Bizarre

HAPPY READING!!
...

Bizzare = Aneh

"Sandra."

"Iya Bun?"

"Ada temen kamu tuh di bawah."

"Siapa? Claire? Vanya? Atau Cakra? Suruh ke atas aja."

"Bukan mereka, Mama baru liat wajah dia. Namanya Liam kalo gak salah ta--EH JANGAN LARI!"

Jingga mengelus dadanya karena terkejut. Sandra bangkit dari kasur dengan begitu gesit dan berjalan sangat cepat.

Sebegitu pentingkah pria bernama Liam itu?

Di sisi lain, Sandra segera turun tangga sembari membenarkan rambutnya dan pakaian santai yang ia pakai. Setelah siap, ia keluar dengan tenang dan tidak seheboh tadi.

Benar saja, Liam sudah berdiri di depan pintu dengan senyum manisnya. Pria itu memakai jaket levis dengan gaya casual. Ah, lesung pipinya sangat menggoda sekali.

"Liam?"

Liam tersenyum dan berkata. "Hai."

"Eh ayo masuk," ajak Sandra membuka pintu lebar. Liam mengangguk dan masuk ke dalam. Ia duduk di sofa single. Sedangkan Sandra duduk di sofa lain. Ia terlihat menunduk sambil memainkan jarinya.

Gugup kok sama Liam sih San, sama Bumi yang notabe psikopat aja lo malah umak-amuk mulu. Batin Author. Eh

"Lo hari ini sibuk gak?" tanya Liam mencairkan suasana. Sandra mendongak, memberanikan diri menatap Liam.

"Gak sibuk kok, ada apa emangnya?"

"Jalan, mau?"

Astagfirullah, jantung Sandra sekarang lagi marathon. Ini pertama kalinya Liam ngajak jalan Sandra. Ya Sandra pasti terimalah!

"Sekarang?" tanya Sandra sungguh sangat konyol terlihat dari wajahnya. Ah tapi terlihat menggemaskan bagi Liam.

"Iya sekarang Sandra, gimana? Mau gak?"

Sandra tentu mengangguk dengan cepat. Ia bangkit dari duduknya.

"Gue ganti baju dulu ya, lo tunggu di sini." Liam mengangguk dan Sandra langsung berjalan tergesa menuju kamarnya. Liam yang melihat itu terkekeh pelan.

Selang beberapa menit, Sandra turun dengan pakaian yang lebih rapi. Saat ia hendak melewati rumah keluarga, ia berhenti sejenak saat mendengar obrolan Ibu dan ayahnya.

"Mas, kamu yakin?" tanya Jingga menatap Hazzel dengan khawatir.

Hazzel menenangkan Jingga. Pria itu mengusap bahu istrinya.

"Kamu tenang, aku pasti baik-baik aja. Aku harus tolongin Bumi, Bagaimana pun juga dia calon menantu kita loh."

"Tapi itu bahaya, Mas."

"Percayakan semuanya sama Mas oke?" Jingga akhirnya mengangguk pasrah dan memeluk Hazzel erat. Hazzel mencium dahi Jingga penuh kelembutan.

Sandra langsung terdiam saat mendengar nama Bumi disebut. Otaknya berputar pada pembicaraan Bumi dengan seseorang di mobil sore tadi. Tak ingin berpikiran lebih, Sandra langsung menggelengkan kepala. Kembali melanjutkan jalan menemui Liam.

Untung ia sudah pamit lebih dulu kepada kedua orang tuanya. Jadi ia tak perlu repot-repot mengganggu pembicaraan mereka.

Sandra dan Liam bergegas pergi. Liam membawa Sandra menuju mall. Namun, hingga malam tiba pikiran Sandra tak pernah berada ditempat ini. Ia sibuk memikirkan Bumi. Tentang bagaimana keadaan pria itu dan apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Sandra mengusap wajahnya kasar. Ia mencoba menepis pikiran-pikiran buruk tentang Bumi. Namun tetap tidak bisa.

"San, lo gak papa?" tanya Liam hati-hati. Sedari tadi ia melihat gerak-gerik Sandra yang terlihat gelisah.

Sandra tersentak dan menggeleng pelan. "Gak papa kok."

"Jadi mau yang mana?" tanya Liam.

Seketika Sandra gelagapan. Ia tadi tak mendengarkan ucapan Liam. Dirinya terlalu sibuk memikirkan Bumi.

"A-ah lo nanya apa emang? Maaf gue gak konek tadi."

Liam tersenyum tipis. "Lo kayaknya lagi ada masalah ya? Daritadi keliatan gelisah banget."

Sandra menggaruk kepalanya kikuk. Lalu ia bangkit dari duduk.

"Sorry Liam, gue harus pergi. Ada sedikit urusan. Gak papa kan?"

"Mau gue anter?"

"Gak usah, gue buru-buru. Makasih ya, kapan-kapan kita jalan lagi. Sorry banget Liam," ucap Sandra menatap Liam tidak enak. Liam hanya mengangguk dan tersenyum.

"Iya gak papa kok, santai aja. Lo hati-hati ya."

Sandra mengangguk dan segera pergi dari sana. Ia hanya ingin memastikan saja. Tak mau berpikiran aneh-aneh.

Sandra mengambil ponsel untuk menghubungi Garesh. Panggilan pertama tidak di angkat. Mencoba bersabar dan menghubungi Garesh lagi. Tetap saja tidak ada respon.

Sandra pada akhirnya menghubungi Amora. Ia mempunyai nomor gadis itu saat diperesmian cafe kemarin.

Dan untungnya Amora menjawab panggilan Sandra. Sandra meminta Amora untuk mengirim dirinya alamat markas Bumi. Awalnya Amora menolak karena markas Bumi adalah markas rahasia dan juga sangat berbahaya. Namun karena Sandra yang terus memaksa, pada akhirnya Amora memberitahu.

Sandra segera bergegas pergi menuju alamat yang Amora berikan. Ia menggigit bibir bawahnya. Entah kenapa hatinya mendadak tidak tenang dan khawatir.

Membutuhkan waktu satu jam untuk sampai di sana, akhirnya Sandra bernafas lega karena alamat yang Amora berikan sudah di depan matanya.

"Benar-benar misterius dan nyeremin." Sandra bergumam sembari menatap takjub gedung besar di depannya. Di depan sana berdiri banyak pengawal memakai pakaian hitam juga kacamata.

Benteng besar terlihat jelas di sana. Memberi peringatan bahwa batas aman mereka ada pada benteng tersebut. Sandra yakin, setiap orang yang masuk tanpa permisi akan langsung dihabisi.

Dengan langkah pelan Sandra menghampiri salah satu pengawal yang juga sedang memperhatikan Sandra.

"Segera pergi dari sini sebelum King datang. Nyawa kamu sebentar lagi akan menjadi ancaman."

Belum juga Sandra membuka suara pengawal tersebut sudah lebih dulu memperingatinya.

"Mana Bumi?" tanya Sandra dengan berani.

Pengawal tersebut berdecih. "Ada urusan apa kamu dengan King? Cepat pergi! Jangan sampai pistol ini aku arahkan tepat di dada kamu!"

Sandra melotot dan langsung menutupi dadanya menggunakan tangan yang menyilang.

"Om mesum!"

Pengawal tersebut melongo. Bukan itu maksudnya, sialan.

"Mana Bumi?! Gue mau ketemu sama Bumi," kesal Sandra memukul lengan pengawal tersebut brutal dan sangat bar-bar.

Melihat itu para pengawal yang berdiri di belakang langsung sigap menodongkan pistol ke arah Sandra.

"Jangan macam-macam." Salah satu pengawal di belakang memberi intruksi.

Dor.

Sandra tersentak kaget saat mendengar suara tembakan. Salah satu pengawal di belakang jatuh dengan mengenaskan. Dada kirinya ditembak oleh seseorang di belakang Sandra.

Sandra menoleh ke belakang. Dan terdiam sesaat setelah melihat siapa pelaku tersebut.

"Lepaskan, gadis ini adalah orang penting bagi King. Jangan berani-berani menyentuhnya," ucap pria tersebut datar.

Bulu kuduk Sandra sampai berdiri mendengar suara menakutkan pria itu.

Para pengawal langsung membungkuk patuh dan mundur menjaga jarak. Sandra langsung menjulurkan lidah ke salah satu pengawal di sana. Tanda mengejek bahwa ia telah menang.

"Ada keperluan apa kamu ke sini?" tanya Pria tersebut mendekati Sandra. Tatapannya sangat datar tanpa ekspresi.

Sandra menelan salivanya susah payah. Berbalik menghadap pria tersebut dan tersenyum kikuk. "I-itu anu, B-bumi." Sandra langsung menepuk bibirnya yang entah sejak kapan mendadak gagu.

Pria di depan Sandra hanya diam memperhatikan Sandra. Karena gadis itu tak kunjung berbicara, akhirnya pria itu memutuskan untuk menghubungi Raksa yang sepertinya sedang bersama Bumi di sana.

Sandra terdiam tak tau harus berbicara apa. Matanya diam-diam mencuri pandangan ke arah pria yang sudah menjauh untuk menghubungi seseorang. Ia merasa pernah bertemu dengan pria itu. Namun Sandra lupa.

Pria tersebut berbalik, menyimpan ponsel di saku. Lalu matanya menatap Sandra yang sedari tadi memperhatikan dirinya. Paham akan tatapan itu, ia langsung berbicara.

"Jovan."

Sandra tersentak kaget. Jovan? Apa maksudnya?

Ah, namanya Jovan?

Sandra langsung mengangguk. "Temen Bumi ya? Pantes aja Sandra ngerasa gak asing sama kakak."

Jovan mengernyit. Kakak? Apakah dirinya setua itu untuk dipanggil kakak?

"Jovan aja, jangan kakak."

Sandra meringis, lalu mengangguk patuh. Entah kenapa saat berada di hadapan cogan Sandra selalu gugup. Biasanya ia tak pernah seperti ini. Sandra selalu bersikap sok kenal dan sok akrab bahkan yang lebih bar-bar lagi ia selalu bercipika-cipiki meskipun orang tersebut tak ia kenal sama sekali.

"Ini markas Bumi?" tanya Sandra berani, menunjuk gedung besar di depannya.

Jovan mengangguk, ia menyuruh Sandra untuk ikut dengannya. Tidak, Jovan tidak membawa Sandra ke dalam markas. Ia tidak ada wewenang dan lebih memilih membawa Sandra ke mobil miliknya untuk menunggu kedatangan seseorang.

Sandra diam tak bergerak saat berada di depan mobil mewah milik Jovan. Ia masih takut dan was-was. Apalagi mengingat pria ini adalah teman dari Bumi. Yang otomatis bisa saja pria di depannya ini termasuk sosok psikopat juga.

Paham dengan ekspresi yang Sandra perlihatkan. Jovan menghela napas sebentar. Ia mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil. Beralih berjalan menuju depan dan duduk di kap mobil. Ia menatap Sandra yang juga sedang menatap ke arahnya. Lalu menepuk tempat di sampingnya menyuruh gadis itu untuk duduk bersamanya. Sandra menurut dan duduk di sana.

Hening.

"Om Bumi lagi ada masalah, ya?" tanya Sandra memberanikan diri bertanya.

Jovan menoleh, menatap lama Sandra dengan raut wajah datar. Sandra yang ditatap seperti itu menjadi salah tingkah.

"Musuh perusahaan menyerang pabrik Bumi."

Sandra kembali menoleh saat Jovan mulai berbicara.

"Apa berbahaya?"

"Tidak akan, kekuasaan Bumi lebih kuat." Jovan melihat jam di tangannya. "Tunggu, sebentar lagi Raksa datang."

"Kok Raksa? Bumi ke mana?"

Joven menoleh, lalu tersenyum miring. "Kamu khawatir?"

"Gak, siapa yang khawatir. Cuma kepo aja, lagian nanti kalo dia kenapa-kenapa pasti Sandra juga yang repot!" balas Sandra langsung memalingkan muka.

Jovan hanya diam tak menjawab lagi. Hingga beberapa menit kemudian Raksa datang dengan dua mobil di belakangnya.

"Sandra? Kenapa lo datang ke sini? Astaga!" Tiba-tiba Raksa keluar dari mobil dengan raut wajah panik. Ia berjalan cepat ke arah Sandra dan Jovan. Sandra meringis saat melihat di wajah pria itu terdapat beberapa lebam.

"Lo gak boleh ke sini. Astaga, kalo Bumi tau dia bakalan marah!" Raksa mengusap wajahnya kasar. Bergerak kesana kemari karena panik.

"Makasih udah hubungin gue, dia biar gue yang atur." Raksa menepuk bahu Jovan. Lalu menarik tangan Sandra untuk ikut bersamanya.

Sandra yang masih kebingungan hanya menurut.

"Masuk," suruh Raksa membuka pintu mobil. Sandra menurut, karena ia tau Raksa tidak mungkin bermacam-macam. Setelah menutup pintu mobil, Raksa berbalik menatap para pengawal.

"Jangan bilang King, kalo dia dateng ke sini. Tutup mulut kalian," suruh Raksa tegas yang langsung dipatuhi mereka.

"Makasih Jov sekali lagi!" teriak Raksa kepada Jovan sembari memasuki mobil. Jovan hanya mengangguk dan melambaikan tangan.

"Mau ke mana?" tanya Sandra bingung saat Raksa sudah masuk dan menyalakan mesin.

"Lo tau gak sih, tempat ini tuh berbahaya! Lo jangan asal dateng ke sini. Untung aja Jovan nelpon gue dulu. Coba kalo Bumi tau, bisa-bisa lo dimarahin sama dia!"

"Dia udah biasa marahin gue, jadi gue gak terlalu takut lagi."

"Marahnya dia kali ini beda. Dia gak bakal biarin siapapun orang terdekat dia buat ke sana. Amora adik kandung sendirinya aja selalu Bumi larang. Tempat itu sangat berbahaya Sandra. Semua pria psikopat ada di sana. Itu tempat tinggal mereka."

Sandra terdiam, merapatkan bibir. Tak berani membalas ucapan Raksa. Lama mereka saling terdiam Raksa kembali bersuara.

"Jangan sampe Bumi tau kalo hari ini lo dateng ke sana."

"Iya." Sandra menunduk, memainkan jarinya memikir sesuatu. "Sekarang Bumi di mana?"

"Dia lagi ngurusin sesuatu. Ayo turun," ucap Raksa mulai keluar lebih dulu lalu membuka pintu mobil Sandra.

"Ini di mana?" tanya Sandra dengan mata mengedar.

"Apartemen Bumi, lo tunggu di sana aja. Bumi pasti bakal ke sana kalo habis beresin masalah." Raksa memberikan sebuah kunci. "Ini kunci apartemen, pake kunci aja karena sandi apartemen Bumi gue juga gak tau. Tapi gue percaya sama lo, lo gak bakal macem-macem di sana. Apartemen Bumi di lantai paling atas, di sana gak ada apartemen lain. VIP cuma milik Bumi."

Sandra hanya mengangguk saja membalas ocehan Raksa yang entah kenapa sekarang terlihat lebih serius.

"Gue harus pergi, gak perlu gue anter ke atas kan?"

"Gak usah, makasih udah nganter ke sini."

"Gue suruh pengawal jagain lo, gimana?"

"Gak perlu, gue bisa sendiri."

Raksa mengangguk dan berlalu pergi. Setelah mobil mewah itu melesat, Sandra berbalik menatap bangunan bertingkat yang cukup luas.

"Ck! Ngapain gue repot-repot kayak gini?" gumam Sandra setelah lama terdiam. Baru menyadari bahwa sedari tadi ia terlihat seperti orang yang kehilangan arah. Datang tiba-tiba menuju markas seperti orang idiot. Lalu di bawa kemari dan ditinggal sendiri seperti gadis gelandangan.

"Duh mending gue pergi aja deh, ngapain juga ngurusin Bumi." Sandra bergerak gelisah.

"Nyesel dah gue ninggalin Liam dan malah ngelakuin hal bodoh kayak gini."

Sandra terus bergumam sendiri. Menggigit jarinya sembari berjalan mondar-mandir.

"Ah bodo amat! Gue dateng ke sini bukan karena khawatir, tapi gue cuma kepo.
Iya gue cuma kepo!" putus Sandra pada akhirnya. Dan bergegas menuju apartemen Bumi.

...

Dor

Dor

Suara tembakan menggema dan terdengar sangat nyaring. Sudah seperti peperangan yang saling balas-membalas.

"Argh-Lepaskan sialan!"

Bugh

"Diam bajingan!" Seorang pria memukul rahang pria yang yang berhasil ia jatuhkan.

"Berani sekali kamu mengusik area milikku."

Sret.

"Jangan pernah macam-macam dengan seorang King."

Sret

"Sialan, dasar psikopat!"

Pria tersebut tertawa, tertawa yang sangat menyeramkan hingga membuat seseorang bergidik ngeri.

"Aku memang psikopat jika kamu belum tau. Wx13 nama kumpulan yang aku buat. Kau pasti tau itu bukan?"

Pria yang sudah tak berdaya hanya berdesis. Apalagi saat seseorang pria paruh baya datang dan langsung menginjak telapak tangannya.

"Siapa yang menyuruh kamu?"

"Sampai mati pun aku tidak akan memberitahu."

Pria muda dan pria paruh baya langsung saling tatap. Lalu mereka sama-sama menyeringai.

"Bumi, urus saja dia sendiri. Ini bagian kamu, bagianku sudah selesai," ucap paruh baya tersebut yang langsung dibalas anggukan oleh Bumi.

"Baiklah, akan aku urus dia."

Paruh baya tersebut duduk di sofa dan hanya diam menonton.

"Kutanya untuk terakhir kalinya. Siapa yang menyuruhmu bajingan?" tanya Bumi geram sembari mencengkram wajah pria tersebut yang sudah berlumuran darah.

"Seilan, dia yang menyuruhku--Argh!"

Bumi langsung menusuk dada pria tersebut sampai dia terkapar. Lalu bangkit dan melempar pisau tadi asal. Ia duduk di samping Hazzel--Ayah dari Sandra.

Iya, Pria paruh baya yang sedari tadi bersama Bumi adalah Hazzel. Pria itu datang untuk membantu menyelesaikan masalah yang terjadi dengan pabrik senjata milik Bumi. Ah jangan lupakan bahwa Hazzel adalah seorang mafia besar.

"Seilan? Aku merasa tidak asing dengan nama itu." Hazzel memegang dagunya berpikir. Matanya menatap datar para pengawal yang sedang menyeret pria di depannya yang sudah mati.

"Pemilik perusahaan GDL. Dia yang menghasut perusahaan CP agar menolak bekerjasama dengan perusahaan King courp milikku."

"Strategi yang sangat membosankan." Hazzel tertawa remeh.

Bumi menatap Raksa yang sedari tadi berdiri di belakang. "Darimana saja?"

Wajah Raksa nampak pucat, ia tidak mungkin memberitahu bahwa ia menemui Sandra beberapa menit lalu.

"Keluar sebentar, udara segar."

Bumi berdecih, ia tau Raksa sedang berbohong. Tangannya mengambil ponsel untuk menghubungi seseorang.

"Bagaimana keadaan bagian Utara?" tanya Bumi tanpa menoleh ke arah Raksa.

"Aman bos."

Bumi mengangguk, setelah selesai dengan ponsel ia kembali menatap Hazzel.

"Om gak transaksi?" tanya Bumi santai menyandarkan tubuhnya di sofa.

"Satu jam lagi saya berangkat ke Jerman. Ada yang menawarkan senjata baru di sana."

"Sepertinya senjata buatanku lebih bagus." Bumi terkekeh pelan.

"Ya ya, itu sih tidak bisa tertandingi. Saya hanya ingin mencoba hal baru."

Bumi mengangguk, lalu kembali menegakkan tubuhnya.

"Ingin ngopi denganku?" ajak Hazzel membuat Bumi menoleh. Ia mengangguk dan langsung berdiri diikuti Hazzel.

Namun sebelum mereka melangkah, dering ponsel Bumi mengurungkan langkah pria itu. Yang lain ikut berhenti dan memperhatikan Bumi.

Bumi tersenyum miring saat melihat sesuatu di ponselnya. Dengan senyum yang masih terpatri ia menatap Hazzel.

"Sepertinya untuk sekarang tidak bisa, gadis Bumi yang tidak lain adalah putri kesayangan Om sudah menunggu kedatangan Bumi di apartemen."

Hazzel terdiam, ia menatap Bumi dengan alis terangkat. Matanya mulai memicing curiga.

"Oh ayolah Om, kami tidak macam-macam. Bumi tidak mungkin menyakiti gadis yang sudah Om percayakan kepada Bumi." Bumi menatap datar Hazzel.

Hazzel terkekeh dan menepuk bahu Bumi. "Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu. Jaga dia baik-baik. Awas saja kalo sampai putri saya lecet sedikitpun. Perjodohan akan saya batalkan. Dan Bima yang akan menggantikan kamu."

Setelah mengucapkan itu Hazzel pergi meninggalkan Bumi yang menggeram kesal.

"Raksa."

"Uy?"

"Siapkan mobil."

"Siap bang jago!"

Bumi mengusap wajahnya kasar.

"Ah aku sudah sangat merindukan gadis bar-bar itu."

...

Revisi/150421

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top