Désappointé
HAPPY READING!
...
Désappointé = Kecewa
Hanson dan Sandra langsung kembali ke Jakarta. Awalnya Hanson menyuruh Sandra untuk beristirahat di hotel terlebih dahulu. Namun, Sandra menolak dan lebih memilih pulang ke Jakarta saat itu juga. Hanson hanya bisa mengiyakan dan membawa Sandra pulang bersama Jovan.
Hanson membawa Sandra ke rumah gadis itu. Ternyata kedua orang tuanya sedang pergi. Dan jadilah Hanson yang menjaga gadis itu di sini. Sedangkan Jovan ia kembali karena masih ada urusan lain.
Sandra membawa Hanson ke kamarnya. Tanpa bicara sedikitpun, Sandra menghempaskan tubuhnya di ranjang dengan telungkup dan menyelimutinya.
Hanson membiarkan Sandra, ia berjalan mengitari kamar gadis itu. Ternyata gadis itu masih menyimpan foto kebersamaan saat mereka masih kecil. Foto Hanson, Cakra dan Sandra yang berdiri di tengah. Hanson mengambil foto tersebut dan tersenyum tipis. Mengusapnya lembut, membayangkan masa lalu yang mereka lalui bersama-sama. Setelah Hanson menyimpan foto tersebut, matanya terfokus pada salah satu meja belajar. Di sana banyak sekali foto Bumi. Ternyata Sandra memang sudah benar-benar menaruh hati pada pria psikopat itu.
Hanson berbalik saat mendengar isak tangis. Ia memejamkan matanya dan menghela napas. Membiarkan Sandra menangis sampai tenang, ia beranjak ke balkon dan duduk menenangkan diri di sana.
Brak.
"SANDRA?!"
Hanson terlonjak kaget, menatap bingung sosok yang baru saja meloncat dari balkon samping rumah Sandra.
Ketika wajah pria itu terlihat dan mereka saling berpandangan. Mereka sama-sama melemparkan tatapan terkejut.
"Cakra?!"
"Hans?!"
Plak.
"Ini beneran lo, anjing?" sentak Cakra menampar pipi Hanson.
"Sialan, sakit setan!" Hanson mendelik tajam. Mengusap pipinya yang pasti sudah memerah.
Cakra masih dalam mode wajah terkejut. Beberapa kali menampar pipinya untuk menyadarkan.
"Lo ngapain di sini kampret?!" tanya Cakra tidak percaya. Menatap Hanson dari atas ke bawah beberapa kali.
Hanson mendengus, ia duduk di kursi.
"Ceritanya panjang, gue males cerita."
Cakra mendelik kesal, menjitak kepala Hanson. "Cerita lah, kampret. Lo sombong amat bertahun-tahun ngilang, dateng-dateng malah jadi gini."
"Gini gimana maksud lo, anjing?" sinis Hanson kesal.
"Makin burik, lo kerja jadi kuli bangunan, Hans?" tanya Cakra polos. Hanson melotot, kembali berdiri dan memiting leher pria itu.
"Sialan, gak ada akhlak lo, anjir!"
Cakra tertawa dan melepaskan pitingan Hanson. Hanson ikut melepaskan dan menjauh. Wajah Cakra kembali serius.
"Tapi serius gue nanya, lo selama ini kemana aja?" tanya Cakra.
"Gue ngepet," balas Hanson cuek.
"Dapet hasil banyak?"
"Mayanlah, bisa buat beli Jaguar F type gue." Hanson tersenyum jengkel.
"Goblok," umpat Cakra. Pria itu menoyor kepala Hanson. "Serius monyet, lo ke mana aja?"
Hanson mendengus dan menceritakan semuanya. Ketika ia dipaksa ikut pindah oleh kedua orang tuanya ke luar negeri tanpa berpamitan kepada kedua sahabatnya. Hanson hidup dengan kesendirian. Di luar negeri orang tuanya sibuk bekerja, sementara ia dipaksa untuk sekolah di rumah. Hingga tiba di mana ia tumbuh menjadi sosok yang sangat suka dengan darah dan kematian orang lain. Awal mula itu terjadi adalah pada kebiasaan Hanson yang selalu menonton serial, film bergenre thriller juga psikopat. Pernah suatu ketika Pembantu di rumah Hanson terjatuh dari tangga dan kepalanya berdarah. Hanson yang penasaran akan rasa darah, karena selama ini ia selalu menonton film psikopat yang selalu meminum darah. Maka ia mencobanya, mengambil setetes darah dan mencicipinya. Dan detik itu juga, entah kenapa Hanson jadi menyukai darah.
"Stop!" Cakra langsung menjauh dan menatap Hanson ngeri.
"Jadi lo temenan sama Bumi, dan kalian sama-sama psikopat, gitu?" tanya Cakra memicing. Hanson menganggukkan kepala sambil terkekeh.
"Jangan ketawa anjing, gak lucu!" sentak Cakra kesal.
"Sialan, lo kenapa sih?!" geram Hanson. "Daritadi marah-marah mulu."
"Kaget gue, kok sekarang banyak banget manusia psikopat sih." Cakra mengusap wajahnya kasar. "Sekarang Sandra mana? Dia udah tau asal-usul lo? Tadi gue denger suara nangis, ja--"
"Cak!" Hanson menyela.
"Lo kenapa jadi cerewet gini?" lanjut Hanson bertanya. Sedikit merasa aneh akan tingkah Cakra yang biasanya selalu nampak cuek dan sok cool.
"E-emang iya?" tanya Cakra bengong. Tak menyadari akan tingkahnya sendiri akhir-akhir ini. Hanson lantas memutar bola matanya malas.
"Ck, gue mau liat Sandra. Mau mastiin kalo dia gak apa-apa, soalnya tadi gue denger suara nangis." Cakra hendak memasuki kamar, namun dengan cepat Hanson tahan.
"Jangan sekarang, biarin dia tenang."
"Jadi dia beneran nangis?" tanya Cakra langsung menoleh. Hanson mengangguk. Duduk di kursi dan menyuruh Cakra duduk di sampingnya. Cakra menurut, menatap sepenuhnya ke arah Hanson.
Hanson menceritakan semuanya, awal di mana Apartemen Bumi di ledakan dan juga Sandra yang dibawa oleh Brianna.
Cakra terkejut, tangannya terkepal. "Dia gak mungkin beneran ngehamilin itu cewekkan?" desisnya pelan.
"Gak mungkin, gue percaya sama Bumi. Dia bukan tipe orang yang mudah luluh dan takluk sama cewek. Gue bahkan jarang dan gak pernah liat dia deket sama cewek kecuali sama Sandra."
"Tapi hasil testpack itu?"
Hanson menghela napasnya berat. "Bisa jadi cuma akal-akalan dia doang bukan? Brianna wanita yang sangat licik. Kita gak boleh dengan mudahnya percaya gitu aja."
"Terus Bumi belum juga nemuin Sandra?" tanya Cakra. Hanson menggelengkan kepala.
"Gue suruh Bumi buat selesaikan urusannya dengan Brianna terlebih dulu." Hanson bangkit dan menepuk bahu Cakra. "Sekarang tugas kita berdua jagain Sandra, buat dia ketawa lagi."
Cakra mengangguk cepat, ikut bangkit dan merangkul bahu Hanson. Mereka masuk ke dalam kamar gadis itu.
Kedua pria tampat itu sempat terdiam saat mendengar suara isak tangis dibalik selimut tebal. Cakra berdehem sebentar dan melepaskan rangkulan.
"Cak, kayak ada suara cewek nangis? Lo denger gak sih?" ujar Hanson sedikit mengeraskan suara.
"Iya anjir, siapa sih?" timpal Cakra ikut membalas dengan sedikit berteriak.
Selimut terbuka, menampilkan sosok gadis yang sudah bangun dan menatap dua pria itu dengan datar.
Cakra dan Hanson merapatkan bibir. Cukup terkejut dengan keadaan Sandra yang sangat berantakan.
"Kalian jangan ganggu, keluar!" teriak Sandra sembari menahan isak tangis.
"Loh ada orang?" Hanson pura-pura terkejut.
"Sejak kapan lo disitu?" tanya Cakra pura-pura bingung.
Sandra hanya mendelik lalu memalingkan muka. Lalu mengusap wajahnya kasar. Kembali menatap kedua temannya datar.
"Udah nangisnya?" tanya Hanson pelan, menghampiri Sandra dan merangkul bahu gadis itu.
Sandra langsung mengusap ingusnya menggunakan kaos Hanson. Pria itu hanya pasrah dan tidak begitu mempermasalahkan.
Cakra ikut duduk di samping Sandra, mengusap kepala gadis itu lembut.
"Mau makan apa?" tanya pria itu pelan, sangat mengerti dengan kebiasaan Sandra jika sudah menangis selalu merengek lapar.
"Kentang sama ayam," jawab Sandra pelan. Cakra langsung terkekeh pelan, karena gemas ia mengacak rambut Sandra dan langsung memesan makanan.
Sandra menyenderkan kepalanya di bahu Hanson. Kembali mengusapkan ingusnya di lengan kaos Hanson lagi. Hanson hanya memutar bola matanya malas.
Beberapa menit setelahnya pesanan datang, Cakra langsung mengambil makanan tersebut dan membawanya menuju ruang keluarga, Hanson dan Sandra ikut turun dan menghampiri Cakra.
Hanson membuka kaos bekas ingus Sandra dan melemparnya ke sofa. Ia duduk dan mulai membuka makanan tersebut. Begitupun Cakra yang langsung menyantap.
Sandra mendengus, duduk di depan mereka dan ikut memakan kentang.
"Sekarang lo tinggal di mana?" tanya Cakra menyimpan gelas dan menatap Hanson serius. Sandra ikut menatap Hanson.
"Gak jauh dari tempat markas Bumi, gue tinggal di perumahan daerah situ."
"Sendiri? Gak sama Om tante?" tanya Sandra.
"Mami sama Papi jarang di Indo. Mereka sibuk ngurusin kerjaan yang di Jepang." Hanson mengusap keringat dikeningnya karena kegerahan.
"Terus kenapa bisa lo sekarang kerja kantoran? Lo gak sekolah?" tanya Cakra.
"Sekolah lah, setan. Cuma gue ambil jalur cepet, lebih fokusin belajar ke bisnis, pake homeschooling juga. Pas bokap bawa gue terjun ke perusahaan, gue mulai kenal sama Bumi juga Jovan."
Sandra dan Cakra mengangguk mengerti. Terutama Sandra, Hanson sudah menceritakan semuanya saat mereka dalam perjalanan ke Jakarta.
Suasana kembali hening, Cakra dan Hanson saling menyenggol lengan saat melihat Sandra kembali melamun.
"Lo ada kerjaan gak hari ini?" bisik Cakra. Hanson menggelengkan kepala. "Untuk malam ini, kita temenin Sandra. Bokap sama nyokap juga pasti pulang sebentar lagi."
Hanson langsung mengangguk. "Gue emang udah rencana nginep di sini dulu. Ntar gue tidur di kamar lo."
"Idih najis, lo tidur di balkon. Gue gak mau satu ranjang sama lo." Cakra menjauhkan tubuhnya, menatap Hanson jijik.
Hanson memutar bola matanya malas. "Gini amat lo sama gue. Kita udah lama gak ketemu, sekalinya ketemu ngajak ribut. Pas gue gak ada, kangen."
"Amit-amit!" sinis Cakra bergidik ngeri.
Cakra dan Hanson langsung menoleh. Melihat Sandra yang kembali menangis dengan pandangan mata mengarah pada mereka berdua.
Cakra dan Hanson langsung menghampiri Sandra dan duduk di samping gadis itu. Cakra menarik Sandra ke dalam pelukan, sedangkan Hanson mengusap punggung gadis itu menenangkan.
"Udah, jangan ditangisin terus. Semua yang lo denger dari wanita itu belum tentu benar. Lo belum denger penjelasannya dari Bumi kan? Jangan menyimpulkan semuanya dari satu pihak, San." Cakra mengelus rambut Sandra pelan.
"Tenangin diri lo. Gue tau Bumi bukan orang seperti itu. Lo tau, wanita ular itu wanita yang sangat licik. Jangan mudah terpedaya." Hanson menghela nafasnya sebentar. "Hubungan lo sama Bumi lagi diuji, dan si ular itu salah satu penguji buat kalian berdua. Kalo lo mudah nyerah dan gampang percaya sama omongan si wanita ular itu, berarti lo kalah. Ayo, bangun. Liatin ke dia dan buktiin kalo apa yang dia bilang ternyata salah."
Sandra mengusap air matanya, lalu menegakkan tubuhnya melepaskan pelukan Cakra.
"Kok omongan kalian hiks ... ngaco sih?" Sandra mengusap ingusnya lagi dan sekarang kaos Cakra yang menjadi korban.
"Gue nangis karena kepedesan, hiks ... pedes ... bibir gue panas ... huaaaa." Sandra mengipaskan tangannya di depan wajah, kegerahan.
Cakra dan Hanson melongo. Lalu mereka saling pandang.
Cekek Sandra sekarang boleh gak sih?
....
Brak.
"JALANG!"
Seorang wanita yang sedang memotong buah mangga terkejut. Ia segera berbalik dan menatap bingung sosok pria yang baru saja menendang pintu.
"Bumi? Ada apa?" Wanita tersebut tersenyum. Berjalan menghampiri Bumi.
"Apa yang udah lo lakuin, hah?" desis Bumi marah. Mencengkram dagu Brianna kasar.
Brianna meringis, mencoba melepas namun tidak kuat. "Aku berbicara fakta, Bumi."
Plak.
"Fakta?! Apa yang lo maksud fakta sialan?! Sejak kapan gue tidur sama lo, jalang?! Jawab gue!" bentak Bumi menggema. Brianna sampai terkesiap karena terkejut. Ia tak pernah melihat Bumi semarah ini.
Brianna beringsut mundur dengan wajah ketakutan. "Di Itali, kamu lupa apa yang sudah kita lakukan di Itali waktu itu?" gumam Brianna pelan.
Bumi lantas berdesis. "Jangan mengada-ngada, Brianna. Kita bahkan tidak bertemu di Itali!"
"Kita bertemu, Bumi! Waktu itu kamu mabuk, kita ketemu di bar. Kamu gak sadar, dan aku bawa kamu ke hotel. Kita ngelakuin itu di sana, aku punya bukti." Brianna menyimpan pisau di meja, lalu membuang buah Mangga itu asal. Berjalan menuju laci untuk mengambil sesuatu.
"Kamu sangat tau kalau aku tidak suka membuat drama, aku tidak suka membuat kebohongan. Aku berbicara fakta," ujar Brianna lemah. Dapat Bumi lihat ketulusan dari wajah wanita itu. Sirat kesedihan nampak jelas di matanya.
Brianna memberikan satu buah testpack dan saru buah gambar yang sudah dicetak kepada Bumi. Persis sama seperti barang yang Brianna tunjukan pada Sandra.
Mata Bumi memicing, menajamkan penglihatannya untuk melihat dengan jelas siapa pria yang bersama Brianna.
Deg.
Bumi bungkam, ia mundur beberapa langkah. Kakinya mendadak lemas. Ia meremas foto tersebut dan melemparnya asal.
Bumi menatap Brianna tajam, kembali mendekat dan meremas bahu wanita itu kuat.
"Lo sering digilir, lo jalang. Jadi kemungkinan besar itu bukan anak gue!" bisik Bumi tajam. Brianna menelan salivanya ketakutan.
Sakit, sangat sakit rasanya ia selalu diberi julukan oleh banyak orang. Padahal nyatanya, ia tidak seperti itu.
"Aku, aku gak seperti apa yang kamu bilang. Aku bukan jalang."
"Stop bullshit, bitch!" sentak Bumi tidak sadar mendorong Brianna. Wanita itu terjatuh membentur sofa. Brianna meringis, merasakan sakit luar biasa pada perutnya.
Bumi terdiam, dan cukup terkejut saat melihat darah mengalir dari paha wanita itu.
"Sial!" umpat Bumi mengusap wajahnya kasar.
"Shhh ... Sakit, B-bumi ... tolongin aku ... perut aku sakit." Brianna mengerang kesakitan sembari memegang perutnya.
Dengan cepat Bumi menggendong Brianna dan membawa wanita itu keluar dari sana. Bima dan Raksa yang sedari tadi menunggu di luar terkejut melihat Bumi yang menggendong wanita itu.
"Dia kenapa?" tanya Raksa panik.
"Rumah sakit sekarang," balas Bumi, berjalan dengan cepat. Bima dan Raksa sontak mengikuti walau dengan keadaan yang masih belum mengerti apa-apa.
Sesampainya di rumah sakit, Bumi begitupun yang lain menunggu di luar. Hingga tak lama dokter keluar dari ruangan.
"Gimana dok?" tanya Raksa.
"Apa anda suaminya?" tanya dokter tersebut.
Raksa bungkam, melirik ke arah Bumi dan Bima bergantian.
"Kami temannya, suaminya sedang dalam perjalanan. Bisa dokter jelaskan pada kami keadaan pasien?"
Dokter tersebut mengangguk. "Beliau mengalami pendarahan akibat benturan yang cukup keras. Untung saja bayi yang berada di dalam kandungannya masih bisa diselamatkan. Ia hanya perlu banyak beristirahat, karena usia kandungannya masih sangat rentan."
"J-jadi pasien benar sedang hamil?" tanya Bima tak percaya. Dokter tersebut mengangguk.
"Usianya baru tiga minggu."
"B-baik, kalo gitu terimakasih Dok. Nanti saya bantu sampaikan ke suaminya."
"Baik, saya permisi." Dokter tersebut melenggang pergi tanpa menaruh curiga.
"Beneran hamil njir," decak Raksa tidak percaya.
"Beneran lo yang lakuin?" tanya Bima menatap kakaknya serius.
Bumi menunduk dan meremas rambutnya kuat.
"Jangan bilang iya, Bum." Raksa terkekeh pelan sembari menggelengkan kepala.
Bumi memejamkan matanya, lalu menghela nafas pelan. "Sayangnya iya, gue yang hamilin Brianna."
Deg.
Bima dan Raksa langsung memalingkan muka. Tidak kuat mendengar kejujuran yang telah Bumi lontarkan. Mereka sama-sama memukul tembok cukup keras.
Kecewa? Tentu saja mereka kecewa.
...
Revisi/150421
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top