Bumi & Bima

HAPPY READING!
..

     Sandra masuk ke dalam ruangan Bumi, pria itu menyuruhnya menunggu di sana selagi Bumi pamit untuk mengurus sesuatu.

I

a berjalan menyusuri sudut demi sudut ruangan. Yang paling menjadi titik fokus Sandra adalah deretan senjata yang disimpan di dalam lemari kaca. Tidak hanya puluhan, Sandra mengira jumlahnya lebih dari ratusan. Ia berdecak kagum dan mendekati kumpulan benda tajam itu.

Ceklek

Ia berbalik begitu pintu dibuka, Bumi datang menenteng sebuah jaket.

"Pakai ini," ujarnya mendekati Sandra dan memakaikan jaket tersebut ke tubuh gadisnya. Sandra hanya diam menurut dan memejamkan matanya begitu Bumi mengecup keningnya.

"Sedang apa?" tanya Bumi membalikan badan Sandra dan memeluknya dari belakang.

"Ini punya Om semua?" tanya Sandra menunjuk deretan benda yang terpajang di dalam lemari kaca.

"Iya," balas Bumi singkat, menaruh dagunya di pundak Sandra. Pipi mereka saling menempel.

"Kenapa hm?"

Sandra menggeleng pelan dengan mata masih memandang ke depan. Tanpa aba-aba Bumi membalikan tubuh Sandra dan  mengangkat tubuhnya mendudukan gadis itu di meja.

"Kenapa?" tanya Sandra bingung.

Bumi tersenyum, mulai menaruh kedua tangannya di sisi tubuh Sandra seolah mengurungnya. "Tidak, hanya ingin memandang wajahmu saja."

Pipi Sandra bersemu dan dengan cepat ia memalingkan muka. Bumi selalu bisa saja membuat jantungnya berdebar.

"Pipi kamu lebam," ujar Bumi pura-pura panik, padahal ia tahu dengan jelas bahwa warna kemerahan itu adalah sebuah kesalah tingkahan gadisnya. Ia hanya ingin menggoda Sandra.

"Ih diem ah!" kesal Sandra semakin memalingkan wajahnya.

Bumi terkekeh dan menarik dagu Sandra untuk menatap ke arahnya.

Cup

"Kamu lucu, saya makin suka," ucap Bumi setelah mengecup singkat bibir Sandra.

"Om, ish! Sandra makin salting nih." Sandra mengibaskan tangannya kegerahan, pipinya semakin terasa memanas. Bumi hanya tertawa melihatnya.

"Eh, Sandra mau nanya serius."

"Kenapa hm?" Bumi semakin merapatkan tubuh mereka dan bersiap mendengarkan.

"Om masih suka membunuh?" tanya Sandra hati-hati, takut menyinggung perasaan Bumi.

Bumi terdiam sebentar, lalu setelahnya mengangguk santai.

"Kapan terakhir Om ngelakuin itu?" tanya Sandra lagi. Ia mulai was-was dan takut.

"Beberapa jam yang lalu," balas Bumi enteng dengan tangan mulai bermain dengan rambut Sandra.

"Beberapa jam yang lalu? Bunuh siapa? Sandra rasa daritadi Om ada di markas gak kemana-mana."

"Saya benar sudah membunuh."

"Membunuh siapa?"

"Nyamuk."

Rahang Sandra seketika jatuh begitu mendengar jawaban konyol dari Bumi.

"Tutup mulutnya sayang, nanti lalat masuk," kekeh Bumi tersenyum geli melihat reaksi Sandra yang menggemaskan.

Sandra mengerjap sebentar, setelah sadar ia langsung merapatkan bibirnya dan memukul lengan Bumi.

"Sandra nanya serius tau, Sandra itu gak mau Om terlibat kayak gituan lagi. Sandra gak suka kalo Om membunuh orang kayak du--"

Cup

"Iya, saya sudah tidak bermain seperti itu lagi. Tenanglah," ujar Bumi setelah mengecup bibir Sandra.

...

Seorang wanita meringis merasakan pinggangnya yang kembali merasa ngilu. Di Apartemen ini ia tinggal sendiri. Adiknya sudah kembali ke Amerika melanjutkan pendidikan.

"Bumi kok sekarang jarang ke sini, sih."

"Aish, kenapa rasanya sakit sekali?!"

"Kalau jadinya seperti ini saya tidak mau membiarkan kamu hidup." Wanita itu terus bergumam sembari memijat pinggangnya yang terasa ngilu. "Bumi sudah tidak peduli lagi, dia menghilang. Tidak ada yang bisa aku harapkan lagi, kamu menyusahkan!"

Brianna, wanita yang sedaritadi mendumel itu hendak memukul perut besarnya. Namun berhasil ditahan oleh sosok pria yang untungnya datang tepat waktu.

"Lo gila, hah?!" bentaknya murka membuat Brianna terkejut.

"Dia anak lo, inget!" teriaknya kembali kembuat Brianna tersentak. Tak sadar air matanya menetes.

Tangannya terangkat memegang pipi pria di depannya. "I-ini Bumi kan?"

Pria tersebut bungkam tak bereaksi apapun.

"Please, ini Bumi? Bukan Bima sialan itukan?"

Seketika mata pria di depannya membulat. "Heh! Apa-apaan lo ngatain gue sialan?!"

Brianna sontak mendorong wajah pria itu begitu mengetahui sosok di depannya adalah Bima. Benar, Bumi sudah tidak peduli lagi dengan dirinya.

Shit, sejak kapan dia peduli sama kamu Brianna?!

"Kok kamu sih yang datang?!" kesal Brianna sembari mengusap air matanya yang menetes.

"Jangan geer, lupain Bumi, dia gak bakal ketemu lo lagi," sarkas Bima membuat mata ibu hamil itu kembali berkaca-kaca.

"Kok gitu?"

"Ada gue, kenapa harus Bumi terus sih?!"

"Dia ayah kandung anak aku!" sentak Brianna kesal. Bima berdecih dan memalingkan muka. Sulit rasanya untuk mengutarakan bahwa jelas jelas ia adalah ayah kandung dari anak itu.

"Udah, jangan nangis lagi. Muka lo udah jelek makin tambah jelek kalo nangis." Bima mengusap pipi Brianna kasar.

Brianna mendengus dan menjauhkan wajahnya dari tangan Bima. Entah kenapa ia jadi mulai terbiasa dengan kedatangan pria itu ke Apartemennya.

"Kenapa lagi? Encok lo?" tukas Bima sinis begitu melihat Brianna memegang pinggangnya.

"Ngilu," balas Brianna pelan.

"Cih, lebay!"

Brianna melotot, memukul lengan Bima. "Beneran ngilu tau, pegel, pijitin kek!"

"Males banget," balas Bima cepat mulai meninggalkan Brianna dan melangkah menuju dapur. Brianna yang sudah bisa menebak apa yang akan pria itu lakukan memutar bola matanya malas. Ia sudah menduga sebentar lagi pria itu akan berteriak kencang. Tunggu saja.

"BRIALAY KOK GAK ADA CEMILAN, SIH?!"

Tuh kan, Brianna sudah bisa menduga. Hal seperti itu sudah menjadi kebiasaan Bima ketika datang ke Apartemennya.

"Gak bisa jalan!"

"Hubungannya cemilan sama lo yang lumpuh apa?!" teriak Bima sarkas.

Brianna yang sudah terbiasa akan kata-kata pedas pria itu hanya bisa mendengus. Hatinya sudah terlalu kuat dan tahan banting mendengar perkataan Bima yang selalu seenak jidat.

"Ya, gimana mau beli camilan kalo aku gak bisa jalan?" balas Brianna ikut berteriak. Tak lama Bima datang dengan wajah masam.

"Beliin camilan sekarang!" perintahnya seenak jidat sembari duduk di sofa seperti raja.

"Bangun aja susah gimana mau beli cemilan?" ketus Brianna merasa jengah.

"Aish lo ribet banget," geram Bima mengusap wajahnya kasar. Pria itu mengambil ponsel dan mulai sibuk bermain game.

"Bima," panggil Brianna setelah sekian lama hening.

"Apaan?" balas Bima cuek fokus menatap layar ponsel.

"Aku pengen martabak, boleh beliin?" ucap Brianna pelan.

"Ngidam lo? Gak elit ah masa ngidam lo martabak."

Pletak.

"Ini anaknya Bumi yang mau," ketus Brianna melempar majalah ke arah pria itu. Bima yang mendengar itu lantas berhenti bermain game. Rasanya sangat tidak rela begitu Brianna berbicara seperti itu.

"Bima, tolong beliin."

"Gue bukan babu lo, " ujar Bima berubah dingin, raut wajahnya semakin datar.

"Ish, sebagai adek ipar."

Brak.

Bima menggebrak meja, raut wajahnya berubah dingin sangat datar. Tangannya mengepal kuat. Entah kenapa ia tidak suka Brianna memanggilnya seperti itu. Ia ingin menjelaskan, namun rasanya sangat sulit.

"K-kenapa?" tanya Brianna pelan sembari menyentuh pundak Bima.

Bima sempat tersentak, lalu setelahnya menggeleng pelan. Pria itu bangkit dan membenarkan jaketnya.

"Eh-mau ke mana?"

"Nyari bini," balas Bima ketus dan segera keluar dari sana.

Brianna langsung merenggut memandang punggung Bima yang mulai menjauh dengan tatapan sedih. Kini ia kembali sendiri. Semua orang kembali meninggalkan. Padahal, jujur Brianna sudah sedikit melupakan Bumi semenjak keberadaan Bima yang sering datang ke Apartemennya hampir setiap minggu.

Sebenarnya sejak dari awal Brianna selalu ingin sekali menggugurkan bayinya, ia tidak suka dan tidak mau mempunyai keturunan, wanita itu masih ingin memanfaatkan waktunya untuk bersenang-senang. Namun nyatanya niat seperti itu tiba-tiba sirna. Entah dengan alasan apa Brianna sekarang ingin mempertahankan calon bayinya, ia juga sudah memutuskan untuk berhenti bermain-main, tak bernait masuk ke dunia kelamnya lagi. Rasanya sudah cukup dirinya menyakiti dan mempermalukan diri. Untuk sekarang ia hanya perlu menatap masa depan dan memfokuskan dirinya menjaga sang calon bayi. Lama berkelana dengan pikirannya, wanita itu memutuskan untuk berbaring di sofa dan mulai memejamkan matanya.

Beberapa jam setelahnya Bima kembali datang menenteng dua kresek. Sebenarnya pria itu keluar untuk membeli camilan dan martabak yang diinginkan Brianna.

Saat sampai di sofa Bima menaruh kantung kresek di meja, ia melihat Brianna yang sudah terlelap dengan nyenyak. Ingin membangunkan namun rasanya tidak tega.

Bima memutuskan untuk membiarkannya tertidur dan ia sendiri mulai melahap camilan sembari bermain game. Suara game lah yang ternyata membangunkan Brianna tanpa Bima sadari. Wanita itu menguap sebentar, matanya mengerjap menyesuaikan cahaya.

Ketika sudah sepenuhnya sadar ia cukup terkejut dengan keberadaan Bima yang ternyata kembali. Di meja ia dapat melihat banyak sekali camilan berjajar, juga satu kotak berukuran sedang dan tentu Brianna tahu apa isi dibalik kotak tersebut. Martabak manis, iya. Bima ternyata mengabulkan keinginannya lagi.

Brianna menggigit bibir bawahnya, jadi Bima keluar untuk membelikannya martabak? Benarkah?

"Jangan sok malu-malu, ambil aja kalo mau." Bima menyahut tanpa menoleh. Brianna langsung tersadar dan merenggut kesal. Ia langsung merampas kotak tersebut dan mulai melahapnya.

Bima berhenti bermain dan mulai memperhatikan Brianna yang sangat lahap memakan martabak.

"Santai aja makannya, martabak lo gak bakal gue ambil," sindir Bima.

"Inwi ewnak ta-uhuk-uhuk!"

"Ck, kek bocil sih!" ketus Bima langsung beranjak untuk mengambil air. Brianna terdiam dan mengusap bibirnya yang terkena noda coklat.

"Pelan-pelan makanya," ujar Bima setelah membawa dua gelas air putih, menyerahkan satu gelas pada Brianna dan satu lagi untuk dirinya.

Brianna menerima gelas tersebut dan meneguknya sedikit, matanya menatap lama Bima yang juga sibuk meneguk air putih.

Apa ia harus membicarakannya sekarang?

Wanita itu menyimpan gelas di meja dengan tatapan masih mengarah kepada Bima. Perlahan bibirnya bergerak untuk membuka suara.

"Kenapa kamu gak jujur kalau sebenarnya kamu yang melakukan semuanya?"

Oke baiklah perkataan spontan itu membuat Bima terkejut bukan main hingga tersedak.

"Ekhem." Bima memalingkan wajahnya dan menelan saliva susah payah.

Sial, kenapa wanita itu sudah lebih dulu tahu?

"Jawab aku Bima."

Bima segera menoleh, menatap Brianna lamat. "M-melakukan apa sih? Jangan sok misterius deh lo." Bima mencoba biasa saja, namun siapapun pasti bisa merasakan bahwa ia tengah gugup sekarang.

Brianna menghela nafasnya. "Tidak usah berpura-pura, saya sudah mengetahui semuanya." Brianna kembali berucap formal.

Bima mulai bergerak tidak tenang.

"Jujur saya kecewa karena telah dibohongi, saya benar-benar mengira itu adalah Bumi. Saya semakin malu, apalagi telah membuat hubungan Bumi dan Sandra sempat hancur walau saya tahu sekarang mereka berencana akan menikah."

Mata Bima membulat sempurna. "Lo kok tahu semuanya? Juga bukannya itu yang lo mau? Hubungan Bumi sama Sandra hancur?"

Brianna tersenyum miris. "Itu dulu, sekarang saya rasanya tidak mau berhubungan dengan Bumi lagi. Saya sudah menyerah, Bumi memang tidak bisa ditaklukan."

"Dih, seorang Brianna bisa mengalah," sindir Bima mencairkan suasana.

Brianna mendengus. "Saya serius bertanya Bima, kenapa kamu tidak pernah  jujur sama saya?"

"Bisa gak sih ngomong lo gak usah formal kaya si Dunia? Gue berasa ngomong sama tante-tante!" sarkas Bima geram.

"Enak aja, gue bukan tante-tante!" sewot Brianna spontan.

"Nah gitu kan bagus, sangat estetik! Saya, kamu kek berasa gue ngomong sama si dunia, formal bener."

Brianna memutar bola matanya malas. "Jangan ngalihin topik! Sekarang jujur sama gue," ketus Brianna melempar snack ke arah wajah Bima. Pria itu langsung menatap sengit Brianna.

"Gue mau bilang, tapi gak mau bikin lo sakit hati. Apalagi se--"

"Tapi sekarang gue udah terlanjur sakit hati!" potong Brianna merenggut kesal.

"Dengerin gue dulu, Brialay! Jangan main potong-potong, gue jelasin dulu, baru setelah itu lo boleh sepuasnya ngomong sampe itu mulut berbusa!"

"Kok ngeselin?!"

"Lo mulai duluan!"

"Cepet jelasin Bima!"

"Yeu sabar anjir, darah tinggi gue lama-lama ngobrol sama lo." Bima mulai mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. Berbicara dengan Brianna tak pernah tenang dan damai.

"Sebenarnya gue udah mau bilang dari awal pas gue tau semuanya. Gue juga syok, gak habis pikir sama Bumi yang tiba-tiba ngelakuin hal gini sampe ngelibatin Sandra. Gue juga tahu ini pasti buat lo sakit hati, makanya gue berniat buat jelasin ini pelan-pelan. Bumi juga udah punya niat mau nemuin lo, setelah urusan dia sama Sandra selesai."

Brianna menunduk, matanya berkaca-kaca.

"Jangan nangis aelah," gerutu Bima mendekati wanita itu dan duduk di sampingnya.

"Iya gue tahu ini semua salah, Bumi emang gila gue juga gak ngerti sama dia. Tapi di satu sisi gue juga brengsek, gue gak inget sama semuanya. So, maafin gue Brialay- eh maksud gue Brianna." Bima memukul mulutnya yang keceplosan.

Brianna mengusap air matanyan dan mendongak menatap Bima lama.

"Lo mau tanggung jawab gak?" tanya Brianna pelan.

"Menurut lo? Selama ini gue selalu ke sini, jadi babu lo yang ngabulin semua keinginan lo, itu gak menjabarkan kalau gue tanggung jawab apa?" sinis Bima.

"Ya, mana tahu itu lo cuma simpati dan kasihan aja sama gue."

Bima langsung berdecak. "Lo kalo bego gak usah pamer-pamer, Bri."

Plak.

"Bima ih!" kesal Brianna menampar lengan Bima kuat. Ia sangat jengkel dengan pria di sampingnya ini. Kenapa setiap kata yang terlontar dari mulutnya selalu pedas?

"Gue bakal tanggung jawab, tenang aja. Tapi gue punya permintaan sama lo." Bima mulai menatap Brianna serius.

"A-apa?"

"Berhenti main ke club, berhenti bermain dengan senjata api dan senjata tajam, lupain masa lalu lo, sanggup gak?" tanya Bima serius. "Kalau lo sanggup gue bakal serius buat nikahin lo, bagaimana pun juga ini calon bayi anak kandung gue."

Brianna terdiam tak bisa berkata-kata. Jantungnya berdegup sangat kencang.

"Lo gak permah mikir atau curiga kalau anak ini bukan anak lo? Gue kan ...."

"Lah sadar juga lo?" sarkas Bima terkekeh sinis. "Gue sadar lo itu suka main sana sini sama cowok, makanya gue agak sedikit ragu kalau itu bener anak gue. Tapi, setelah gue selidiki, lo gak pernah main ranjang lagi setelah sama gue, so gue percaya."

Brianna menunduk, ia malu. Rasanya sangat tidak pantas. Ia ....

"Udah jangan terlalu dipikirin, sekarang fokus sama dedek bayi aja." Bima menarik dagu Brianna untuk menatap ke arahnya. "Sorry kalau selama ini ucapan gue banyak bikin lo sakit hati. Gue orangnya gini, kalo sama cewek yang gak gue suka, gue selalu blak-blakan."

"L-lo gak suka sama gue?" gumam Brianna terbata-bata.

"Emang ada manusia yang suka sama lo?"

Oke, Bima kembali berulah.

Melihat ibu hamil itu yang kembali berkaca-kaca dan siap menangis Bima tertawa dan langsung menarik Brianna ke dalam pelukan.

"Jangan cengeng, Brialay."

...

Revisi/160421

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top