Complétez-vous

HAPPY READING!
..

Complétez-vous = Saling Melengkapi

"Kita balik dulu, urusan Greg lo yang atur."

Bumi menepuk bahu Jose pelan yang langsung dibalas anggukan oleh pria itu.

"Owen, jangan lupa!" tegas Jovan yang langsung diberi acungan jempol oleh Owen.

Bumi dan Jovan lantas mulai bergegas keluar. Bumi yang berjalan lebih dulu. Pria itu membuka pintu mobil, mengecek sesuatu.

"Shit," umpat Bumi pelan. Pria itu mengusap wajahnya kasar.

"Jov," panggil Bumi memberhentikan pergerakan Jovan yang hendak membuka pintu.

"Ya?"

"Lo pulang pake mobil lain, atau naik kendaraan lain. Gue ada urusan," ujar Bumi.

"Kenapa?"

"Ck, lo gak perlu tau. Gue pergi dulu," ucap Bumi setelah itu ia bergegas masuk ke dalam mobil. Melajukan dengan kecepatan tinggi meninggalkan Jovan.

Jovan yang merasa ada sesuatu yang Bumi sembunyikan lantas bergegas masuk ke dalam untuk meminjam mobil salah satu temannya. Setelah berhasil, ia segera mengikuti kemana Bumi pergi. Jovan mulai merasakan keganjalan, matanya fokus menatap mobil milik Bumi yang melaju dengan sangat kencang. Apalagi saat mobil tersebut sedikit oleng, bergerak tidak tentu seperti pengemudi yang sedang mabuk.

"Shit," umpat Jovan saat panggilannya tidak diangkat oleh Bumi. Ia semakin menancap gas dengan kuat untuk mengejar mobil pria itu.

Brak.

Ckiitt

Mematung.

Jovan membisu, matanya terpaku. Belum ia berhasil mengejar, mobil itu sudah menabrak pembatas jalan lebih dulu. Jovan dapat melihat banyak asap mulai mengepul dari kap mobil. Dengan tergesa ia melepas seltbelt dan keluar dari mobil. Sembari berlari menghampiri mobil Bumi. Jovan juga mengirim pesan kepada Bima. Ia akan membawa pria itu secepatnya ke rumah sakit sekarang.

"Bumi?!" teriak Jovan dengan mata mengedar. Ia tak menemukan Bumi di dalam mobil, pintunya pun sudah terbuka menandakan pria itu sudah keluar.

"Shit, di mana sih?!" kesal Jovan berlari tak tentu arah mencari keberadaan Bumi. Jalanan sudah sangat sepi, tak ada orang yang melintas sama sekali.

Dengan cepat Jovan kembali menghubungi Bima. Memberitahu tentang kehilangan Bumi dan menyuruh Bima untuk kembali ke Markas.

"BUMI?!" teriak Jovan lagi. Kembali mencari keberadaan Bumi. Namun, tak ia temukan dimanapun.

"Sial," desis Jovan frustasi. Entah kemana perginya pria itu. Ia mencoba mengatur nafasnya dan kembali menuju mobil dan segera melaju menuju Markas milik Bumi.

...

"Anying ah, bikin pusing. Ini sebenernya ada apa sih?!" teriak Raksa kesal. Pria itu membenturkan keningnya dikaca mobil.

Bima tak menjawab, pria itu fokus menjalankan mobil. Mereka hendak kembali ke Apartemen terlebih dahulu untuk menjemput Sandra. Dengan keadaan seperti ini mereka tidak yakin bahwa Sandra akan aman jika ditinggal sendirian. Dan kini, setelah melewati beribu pertanyaan yang Sandra lontarkan tentang Bumi. Raksa perlahan mulai menjelaskan semuanya saat mereka berada di perjalanan. Sandra duduk di kursi belakang sendirian, dan Raksa duduk di depan bersama Bima. Meskipun Raksa sudah menjelaskan walau tidak secara detail, tetap saja Sandra masih berada dalam posisi tidak mengerti apa-apa. Ia masih belum paham dengan situasi sekarang. Ada apa, dengan alasan apa ia bisa bersama mereka.

"San, lo pulang ya? Tunggu di rumah. Ada nyokap kan?" tanya Bima.

"A-ada," jawab Sandra pelan. "T-tapi, gue mau ikut sama kalian. Gue khawatir sama dia."

"San, pikirin dulu kesehatan lo. Lo gak capek? Gak ngerasa sakit?"

"Gue udah gak papa, please jangan anter gue pulang. Gue gak mau pulang sebelum gue ketemu sama Om Bumi."

"Ck, masih aja lo panggil dia Om." Raksa memutar bola matanya malas.

"Panggilan kesayangan, Sa." Bima terkekeh pelan, mencoba mencairkan suasana agar tidak terlalu tegang.

"Shit, apa lagi ini?!" kesal Raksa begitu melihat banyak pria berbadan kekar menghalau jalan mereka.

"Terobos aja, Bim. Jangan berhenti, gue tau mereka cuma ngulur waktu. Ini pasti ada sesuatu yang gak beres." Raksa kembali bersuara, raut wajahnya sekarang sudah mulai serius.

"Yakin?" ucap Bima pelan.

"Ck, kalo lo gak yakin sini gue yang nyetir!"

"Iya-iya gue terobos!" jawab Bima kesal. Menatap lama para preman di depan yang masih berdiri tegap. Mata Bima tiba-tiba memicing. "Tunggu dulu," gumamnya pelan. Pria itu menajamkan penglihatannya.

"Shit, itu anak buah gue anjir!" seru Bima langsung memukul stir. Ia tau dengan jelas wajah para preman yang berdiri di depannya.

Sandra dan Raksa tentu terkejut. Atas dasar apa anak buah pria itu menghalangi jalan mereka.

"Lah, sarap?" gumam Raksa masih dengan wajah cengo. Bima membuka kaca mobil, menyerukan wajahnya dan menatap para anak buahnya dengan tajam.

"Kalian ngapain, sialan?! Minggir!" teriaknya marah. Para preman di sana dengan kompak berjalan ke arah Bima, lalu menunduk untuk memberi hormat.

"Heh, preman gak ada akhlak! Lo ngapain ngalangin jalan gue?! Gak tau apa ini lagi buru-buru!" sewot Raksa kesal, matanya melotot. Sandra yang melihat itu bukannya takut malah berusaha mati-matian untuk tidak tertawa.

"Maaf, Tuan. Saya baru saja mendapat kabar bahwa jalan yang akan tuan lalui sedang digunakan oleh para mafia. Mereka sedang bertransaksi."

Bima dan Raksa sontak saling tatap. Mereka cukup tau, konsekuensi apabila melewati jalan atau area yang sedang digunakan mafia untuk bertransaksi. Kalo tidak dadanya yang ditembak, ya siap-siap saja kepalanya dipenggal.

"Apa King yang sedang bertransaksi?" tanya Bima.

"Bukanlah, Bima sakti! Lo lupa si psikopat baru aja kena musibah terus malah kabur! Masa udah transaksi aja?! Kalaupun dia mau transaksi pasti bawa gue, orang gue asistennya!"

"Ck, cerewet banget sih lo?! Dengerin dulu jawaban mereka, lo diem aja. Tutup mulut dan jangan banyak omong!" Setelah selesai memarahi Raksa yang sekarang wajahnya sudah cemberut. Bima kembali menatap para preman.

"Siapa yang sedang bertransaksi?"

"Orang yang sangat penting, yang sedang bertransaksi adalah Tuan Hazzel."

"Ayah?" celetuk Sandra tiba-tiba. Preman tersebut hanya menunduk tak berani menatap Sandra. Mereka mengingat dengan cukup jelas akan perintah Bima yang selalu melarang mereka menatap perempuan yang sedang bersamanya.

"Kalau itu Om Hazzel, kenapa kita gak terobos aja? Gak mungkin kan dia ngapa-ngapain, karena ada Sandra di sini?" ujar Raksa.

"Jangan ambil resiko, Sa. Lo gak inget kejadian dulu? Tentang Mafia yang nembak anaknya sendiri karena dia ikut campur?" sahut Bima. "Semua bisa aja terjadi, gak ada yang tau," lanjutnya.

"Terus sekarang gimana? Puter balik cari jalan lain gitu?"

"Iya lah, mau gimana lagi?" ujar Bima langsung memutar arah dan melaju dengan kencang.

Sandra menggigit jarinya, pikirannya mulai bercabang. Beberapa kali juga ia mencoba untuk menghubungi Bumi, namun tak pernah diangkat.

Cemas? Tentu saja. Apalagi setelah mendengar penjelasan dari Raksa yang mengatakan bahwa mobil yang Bumi bawa sempat menabrak pembatas jalan. Sandra berharap pria itu tidak akan kenapa-kenapa. Sandra tau Bumi pria yang seperti apa. Dan Sandra ingin saat ia melihat Bumi nanti, Bumi dalam keadaan yang baik-baik saja.

...

"Dari yang gue liat dari tempat kejadian tadi, ada bekas orang jalan dari arah Hutan, dan balik lagi ke Hutan dengan menyeret sesuatu."

Badai, berdiri di depan menghadap seluruh bagian Wx juga ada Jovan, Raksa, Bima dan Sandra yang ikut bergabung.

"Gak mungkin kan kalo Bumi diseret?" ujar Raksa menyita perhatian mereka.

"Bisa jadi mungkin," sahut Elang membuka suara.

"King pasti lagi dalam keadaan gak sadar karena kepalanya yang kebentur stir mobil. Gue lihat ada bercak darah di stir mobil King." GM membuka suara.

"Menurut gue sih dia masih sadar," ujar Bima.

"Gue tau--"

Brak

Semua pria menoleh ke belakang, dimana pintu didobrak secara tiba-tiba.

"KING?!"

Sontak mereka bangkit dengan wajah terkejut. Terkejut dengan kehadiran Bumi yang tiba-tiba, juga dengan keadaan pria itu yang sangat berantakan.

"Tenang, ini bukan darah gue," jelas Bumi yang paham dengan tatapan mereka.

"Shit, lo darimana aja?! Kenapa ngilang?" panik Raksa langsung membawa air dan memberikannya pada Bumi.

Bukannya meminum, Bumi malah membasuh mukanya yang sangat kotor juga terdapat banyak bercak darah.

"Perketat penjagaan markas, mereka udah mulai berontak."

"Mereka?"

Saat Bumi hendak menjawab, mata pria itu malah jatuh pada satu-satunya perempuan yang duduk dipojok. Menatapnya dengan kikuk.

"Shit, kenapa dia ikut ke sini?" sentak Bumi menatap seluruh pria di sana murka. Sandra saja sampai tertegun dan beringsut menyembunyikan badannya di balik punggung Garesh.

"Kita panik, lo kecelakaan tapi juga langsung ngilang. Gak mungkin kita tinggalin Sandra sendirian di Apartemen."

Bumi mengusap wajahnya kasar. Yang lain hanya menunduk tak berani mengelak. Sangat tau bahwa Bumi melarang keras Sandra atau bahkan seorang perempuan datang ke tempat ini. Sangat berbahaya, tempat ini adalah perkumpulan para psikopat. Para pria sadis yang tak mengenal rasa empati. Apalagi kebanyakan dari mereka belum mengetahui siapa Sandra, yang tak menjamin bahwa Sandra akan baik-baik saja berada di sini jika tidak ada yang menjaga.

"Tenang, Bumi bukan marah soal lo yang datang ke sini. Dia gak mau aja orang terdekat dia masuk ke dalam lingkungan dia yang gelap gini. Dia gak mau kalian para perempuan kena bahaya atau ancaman semacamnya. Lo gak usah takut," bisik Bima menenangkan Sandra yang sepertinya ketakutan. Sandra hanya mengangguk mengiyakan dengan tangan yang terus meremas ujung kaos  Garesh.

"Gak papa," bisik Garesh menggenggam tangan sepupunya memberi ketenangan.

"Kemari," ujar Bumi memecah keheningan. Pria itu menatap Sandra lama. Sandra langsung mendongak, sebelum menatap Bumi ia menatap Garesh terlebih dahulu. Pria itu mengkode untuk menurut, karena yakin Bumi tidak akan melakukan hal aneh.

Sandra bangkit, tangannya sibuk meremas jaket milik Bima yang tadi pria itu pinjamkan. Perjalan perlahan ke arah Bumi dengan wajah menunduk.

Oh ayolah, kemana perginya Sandra si gadis bar-bar.

"Masuk, dan jangan kemana-mana." Bumi melempar kunci yang langsung dengan sigap Sandra tangkap. Ia mengangguk patuh dan segera pergi menuju tempat yang Bumi tunjuk.

Hal yang membuat mereka tertegun kembali hadir. Saat dimana Bumi menarik Sandra mendekat dan mencium keningnya lama. Lalu mengusap kepalanya lembut dan menyuruh gadis itu pergi ke ruang pribadi Bumi.

Sandra berjalan dengan wajah syok, jantungnya berdetak cepat. Sangat mengejutkan dan membuat pipinya memanas.

Para pria berdehem, lalu bergerak gelisah. Tak menyangka seorang King, pemimpin mereka dapat berlaku manis seperti itu.

"Jadi?" celetuk Raksa memecah keheningan.

"Lo gak mau jelasin sesuatu?" lanjutnya.

Bumi menghela napas, menghempaskan tubuhnya di sofa single.

"Suruhan Seilan, bokap dari Liam yang nyeret gue."

Mereka lantas terkekeh.

"Dia tau anaknya udah lo abisin?" tanya Bima mendapat anggukan dari kembarannya.

"Rem blong? Ulah dia juga?" tanya Jovan.

"Bukan," balas Bumi menggeleng pelan. "Pelaku pembunuh Greg yang lakuin."

Mereka tersentak, saling berpandangan.

"Ah, sebagai peringatan kalau lo gak boleh ikut campur?" tebak Raksa.

"Maybe, gue gak tau. Bukan jadi masalah bagi gue kalo berurusan sama pembunuh Greg. Yang gue pikirin sekarang Seilan."

"Liam belum mati, dia masih dikurung sesuai permintaan lo."

Bumi menganggukkan kepala. "Tapi yang Seilan tau, anaknya udah mati. Dia nyeret gue dan ngasih gue ancaman." Bumi berdesis, mengusap ujung bibirnya yang sedikit terluka. "Gue gak begitu peduli tentang ancaman pria tua itu, yang bikin gue sedikit mulai goyah karena seseorang akan menjadi ancaman."

"S-sandra?" tebak Garesh kaku. Lalu mereka saling pandang kembali.

"Perketat penjagaan Sandra, setiap gue lagi nugas harus ada di antara kalian yang jaga dia. Ancaman Seilan gak akan main-main. Om Hazzel juga tau ini, dan dia bakal berusaha buat nyingkirin itu kuman."

Bumi bangkit, mengacak rambutnya sebentar. "Masalah kita dengan Seilan bukan hanya karena anaknya saja. Pria tua itu selalu mencari masalah dengan Wx atau King Courp. Hati-hati dan jangan pada lengah."

Mereka mengangguk patuh.

"Elang," panggil Bumi membuat pria yang disebut namanya langsung berdiri.

Bumi mendekati Elang, menunjukan tangan dan pakainnya yang masih dipenuhi darah.

"Darah dari seorang pria tua ternyata memang benar lebih menyenangkan. Wanginya sangat memabukkan membuat saya enggan membersihkannya."

Tak hanya Elang saja, Badai, Garesh, Jovan dan GM ikut terkekeh pelan. Membenarkan ucapan sang pemimpin yang seratus persen sangat benar.

Raksa dan Bima bergidik saling berdempetan. "Gue sama lo doang yang waras, mereka sinting semua!" bisik Raksa dibalas anggukan Bima.

Sandra berjalan mengelilingi ruangan gelap milik Bumi. Yang ia tau, tempat ini adalah ruangan pribadi milik Bumi yang sangat jarang dimasuki banyak orang. Mungkin hanya beberapa orang saja dan tentunya pilihan Bumi sendiri. Sandra merasa bersyukur karena ada dalam daftar orang terpilih tersebut.

Baru saja duduk di sofa, sesuatu yang meloncat pada paha gadis itu membuatnya terkejut. Sandra menunduk, ternyata ada seekor Kucing Ragdoll, kucing terbesar dengan bulu yang sangat lebat.

Sandra mengelus bulu kucing tersebut, sungguh sangat menggemaskan menurutnya. Ia tidak tau bahwa Bumi memelihara kucing selucu ini.

"Halo, nama kamu siapa?" tanya Sandra sembari tersenyum. Mengangkat kucing tersebut dan menciumnya dengan gemas. Kucing tersebut nampak tak memberi perlawanan, sibuk mengusel pada leher Sandra.

Ceklek

Sandra menoleh saat pintu terbuka, menampilkan Bumi yang berdiri sembari menenteng jaket. Pria itu sempat terdiam saat melihat kucingnya akrab dengan Sandra. Lalu setelah sadar ia berjalan menuju meja kerjanya, menyimpan jaket dan duduk di sana. Menyandarkan punggungnya sembari memejamkan mata.

Kucing tersebut sontak mengikuti Bumi, dan segera meloncat ke pangkuan pria itu.

"Pergi makan," suruh Bumi pada kucing tersebut sembari menurunkannya. Setelah kepergian kucingnya, ia menatap Sandra yang ternyata juga sedang menatap ke arahnya.

"Ada apa?" tanya Bumi yang langsung mendapat gelengan dari Sandra. Bumi hanya mengangkat bahu acuh dan kembali memejamkan matanya.

"Sakit?"

Bumi tersentak saat suara perempuan tepat di telinganya. Ia membuka mata dan menatap tajam Sandra yang ternyata sudah berdiri di sampingnya.

"Membuat saya kaget saja," gertaknya.

Sandra terkekeh pelan. "Om gak papa?"

"Seperti yang kamu lihat."

"T-tapi, darah tadi ...."

"Bukan darah saya."

Sandra tertegun. "Om, membunuh orang?"

"Iya, kenapa?"

Sandra menggeleng pelan. "Itu gak boleh."

"Dia orang jahat."

"Om lebih jahat karena bunuh orang."

"Shit, diamlah. Saya tidak mau bertengkar sekarang."

Sandra mendengus, ia langsung di lantai sembari memeluk lututnya. Bumi menunduk saat mendengar suara isak tangis. Matanya melotot saat ternyata Sandra yang menangis.

"Hey, kenapa menangis?" Bumi langsung berjongkok hendak menyentuh Sandra namun dengan cepat Sandra tepis.

"Sandra, kamu kenapa? Saya ada salah apa--"

"Salah Om udah bikin Sandra khawatir! Udah bikin Sandra terus-terusan mikirin Om! Ish, ngeselin tau gak?!" sewot Sandra dengan isak tangis yang masih belum juga reda.

Bumi menaikkan satu alisnya bingung. Ada apa dengan gadis ini? Kenapa seperti sedang berada dalam mood yang tidak baik?

"Saya tidak apa-apa, hey sudah jangan menangis." Bumi mengangkat dagu Sandra untuk menatapnya. Lalu mengusap pipi gadis itu yang sudah basah.

"Lihat saya," ujar Bumi saat Sandra memalingkan muka.

Sandra langsung menatap Bumi, masih dengan terisak.

"Saya baik-baik saja, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Yang harusnya khawatir adalah saya, saya khawatir sama kamu. Lihat keadaan kamu sekarang, sangat berantakan. Mata memerah, hidung memerah, mata sudah sembab, keadaan beberapa jam lalu masih belum pulih. dan apa-apaan itu, kenapa kamu keluar dari Apartemen saya, ka--"

"Itu karena Sandra khawatir sama, Om! Ish, daritadi ternyata--"

"Oke, sudah. Berhenti mengoceh!" potong Bumi yang sudah menarik Sandra ke dalam pelukan. Menyimpan dagu dipuncak kepala gadis itu. Sandra ikut menenggelamkan wajahnya di dada bidang Bumi.

"Om jadi cerewet," ledek Sandra dengan suara teredam. Tangannya mencubit pinggang Bumi, lalu membalas pelukan pria itu dan memeluknya dengan erat.

"Dan kamu adalah alasan saya menjadi cerewet."

Sandra terkekeh, dan semakin menenggelamkan wajahnya. Pipinya sudah merona karena mendapat banyak kecupan di puncak kepala.

...


Revisi/150421

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top