Bats toi
HAPPY READING!
...
Bats toi = Pertarungan
Bel tanda berakhirnya kegiatan belajar mulai menggema di sepanjang koridor. Seluruh murid lantas segera membereskan peralatan belajar mereka. Dan segera keluar dari area sekolah.
Salah satunya adalah Sandra, gadis itu sudah berjalan di koridor sendirian. Seluruh teman-temannya sudah pulang dan juga ada yang mengikuti ekstrakulikuler lebih dulu. Dan tujuan Sandra sekarang adalah menemui Liam. Sesuai janji, ia akan menemui pria itu di gedung belakang sekolah.
"Sandra." Seseorang berteriak dari arah belakang. Sontak Sandra berbalik untuk melihat siapa yang memanggilnya.
"Aishel?" tanya Sandra bingung. Tumben sekali perempuan ini menyapanya lebih dulu. Yang Sandra tau, Aishel tipikal perempuan pendiam dan jarang sekali berinteraksi dengan orang banyak.
"Lo mau ke mana?" tanya Aishel setelah berhasil berdiri di hadapan Sandra.
"Kenapa emangnya?"
Aishel menggaruk tengkuknya, bingung harus menjelaskan dengan cara bagaimana.
"Hey, ada apa?" tanya Sandra melambaikan tangannya di depan wajah gadis itu. Aishel lantas menggeleng dan tersenyum kikuk.
"Lo ada urusan gak sekarang? Gue mau minta tolong."
"Minta tolong apa?" tanya Sandra cepat, sesekali melirik jam ditangannya.
Aishel menggigit bibir bawahnya, bingung harus berkata apa. Ia tak punya ide untuk mencegah Sandra. Otaknya terlalu lemot untuk memikirkan hal sepele seperti ini. Pantas saja ia selalu masuk ke dalam tipuan pria itu.
"Aduh, sorry, Shel. Kita bicara lagi nanti, oke? Gue ada urusan, nih. Bye!"
Aishel hendak mencegah, namun Sandra lebih dulu pergi.
"Shit, gue kenapa sih?!" kesal Aishel memukul kepalanya gemas. "Tinggal bilang aja jangan temuin Liam. Udah kan, beres! Ngomong gitu aja susah banget!" gerutu Aishel merasa bodoh.
Sedangkan Sandra, gadis itu sudah berdiri di depan gedung tempat yang mereka janjikan. Ia menghirup napas dan menghembuskannya secara perlahan. Baru saja hendak membuka pintu, pintu sudah terbuka dari dalam. Ia dapat melihat Liam keluar dari dari sana.
"Lo dateng?" Liam tersenyum, mengacak rambut Sandra. Sandra balas tersenyum.
"Jadi? Ada perlu apa lo nyuruh gue ke sini?"
"Ganti tempat, kalo di sini gak enak. Ayo, gue bawa lo ke suatu tempat."
Sandra mengangguk cepat tak berpikir banyak. Ia langsung berjalan bersama Liam menuju parkiran.
Ternyata, Liam membawa dirinya ke Apartemen pria itu. Sandra tetap dalam keadaan tenang dan tidak panik. Gadis itu tetap mengikuti kemanapun Liam membawanya.
"Masuk," suruh Liam, mulai membuka pintu Apartemen. Sandra mengangguk dan masuk. Liam terkekeh, tumben sekali Sandra langsung menurut dan tak banyak berbicara.
Tanpa mereka sadari, ada seorang pria yang memperhatikan mereka dari ujung lorong.
"Itu bukannya, Sandra?" gumam pria itu pelan. Katanya memicing untuk mengingat kembali wajahnya.
"Ngapain dia sama Liam?"
"Ck, Bumi."
Tanpa pikir panjang pria itu langsung menghubungi Bumi. Dan memberitahu sesuatu sesuai dengan apa yang ia lihat.
"Lo gak takut gue bawa ke sini?" tanya Liam begitu mereka duduk di sofa.
"Emang lo mau ngapain?" tanya Sandra balik dengan nada santai.
Liam terkekeh pelan, bangkit dan berjalan menuju kamar. "Tunggu, gue ganti baju dulu."
Sandra mengangguk dan mulai fokus memperhatikan ruangan di sini. Tak ada yang spesial, sudah seperti biasa layaknya Apartemen seorang pria.
Sandra tak melihat ada foto keluarga Liam di sini. Hanya ada beberapa foto pria itu dengan teman SMA dan foto saat kecil.
"Minum," ujar Liam baru saja datang membawa segelas jus jeruk dan menaruhnya di meja. Lalu ia duduk di sofa single, menatap lekat wajah Sandra.
"Gue suka sama lo."
Uhuk.
Sandra tersedak saat sedang meminum jus tersebut. Matanya menatap Liam terkejut.
"Kenapa?"
"Lo ngomong tiba-tiba banget, aneh tau gak?" Sandra mengusap bibirnya yang basah, sembari menatap Liam dengan raut kikuk.
Liam berpindah duduk di samping Sandra. Menatap lekat gadis itu dari dekat. Sandra yang ditatap seperti itu gugup, dan mulai menjaga jarak.
"Lo juga suka, kan? Sama gue?"
Sandra masih diam, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi sekarang.
Tatapan Liam jatuh pada bibir mungil milik Sandra, Liam menelan salivanya sebentar. Mulai mendekatkan wajahnya sembari menatap Sandra dalam. Sandra terkejut, reflek merapatkan bibir dan memundurkan wajahnya. Menahan dada Liam menggunakan tangannya.
"Jangan kayak gini," gumam Sandra pelan.
Liam mengangkat alisnya bingung. "Kenapa?Bukannya ini yang lo mau?"
Sandra menggeleng dengan cepat. "B-bukan ...."
"Lo suka sama gue, gue tau itu. Selama ini lo selalu perhatiin gue, setiap gue deketin lo gue bisa liat raut bahagia dari wajah lo."
"Asumsi gue benarkan, San? Lo suka sama gue?"
Sandra masih diam. Ia dapat merasakan keanehan. Sifat Liam, iya, sifat pria itu sedikit berubah.
"San?"
"I-iya, gue suka--"
"Gue suka sama lo, dan lo suka sama gue." Liam tersenyum lebar, mulai mengangkat tangannya dan mengelus pipi Sandra lembut.
"Cantik." Liam mengusap bibir menggoda Sandra penuh minat. Tanpa aba-aba langsung mendekat dan mengecup bibir gadis itu sekilas.
Sontak Sandra langsung berdiri, mengusap bibirnya kasar.
"APA-APAAN ITU?!" teriak Liam tidak terima. Ia bangkit dan kembali mendekati Sandra.
Sandra berdecih, bukannya ia yang harus marah karena pria itu menciumnya seenak jidat?
"Gue belum selesai ngomong, Liam." Lalu tangannya kembali mengusap bekas kecupan Liam yang menurutnya sangat menjijikan.
"Gue emang suka sama lo! Tapi dulu, gak dengan sekarang!" teriak Sandra nyaring.
Liam menggeleng cepat, lalu kembali mendekati Sandra dan mengguncang bahu gadis itu berkali-kali.
"Jangan bohong! Lo cuma milik gue Sandra!"
Sandra memutar bola matanya malas. "Bukan ini sifat lo yang asli. Gak seru ah, keluarin sekarang dong!" Sandra melipat kedua tangannya di dada. Seolah menantang Liam.
"Maksud lo apa?" tanya Liam bingung. Sandra tertawa meremehkan dan menepis tangan Liam.
"Jangan berpura-pura bodoh, Liam. Lo udah liatin sisi bejat lo barusan," sinis Sandra. "Gue tau sikap lo, sikap terpendam lo yang selalu macarin banyak cewek! Manfaatin tubuh mereka, morotin uang mereka! Gue tau itu!"
Bukannya terkejut, Liam malah terkekeh. "Lo udah tau? Baguslah, jadi gue gak perlu repot-repot berlaku halus lagi sama lo."
Sandra diam saat Liam kembali mendekat, hingga punggungnya menabrak dinding dan tak bisa berlari karena ia sudah berada dalam kukungan pria itu.
"Lo udah tau kalau gue bajingan, lantas kenapa lo masih aja ngikutin gue sampai ke sini?" bisik Liam dengan suara rendah. Menatap Sandra Dengan tajam.
"Lo gak sadar, dengan kedatangan lo ke sini sama aja lo ngasih akses buat gue berlaku lebih ke lo?" Liam terkekeh sinis.
"JAWAB GUE!" bentak Liam membuat Sandra terkejut bukan main.
"Gak nyangka gue ternyata begini sikap asli lo. Semua yang temen-temen gue bicarain tentang lo ternyata gak salah." Sandra menatap kecewa Liam.
Semenjak di mana banyak orang menyuruhnya untuk menjauhi pria itu, Sandra mulai sedikit ragu dengan Liam. Ia juga memang tidak pernah terlalu percaya kepada seseorang sekuat itu. Dulu, dirinya selalu keras kepala karena tidak ingin membuat Liam curiga dengan dirinya.
Sandra sering menyelidiki tentang Liam, bagaimana keseharian pria itu dan seluk beluk keluarganya.
Dan wow, ternyata memang benar. Pria ini adalah pria bejat. Seorang pembohong besar.
Dia anak tunggal, tidak ada kakak bahkan adik sekalipun. Semua yang pria itu ceritakan hanya omong kosong. Lamunan Sandra buyar ketika kepala Liam sudah bertengger di ceruk lehernya. Pria itu menciumnya dengan liar membuat Sandra jijik.
"Sial," umpat Sandra geram. Gadis itu mulai mendorong Liam kuat. Namun, tenaganya tidak cukup besar dibandingkan dengan tenaga Liam.
Ia tidak bisa diperlakukan layaknya wanita murahan seperti ini.
"Lepas, sialan!" geram Sandra mulai memberontak. Matanya sudah berkaca-kaca, merasa sakit hati diperlakukan seperti ini oleh sosok pria yang selama ini ia percaya.
Sandra menendang Liam dengan sekuat tenaga. Dan kali ini, tindakannya berhasil.
Ah, ingatkan dirinya adalah seorang wanita bar-bar. Maka dari itu, akan ia manfaatkan untuk menghadapi pria bajingan ini.
"Dasar, brengsek!" teriak Sandra sembari terisak. Oh ayolah, bukan saatnya untuk menangis Sandra. Lawan, lawan pria bejat itu!
Prang.
Sandra melempar gelas yang berada di meja ke arah Liam. Namun lemparannya meleset.
Sial.
"Lo gak akan bisa lari, lo cuma milik gue Sandra."
"Mau lo apa sih?!"
"Mau gue? Mau gue ya, lo."
"Jangan mimpi!"
"Mimpi? Bukannya itu impian lo dari dulu? Pacaran sama gue?!"
"Iya, itu dulu. Enggak dengan sekarang!"
"Oh, gue tau!" Liam berteriak sambil menganggukkan kepala.
"Lo suka sama cowok yang lo sebut Om itu, kan?"
Liam terkekeh sinis, melipat tangannya di dada.
"Gue tau, dia seorang psikopat. Bener bukan?"
Sandra diam, merapatkan bibirnya sembari terisak.
Plak.
"Jawab gue!" teriak Liam murka setelah menampar pipi Sandra kuat hingga memerah.
Sandra mengusap sudut bibirnya yang berdarah. "Gue kecewa sama lo."
Plak
"SIALAN, GUE JUGA KECEWA SAMA LO! JAWAB GUE SANDRA, LO SUKA SAMA COWOK PSIKOPAT ITU?!" Lagi dan lagi Liam menampar pipi Sandra kuat.
"DIA BUKAN PSIKOPAT!"
"GAK USAH SOK MELINDUNGI, GUE TAU SEMUANYA! DIA KING, BUKAN OM LO! DIA PSIKOPAT, DIA SEORANG PEMBUNUH!"
"Lalu, apakah menjadi sebuah masalah, jika saya memang benar seorang pembunuh?"
Deg.
Liam dan Sandra menoleh ke belakang. Di ambang pintu sudah berdiri sosok pria bertubuh tegap. Tangannya terlipat di depan dada dengan raut wajah yang nampak terlihat santai.
"B-bumi," cicit Sandra pelan. Tak lagi memanggil pria itu dengan embel-embel Om. Seharusnya Bumi senang saat mendengarnya, namun tidak dengan situasi sekarang.
"Cih, mau jadi pahlawan lo?" sinis Liam melipatkan tangannya, menantang.
"Bocah ingusan seperti kamu memang harus segera dimusnahkan."
Bumi melipat kemejanya sampai siku. Menyugar rambutnya dan menatap lekat Sandra.
"Kamu akan tetap setia berdiri di sana, sayang? Tidak mau bersamaku?" tanya Bumi dengan datar.
Sandra menelan salivanya susah payah. Saat hendak melangkah untuk meminta perlindungan pada Bumi. Liam lebih dulu gesit menarik gadis itu dan mengukungnya. Memiting leher Sandra meletakkan pisau yang entah sejak kapan berada di tangan pria itu di depan leher Sandra.
"B-bumi," cicit Sandra lagi, ketakutan.
Sial, rencana akan membongkar kelakuan Liam. Malah menjadi seperti ini. Semua diluar dugaan Sandra.
Bumi masih terlihat santai, tak ada raut kepanikan sedikitpun dari wajah pria itu.
"Ya, silahkan. Bunuh saja, gadis itu."
Sandra melotot kaget dengan perkataan Bumi. Apalagi pria itu menyebutnya tanpa nama. Oh ayolah, apa karena selama ini ia tidak pernah menurut dan selalu keras kepala kepadanya? Jadi ini balasan dari Bumi untuk dirinya?
Tapi kenapa memperbolehkan dirinya dibunuh!
"Satu tetes saja darah keluar dari tubuh Sandra, maka satu bagian anggota di dalam tubuh kamu akan saya hilangkan."
Bumi tersenyum, senyum bak iblis yang sedang bertemu lawan. Aura hitam pekat yang semakin membuat suasana lebih mencekam.
"Sudut bibir dia berdarah, dan anggota tubuh kamu sudah menjadi ancaman."
"Gue gak takut!"
"Saya tidak menyuruh kamu takut, saya suka lawan yang pemberani."
Liam menggeram kesal. "Dia cuma milik gue, jangan coba-coba rebut Sandra dari gue!"
"Benarkah? Dia milik kamu? Apakah seperti ini, cara kamu memperlakukan sesuatu milik kamu yang berharga? Membuatnya takut, begitu?" Bumi menatap Liam lalu beralih pada Sandra.
Shit, apa-apaan itu?! umpat Bumi ketika matanya menangkap sebuah bercak keunguan di leher Sandra.
Bumi dan Sandra saling tatap, cukup lama.
"L-liam, gue--"
"Diam!"
"Gue bakal pilih lo, jadi tolong jangan kayak gini. Lo buat gue takut," ujar Sandra pelan dengan nada bergetar.
"Sandra?" Bumi menatap Sandra tidak percaya.
"Lo gak bohong kan?" tanya Liam sedikit melunak. Dengan cepat Sandra mengangguk.
Saat Liam mulai menjauhkan pisau itu dari Sandra dan melepas kukungan. Dari situlah Bumi langsung menarik Sandra dengan cepat, menyembunyikan gadis itu ke belakang punggungnya.
Berhasil, tipuan mereka berdua berhasil.
"Sialan," umpat Liam geram. "Kalian berdua nipu gue?!"
"Kenapa?" tanya Sandra sedikit berani. Namun kembali menutup bibirnya saat Bumi semakin menyembunyikan tubuhnya di belakang pria itu. Tak memberi akses untuk dirinya berbicara.
"Kembali Sandra, lo cuma milik gue! Kenapa lo malah milih sama pembunuh ini?!" bentak Liam murka. Sebelum Sandra menjawab, Bumi lebih dulu menahan dan menggenggam tangan gadis itu.
"Jangan berharap untuk menjadikan Sandra sebagai milik kamu. Sekarang dan untuk selamanya dia hanya milik saya. Dan jangan lupakan, bahwa pembunuh ini bisa kapan saja membunuh kamu. Jadi jangan macam-macam!"
Liam muak, dalam dirinya sudah dipenuhi rasa marah dan emosi yang sangat kuat. Dengan cepat ia hendak menusukkan pisau tersebut pada perut Bumi.
Bumi bergerak cepat, menahannya dengan menggenggam pisau tersebut hingga darah mulai merembes di telapak tangannya.
"Rupanya memang kamu memancing saya, Liam."
Bugh.
Bumi menendang perut Liam hingga terpental. Ia melepaskan tangan Sandra dan berjalan mendekati Liam.
"Berbalik dan tutup telinga kamu, Sandra." Bumi berujar tanpa menoleh, fokusnya hanya menatap nyalang sosok pria di depannya.
"Bumi, mending kita pulang. Jangan ladenin dia, ayo pulang. Aku takut," ujar Sandra pelan.
"Turuti saja perkataan saya."
Sandra menghela nafasnya dan mengikuti perintah Bumi.
Srett.
"Begini caranya membunuh, bodoh."
"Arghh--Sialan!"
Plak.
"Salah jika kamu mencari gara-gara dengan saya."
Bugh.
Bugh.
Srett.
"Begini caranya, sudah mengerti?"
Bumi menepuk kedua tangannya membersihkan kotoran karena sudah menyentuh Liam. Ia tersenyum miring melihat Liam yang sudah terkapar. Darah dimana-mana karena ia berhasil memotong tangan pria itu.
Dasar, lemah.
"Jovan?!"
"Lo gak papa?" tanya Jovan datang dengan nafas ngos-ngosan.
"Gak papa, tapi itu," bisik Sandra menunjuk ke belakangnya, di mana ada Bumi yang membelakangi mereka dan di bawahnya ada sosok pria yang sudah terkapar.
"Lo tunggu di sini," ujar Jovan dan langsung berlari menghampiri Bumi.
"Biar gue yang urus, lo urus Sandra dulu." Jovan menepuk bahu Bumi.
"Di mana, Heksa?"
"Balik, dia gak berani ke sini."
"Cih, pengecut."
"Urus dua," suruh Bumi menepuk bahu Jovan dan berlaku menghampiri Sandra.
Setelah berada tepat di samping gadis itu, Bumi hanya diam tak mengeluarkan suara.
"Pulang," ujar Bumi datar dan berjalan lebih dulu meninggalkan Sandra yang sudah menelan salivanya.
Sandra tidak bodoh, ia tau Bumi sedang dalam keadaan marah. Bumi pasti kecewa terhadap dirinya yang tidak mempercayai pria itu. Selama ini ia selalu bersikap acuh tak acuh, dan mengabaikan segala perhatian Bumi untuk dirinya.
Ah, Sandra mengaku salah.
Dengan bibir yang masih bergetar, dan juga tubuh yang lemas. Sandra berjalan gontai mengikuti Bumi. Kepalanya menunduk, tangannya saling bertaut.
Sampai di dalam mobil pun, tak ada yang berbicara. Hening, keduanya larut dalam pikiran mereka masing-masing.
Sandra tak mau berbicara, ia masih trauma akan kejadian beberapa menit lalu, ditambah lagi saat melihat raut wajah Bumi yang terlihat menyeramkan. Tak mau membuat pria itu semakin marah.
Sesekali gadis itu melihat ke samping. Memperhatikan Bumi yang sedari tadi berdesis, urat di lehernya tercetak dengan jeals menandakan pria itu masih dalam situasi tidak baik.
Pandangannya jatuh pada tangan pria itu yang menggenggam erat stir mobil. Ah, jangan lupakan darah yang terus mengalir.
Sandra meringis pelan. "Bumi, tangan ka--"
"Diam," desis Bumi membuat Sandra mengurungkan niatnya untuk menyentuh tangan Bumi. Kepalanya kembali menunduk.
Teringat sesuatu, Sandra mengambil cermin. Ia melihat sesuatu di lehernya lewat pantulan cermin.
"Sial ...." gumam Sandra pelan agar tidak di dengar Bumi. Diam-diam ia mengusap kasar lehernya yang terdapat bercak keunguan di sana.
"Shh ...." Lagi dan lagi pipi dan bibirnya terasa perih akibat tamparan pria itu.
Awas saja Liam, akan Sandra balas nanti.
"Obati sendiri," ujar Bumi sembari melempar kotak P3K dengan kasar. Pria itu masih dalam mode meredam emosi. Menahan gejolak ingin marah dan membentak siapapun yang ada disekitarnya.
Bumi sangat murka sekarang. Terlebih lagi saat melihat bercak di leher Sandra, bibir gadis itu yang berdarah dan suara Isak tangis yang membuatnya ikut merasakan sakit.
"Tangan Om-- maksud aku, tangan kamu juga harus diobatin. Berhenti dulu, aku ma--"
"Urus saja dirimu sendiri," ujar Bumi datar membuat Sandra terkejut.
Sakit? Bukan lagi.
Tak hanya sakit fisik akibat tamparan Liam, tak hanya sakit mental karena trauma yang cukup besar, ia juga sakit hati akan perkataan Bumi yang membuat perasaanya ngilu.
Sekarang, apa yang harus Sandra lakukan?
...
Revisi/150421
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top