingga tidak yakin bahwa Bumi melakukan itu semua. Entah, rasanya ada sesuatu yang mendorong Jingga untuk tidak begitu mempercayai semuanya.
"Bunda, jangan nangis." Nial mendekati Jingga dan memeluk wanita itu erat.
"Bunda suka gak tega liat Sandra nangis setiap malem, bangun pagi mata dia udah sembab. Tapi dia terus nunjukin ke semua orang kalo dia baik-baik aja, dia selalu senyum, dia selalu bilang, Sandra gak papa, Sandra kuat, Sandra yakin Sandra pasti bisa, Sandra gak akan nangis lagi, Sandra janji gak bakal buat bunda khawatir, tapi nyatanya ...."
"Udah, bun." Noah mengusap air mata Jingga.
"Semua ini secepatnya akan segera berakhir, Noah sama Nial bakal bantu Sandra seperti dulu lagi. Noah gak bakal biarin Sandra nangis-nangis lagi," lanjut Noah menenangkan.
"Iya, Nial juga sama. Apalagi sekarang kita udah di sini, Nial sama Noah bakal jagain Sandra sebaik mungkin, kita berdua gak akan pernah biarin Sandra nangis lagi."
Jingga mengangguk, mengusap air matanya. "Terus jaga adik kalian ya, Bunda sayang kalian semua."
Sandra berlari menuruni tangga. Wajahnya nampak lebih berseri. Tidak sabar untuk bertemu kedua orang tua Cakra yang sudah lama pergi.
"Bunda Oliv!" teriak Sandra mengagetkan seluruh orang yang ada di ruang tamu.
"Sandra!!" Wanita paruh baya ikut berteriak nyaring dan bangkit berdiri.
"Sandra kangen banget sama Bunda Oliv!" seru Sandra setelah berada di pelukan Oliv, ibu dari Cakra.
"Bunda juga kangen sama kamu, sayang. Kangen bunda malah udah berat banget, setiap malem bunda selalu liat foto kamu sama Cakra buat ngobatin rasa kangen bunda sama anak-anak bunda ini," ujar Oliv terkekeh, mencubit gemas pipi Sandra.
"Bohong, jangan percaya. Orang dia setiap malem sukanya skincare mulu, maskeran terus, sampe suaminya minta dimasakin aja gak mau," celetuk seorang pria paruh baya yang duduk di sofa.
"Ayah Noven!" pekik Sandra dengan cepat menghampiri pria tersebut dan memeluknya erat. "Sandra kangen dijajanin Es cendol sama ayah, hehe." Sandra langsung nyengir setelah melepaskan pelukan.
Noven mengelus rambut Sandra. Ia sudah menganggap Sandra seperti anak kandungnya sendiri.
"Dih apaan, beliin es cendol tapi selalu gak abis. Ujung-ujungnya yang abisin gue," celetuk Cakra membuka suara.
"Diem deh!" sahut Sandra mendelik. Cakra langsung memutar bola matanya malas.
"Udah, jangan berantem!" lerai Hazzel.
"Ayah sama Bunda, sehat?" tanya Sandra.
"Alhamdulillah, sehat. Apalagi ini, ada calon bayi di sini." Oliv menunjuk perutnya sembari tersenyum sumringah.
"Bunda hamil?!" pekik Sandra senang. Oliv mengangguk.
"Sudah satu bulan, tunggu delapan bulan lagi, personil kita akan bertambah!" ujarnya senang.
Sandra langsung mendekati Oliv dan mengelus perut wanita itu. "Yes, akhirnya Sandra sama Cakra punya adek!"
"Sayangnya Cakra gak mau, liat deh mukanya. Setelah tau Bundanya hamil, muka dia cemberut terus." Noven bersuara sembari melirik Cakra. Sandra ikut menoleh.
"Bukan gak mau, Cakra cuma khawatir aja. Lagian bunda gak inget umur, masa Cakra udah gede gini punya adik bayi." Cakra merenggut kesal.
"Dih yaudah, kalo lo gak mau. Adiknya buat gue, wlee!" Sandra menjulurkan lidah, Cakra hanya mendengus pelan dan memalingkan muka. Tidak kuat melihat wajah Sandra yang nampak menggemaskan.
"Eh bentar, tadi kata Bunda, Ayah manggil Sandra? Ada apa, nih?" tanya Sandra berbalik menatap Hazzel. Pria itu lantas menoleh ke arah putri satu-satunya.
"Gini ...." Hazzel melirik Noven sebentar, setelah mendapat anggukan dari Noven, Hazzel langsung menghela nafasnya sebentar, jarinya terus mengetuk ngetuk meja. "Besok Ayah Noven sama Bunda Oliv mau ke Bali, dan Cakra juga akan ikut."
Belum sempat Hazzel selesai bercerita, Sandra sudah menyela.
"Loh? Kok udah mau pergi lagi? Cakra juga kenapa ikut?" tanya Sandra terkejut.
"Dengarkan dulu Ayah bicara, Sandra." Hazzel menegur. Sandra meringis dan mengangguk pelan.
"Jadi karena kebetulan sekolah kamu sebentar lagi akan sibuk dengan ujian, Ayah mau beri kamu waktu buat liburan. Kamu boleh ikut sama Cakra ke Bali. Gimana, kamu mau?" tawar Hazzel.
"Iya, kamu boleh ikut kami, sayang. Kebetulan, Ayah Noven sama Bunda Oliv ke sana mau pembukaan resto baru di Bali. Kamu boleh ikut, hitung-hitung refreshing, gimana?" sahut Oliv tersenyum.
Sandra langsung menatap Cakra. Pria itu mengangguk pelan dan berkata 'ikut aja' tanpa suara.
Sandra kembali menatap ayahnya. "Emang boleh?"
Hazzel terkekeh, lalu mengangguk. "Kan ayah yang nawarin, ya pasti boleh, dong."
Sandra mengangguk mengiyakan. "Yaudah Sandra mau, Sandra pengen banget liburan, hehe."
Nenangin pikiran juga, lanjutnya dalam hati.
"Yes! Sandra ikut, Bunda jadi ada temen buat maskeran!" ujar Oliv tersenyum senang. Sandra langsung tertawa dibuatnya.
"Yaudah bagus, sekarang kamu paking gih. Besok kita berangkat pagi," ujar Noven.
Sandra mengangguk dan bangkit, menarik lengan Cakra untuk ikut bersamanya.
"Ngapain?" tanya Cakra mengernyit.
"Bantu gue beres-beres, sekalian gue mau cerita!" bisik Sandra membuat Cakra memutar bola matanya jengah.
"Ayo," ajak Sandra kesal, begitu melihat Cakra masih saja terdiam.
"Hati-hati, Sandra. Jangan sampai tangan Cakra yang terluka yang kamu pegang." Hazzel menegur.
"Tuh dengerin!" ucap Cakra menjulurkan lidah, dan meninggalkan Sandra untuk ke kamar gadis itu lebih dulu.
"ISH CAKRA!" kesal Sandra menghentakkan kakinya kesal. Dengan cepat berjalan mengejar pria itu.
Sandra meringis saat kepalanya membentur benda keras. Saat mendongak ternyata benda keras itu adalah punggung Cakra.
"Kenapa berhenti tiba-tiba, sih?!" gerutu Sandra kesal.
"Hey, apa kabar lo, bro?" Noah yang baru saja keluar dari kamar Sandra langsung menyapa Cakra.
"Baik, lo bang?" tanya Cakra berpelukan ala pria.
"Baik gue, cuma nih si Nial agak galau, kemarin baru diselingkuhin." Noah terkekeh, sedangkan Nial hanya mendengus.
"Ngerepotin lo gak, nih cewek?" tanya Nial sembari berpelukan ala pria dengan Cakra.
"Banget bang, manja juga." Cakra terkekeh sembari melirik Sandra yang sudah mencak-mencak.
"Gimana sayang? Kamu mau ikut sama Cakra?" tanya Jingga baru saja datang. Sandra menoleh dan mengangguk cepat.
"Sandra mau ikut, bolehkan Bunda?"
Jingga mengangguk. "Tentu saja boleh, Bunda sangat tau kamu butuh refreshing. Ini mau paking ya? Mau bunda bantuin?"
"Gak usah, Sandra dibantu Cakra aja," jawab Sandra.
"Loh, itukan tangan Cakranya lagi luka." Sontak semua pandangan jatuh pada tangan Cakra yang diperban.
"Loh, ini kenapa?" tanya Noah.
"Air panas, biasa," jawab Cakra cuek.
"Gak nangis kan lo, pas diobatin?" ejek Nial menaik turunkan alisnya menggoda. Cakra mendengus kesal dan langsung menyerobot masuk ke dalam kamar Sandra.
"Cih, malu tuh dia." Nial tertawa.
"Eh tapi ini Sandra mau ikut, ikut ke mana emangnya?" tanya Noah bingung.
"Ke Bali, Sandra mau liburan, bye!" Sandra mengibaskan rambutnya dan berlalu pergi masuk ke dalam kamar.
"Nial ikut!"
"Noah juga!"
"GAK BOLEH!"
Brak.
Jingga langsung menggelengkan kepala begitu Sandra menutup pintunya dengan gesit.
"Sudah, jangan diganggu."
"Tapi, itu mereka berduaan, Bunda." Noah hendak membuka pintu namun dengan cepat Nial tahan.
"Udah sih, lo kan udah tau Cakra orangnya kayak gimana. Dia gak bakal macem-macem, ayo mending kita turun. Kita ke taman, lo temenin gue yang lagi galau ini." Nial melingkarkan tangannya di lengan Noah, matanya mengerjap beberapa kali seperti anak kecil.
"Najis, lepas! Jangan homo!" Noah mencoba menepis pelukan adiknya. "Bunda, Nial mulai gila. Tolongin Noah!"
Jingga hanya menggeleng pelan, dan membiarkan mereka terus berceloteh. Ia turun ke bawah untuk menemui kedua orang tua Cakra lagi.
...
Revisi/150421
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top