8. Mereka Siapa?
Happy baca
Sorry for typo
.
.
.
"Ma, serius ini Barra pindah dari sini?" Barra bertanya dengan mata sedikit memancar sendu pada mamanya. Merasa agak berat hati harus hengkang-walau cuma sementara dari rumah.
"Buat sementara, Kak, sampai kamu sama Aluna menikah nanti," sahut mama di sela kesibukan.
Pasrah. Satu hal yang dilakukan Barra saat mama memintanya menepi sejenak dari rumah ini, sementara waktu sampai mama memutuskan tanggal pernikahan, anak laki-lakinya tidak boleh berdekatan dengan Aluna.
Embusan napas lelaki itu terdengar mengudara. Perasaan Barra Wisnu bisa sedikit lega- saat berhasil menego Abyasa untuk sementara tinggal di apartemen karibnya itu.
Untung saja, Abyasa mau meminjamkan secara cuma-cuma huniannya tersebut. Tadinya ingin minta info sewa apartemen, tapi Aby mengatakan kalau unit miliknya kosong, karena sejak menikah, temannya itu pindah tinggal bersama di rumah besar sang eyang. Apalagi semenjak istrinya Aby mengandung, karibnya itu bertutur kalau akan menetap di istana Eyang Rahayu sampai Aisyah melahirkan nanti. Jadi daripada kosong, Aby meminta Barra tinggal di apartemennya.
Ini yang dinamakan rezeki, hadir saat dibutuhkan, rezeki anak sholeh kata Barra.
Hastari membantu putranya mengepak barang-barang yang akan dibawa pindahan. Tidak banyak, hanya beberapa setelan kantor, kaus santai dan beberapa potong celana. Selebihnya printilin-printilan kecil semacam boxer, sapu tangan, dalaman dan yang lain.
Aluna melengok ke kamar Barra. Perasannya bercampur aduk menyaksikan kakaknya akan pergi dari rumah ini. Sangat aneh, kan?! Harusnya dia lega, senang karena besok enggak akan ada lagi yang jail atau cari gara-gara. Alih-alih gembira, yang Aluna rasakan justru tiba-tiba dirasuki sendu dalam hati.
"Mama sama Aluna ikut nganterin ke rumah kamu ya, Bar."
"Jangan, Ma!" refleks Barra. Wajahnya membias salah tingkah. Alamat perang dunia ketiga kalau mama tahu di sana ada Kamela dan Ara. Bisa-bisanya mama bakal salah paham episode berlipat ganda. Mengira yang tidak-tidak pada dirinya.
Hastari memonitor putranya dengan tatapan penuh selidik. "Kenapa? Kan, mama pengin lihat rumah kamu. Udah lama enggak ke sana. Dua tahun lalu pas mama mau lihat ke sana, kata kamu ditempati orang, disewa pasangan suami-istri. Sekarang udah kosong kan, Bar?" cecar Hastari.
"Anu, Ma, itu ..." Barra bingung mencari alasan tepat. Tangannya menggaruk-garuk rambut sebagai pengalihan rasa gugup.
"Mama." Interupsi suara berasal dari balik pintu yang terbuka separuh. Aluna melengok-sedikit mengintip aktivitas mama dan kakaknya. Hastari dan Barra menoleh bersamaan. Barra refleks mengusap dada. Gumaman samarnya mencuat.
"Untung ada Ken, selamet dari cecaran mama," ucapnya pelan.
"Eh, sini Nak!" titah Hastari.
Aluna melangkah masuk. Matanya menatap tas ransel besar kepunyaan Barra yang telah terisi penuh. Si samping backpack ada tas laptop dan Sling bag kecil yang biasa dipakai Barra saat jalan.
Aluna duduk di sebelah mamanya. Matanya melirik Barra sebentar, lalu menatap mama yang masih sibuk menjejalkan beberapa dalaman milik Barra ke dalam tas.
"Ma, kenapa Kakak harus pindah sementara? Ini kan rumah mama sama Kak Barra, harusnya Aluna yang pindah sementara waktu. Aluna bisa kok, ngekost bareng Wita, mama jangan khawatir," cetus Aluna menjabarkan ide. Mama tersenyum tipis dibarengi gelengan. Sementara Barra menoleh Aluna, tatapannya mengeras pada gadis di sebelah mamanya.
"Enggak aneh-aneh ya, Kendedes! Jangan banyak polah, segala mau kost sendiri. Udah benar kata Mama, biar gue yang pindah sementara waktu," tukas Barra dengan suara tegas.
Aluna hanya membalas kata-kata Barra dengan senyum tipis. Dia tatap Barra dari jarak yang lumayan dekat, memandangi lelaki itu puas-puas - sebelum besok tidak lagi bertemu pandang dengan Barra Wisnu di rumah ini. Dia rekam semua tentang kakak lelakinya dalam lemari otak. Tubuh kekarnya, mata hitam sekelam malam miliknya, tawanya, dan segala yang melekat pada diri Barra Wisnu di hadapan Aluna.
Aluna terbatuk kecil saat merasai embusan napas Barra sengaja ditiup ke wajah gadis itu. Refleks-nya adalah mengumpat, merutuki kebodohannya yang terbius wajah Barra yang-sialnya memang ganteng-klimis habis cukuran. Lelaki itu menebar senyum ganjil.
"Gue emang ganteng, tapi jangan segitunya juga Lo ngelihatnya, Ken. Awas ngeces itu iler."
Aluna mendesis pelan.
Barra berengsek! Selalu merusak momen beserta moodnya.
Capitan tangan diarahkan ke pinggang lelaki itu. Hadiah cubitan kecil memang pantas untuk Barra Wisnu dengan segala mulut sampahnya menurut Aluna.
"Mulai lagi deh." Hastari geleng-geleng kepala sendiri, tapi tak ayal mengukir kuluman senyum setiap kali menyaksikan Barra dan Aluna ribut.
"Kak Barra yang rese, Ma. Selalu cari gara-gara."
"Lha, playing victim."
"Sudah, jangan ribut. Kalian ini, bikin Mama jadi ngebayangin yang iya-iya aja." Kalimat Hastari memicu kerutan kening Barra dan Aluna. Keduanya menyahut bersamaan.
"Apa, Ma?" tanya keduanya.
Ditanya berbarengan, tawa Hastari malah berderai kencang.
"Kalian ini, kayak anjing sama kucing, mama jadi ngebayangin, gimana nanti kalau udah nikah, terus nanti pas malam pertamanya jadi kayak apa ya? Jangan-jangan malah cakar-cakaran." Hastari tertawa kencang. Barra dan Aluna bertukar pandang, sejurus sama-sama bergidik, mendengar kalimat mama yang terakhir. Aluna menjulurkan lidah, berasa mau muntah, sementara Barra melakukan hal sama persis adiknya.
***
Kamis malam Jumat, Hastari bisanya ada kegiatan pengajian rutin setiap sebulan sekali. Perempuan paruh baya itu tengah sibuk menata jajanan pada kardus tempat kue- yang akan dibawa nanti ke tempat pengajian.
Aluna melintas, membuat Hastari tercetus ide, ingin mengajak serta putrinya ke tempat pengajian. Dia pikir sudah lama sekali Aluna tidak ikut ke acara keagamaan, kecuali pas tarawih saat bulan puasa. Itu juga bolong-bolong tarawihnya, karena gadisnya keseringan sampai rumah bakda magrib menjelang isya. Kerjaan kantor yang padat membuat Aluna harus pulang telat.
"Aluna, ikut mama, yuk! Ke pengajian rutin di komplek, tema-nya bagus lho, tentang pernikahan."
Cetus mama merayu Aluna agar mau ikut bersamanya ke pengajian rutin setiap dua minggu sekali.
Aluna yang tadi ingin mengisi gelas dengan air, mematung di tempat. Dia mendesah gusar. Pasalnya dia tidak terbiasa ikut kumpul-kumpul acara keagamaan. Tidak punya koleksi baju-baju syar'i seperti mama pula.
Gelengan-nya mencuat menjawab permintaan mama.
"Ma, enggak usah ya. Aluna enggak punya gamis, enggak punya jilbab juga."
Hastari tersenyum lembut. Perempuan lima puluhan tahun yang tengah sibuk menata jajanan ke dalam kotak menghampiri putrinya.
"Lho, kalau cuma itu masalahnya, mama ada banyak, Aluna bisa pakai punya mama dulu. Mau ya, ikut mama, sekali ini aja, Nak, enggak setiap hari juga."
Melihat pandangan antusias sang mama, Aluna akhirnya mengabuli. Anggukannya mencuat dibarengi senyum.
Hastari tersenyum senang, tatapannya teduh memandang gadisnya. Perempuan itu kemudian mengamit lengan Aluna, menghela ke kamar untuk memilih dress panjang serupa gamis yang akan dikenakan sang putri.
Mamanya a buk membongkar koleksi baju gamis, sementara Aluna sibuk mencoba satu persatu. Beberapa baju terlihat menumpuk di atas sofa tunggal, baju yang habis dicoba tapi dirasa kurang cocok oleh Aluna.
"Coba ini, Nak, ini hadiah dari teman mama yang liburan ke Turki, belum pernah mama pakai, masih baru, modelnya mama kurang sreg, pantasnya dipakai anak muda kayak kamu." Hastari mengangsurkan dress berwarna cokelat pada Aluna, lengkap dengan pasmina warna cokelat susu.
Aluna menuruti titah mamanya, langsung memakai baju pemberian sang mama.
"Nah, kan cocok di kamu, Una-nya mama cantiknya, Masya Allah," puji Hastari melihat penampilan sang putri.
"Yang benar, Ma? Ini pasminanya gimana pakainya Ma, kayak ribet, ya?" Aluna terlihat kesusahan memasang pasmina. Hastari turun tangan, membantu memasangkan penutup kepala gadisnya. Decak kagum kembali menguar dari mulutnya menyaksikan gadisnya bertambah cantik memakai pakaian tertutup begini.
"Aduh, cantiknya. Ini kalau Barra lihat kamu pakai gamis gini, mama yakin dia bakal klepek-klepek."
Aluna tertawa. "Mama lebay, di mata Kak Barra, Aluna ini bukan cewe, Ma. Katanya Una ini suka rese, petakilan, lebih cocok jadi cowo," sahut Aluna.
"Kakakmu ngaco kalau ngomong, cantik begini dibilang kayak cowo. Mama kutuk biar Barra jatuh cinta setengah mati sama Una nanti." Refleks Hastari. Aluna mendelik, tapi tak ayal tawanya berderai. Dia tahu kalau kata-kata mama barusan hanya candaan.
Aluna dan mama melangkah beriringan, masing-masing membawa tas kanvas berisi kotak kue yang akan dibawa ke pengajian. Baru menguak pintu, dua perempuan beda generasi itu dikejutkan dengan kedatangan Barra.
"Bar, bikin kaget aja!" sembur mama menyaksikan Barra berdiri persis di ambang pintu.
"Assalamualaikum Ma, Barra mampir bentar, mau ngambil ces hape, ketinggalan di kamar," sahutnya menjelaskan maksud kedatangannya. Usai salim pada mama, pandangan Barra beralih pada Aluna. Sempat tersentak beberapa saat, mengangumi paras manis Aluna. Sialnya mendadak jantung Barra seolah enggan diajak berkompromi-menderu kencang saat matanya berserobok dengan sepasang manik cokelat milik Aluna. Mengalihkan rasa kagum, alih-alih pujian, Barra malah melempar jokes jail pada sang adik.
"Dua-tiga kue putu, eh, Masya Allah ada ukhty unyu," godanya seraya memerhatikan Aluna.
"Mama, Kak Barra mulai cari gara-gara!" Protes Aluna, bibirnya membeo sebal.
Hastari menepuk lengan Barra pelan. "Sudah, sudah, sana Kak, buruan ambil ces hapenya, mama mau kunci rumahnya habis ini."
Barra mengangguk, melangkah masuk menuju ruang pribadi-nya di lantai atas. Bersamaan dengan langkah-langkah lebarnya, lelaki itu mengulas senyum, mengingat penampilan Aluna yang terlihat berbeda dari biasanya.
___
Tiga hari telah berlalu tanpa Barra di rumah ini. Aluna menyambut pagi tanpa interupsi Barra. Alih-alih merasakan damai, justru dia rindu pada ulah jail kakaknya. Terasa ada satu bagian dalam diri yang hilang karena tak ada Barra, otomatis rumah mendadak senyap. Mama lebih banyak habiskan waktunya di paviliun, berkutat dengan delapan pegawai dan dunia pertepungan-mengolahnya menjadi kue-kue kering produksi dapur Hasta Cookies.
Tidak ada pemandangan pagi dengan saling berebut sarapan atau balapan mencium pipi mama seperti biasanya. Tiga pagi telah dilalui Aluna dengan suasana sepi. Dia rindu Barra Wisnu. Iya, katakan kalau Aluna munafik. Tapi memang itu yang tengah dirasakan saat ini. Baru terpisah tiga hari saja, rasanya seperti tiga tahun.
Langkahnya agak gontai saat pamit ngantor. Sampai di kantor, kerjaan jadi kurang fokus. Beberapa kali Mbak Dina menegur, saat seniornya itu memulai training, tapi Aluna malah lebih banyak bengong. Untung masih dalam tahap training, belum benar-benar mendampingi Mr. Ridwan. Aluna tidak bisa membayangkan akan semurka apa boss barunya nanti saat dia kurang fokus dalam bekerja. Membayangkan saja membuatnya ngeri sendiri. Jangan sampai kesan pertama malah menjadi kesan terburuk.
ini hari Sabtu, nanti malam Aluna ada janji dengan Wita. Sepulang ngantor, ingin cepat-cepat menuju rumah. Mandi, dan siap-siap. Berhubung Aluna sedang tidak salat, menunggu magrib berlalu dia gunakan untuk membaca, sesekali mengecek pesan masuk dalam ponsel pintarnya.
Aluna pamit pada mama. Hastari memberi izin, asal gadisnya itu pulang tepat waktu, tidak boleh di atas jam sepuluh malam.
Memesan taksi online, Aluna tiba lebih dulu di salah satu mall tempat janjian dengan Wita. Rencananya ingin ngopi-ngopi cantik, lalu lanjut belanja kebutuhan, dan terakhir nonton film terbaru.
Aluna mengayun kaki, ingin melangkah menuju restoran siap saji - tempatnya janjian menunggu Wita. Akan tetapi matanya mengerjap beberapa kali saat menangkap bayangan seseorang yang tidak asing. Aluna sampai mengucek mata berkali-kali, menyaksikan kalau yang berdiri di area kidszone sana adalah kakaknya, Barra Wisnu.
Urung menuju food court, Aluna diam, mengamati dari jarak agak jauh. Dadanya berdegup kencang melihat interaksi Barra bersama seorang gadis kecil dan juga perempuan dewasa yang ada bersama lelaki itu. Ketiganya terlihat sangat akrab. Bahkan Aluna menangkap polah Barra saat lelaki itu menggendong si gadis kecil sembari salah satu tangannya menggandeng si perempuan dewasa. Perfect sekali. Terlihat seperti keluarga bahagia. Ayah, ibu, dan putrinya yang manis.
Dia siapa?
Mereka Siapa?
Apa iya pacarnya Barra?
Kenapa tidak pernah dikenalkan sama mama.
Kenapa Barra tidak jujur ke mama kalau lelaki itu memiliki perempuan pilihannya sendiri?
Lantas, apa maksudnya menerima permintaan mama kemarin?
Semua pertanyaan merangsek memenuhi batok kepala Aluna. Satu hal yang ingin dia lakukan saat ini, menemui Barra dan meminta penjelasan langsung.
____
Kalian tim siapa?
Barra-Aluna
Atau, Barra - Kamela?
Marhaban Yaa Ramadhan. Mohon maaf lahir batin semuanya, ya.
Selamat menyambut kedatangan bulan suci buat pembaca Kachan yang muslim.
31-03-2022
1900
Tabik
Chan
Kachan mau repost Assalamualaikum Cinta.
Ada yang mau baca, enggak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top